Andai saja Mas Herman menyetujui saranku untuk keluar dari rumah ini, maka pembicaraan seperti ini tidak akan pernah ada di antara kami.“Apa betul semalam kamu dibencong oleh laki-laki?”“Iya, tapi–”“Kalau begitu kamu nggak perlu berbicara seperti itu di depan Mbak Yuli.”“Dia sudah menuduhku sembarangan, Mas. Sudah seharusnya aku membela diri.” “Tapi yang dia katakan benar, ‘kan? Kamu pulang dibonceng oleh laki-laki lain.” Aku melihat kemarahan di dalam mata pria itu. “Kamu nggak tanya alasannya?” Lelaki itu diam. Menciptakan keheningan yang menyiksa. “Mobil Mbak Keke ada di bengkel. Kami baru selesai saat hampir tengah malam dan ragu akan ada ojol yang bisa dipesan. Itu pun harus menunggu lama. Jadi, Mbak Keke meminta tolong pada kerabat mempelai perempuan untuk mengantarkan kami ke rumah. Mbak Keke menyuruhku langsung pulang karena mengkhawatirkanku yang harus menempuh jalan yang jauh dari rumahnya ke sini. Karena kami hampir tidak pernah tidur selama dua malam. Kepalaku u
Suasana menjadi sangat heboh. Aku tak peduli lagi soal kesopanan atau apa pun itu. Mereka semua bahkan seenaknya mengomentariku tanpa peduli aku bisa mendengar omongan mereka. Mereka yang tidak sopan padaku lebih dulu. “LEPAS! AKU LAPORIN KAMU KE POLISI!” Lasti menjeritkan berbagai umpatan sembari terus menendang-nendang ke arahku. Namun, aku tak sudi melepas jambakanku begitu saja. Seandainya aku habis mengulek sambal, maka akan kumandikan mulutnya dengan cabe. “Kalau begitu aku juga bakal tuntut kamu dengan pencemaran nama baik.” Dalam sekali entakan, kulepaskan rambutnya hingga Lastri terpental jauth ke sofa. Ibu-ibu yang lain dengan panik menangkapnya. “Memangnya kamu lihat aku menjajakan diri? Lihat tempat kerjaku? Urusin aja hidup kalian! Udah bener belum? Anak udah dididik dengan baik nggak? Denger, ya, Ibu-Ibu. Omongan jelek itu bakal balik ke diri sendiri. Yang punya anak perempuan, cucu perempuan, menantu perempuan jagain baik-baik. Nggak usah ngurusin hidup saya!”It
“Sudah apa?! Lastri bilang aku menjajakan diri di luar dan bekerja di tempat kotor! Gimana aku bisa diam saja?!” Desah napas yang keras meluncur dari mulut Mas Herman. “Aku bakal kasih tahu dia besok.” “Memangnya apa untungnya? Dia nggak bakal berhenti cuma karena kamu kasih tahu.” “Apa kamu nggak berpikiran kalau anggapan mereka itu karena kamu yang selalu pulang malam, bahkan sampai diantar oleh laki-laki? Mereka nggak mau tahu kebenarannya, yang penting itu bisa jadi bahan gosip yang menyenangkan hati mereka.” “Jadi, kamu berpikir akulah yang salah?” “Bukan begitu, Farah. Berhentilah bekerja, maka masalah ini juga bakal selesai.” Kupendam kekecewaan itu dalam-dalam. Baru kali ini pandangan kami benar-benar berbeda. Pendapat yang dulunya selalu bisa ditemukan jalan tengahnya, sekarang seolah menemui jalan buntu. “Aku cari duit itu halal, Mas. Kenapa harus berhenti cuma gara-gara omongan mereka?” Kenapa aku harus menghentikan pekerjaanku hanya karean mulut kotor mereka? Merek
Hati ini tercabik-cabik. Kedatangan Ibu ke kamar bagaikan pisau yang dilumuri garam, menggores hatiku semakin dalam. Sekian lama aku berbakti di rumah ini, mengerjakan semua pekerjaan rumah dan masih dikatakan tidak becus. Semua kelelahanku setiap hari sama sekali tidak dihargai. Tak ada satu pun orang yang memihakku. Kamar yang lengang selepas kepergian mertua benar-benar terasa dingin menusuk dada. Air mata meleleh di pipi. Tiba-tiba saja kusesali pilihanku dulu. Andai aku setuju memiliki anak sejak awal pernikahan, Mas Herman tidak akan memberikan syarat untuk tinggal di rumah orang tuanya. Mungkin ini semua memang salahku. Aku mulai meragukan keyakinan sendiri. Barangkali masalahnya berakar di situ. Besoknya aku ke rumah sakit, menemui dokter yang dulu memasangkan IUD padaku lalu memintanya melepasnya. “Sudah berubah pikiran, Mbak?” tanya dokter wanita yang sepertinya seumuran dengan Mbak Keke itu. Namanya Dokter Rena. “Iya, Dok. Nggak ada salahnya mencoba.” Dokter Rena
“Mas, kita perlu bicara.” Aku mengatakan kalimat pembuka itu bukan untuk membicarakan perihal IUD yang sudah kulepas. Namun, untuk menanyakan siapa gerangan pemilik lipstik itu. “Akhir-akhir ini Mas ada boncengin temen kerja?”“Hm?” Pria itu dalam posisi sedang mengeringkan rambut dengan handuk. Ia berpikir agak lama. “Oh iya ada.” Dan juga seperti tidak fokus dengan pertanyaanku. “Cewek?”Gerakan Mas Herman berhenti lalu menatapku diam. “Iya ya?” Entah seberapa besar kecewa yang membias dari tatapan mataku yang terasa perih. “Kenapa kamu tanya begitu?”Kubuka kepalan tangan, memperlihatkan lisptik yang sejak tadi kugenggam. Reaksi Mas Herman adalah reaksi yang tak pernah ingin kulihat seumur hidupku. Mulutnya terbuka lalu menutup lagi. Pupilnya membesar seperti orang yang ketahuan melakukan sesuatu. “Aku nemu ini di motor kamu.”“Ini pasti punya dia.” Buru-buru lelaki itu merebut lipstik di tanganku. “Dia? Dia siapa yang kamu bilang?” “Temen kerja.”“Terus kenapa lipstiknya b
Mas Herman baru pulang di sore hari dengan baju yang sudah diganti dengan kemeja yang entah dari mana. Padahal dia keluar rumah hanya dengan memakai kaos dan celana pendek. Tanpa pulang ke rumah, Mas Herman langsung ke kantor bahkan tanpa mengambil barang-barangnya. Dia melewatiku begitu saja, mendiamkanku hingga dirinya selesai mandi, bahkan memasak mie instan sendiri. Tak menanyakan apa yang kumasak dan tidak memintaku untuk mengambilkannya nasi. Semua dia lakukan sendiri. Aku memilih diam di kamar sementara dia di luar. Suara TV dan obrolannya samar-samar menembus masuk ke dalam kamar. Bosan berada di atas ranjang, kuambil keranjang cucian. Memilih pakaian yang harus dikucek dan dicuci menggunakan mesin. Pergerakanku memilah pakaian terhenti. Mata terkunci pada bahu kemeja yang dihiasi noda merah berbentuk bibir. itu adalah kemeja yang tadi dipakai Mas Herman. Jantung melesat bagai roket. Kain itu kugenggam erat-erat. Tak pernah terpikiran lelaki manis yang pengertian itu akan
Aku tak pernah menduga Mas Herman akan melontarkan kata-kata yang sedemikian menyakitkannya hingga membuat ulu hatiku terasa pedih. Kontrasepsi. Anak. Drama. Akukah yang menyebabkan semua masalah itu? Kata-kata para tetangga yang dulu tak pernah kupedulikan bergema di kepala, celetukan Mbak Yuli, kritik dari Ibu, dan perkataan Mas Herman silih berganti mengacaukan kepalaku. ‘Keputusan untuk memiliki anak hanyalah untuk keluarga kaya.’‘Jika hanya mementingkan diri sendiri, maka selamanya kita tidak akan bisa memiliki anak.’‘Punya anak mesti berkorban segalanya. Nggak kayak kamu yang selalu mau cantik, tahunya cuma dandan.’‘Pantas saja sampai sekarang kamu nggak punya anak, jagain Fatur sepuluh menit aja nggak becus!’‘Wajar aja suamimu begitu. Aku juga kalau jadi laki-laki mana bisa bertahan sama perempuan yang ndak mau punya anak, ditambah pembangkang dan egois kayak kamu.’Apakah menunda anak adalah sebuah dosa besar? Karena menolak rezeki dan anugerah? Pada detik ini, kuraguk
Aku terbangun tengah malam dalam keadaan haus. Merasa heran karena tidak menemukan Mas Herman di sampingku. Mungkin ia ke kamar mandi. Aku merenggangkan badan yang pegal-pegal karena ulah lelaki itu yang terlalu bersemangat untuk memiliki anak.Setelah memakai kardigan, aku menyeret langkah menuju pintu sembari terkantuk-kantuk. Badan masih ingin menempel di tempat tidur, tapi tenggorokan terasa lengket dan serak. Handle pintu sudah kuputar. Baru saja hendak melangkah keluar ketika dari celah pintu kulihat Mas Herman dan Ibu yang sedang mengobrol di sofa. Ekspresi keduanya sangat serius. Aku memutuskan untuk tidak keluar dulu. “Jangan begitu ke Farah, Bu. Tahanlah sedikit emosi Ibu.”Ternyata Mas Herman menepati perkataannya tadi sore. Aku memasang senyum. “Gimana bisa tahan? Istrimu itu kurang ajar, Man. Ibu ini sudah tua, ya wong mau lihat yang baik-baik, yang tenang-tenang. Jangan mentang-mentang dia cantik dan punya penghasilan sendiri malah seenaknya nggak sopan sama Ibu.”Ken
Sesampainya di ruangan mempelai pria, aku dihadapkan pada Mas Herman yang memamerkan sorot gelisahnya. Aku duduk di kursi, berdampingan dengannya. Sebab aku tahu pria itu tidak ingin didandani. “Apa kabar, Dek, maksudku Farah?” Aku mengangguk. “Baik. Hanif juga begitu. Sekarang dijaga oleh Emak dan Bapak.” Sejak kepulanganku ke rumah Emak, beberapa kali Mas Herman ingin berkunjung, apalagi setelah mendengar kabar aku sudah melahirkan. Namun, aku melarangnya dan hanya mengizinkan melihat anak kami lewat panggilan video atau telepon saja. “Aku nggak tahu kalau kamu yang jadi MUA-nya.” “Itu nggak penting, Mas. Ini pekerjaanku, aku harus profesional.” “Maaf. Aku nggak bermaksud–” “Nggak usah merasa bersalah. Meski merasa nggak nyaman, tapi aku tidak membencimu. Kamu tidak perlu khawatir.” “Dia rekan kerja. Setiap hari membantu pekerjaanku. Setelah kamu pergi, suatu hari Ibu melihatku berboncengan dengannya–aku cuma memberikan tumpangan seperti waktu itu–lalu berniat mendekatkan
Tiga tahun kemudian.“Kali ini kamu kerjanya di mana, Far?” Emak sedang duduk di kursi rotan sambil memangku putraku yang berumur dua tahun. Hanif namanya. Berkulit putih dengan tubuh yang sedang, tak kurus juga tidak gembul. Bagaimanapun keadaannya, aku tetap mencintainya.Sementara aku duduk di lantai sambil melipat pakaian. “Itu, keponakannya Pak Salim. Rumahnya agak jauh. Mesti tempuh dua jam perjalanan.”Pak Salim adalah ketua RT di kampung ini. Beliau khusus memintaku untuk jadi MUA di pernikahan keponakannya. “Oalah, keponakan yang selalu dia banggakan itu, ya? Yang katanya sarjana dan kerja kantoran?”“Iya, Mak. Katanya nikah sama teman sekantornya.”“Perjaka apa duda?”Aku menertawai kekepoan Emak. “Katanya duda.”“Oalah. Ndak papa itu, yang penting orangnya baik, keluarganya juga baik.” “Semoga aja, Mak.”Hanif tampak tenang dalam pangkuan Emak sambil memainkan kalung emas neneknya. “Nikah itu bukan cuma nikahin orangnya, tapi juga nikahin keluarganya. Kita juga mesti co
“Bapak ndak liat suamimu. Sendiri kamu, Nak?”Betapa berat mulutku terbuka untuk memberitahu mereka. Sementara Farel berjalan ke arah kami sambil membawa semua tasku. Bibirnya tersenyum ramah lalu menyalami Bapak dan Emak. “Ini siapa, Nak? Kok ndak datang sama suamimu? Masih bertengkar kalian? Dia ndak datang menjemputmu?”Farel melemparkan tatapan canggung padaku. “Anu, Pak. Bisa nggak bantuin Farel nurunin motorku? Aku mau masukin barang-barang.”“Ah, iya.” Kening Bapak mengerut bingung, tapi tetap menuruti permintaanku. Sementara Emak mengekor masuk dan membantu mengangkat tas besar milikku. Ia lalu berdiri diam dengan pandangan menerawang. “Barangmu banyak begini, ditambah dengan bawa motor, pulang bersama orang lain. Sepertinya masalah dengan suamimu memang sangat besar.”Aku menarik napas sebisaku. Melihat raut Emak yang tiba-tiba menjadi murung menambah rasa sesak di dadaku. “Nanti akan Farah ceritakan, Mak. Bisa nggak Farah ajak teman Farah masuk dulu minum teh? Dia pasti
Akhirnya aku menerima tawaran Farel. Duduk di sampingnya dan diam selama perjalanan. Kami menaiki mobil pick up. Karena Farel bersikeras ingin mengangkut motorku juga. “Sepertinya Mbak berniat menetap.”Aku hanya menoleh sekilas sekalian memberikan senyum tipis sebagai jawaban. “Aku nggak mau ikut campur. Mbak ada masalah dengan suaminya, ya?”Kali ini aku tetap menatap ke luar jendela. “Tahu dari mana kosku?” Lalu mengalihkan pembicaraan. “Dari Mbak Keke. Kebetulan ketemu dan sekalian tanya-tanya soal Mbak.”Lalu suasana di antara kami kembali disisipi keheningan. Tak ada pembicaraan lagi selama satu jam perjalanan. Farel menghentikan mobil dan masuk ke dalam minimarket. Kembali membawa sekantong camilan dan air mineral. “Minum dulu, Mbak.” Ia membukakan tutup botol lalu mengulurkannya padaku. Sembari meneguk air mineral, aku tahu Farel sedang menatapku. Sorotnya dipenuhi rasa penasaran. “Aku boleh tanya tentang suami Mbak?” Aku menutup kembali botol yang tersisa setengah itu.
“Mas nggak pernah menyangka kamu akan membuatku memilih antara istri atau keluarga. Keduanya sama-sama penting, Farah.”“Memangnya aku bukan keluargamu? Aku nggak menyuruhmu memilih. Kita pindah dan menengok ibumu sesering mungkin. Aku nggak masalah memasak banyak setiap hari dan membawakan ke rumah mereka.”Ada kegelisahan yang sangat dalam pada kedua mata lelaki itu. Ia tidak menjawab. Matanya sibuk menerawang. “Buka amplop yang satunya.” Tangan Mas Herman gemetar membuka amplop yang kecil. Ia terpaku diam ketika mengeluarkan alat test pack bergaris dua itu. “Ini ….”“Aku hamil,” lirihku. Biar bagaimanapun Mas Herman perlu tahu. Mata lelaki itu membulat bersama bibirnya yang terbuka. “Kamu hamil?!”Aku melirik ke sekitar dan merasa malu ketika orang-orang mulai memperhatikan kami. “Ibu pasti akan senang kalau dengar ini. Ayo kita pulang, Dek." Mas Herman sangat antusias, bangkit dari duduknya dan bersiap menarik tanganku. “Maaf, Mas. Sepertinya kamu salah paham.”“Apa?” Mulut
‘Aku mau ketemu, Mas.’Pesan itu kukirimkan pada Mas Herman. Lima detik kemudian, pria itu menelepon. Namun, aku menghiraukan dan mengirimkan alamat di mana kami harus bertemu. Rasanya sia-sia saja mengganti nomor ponsel dan memblokir pria itu. Esoknya aku berangkat ke tempat perjanjian kami di kafe dekat kantor pria itu. Aku menunggu agak lama. Tidak begitu keberatan karena bisa memiliki waktu yang cukup banyak untuk merenung dan mempersiapkan diri. Pintu kafe terbuka cukup keras. Aku melihat Mas Herman yang mengedarkan pandangan ke seluruh kafe lalu berlari ketika melihatku. Napasnya terengah-engah ketika sampai di mejaku. Aku melihat kegelisahan dari sorot matanya. Kemeja yang penuh keringat dan kancing yang dipasang asal-asalan. Rambutnya juga tidak serapi dulu. Lelaki ini cukup berantakan. “Kamu dari mana aja, Sayang? Mas kangen banget sama kamu.” Tangannya terulur seperti hendak memelukku. Namun, aku menepis. Membuang muka dan menunjuk kursi di hadapanku. “Duduk dulu, Mas.”
“Hah? Kamu hamil?”Aku mengangguk atas reaksi kaget Mbak Keke. Siang ini dia ada di kamar kosku setelah aku memberitahu alamat padanya. Karena aku tak bisa berkendara ke rumahnya yang cukup jauh. Keheningan menyelimuti kamar. Kami sama-sama terlarut dalam pikiran masing-masing. “Jadi … kamu mau apa sekarang?”Aku menunduk dengan helaan napas pendek yang penuh keresahan. “Aku juga nggak tahu, Mbak.”“Gini aja. Lakukanlah masa percobaan dulu. Mungkin satu atau dua bulan. Kalau mereka tetap memperlakukanmu secara nggak baik, aku sendiri yang bakal jemput kamu di rumah itu.”Itu ide yang tidak buruk. “Aku nggak yakin, Mbak. Bagiku rumah dan kampung itu seperti neraka. Aku yang nggak hamil aja memilih kabur, bagaimana dengan aku yang sedang hamil?”“Mungkin mereka akan berubah karena kamu sedang hamil. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau mereka mengucilkanmu karena kamu belum punya anak?”Aku terdiam lama. Apakah mereka akan memperlakukanku dengan baik setelah mendengar kabar kehamil
Aku terperanjat. Rasanya seperti jatuh dari ketinggian. Tubuh ini hampir luruh ke lantai jika wanita itu tak segera menangkapku. “Kebetulan saya bidan. Mbak mau saya antar ke puskesmas tempat saya praktik?”Aku masih tidak fokus. Kepala tiba-tiba menjadi kosong. Suara- kencang suara di sekitar tidak begitu terdengar. Jantung ini melesat hingga terasa sakit. “Saya … mau cerai.”Kesunyian kembali menyelimuti. Aku mendongak dan sekilas melihat ekspresi bersalah di wajah bidan itu. “Saya mengerti. Mau saya antarkan ke suami Mbak?”Aku menggeleng keras. Tak tahu apa yang harus kulakukan kedepannya. Apakah harus memberitahukannya pada Mas Herman?“Tentu penilaian saya nggak begitu akurat. Untuk mengetahui lebih jelas, Mbak bisa tes sendiri dengan test pack atau memeriksakan ke rumah sakit.”“Saya boleh minta tolong?” Aku mencoba berdiri dengan kedua kaki meski rasa mual itu terus saja mengobrak-abrik perut. “Tentu, saya siap bantu.”“Bisakah Mbak mengambilkan hasil surat tuntutan percer
Tiga hari kemudian, aku baru bisa bangkit dari tempat tidur. Mendapati kamar yang sempit dan kosong. Aku perlu membeli kompor dan peralatan masak. Untunglah aku masih punya banyak tabungan dari upah jadi asisten MUA ditambah dengan emas-emas yang Mas Herman belikan. Aku beranjak ke pasar. Motor yang kupakai adalah kendaraan yang dicicilkan Bapak sebelum menikah dengan Mas Herman, jadi aku juga membawanya. Aku membeli kompor, tabung gas, peralatan makan dan alat-alat memasak serta kipas angin berukuran kecil. Memutuskan memenuhi kosanku dengan barang-barang agar aku bisa tinggal lebih nyaman. “Eh, Mbak Farah. Lagi belanja, ya?” Suara yang renyah dan sopan itu membuatku menoleh. “Oh, Mas Farel.”“Nggak usah panggil Mas. Aku masih mahasiswa kok.”Aku memberikan senyum canggung. Lelaki itu lebih muda, tapi jauh lebih tinggi dariku. “Udah dapat kosan?” “Sudah.”“Oh, sini barangnya biar aku bawain. Motornya di mana?”Belum sempat aku setuju, Farel sudah merebut semua belanjaan dari ta