Author's POVPagi yang cerah. Andrean mengangkat koper untuk di masukkannya ke dalam mobil. Pagi itu untuk pertama kalinya sejak menikah, Andrean mengajak istrinya ke luar kota untuk bekerja.Embun tampil cantik dan segar dengan blouse hamil warna putih dan celana bahan warna army. Dia berdiri di depan pintu sambil menenteng tas warna hitam.Biasanya tiap pagi begini dia telah memakai baju kerjanya dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Namun mulai hari ini dia tidak bekerja lagi. Teman-teman dan beberapa dokter menyayangkan keputusannya. Tapi juga tidak melarang, karena bagi seorang istri berbakti pada suami adalah hal yang utama.Andrean memberi kode pada istrinya untuk diajak berangkat. Embun menoleh pada Mbok Darmi yang berdiri di sebelahnya. "Mbok, kami berangkat dulu, ya," pamit Embun."Hati-hati ya, Mbak. Nikmati waktu kalian sebaik mungkin," pesan wanita sepuh itu sambil tersenyum. "Makasih, Mbok." Embun melangkah menuju mobil. Andrean melambaikan tangan pada Mbok Darmi yang m
Author's POVAndrean tersenyum. "Hidup Mas terlalu kaku setelah kepergian orang-orang yang Mas cintai. Kakek, nenek, terutama mama. Walaupun Mas hampir tidak bisa mengingat sosoknya.""Mas, bisa menjaga diri. Tapi ketika dapat istri, justru dapat janda," ucap Embun sambil tersenyum.Pria itu menatap istrinya, tepat setelah Embun selesai bicara. "Kamu istimewa." Itu saja ucapan Andrean. Dan setelahnya mereka tidak berbicara lagi hingga kembali ke hotel.Usai Salat Isya mereka duduk di balkon kamar saling berdekatan dan lengan Andrean memeluk bahu istrinya. Mereka menatap jauh ke angkasa, pada bulan separuh yang bersinar terang di langit malam."Kamu merasa tenang di sini?" tanya Andrean."Iya."Andrean pun merasakan hal yang sama. Ketenangan justru dirasakan saat jauh dari kota kecil tempat tinggal mereka. Jauh dari orang-orang yang menjadi keluarganya. "Kita bisa pindah ke luar kota jika kamu mau. Mas bisa mencari pekerjaan lain."Embun mendongak, menatap suami yang bicara serius pad
Author's POVAndrean menggenggam erat jemari istrinya sambil tersenyum pada Fariq yang masih keget dan memandangnya. Ia juga tersenyum pada kenalan yang ada di restoran. Ada beberapa relasi bisnis yang diundang Fariq malam itu.Embun menyalami dan mencium tangan mantan mertuanya. Bu Salim dengan netra berkaca-kaca menarik pelan lengan Embun supaya lebih mendekat padanya. Wanita itu meneteskan air mata sambil menatap mantan menantu. "Kamu hamil?" tanya Bu Salim dengan suara bergetar dan menyentuh perut yang membulat itu."Alhamdulillah, iya Tante."Bu Salim menatap lekat mantan menantunya."Kenalkan, ini suami saya." Embun mengenalkan Andrean pada Bu Salim dan Pak Salim.Andrean mengangguk pada kedua orang tua Fariq. Sementara kedua orang tua Karina hanya diam memandang mereka."Semoga kalian bahagia," ucap Pak Salim sambil tersenyum. Andrean menjawabnya dengan kata Aamiin.Ketika Bu Salim mengajak Embun berbincang-bincang, tatapan Andrean tidak lepas dari istrinya ketika wanita itu be
Author's POVFariq diam dan kembali terluka. Andrean tak segan mengakui itu di samping istrinya. Fariq kemudian menoleh pada Embun yang berdiri tidak jauh dari mereka. Tapi wanita itu memandang ke tempat lain."Saya harap, ini tidak akan jadi kendala dalam kerjasama kita, Pak Fariq. Semoga kita tetap bisa profesional."Fariq tersenyum sambil mengangguk. Andrean meraih jemari istrinya dan mengajaknya pulang."Mas, kami permisi dulu ya. Assalamu'alaikum," pamit Embun.Lagi-lagi Fariq hanya bisa tersenyum getir sambil mengangguk. Pria itu baru masuk restoran lagi setelah mobil Andrean pergi. * * *"Mas, sengaja ya mengundang mereka. Kenapa nggak bilang sejak kemarin kalau laki-laki yang bertemu dengan kita di minimarket itu suaminya mantanmu." Baru juga pulang dan masuk kamar, Karina yang menahan emosi sejak tadi menyerang suaminya."Aku juga nggak tahu kalau dia suaminya Embun.""Bohong. Bekerjasama berbulan-bulan masa nggak tahu. Mas, memang sengaja mengundang mereka datang kan?"Far
Author's POVAda panggilan dari Pak Darmawan. "Halo, Pa!" sapa Andrean."Kamu belum tidur?" tanya Pak Darmawan di seberang."Belum. Ada apa, Pa?""Hendriko minggu depan tunangan.""Tunangan? Sama siapa?""Sama Miranda. Besok pagi kita ketemu di taman kota. Sudah lama kita nggak joging bersama. Jam enam papa tunggu.""Oke." Andrean mengembalikan ponselnya ke nakas. Embun melepaskan mukena dan meletakkan di tempat biasanya. Andrean juga mengganti baju koko dengan kaos warna putih. Dia lebih suka memakai kaos tanpa lengan daripada piyama untuk tidur. "Minggu depan Hendriko tunangan dengan Miranda." Andrean memberitahu istrinya. Setelah mereka berbaring berhadapan."Oh ya? Apa mereka pacaran, Mas?""Mereka memang dekat, tapi Mas tidak tahu soal itu." Hendriko seperti dirinya yang hampir tidak punya teman perempuan. Bisa jadi pernikahan adik dengan sepupunya itu karena perjodohan. Sebab bagaimanapun juga ia bisa merasa kalau Hendriko pernah suka dengan Embun. Jika sekarang mau tunangan
Author's POV"Suatu hari Mbak Hera pernah datang ke rumah si mbok dan menangis di sana. Dia menceritakan kalau sering mengalami KDRT dan diselingkuhi. Dia menyesal telah mengkhianati Mas Andrean. Menyesal karena lebih percaya Rusdy daripada tunangannya sendiri.""Kapan dia menemui, Mbok Darmi?""Sudah lama, Mbak. Waktu Mbak Hera hamil anak keduanya. Dia bilang sudah nggak ada tempat untuk pulang. Saudara-saudaranya sudah punya keluarga masing-masing dan tinggal di luar kota. Sedangkan mertuanya sama sekali nggak mau tahu dan lebih percaya pada anaknya sendiri daripada sama menantunya yang terzolimi. Si mbok kasihan, tapi nggak bisa membantu apa-apa selain menyuruhnya bersabar."Kasihan. Nasibnya lebih menyedihkan daripada kisahnya bersama mantan suaminya. Bagaimanapun, Fariq tidak pernah mengkhianati pernikahan mereka. Bahkan ia juga yang memaksa Fariq menikahi Karina karena tekanan dari ibu mertuanya."Tapi waktu saya menceritakan hal itu pada Mas Andrean. Sedikit pun Mas Andrean ngg
Author's POVAndrean menyerahkan uang pembayaran ketika penjual rujak memberikan pesanannya. Pada saat yang bersamaan Rusdy telah menyeberang. Ketika Andrean hendak melangkah menuju motornya, tangan Rusdy menahannya. Mereka berhenti berlawanan arah."Mas, kami nggak ngomong apa-apa. Kami nggak sengaja bertemu." Hera mendekati dan memegang tangan kiri suaminya. Tampak sekali kalau wanita itu ketakutan. Bahkan anak yang dalam gendongan Rusdy juga takut. Mungkin karena sudah terbiasa melihat kekasaran ayahnya. Dan kejadian itu juga diperhatikan orang-orang yang ada di sana."Lepaskan tanganmu, kita tidak punya urusan," kata Andrean tanpa memandang pria di sebelahnya."Apa yang kalian bicarakan?""Bukankah istrimu sudah bilang kalau kami tidak ngobrol apapun. Kalau kamu mencurigaiku, itu salah besar. Aku bukan tipe laki-laki yang suka mengambil milik orang lain. Aku tidak berminat dengan milik orang lain. Satu wanita saja sudah cukup untukku dan itu istriku." Andrean melepaskan pegangan t
Author's POVHera luruh ke lantai sambil memeluk lutut dan menangis. Kini hatinya yang terasa sakit. Rusdy pergi pasti untuk bertemu dengan selingkuhannya. Janda dengan satu anak yang sebenarnya juga teman Rusdy sendiri dan Hera juga tahu perempuan itu. Kini ia merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Dulu dirinya mengkhianati Andrean, kini dibalas berkali-kali oleh pengkhianatan Rusdy.Keberadaannya di samping Rusdy hanya sebagai penutup aib suaminya. Hanya sebagai pelengkap status Rusdy di hadapan keluarga besar mereka. Pada kenyataannya, harta tidak menjamin kebahagiaannya sekarang. Padahal itu yang pernah membuatnya silau dan meninggalkan Andrean. Entah sampai kapan ia sanggup bertahan. Atau menunggu saja peluang hingga ia bisa bebas dan menemukan jalan keluar. Sebab tidak ada teman yang benar-benar bisa membantunya keluar dari masalah itu. Siapa juga yang bisa melawan Rusdy.* * *Tepat di jam makan siang di hari Minggu itu Miranda tergesa masuk sebuah kafe, tempat Hendriko menu
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su