"Ya Allah, bagaimana ini, Pa? Zamir tidak bisa dihubungi. Nomor ponsel kakaknya juga tidak aktif. Apa yang harus kita lakukan pada Siwi? Tamu undangan sudah hadir semua dan ini sudah telat satu jam." Ria merasakan sesak di dadanya. Belum pernah dia dipermalukan dengan sadis seperti ini. Bagaimana mungkin dia membatalkan semuanya?
"Aji sedang menyusul ke rumah Zamir. Kita tunggu saja kabar darinya. Semoga calon menantu kita dan keluarganya baik-baik saja," ujar Teja masih berusaha berpikiran positif. Posisinya sebagai kepala keluarga tidak boleh panik. Walau jujur saja, kondisi hati dan perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Nalurinya sebagai lelaki mengatakan, ada yang tidak beres dengan Zamir. Teja menoleh pada sang putri yang tengah menunduk dan terisak dalam. Diremasnya dalam ujung kebaya yang menjuntai hingga mata kaki. Pakaian pernikahan yang sudah sangat cantik dikenakan oleh putrinya. Teja berjalan mendekat pada Siwi, lalu merangkul pundakSiwi tersentak dengan wajah membeku, saat Raka mengatakan akan membawanya ke Samarinda. Dia belum siap jika harus secepat ini berjauhan dari keluarga, terutama orang tuanya. Namun, Raka nampak bukan seorang lelaki yang mudah diajak bernegosiasi. Selepas semua tamu pulang, Raka meminta Siwi malam itu juga berkemas.“Pekerjaanku di sini bagaimana, Mas?” tanya Siwi pada suaminya yang saat ini tengah berbaring di ranjang pengantin. Lelaki itu menatap langit-langit dengan perasaan sulit diartikan dengan sorot mata. Seperti ada yang disembunyikan, tetapi entah apa.“Suami adalah raja dan kamu harus menurut. Tidak ada bantahan. Lekaslah berkemas dan kita terbang Ke Balikpapan besok subuh. Jangan lupa matikan lampu sebelum tidur,” pesan Raka sebelum lelaki itu berbalik memunggungi istrinya. Siwi hanya bisa menghela napas kasar dengan mata berkaca-kaca. Ini bukanlah pernikahan yang sesungguhnya. Tidak ada cinta, yang ada hanya siasat seorang
Raka kembali ke rumahnya di kawasan tengah Kota Surabaya tepat pukul tujuh malam. Lelalki itu membuka pintu dan langsung masuk tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Dia tidak sadar, bahwa ayahnya duduk di ruang dapur sambil memperhatikannya. Ya, Raka tinggal berdua saja dengan sang papa. Pria paruh baya yang baru empat tahun menghirup udara bebas, keluar dari penjara. Pria dewas bertubuh gemuk itu memperhatikan gerak-gerik anaknya yang nampka begitu senang. Sudah tiga hari Raka pergi tanpa kabar dan kembali ke rumah dengan wajah sumringah.“Darimana saja kamu, Ka?” tanya Edwin pada putranya. Raka yang akan masuk ke dalam kamar menghentikan langkahnya, lalu menoleh pada Edwin.“Ada urusan kantor, Pa. Raka masuk dulu,” ujar Raka tanpa mau banyak berbasa-basi. Begitulah Raka dalam kesehariannya. Lelaki yang jarang sekali bicara dan sekalinya berbicara, hanya menjawab yang penting saja. Raka lebih banyak tenggelam di dalam kamar, berk
Semakin kuat Siwi meronta, maka semakin kejam Raka menghujamnya dengan berjuta kepedihan dan luka. Suaranya hampir habis karena berteriak kesakitan sambil mengiba minta dilepaskan, tetapi Raka bagaikan raja iblis yang sedang menghukum budaknya dengan kejam. Lelaki itu sama sekali tidak merasa perlu mengasihani Siwi, karena wanita itu adalah istrinya. Semua yang ada pada wanita itu adalah haknya dan dia bebas memperlakukannya bagaimana pun. Peluh bercucuran dari dahi dan seluruh tubuh lelaki itu, tetapi dia tidak lelah untuk terus mengoyak kepedihan Siwi. Tidak juga usai entah sudah berapa lama. Siwi pun akhirnya pingsan karena sudah tidak kuat menahan lelah dan sakit.“Cuih! Lemah!” Raka turun dari ranjang. Sebenarnya lelaki itu sudah mendapat kepuasannya, tetapi senjatanya tidak benar-benar bisa beristirahat. Jika papanya mempunyai masalah dengan senjata yang tidak bisa bangun, maka dia senjata yang tidak pernah bisa benar-benar tidur.Ra
Raka begitu senang karena Rena mau menerima lamarannya. Walau masih secara pribadi, tetapi wanita itu dengan senang memakai cincin pemberian pria pujaan hatinya, sambil mengangguk cepat. Raka, sang pengusaha yang sedang naik daun, menyukai Rena;sekretaris cantik dan juga seksi. Keduanya sering tampil bersama sejak enam bulan belakangan ini.Raka pribadi yang tertutup, akhirnya tunduk pada pesona Rena yang cenderung agresif mendekatinya. Hubungan keduanya belum diketahui oleh Edwin;papa Raka, ataupun keluarga dari pihak Rena. Mereka masih berhubungan secara sembunyi-sembunyi.Gadis itu masih duduk di pangkuannya dengan manja, sambil meletakkan kepala di pundak Raka. Memperhatikan kekasihnya yang sangat sibuk di depan laptop. Rena memainkan jari yang tersemat cincin mahal dan super bagus. Berkali-kali Rena mengangkat jari manisnya, dan tak hentinya takjub dengan cincin yang ia pakai."Kamu suka?" tanya Raka tanpa menoleh ke arah Rena.Cup!
"Bangun Siwi! Hei, bangun! Sial! Menyusahkan saja!" umpat Raka sembari melepas ikatan tali di kedua tangan istrinya. Siwi lagi-lagi pingsan dengan keadaan sangat menyedihkan. Bagaikan mayit hidup. Tubuhnya kurus kering, rambutnya berantakan tidak pernah disisir. Aroma tubuhnya mau keringat, belum lagi aroma Pesing di kasur, karena Siwi terikat dan terpaksa buang air kecil di sana.Dia bukanlah istri, melainkan budak yang dipasung. Dalam keadaan mungkin hampir mati, Raka sama sekali tetap tidak mengasihaninya. Lelaki itu memindahkan tubuh Siwi ke kursi kayu, lalu dia sibuk melepas kain alas kasur yang sangat berbau Pesing. Tubuh Siwi sama sekali tidak ia tutupi apapun. Lebih kepada, Raka sedikit jijik dengan penampilan Siwi yang kotor seperti gelandangan yang telanjang di jalanan."Kamu dan orang tuamu, bisanya menyusahkanku saja!" umpat Raka lagi dengan menahan napas.Setelah beres dengan kasur. Raka kembali menggendong tu
Srak!Srak!Siwi terus berlari dengan kaki telanjangnya. Menyusuri jalanan hutan dalam gelap malam."Siwi! Matilah Kau dimakan harimau!" pekik Raka dengan suara menggelegar. Siwi pias, kakinya semakin cepat berlari meninggalkan rumah besar.Bugh!"Sst ... Aaargh!" Siwi terjatuh, lalu dengan cepat ia berdiri lagi dan berlari. Burung hutan berterbangan di atas kepala. Saling sahut makhluk hutan lainnya tak membuat Siwi urung, ataupun takut sama sekali. Ia terus berlari, walau kakinya menginjak duri.Jauh dan semakin jauh. Matanya tidak bisa melihat apapun, karena keadaan sangat gelap. Tangannya terluka terkena ranting pohon yang tajam, karena meraba jalan di sisi kanan dan kirinya.Brem!Brem!Suara mobil dari kejauhan, membuat Siwi ketakutan. Ia kelimpungan mencari tempat untuk bersembunyi. Pasti suara mobil itu adalah mobil Raka. Ia pun yakin, ja
3 Tahun Kemudian"Sayang, undangan untuk teman-teman kampus sudah kamu sebar'kan?" tanya Raka pada Rena saat keduanya tengah menikmati makan malam di sebuah cafe di bilangan di pusat kota Surabaya."Sudah semua, Sayang. Persiapan sudah sembilan puluh lima persen. Tinggal kita saja," sahut Rena sambil tersenyum lebar. Matanya kembali melirik cincin berlian pemberian Raka;lelaki yang hampir lima tahun ini menjadi pacarnya."Sepulang dari sini, kita mampir ke rumah ya? Udah kamu hias belum? Aku udah beli furniture yang kamu pesan itu. Udah dikirim dan sudah sesuai dengan kehendak Tuan Putri, bukan?" tanya Raka dengan senyuman hangatnya."Udah, Sayang ... Nanti saja ke sananya. Lagian pamali, belum menikah sudah menempati rumah baru. Kejutan pokoknya. Kamu pasti suka. Oh iya, mulai besok kita sudah tidak boleh ketemu, kata Mama. Aku dipingit," uja
Ini sudah botol minuman keras kesepuluh yang dihabiskan oleh Raka. Lelaki itu bagaikan orang gila yang kehilangan arah, saat ditinggalkan begitu saja oleh calon mempelai pengantinnya, tepat di hari bahagia mereka. Luka pedih itu semakin menganga. Luka akan kekecewaan pada wanita di masa lalu, kini ia dapatkan di masa depan. Lucunya lagi, kejadian itu sama persis saat dia menjadi pahlawan kesiangan untuk Siwi;wanita yang pernah menjadi istrinya.Katakan ini karma, tetapi ini terlalu kejam untuk seorang Raka yang sudah berusaha melupakan kelamnya masa lalu. Tangan kekarnya yang berurat tebal, masih memegang ujung botol kesebelas dan bersiap memasukkannya kembali ke dalam mulut."Jangan diteruskan, Bos! Nanti bisa berakhir di rumah sakit. Tolong, Bos!" Tangan kekarnya dicekal oleh Dion. Asistennya itu tidak tega melihat Raka yang menggenggam minuman keras bagaikan orang kesurupan."Jangan urusi aku! Aku tidak akan pernah mati
Edisi Malam Jumat"Wajahmu mengerikan sekali." Zamir menatap sinis Rena yang masih mendekam dalam penjara. Hari ini adalah tahun keenam ia dihukum. Masih ada empat tahun lagi yang harus ia lewati di dalam penjara untuk membayar semua perbuatannya yang telah merugikan banyak orang, sekaligus melakukan tindakan hampir membunuh seseorang dengan sengaja."Kalau lu kemari cuma mau mengejek gue, sebaiknya lu pergi aja!" Rena bangun dari duduknya dan bermaksud meninggalkan Zamir. Lelaki teman tidurnya sekaligus lelaki yang membuat semua rencananya yang hampir menguasai harta Erlan berhasil."Raka menikah hari ini. Pestanya sangat meriah. Apa kau tidak ingin lihat, bagaimana kebahagiaan kembali padanya? Heh, wanita yang pernah ia nikahi, kembali menjadi istri sahnya dan kau tahu, dia akan menjadi salah satu penerus keluarga Teja Corp. Ah, satu lagi ... Erlan juga
PTM 48Hari pernikahan besar antara Siwi dan Raka digelar di sebuah hotel bintang tiga milik Teja yang baru saja sebulan resmi beroperasi. Berlangsung di ballroom yang cukup megah dan luas, pasangan Siwi dan Raka-lah yang pertama kali menggunakan tempat itu sebagai lokasi sakral mengucapkan janji suci pernikahan. Ruangan yang dengan kapasitas menampung maksimal kurang lebih seribu lima ratus orang. Namun tidak perlu khawatir dengan kapasitas maksimum itu, karena tamu dijamin tidak akan berdesakan dan penuh karena area foyer dari ballroom ini sangat luas.Ada yang menarik dari acara pernikahan anak pemilik hotel baru di Jakarta ini, tidak adanya pelaminan megah, tempat tamu memberikan doa dan selamat. Lalu di mana kedua pengangtin itu akan duduk? Siwi dan Raka memiliki konsep bahwa mereka yang akan berkeliling menyambut tamu yang datang. Kenapa tidak ada pelaminan dalam sebuah pesta pernikahan? Bukankah pelaminan itu hal wajib dalam sebuah pe
6 Tahun KemudianHari Sabtu yang begitu dinantikan oleh anggota keluarga besar Teja dan Ria pun tiba. Hari yang akan dilangsungkannya pesta ulang tahun Ayumi; cucu mereka yang telah berusia delapan tahun.Pesta digelar dengan meriah di dalam rumah Teja yang baru saja selesai direnovasi. Yah, setali tiga uang. Sambil mengadakan pesta ulang tahun, Teja juga mengadakan syukuran acara rumah barunya yang semakin bagus dan mewah. Ada beberapa tamu artis dan petinggi yang datang memberikan selamat.Pesta yang digelar di dalam ruangan, tetapi juga tamu dipersilakan untuk menikmati pemandangan luar rumah yang sangat asri. Teja berhasil mendesign rumahnya dengan ide dan sesuai keinginannya sendiri. Begitu melihat hasilnya, ia sangat puas.Semua tamu yang datang ke rumahnya tentu saja membawa banyak kado untuk Ayumi. Gadis kecilnya yang semakin hari semakin cantik d
Rena terus saja menggaruk tubuhnya yang terasa sangat gatal. Tidak hanya di kedua kaki dan tangan, Rena juga mengalami rasa gatal di leher dan juga wajahnya. Entah apa yang terjadi sehingga tahanan lain tidak mau satu sel dengan Rena, karena amat jijik dengan bau busuk serta kudis yang muncul di permukaan kulit wanita itu.Seorang dokter sudah didatangkan untuk memeriksa Rena dan ia pun sudah diberikan salap dan juga obat yang harus diminum sehari tiga kalia agar rasa gatalnya hilang. Namun sangat disayangkan, wanita itu masih terus menggrauk seluruh tubuhnya. Jangankan tahanan lain, sipir penjara dan pengacaranya saja tidak sanggup duduk berlama-lama di dekat karena karena bau bangkai seperti bangkai tikus tercium hidung mereka. Rena pun hampir frustasi dengan keadaannya yang sangat menyedihkan. Tidak ada siapapun yang bisa menoleongnya, karena kedua orang tuanya juga masuk ke dalam penjara, karena kasus penggelapan
PTM 44Kondisi kesehatan Evan berangsur pulih. Polisi menjadwalkan reka ulang kejadian esok hari. Kepada pihak kepolisian, Evan sudah mengakui kesalahannya atas penyekapan berencana bersama tiga orang pria suruhannya. Semua itu ia lakukan karena sakit hati—merasa dipermainkan oleh Siwi. Jejak ciuman Siwi dengan Raka yang nampak di matanya, membuat lelaki itu buta dan nekat melakukan kejahatan yang belum pernah ia lakukan.Erlan pun sudah mulai pulih, tetapi masih dirawat di rumah sakit, karena kepalanya masih sering sakit. Lelaki itu belum mengetahui perihal pengakuan Evan dan Rena yang sudah mendekam di jeruji besi. Pak Sulis yang meminta pada pihak kepolisian untuk menahan diri memberitahukan apapun pada Erlan, karena Erlan memiliki riwayat penyakit jantung.“Siapa kamu?” tanya Erlan pada wanita bertubuh semok yang tengah duduk termenung di sofa kamar perawatannya. Wanita itu menoleh, lalu dengan sigap be
Siwi terbangun berjam-jam berikutnya. Sinar matahari pagi yang masuk ke kamar perawatannya, membuat Siwi merasakan matanya sedikit silau. Setelah matanya dapat menatap jelas langit-langit kamar, Siwi pun merenggangkan ototnya yang kaku. Kulitnya terasa tertarik dan begitu kebas karena tangannya terlalu lama diikat pada sisi tempat tidur.Jika kemarin ia belum terlalu merasa ya nyeri di sekujur tubuhnya, tapi pagi ini tubuhnya terasa sangat sakit. Siwi menoleh ke samping, tepatnya ke arah sofa. Papa dan mamanya tengah terbaring dengan lelap. Entah pukul berapa mereka baru tidur setelah menjaganya semalaman. Jam di dinding sudah menunjukkan angka sembilan dan Siwi mulai merasakan cacing di dalam perutnya melakukan orasi.Siwi ingin bangun setengah duduk untuk mengambil air, tetapi tubuhnya tidak mampu digerakkan. Kali ini ia meringis saat merasakan nyeri pada pinggang dan juga pangkal lengan. Merasa ada pergerakan dari brangkar putriny
Rena sudah meninggalkan kota Jakarta dengan menyewa mobil rentalan. Wanita itu ketakutan dan kabur keluar kota tanpa membawa banyak barang. Ia terlanjur takut akan kedatangan polisi ke apartemennya. Rena hanya membawa satu tas koper kecil dan beberapa surat berharga suaminya dan juga berkas-berkas usaha showroom miliknya.Awalnya pemilik rental tidak mengijinkan karena tidak menyertai sopir dari mereka. Namun Rena bersikeras ingin menyetir sendiri, sambil memberikan uang rental yang ia berikan dua kali lipat. Tentu saja pemilik rental tergiur dengan uang sepuluh juta di depan wajahnya. Rena juga berani meninggalkan KTP-nya sebagai barang bukti, jika ia tidak kembali dalam waktu tiga hari.Rena juga memberikan alamat orang tuanya (palsu) sebagai bukti kuat bahwa ia tidak mungkin melarikan diri membawa mobil rental yang ia pilih sangat biasa saja.Rena berhenti di rest area saat ponselnya berdering. Lelaki yang selalu saja m
["Apa? Evan sekarat? Papa jangan sembarangan bicara! Dia ke kantor tadi. Oke,oke ... Erlan segera kembali ke Jakarta dan langsung ke rumah sakit."]Erlan menekan gas mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sebelah tangannya memegang setir, sebelah lagi terus menghubungi Rena. Karena tak kunjung diangkat oleh istrinya, Erlan memutuskan untuk meninggalkan pesan suara.["Evan sekarat di rumah sakit XXX. Aku harap kamu ke sana sekarang! Aku sudah berada di tol, mungkin dua jam lagi baru sampai."]SendRena baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuhnya segar dan wangi karena memakai sabun dan lulur yang baru saja ia beli dari salah seorang temannya. Konon, lulur ini sudah didoakan oleh seorang dukun sehingga setiap wanita yang memakainya akan selalu terpancar aura kecantikan dan juga aroma tubuh yang memabukkan setiap pria.Kopernya
Tangan Raka diborgol, lalu digiring masuk ke mobil polisi. Sedangkan Siwi masuk ke dalam ambulan ditemani oleh salah satu polwan. Siwi masih menangis tersedu melihat Raka yang menunduk di dalam mobil. Lelaki itu tidak mengatakan apapun, selain menitipkan Ayumi padanya. Jika Raka akan langsung dibawa ke rumah sakit, maka Raka langsung mendekam di penjara.Mendengar putrinya berada di rumah sakit, Teja dan juga Ria segera meluncur ke sana. Pihak rumah sakit tidak mengatakan apapun perihal Siwi. Mereka hanya mengatakan bahwa putri mereka sedang berada di rumah sakit dan dalam keadaan tidak baik-baik saja.Teja mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pikiran buruk akan kemalangan putrinya semenjak munculnya Raka, membuat lelaki itu kesal. Di dalam hatinya pun menyimpan dendam pada Raka, jika sampai terjadi sesuatu pada putrinya."Pelan, Pa. Jangan sampai kita juga celaka karena Papa tida