Author's POVDi butik, Bu Salwa duduk termenung di belakang meja kerjanya. Beliau memikirkan putra satu-satunya. Sampai sekarang Hendriko belum ada niatan untuk serius menanggapi perjodohannya dengan Miranda. Apalagi setelah tahu Embun sedang mengandung, pasti Hendriko makin kesal terhadap dirinya. Ini yang makin membuat Bu Salwa gelisah.Beliau belum pernah melihat Hendriko seserius itu menyukai perempuan. Sikapnya yang dingin menyusahkannya untuk dekat dengan gadis mana pun. Makanya lebih baik perjodohan itu segera dilaksanakan saja. Semoga saja Miranda yang telah dikenalnya sejak kecil bisa meluluhkan hati putranya. Gadis itu juga sudah mengenal bagaimana Hendriko, jadi tak akan kaget lagi dengan sikapnya yang dingin.Bu Salwa keluar dari ruang pribadinya. Beliau memilih baju hamil yang tergantung di deretan hanger bagian kiri. "Selamat siang, Bu," sapa ramah seorang wanita yang telah berdiri di sebelahnya. Dia langganan butiknya belum lama ini."Selamat siang juga, Mbak Karina. M
Author's POVSudah berkali-kali Karina menghubungi Fariq, tapi panggilannya tidak terjawab. Wanita itu tampak panik sambil memperhatikan seluruh penjuru mall di lantai dasar. Entah berapa kali saja wanita itu menatap pintu masuk. Harusnya dia tidak setakut itu. Kenapa juga harus takut, toh Fariq hanya miliknya dan yang dikandung Embun juga bukan anak Fariq. Tapi entah kenapa hatinya tidak tenang. Ia takut semua orang yang pernah dihasutnya akan tahu kalau ternyata Embun pun bisa mengandung. Bahkan lebih lancar dari dirinya.Karina duduk di bangku kayu dekat kaunter handphone. Tatapannya bergantian antara ponsel dan pintu kaca yang di lalui para pengunjung.Sementara Embun dan Yani baru saja keluar dari sebuah toko sepatu. Yani sedang membelikan sepatu sekolah untuk anak bungsunya. Kebetulan hari itu Yani masuk shift pagi, jadi bisa bertemu dengan Embun. Lantas mereka jalan bersama setelah Embun dapat izin dari suaminya. "Embun, kamu harus hati-hati dengan perempuan gila seperti Karin
Author's POVPuluhan panggilan tampak di layar notifikasi. Ada beberapa pesan masuk juga. Fariq kembali menelepon balik Karina."Ya Mas, kamu di mana?" teriak panik istrinya saat menerima telepon."Mas ada di parkiran mobil.""Astaga, aku tungguin sejak tadi di pintu masuk lantai satu.""Mas nyariin kamu di lantai tiga tadi.""Terus ...." Nada panik Karina makin meninggi."Nggak ada akhirnya Mas turun lagi.""Oh, aku di bawah.""Oke. Kamu tunggu di depan mall. Mas kesitu sekarang.""Iya. Cepetan!"Fariq menutup panggilan. Dan mengendarai mobilnya menuju tempat Karina berada. Setelah mobil berhenti di depan mall, Karina buru-buru masuk."Kenapa aku telepon berulang kali nggak Mas jawab?""Sejak meeting terakhir tadi ponsel Mas silent.""Astaga, aku sampai kebingungan nungguin.""Kenapa bingung. Kamu bilang tadi lagi beli baju, 'kan? Mas cari ke sana!"Karina memutar tubuhnya menghadap sang suami. Dia ingin mendengar cerita suaminya bertemu atau tidak dengan sang mantan. Namun Fariq tid
Author's POV"Lain kali nggak usah pergi belanja kalau bukan Mas yang ngantar. Kalau butuh apa-apa yang urgent catat saja dan berikan pada Pak Karyo biar beliau yang membelinya.""Hu um.""Kapan beli perlengkapan untuk bayi kita?""Setelah acara tujuh bulanan saja, Mas.""Oke." Sebenarnya ada yang ingin dikatakan pada sang istri. Tentang kecemasan yang melebihi dari apa yang sudah ia ucapkan. Perasaannya takut kalau ada yang berniat mencelakai istrinya. Dia juga tahu kalau adiknya sendiri menyukai Embun. Dari cara memandang saja Andrean tahu kalau Hendriko memiliki perasaan itu.Andrean merapatkan tubuhnya kemudian memeluk erat sang istri. Embun yang tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dipikirkan suaminya, membalas pelukan itu meski terhalang oleh perutnya. Dia pikir, Andrean sedang meminta untuk berhubungan intim. Salah duga itu justru berujung manis. Kemesraan tercipta di malam yang belum larut. Dan selimut warna dark grey itu menutup tubuh setelah petualangan manis mereka."Seben
Keduanya memesan makanan dan minuman karena memang sudah waktunya jam makan siang. Usai makan mereka langsung membahas tentang pekerjaan, Fariq sudah hafal bagaimana rekan kerjanya ini. Andrean orangnya tidak bertele-tele.Justru dari Fariq sendiri yang berulang kali di telepon oleh Karina. Perempuan itu makin posesif setelah kemarin melihat Embun tengah mengandung. Dalam setengah hari ini tadi entah sudah berapa kali ia di telepon dan dikirimi pesan. Untung ponselnya dalam mode silent jadi tidak mengganggu pembicaraannya dengan Andrean."Saya akan mengundang Pak Andrean dan istri di acara dinner bulan depan. Datang ya. Nanti saya infokan tanggalnya kalau sudah dekat."Andrean termenung sejenak, lalu buru-buru mengangguk. "Insya Allah, saya akan datang."Setelah selesai bicara, Fariq lebih dulu pamitan dan pergi, sedangkan Andrean masih menyempatkan diri untuk menelepon istrinya.Tepat setelah ia selesai menelepon, pandangannya bentrok dengan tatapan seorang gadis yang baru masuk rest
Author's POV"Pak Andre," sapa Fariq sambil tersenyum. Dibalas senyuman juga oleh Andrean. Fariq kemudian mengenalkan Andrean pada istrinya. Mereka berdua sama-sama mengangguk. Sekarang Andrean tahu mantan madu dari istrinya. Bahkan tanpa bertanya pada Embun, satu per satu orang-orang dari masa lalu istrinya ia ketahui tanpa sengaja."Apa rumah Pak Andrean dekat sini saja?" "Tidak, Pak Fariq. Kebetulan tadi saya lewat sini." Tentu Andrean tidak memberitahu alamatnya. Fariq mungkin tak akan macam-macam, tapi bagaimana dengan istrinya? Bisa saja wanita itu sangat berbahaya."Oke, kami pergi dulu, Pak Andre.""Silakan!"Mereka hanya saling sapa sebentar, setelah Fariq dan Karina pergi, Andrean masuk ke minimarket. Dia mengambil apa yang dibutuhkan saja dan segera ke rumah sakit untuk menjemput istrinya.* * *"Kenapa harus progam bayi tabung, toh kamu juga pernah hamil dua kali. Berarti ada kesempatan besar untuk hamil lagi." Bu Salim terlihat keberatan ketika Karina menyampaikan niat
Author's POVMiranda meraih gelas jus dan menyesap isinya. Tiba-tiba saja grogi melanda. Jadi takut juga membayangkan menikah dengan pria dingin seperti Hendriko. Padahal kemarin ia sangat memujanya. Entahlah, gadis itu bingung sendiri."Kenapa diam?" tanya Hendriko."Kau tidak suka menikah denganku?" Pertanyaan serius itu membuat Miranda berdebar dan bengong. Hati yang sudah tertata rapi kini kembali berantakan karena kebingungan."Mir.""Memangnya Mas mau?"Hendriko menarik tubuhnya dan kembali bersandar pada kursi. Netranya masih menatap sepupunya. Membuat gadis itu makin serba salah. Menyesal juga ia bertanya seperti itu. Memalukan dirinya sendiri saja. Sekian lama ditolak, apa dia akan tunduk sekarang?Miranda ingat, tadi malam mamanya bilang kalau dibandingkan dengan Hendriko, sang mama lebih memilih Andrean. Sayangnya Andrean sudah menikah. Hendriko sendiri juga diam. Perdebatan beberapa hari yang lalu dengan mamanya berakhir dengan tangisan wanita yang telah melahirkannya itu
Author's POVPagi yang cerah. Andrean mengangkat koper untuk di masukkannya ke dalam mobil. Pagi itu untuk pertama kalinya sejak menikah, Andrean mengajak istrinya ke luar kota untuk bekerja.Embun tampil cantik dan segar dengan blouse hamil warna putih dan celana bahan warna army. Dia berdiri di depan pintu sambil menenteng tas warna hitam.Biasanya tiap pagi begini dia telah memakai baju kerjanya dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Namun mulai hari ini dia tidak bekerja lagi. Teman-teman dan beberapa dokter menyayangkan keputusannya. Tapi juga tidak melarang, karena bagi seorang istri berbakti pada suami adalah hal yang utama.Andrean memberi kode pada istrinya untuk diajak berangkat. Embun menoleh pada Mbok Darmi yang berdiri di sebelahnya. "Mbok, kami berangkat dulu, ya," pamit Embun."Hati-hati ya, Mbak. Nikmati waktu kalian sebaik mungkin," pesan wanita sepuh itu sambil tersenyum. "Makasih, Mbok." Embun melangkah menuju mobil. Andrean melambaikan tangan pada Mbok Darmi yang m
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su