Author's POV"Aku sebenarnya ... menyukaimu. Setelah kita sering bertemu hampir setiap hari selama aku sakit."Embun yang merasa berdebar dan gemetar tetap berusaha bersikap tenang dengan menampilkan senyuman di bibirnya. Tapi apa mungkin ia akan menerima Hendriko, andai ia tidak di sukai Andrean?Tidak. Embun belum tentu menerima Hendriko karena restu ibu tidak pasti di dapatkan lelaki itu. Ia ingat pertemuannya dengan Bu Salwa di warung bakso. Kemudian dilanjutkan dengan telepon undangan makan malam dari wanita itu. Dilanjutkan lagi dengan dinner malam itu dan Hendriko pun ada di sana, tapi Bu Salwa tetap diam saja. Dari situ saja Embun tahu, bahwa kondisinya yang tidak bisa memberikan anak tidak bisa di terima oleh Bu Salwa."Aku sudah pernah cerita kalau aku janda. Bercerai karena aku nggak bisa ngasih keturunan untuk suamiku.""Aku tidak mempermasalahkan hal itu.""Tapi belum tentu Bu Salwa dan Pak Darmawan akan merestui kita." Embun bicara dengan tenang. Ia tidak ingin berkata b
Author's POV"Sarapan dulu ya, Mas temani?" kata Andrean. Ia yakin kalau istrinya pasti belum sarapan karena kemarin-kemarin juga sarapan di rumah sepulang kerja malam.Embun yang memang lapar mengiyakan. Keduanya pergi ke belakang. Mbok Darmi tidak ada karena sedang menyapu kebun belakang bersama Pak Karyo.Di atas meja sudah tersedia, urap, ayam goreng, dan kering tempe, juga segelas teh yang masih panas. Tampaknya Mbok Darmi baru saja membuatkan untuknya. Itu menu sarapan yang sama, di makan Andrean pagi sebelum berangkat menjemput istrinya."Mas, sudah sarapan?""Sudah tadi," jawab pria itu tersenyum sambil memperhatikan istrinya yang sedang makan. Sambil makan Embun juga menceritakan pertemuannya dengan mantan mertuanya kemarin pagi. Juga menceritakan pertemuannya dengan Hendriko di minimarket siangnya. "Mereka bilang apa?""Mantan mertuaku yang laki-laki tensi sama gula darahnya naik. Mereka periksa pada dokter Didik. Dokter langganannya. Aku juga bilang kalau sudah menikah.""
Author's POVOmbak pantai menyambut kedatangan Andrean dan Embun yang berjalan bergandengan tangan di pesisir pantai. Saat itu sudah jam empat sore. Mereka tadi sampai jam tiga setelah menempuh perjalanan selama dua jam. Langsung booking hotel, istirahat sejenak kemudian jalan-jalan melihat sunset.Embun memperhatikan anak-anak kecil yang berkejaran di pasir pantai. Tubuh mereka sudah berlumuran pasir. Ulu hatinya terasa nyeri. Seandainya saja ....Mau seikhlas apapun Andrean menerimanya, tapi dirinya sendiri masih tetap meratapi kenapa tidak bisa hamil meski beberapa dokter menyatakan kalau tak ada masalah dengan kesuburannya. Bahkan menstruasinya juga teratur.Mungkin sebenarnya, dirinya yang bermasalah. Setelah mantan suaminya menikahi Karina waktu itu, mantan madunya juga langsung hamil. Bahkan sudah dua kali hamil meski berakhir dengan keguguran."Mikirin apa?" tanya Andrean.Embun tersenyum. "Nggak ada, Mas."Andrean makin mengeratkan genggaman tangannya. Mereka menikmati rona j
Embun's POV"Coba kamu cek." Yani meletakkan testpack di depanku yang baru dibelinya dari apotek rumah sakit, sekalian dengan cawannya.Aku diam menatap dua benda di meja. Rasanya trauma dengan kegagalan demi kegagalan selama sepuluh tahun ini. Dan aku enggan untuk mencobanya lagi yang bisa berujung pada kekecewaan. "Aku takut kecewa lagi, Yan. Mas Andrean nggak nuntut soal anak.""Kamu kapan terakhir haid?" tanya Anis, teman satu shift kami."Aku lupa tanggalnya. Sebelum akad nikah aku baru selesai haid, terus nikah sebulan aku mengalami flek, kupikir datang bulan yang tidak lancar." Kadang aku memang tidak sepeduli itu, semenjak lelah menunggu kapan aku tidak akan haid selama sembilan bulan sepuluh hari, lalu melahirkan seorang bayi.Yani duduk di depanku. Mengelus punggung tanganku. "Cobalah, bismillah."Rasanya aku tidak ingin menelan kekecewaan lagi. Daripada nanti bikin mentalku tumbang, lebih baik aku tidak melakukannya lagi. Aku juga tidak merasakan tanda-tanda seperti orang y
Embun's POVAku melihat jam dinding, sudah sore dan aku harus segera mandi. Tidak lupa membawa dua testpack lagi dengan merk yang berbeda. Aku masih belum percaya dengan hasil yang tadi. Kembali dengan dada berdebar-debar, kutunggu hasilnya.Ucapan syukur Alhamdulillah menggema dalam dada. Dua benda itu menunjukkan hasil yang sama. Garis dua. Speechless. Aku menangis sekali lagi. Bahagia dan terharu.Buru-buru aku mandi dan Salat Asar. Mengucapkan syukur yang tiada terhingga pada Allah yang memberikan keajaiban ini. Dikala harapanku pupus, aku diberikan anugerah yang tak ternilai harganya. Semangat kembali menyala-nyala dalam dada.Dikarenakan terlalu khusuk, menunduk mengucapkan kalimat-kalimat syukur, aku tak menyadari kalau Andrean sudah pulang dan langsung masuk kamar. Dia mengambil tiga testpack yang tergeletak di ranjang. Kemudian berjongkok di hadapanku. Ketika itu aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca."Ini benar?" tanyanya seperti tidak percaya.Aku mengangguk dan jatuh da
Author's POVInvitation, tulisan depan di undangan berwarna abu-abu dan biru dongker itu. Warna yang jadi logo dan indentitas perusahaannya.Waktu Andrean meeting kemarin dia sudah dikasih tahu sang papa mengenai annual dinner tahunan. Cuman yang mengurusi acara-acara seperti ini adalah Tante Verra. Dia merupakan ketua pelaksana dan yang bertanggung jawab penuh pada jalannya acara."Kamu jangan lupa datang. Sudah beberapa kali kamu nggak datang ke annual dinner. Kamu anak pemilik perusahaan, harusnya mempedulikan hal-hal semacam ini. Tunjukkan identitasmu.""Tahun kemarin kamu menang award malah kamu nggak datang. Kamu nyadar nggak kalau jadi bahan ghibah para karyawan. Asistenmu, si Rendy itu yang akhirnya maju mewakili kamu. Jika tahun ini kamu dapat lagi, dia juga yang kamu suruh maju lagi?""Dinner ini juga sebagai ajang silaturahmi, biar karyawan bisa lebih mengenali pimpinannya. Jangan kalah sama mama tirimu dan anaknya, mereka saja menyempatkan untuk datang."Andrean tidak menj
Author's POVDan Miranda lega karena perjodohan itu batal. Sudah sejak masih kecil sebenarnya Miranda menyukai dua sepupunya itu. Andrean dan Hendriko. Ia merasa punya kakak jika dekat dengan mereka. Sebab ia tidak bisa akrab dengan satu-satunya kakak perempuannya. Dengan Andrean intensitas pertemuan sangat jarang, makanya ia lebih dekat dengan Hendriko. Karena Andrean memang tinggal dengan neneknya.Mungkin karena kedekatan mereka sejak kecil, membuatnya menyimpan rasa pada pria yang lebih tua empat tahun darinya. Perasaan yang ia pendam sendiri. Sesekali ia menunjukkan perhatiannya pada Hendriko, tapi dasar manusia kulkas yang tak peka. Hendriko cuek setengah mati kalau Miranda datang ke rumahnya. Namun perasaan itu tidak serta merta hilang begitu saja. Malah mengakar dan membuat Miranda jengkel sendiri."Mas!""Apa!""Hish, galaknya. Waktu itu Tante Salwa pernah cerita kalau sebenarnya mau jodohin Mas Hendri sama Mbak Embun."Saking terkejutnya, Hendriko hampir saja menginjak rem.
Author's POVHera tampak kaget bersitatap dengan Andrean. Perempuan itu jadi salah tingkah. Mau pergi juga sudah terlanjur basah, karena Andrean telah melihatnya. Ia malu atas apa yang terjadi tujuh tahun yang lalu. Rasanya kata maaf dari Andrean saja tidak bisa menghapus noda yang ia torehkan dalam hubungan mereka. Apalagi jika sampai Andrean tahu bagaimana kehidupannya dengan Rusdy.Sedangkan Andrean tetap tenang, kembali memandang istrinya dan melanjutkan berbincang dengan calon ibu dari anaknya. Ia tidak peduli akan kedatangan Hera di sana. Anggap saja dia juga sama seperti pengunjung lain yang tak dikenalnya.Rusdy, suami Hera yang juga melihat ada Andrean di sana menggiring dua anaknya mencari tempat duduk yang menjauh dari meja Andrean. Dua bocah kecil perempuan dan laki-laki itu lantas di dudukkan di dua baby chair. Anaknya berusia enam tahun dan empat tahun."Pengen makan apalagi?" tanya Andrean pada Embun. Dia menunjukkan daftar snack yang ada di buku menu."Apa ya?" Embun m
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su