Hera's side story ....Setelah anak-anak tidur, Hera kembali ke kamarnya. Dua anaknya tidur di temani pengasuh. Namun di kamarnya sendiri ia tidak mendapati sang suami. Wanita itu melangkah menuju ruang kerja suaminya. Belum juga masuk ia mendengar Rusdy sedang menelepon seseorang dengan begitu mesranya. Hatinya kembali sakit. Rasa sakit yang bertumpuk-tumpuk dalam dadanya karena perselingkuhan yang dilakukan suaminya. Bahkan itu sudah terjadi ketika pernikahannya belum genap dua tahun.Makanya meski di restoran tadi ia sering mencuri pandang pada Andrean, Rusdy tidak peduli. Kenapa sang suami tidak peduli, karena ia sudah punya mainan baru. Rusdy hanya ingin melihat Andrean hancur saja ketika mengambil Hera dari temannya itu. Setelah Hera jatuh dalam dekapannya, sifat Rusdy kembali ke aslinya.Perkiraan Rusdy salah. Meski sudah dikhianati tunangan dan temannya sendiri, Andrean tidak terpuruk seperti sangkaannya. Bagaimanapun hancurnya hati, tapi lelaki itu tetap menomorsatukan peker
Author's POV"Papa ngobrolin tentang kamu dan Miranda dengan Tante Evi dan Om Bagas kemarin," jawab Pak Darmawan sambil memandang Hendriko di hadapannya."Ngobrolin apa?" tanya Hendriko datar. Dia sudah mendengar rencana mereka tadi."Jodohin kamu sama Miranda," jawab Pak Darmawan berterus-terang. Namun cukup membuat dada Bu Salwa berdebar kencang. Takut akan ada perdebatan antara papa dan anak sepagi itu. Beliau tahu bagaimana keras kepalanya si anak dan bagaimana sikap suaminya jika di lawan. Tapi pada Andrean sang suami tidak bisa bersikap sekeras pada Hendriko. Mungkin karena rasa bersalah, membuat Pak Darmawan tidak bisa bersikap kasar pada putra sulungnya."Apa tidak ada gadis lain, Pa? Kami sepupuan dan Miranda sudah kuanggap seperti adik sendiri." Bantah Hendriko. Ia tidak jadi menyendok nasi karena selera makannya tiba-tiba hilang. Entah apa yang dipikirkan mereka, bisa-bisanya mau menjodohkan dirinya dengan Miranda."Dalam agama kita diperbolehkan menikahi sepupu, Hendriko.
Author's POVHabis Maghrib Andrean dan Embun bersiap-siap. Seorang wanita pegawai salon datang di antar Cici untuk merias Embun. Hanya sebentar saja karyawan salon mendadani wanita itu karena Embun ingin dandanan yang natural dan sederhana saja. Embun tahu jika menghadiri jamuan makan, apalagi acara sebesar itu perlu penampilan yang layak dan tepat tanpa berlebihan. Memiliki kesan alami baik dalam berbusana atau berias. Karena dia nanti akan bertemu dengan karyawan perusahaan dalam berbagai jabatan. Terlebih akan bertemu ibu mertua dan tantenya sang suami. Pasti mereka yang akan memperhatikan penampilannya malam itu. Perempuan selalu seperti itu.Gaun berbahan satin denga kombinasi brokat warna pastel menjadi pilihannya untuk dipakai. Gaun yang dibelikan Andrean ketika mereka sedang menghabiskan akhir pekan di pantai waktu itu.Cici dan karyawan salon pamitan setelah menyelesaikan pekerjaannya. "Makasih ya, Mbak Cici.""Sama-sama, Mbak. Kalau ada apa-apa jangan sungkan ngubungi saya
Author's POV"Hamil?" Pak Darmawan mengeryitkan dahi sambil lebih mendekatkan tubuhnya pada sang putra, bertanya untuk memastikan bahwa apa yang didengarnya tidak salah. Apalagi suara Andrean tenggelam oleh musik yang berdentum keras.Andrean yang sudah terlanjur bicara menjawab dengan anggukan kepala. Harusnya ia bisa menahan diri untuk tidak memberitahu siapa pun terlebih dulu. Biarkan mereka tahu ketika kandungan istrinya sudah membesar.Sepertinya Bu Salwa tidak mendengar ucapan anak tirinya. Wanita itu tengah memandang panggung dan menikmati lantunan lagu nostalgia yang dibawakan oleh seorang penyanyi perempuan. Dan Hendriko sendiri tengah menyibukkan diri dengan ponselnya ketimbang peduli dengan suasana dinner malam itu. Mereka berdua tidak mendengarkan ucapan Andrean baru saja.Pak Darmawan langsung berbinar dan tersenyum. Ini kabar yang luar biasa untuknya. Dia akan segera memiliki cucu dari menantu yang dianggap mandul. Sebelum papanya bicara lagi, Andrean berbisik di telinga
"Halo, Mir.""Mas, ada di mana?""Lagi keluar. Ada apa?""Bisa nggak temui aku di Teras Cafe. Please, ada yang mau aku omongin. Tolonglah!""Kamu sama siapa?""Aku sendirian. Teman-temanku sudah pulang.""Baiklah, tunggu di situ." Terdengar dari suaranya, Miranda sedang cemas. Makanya Hendriko bergegas untuk menemuinya.Tidak butuh waktu lama, lelaki itu sampai di depan kafe tempat Miranda menunggu. Di hampirinya gadis yang duduk sendirian di bangku dekat jendela. "Ada apa?" tanya Hendriko setelah duduk."Mas, mau minum apa?""Kopi hitam tanpa gula."Miranda melambai pada pelayan kafe dan pesan minum yang diinginkan sepupunya."Kamu kenapa kusut gitu?" tanya Hendriko pada gadis berwajah polos yang tampak gelisah. Biasanya make up tak ketinggalan jika dia keluar rumah. Tapi pagi ini Miranda terlihat berantakan."Aku mau dijodohin."Hendriko kaget. Melihat wajah kusut Miranda, apa dia tidak mau dijodohkan dengannya. Bukankah selama ini gadis itu memang menyukainya? Ah, mungkin dia suda
Author's POVUntuk beberapa saat mereka terjebak oleh keheningan. Bu Atun yang tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi ikut merasakan canggung dan tak enak hati. Wanita itu beranjak pergi ke dapur belakang.Embun yang melihat Bu Salwa datang menghampiri segera mengangguk dan tersenyum. Kemudian menyalami dan mencium tangan mertuanya.Bu Salwa tercengang melihat perubahan pada diri Embun. Tubuhnya tidak berubah tapi perutnya membesar. Baju yang dikenakan menunjukkan kalau sedang berbadan dua."Embun, k-kamu mengandung?" tanya Bu Salwa dengan nada bingung dan tak percaya. Demi meyakinkan diri, tangan wanita itu meraba perut Embun yang terasa keras dan membulat. "Ya Allah, kamu hamil.""Ya, Bu," jawab Embun sambil tersenyum.Bu Salwa terdiam menatap wanita di depannya. Beliau masih tidak percaya. Namun rabaan telapak tangannya tadi tidak bisa berbohong. Perut itu menyembunyikan bayi di dalamnya."Sudah berapa bulan?""Lima bulan."Lima bulan, sama dengan usia pernikahannya dengan Andrea
Author's POVDi butik, Bu Salwa duduk termenung di belakang meja kerjanya. Beliau memikirkan putra satu-satunya. Sampai sekarang Hendriko belum ada niatan untuk serius menanggapi perjodohannya dengan Miranda. Apalagi setelah tahu Embun sedang mengandung, pasti Hendriko makin kesal terhadap dirinya. Ini yang makin membuat Bu Salwa gelisah.Beliau belum pernah melihat Hendriko seserius itu menyukai perempuan. Sikapnya yang dingin menyusahkannya untuk dekat dengan gadis mana pun. Makanya lebih baik perjodohan itu segera dilaksanakan saja. Semoga saja Miranda yang telah dikenalnya sejak kecil bisa meluluhkan hati putranya. Gadis itu juga sudah mengenal bagaimana Hendriko, jadi tak akan kaget lagi dengan sikapnya yang dingin.Bu Salwa keluar dari ruang pribadinya. Beliau memilih baju hamil yang tergantung di deretan hanger bagian kiri. "Selamat siang, Bu," sapa ramah seorang wanita yang telah berdiri di sebelahnya. Dia langganan butiknya belum lama ini."Selamat siang juga, Mbak Karina. M
Author's POVSudah berkali-kali Karina menghubungi Fariq, tapi panggilannya tidak terjawab. Wanita itu tampak panik sambil memperhatikan seluruh penjuru mall di lantai dasar. Entah berapa kali saja wanita itu menatap pintu masuk. Harusnya dia tidak setakut itu. Kenapa juga harus takut, toh Fariq hanya miliknya dan yang dikandung Embun juga bukan anak Fariq. Tapi entah kenapa hatinya tidak tenang. Ia takut semua orang yang pernah dihasutnya akan tahu kalau ternyata Embun pun bisa mengandung. Bahkan lebih lancar dari dirinya.Karina duduk di bangku kayu dekat kaunter handphone. Tatapannya bergantian antara ponsel dan pintu kaca yang di lalui para pengunjung.Sementara Embun dan Yani baru saja keluar dari sebuah toko sepatu. Yani sedang membelikan sepatu sekolah untuk anak bungsunya. Kebetulan hari itu Yani masuk shift pagi, jadi bisa bertemu dengan Embun. Lantas mereka jalan bersama setelah Embun dapat izin dari suaminya. "Embun, kamu harus hati-hati dengan perempuan gila seperti Karin
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su