"Please!"
"Maaf, saya nggak bisa. Saya bukan dokter. Sebaiknya di bawa ke rumah sakit saja. Ini bisa berbahaya jika dibiarkan dengan penanganan yang salah." Aku bicara dengan suara bergetar. Bertahun-tahun menangani pasien dengan luka berbagai macam, tapi aku tidak segemetar ini.Seorang laki-laki bertubuh kekar menghampiriku. "Tolong, bos kami, Nona. Kami tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Apa yang Anda butuhkan, akan kami carikan."Tidak bisa membawanya ke rumah sakit? Kenapa? Nyawanya terancam tapi orang-orang itu keukeuh tidak ingin mendapatkan pertolongan di rumah sakit."Ini lukanya sangat parah. Harus mendapatkan penanganan segera." Aku berdebat di kamar mewah bernuansa maskulin. Mereka tetap tidak ingin membawa lelaki yang sudah kehilangan banyak darah itu ke rumah sakit. Para lelaki berpakaian serba hitam itu menatapku tajam. Tampaknya mereka membenciku karena terlalu banyak bicara dan penolakan.Mereka benar-benar memaksaku untuk melakukan hal sebesar ini. Yang seharusnya dilakukan oleh dokter bedah. Tapi ... kenapa pria itu bisa tertembak? Siapa yang melakukannya dan sekarang kesannya seperti di rahasiakan. Rumah dari lantai satu hingga lantai dua juga rapi, tidak ada bekas keributan di sini. Apa pria itu seorang residivis?Aku kembali di kejutkan oleh pintu yang dibuka dari luar. Seorang laki-laki usia enam puluhan yang memakai jas warna abu-abu masuk dan langsung mendekati pria muda yang masih kesakitan. "Tolong putraku, aku akan membayarmu berapa pun itu," pintanya sambil menatapku. Aku makin gemetar dan keringat dingin membasahi pelipisku.Kenapa aku dihadapkan pada situasi yang sulit ini?Pria yang bersandar pada kepala ranjang masih menahan sakit, tapi tidak banyak bergerak. Rupanya mereka juga tahu kalau posisi luka tidak boleh lebih rendah dari posisi jantung. Siapakah mereka ini? Dan pria bernama Hendri itu tidak sepanik orang-orang yang terkena luka berbahaya dan mengancam nyawa. Meski kesakitan, dia hanya diam dan sesekali meringis menahan sakit.Aku tidak boleh diam mematung, aku tidak boleh diam jika ada pasien yang membutuhkan pertolongan. Terlebih mereka semua memaksaku untuk melakukannya. Setidaknya aku bisa melakukan pertolongan pertama."Ambilkan saya kain kasa. Kalau nggak ada, ambilkan handuk saja," kataku sambil naik ke atas tempat tidur. Dan duduk bersimpuh di samping pria itu. Wajahnya terlihat biasa saja, seperti sudah terbiasa dengan luka seperti ini.Bu Atun memberikan beberapa handuk padaku. Segera kubalut luka itu dengan menekan pembuluh darah yang lebih dekat dari jantung agar bisa menghentikan pendarahan. Yang terpenting aku harus bisa menghentikan pendarahannya lebih dulu, sambil berpikir keras bagaimana aku membujuk mereka agar pergi ke rumah sakit saja.Melihat luka dan peluru yang bersarang di lengan itu, penembakan di lakukan dari jarak dekat. Sebab semakin besar kecepatan peluru, maka makin parah luka dan kerusakan jaringan. Aku tidak tahu ini peluru jenis apa.Pendarahannya mulai berhenti."Peralatan apa yang kamu butuhkan? Biar kami persiapkan." Lelaki setengah baya bicara dan menatapku penuh pengharapan."Maaf, pasien butuh di evakuasi segera. Ini butuh dokter bedah untuk mengeluarkan proyektil pelurunya. Saya hanya bisa melakukan perawatan tapi tidak bisa mengeluarkan timah panas ini. Segera ambil keputusan untuk membawanya ke rumah sakit sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, karena korban bisa saja keracunan timah." Semoga mereka paham dengan penjelasanku."Kamu perawat, tentu kenal dengan banyak dokter. Suruh dokter bedah datang ke sini. Aku akan membayar berapa pun yang dia minta." Lelaki bernama Hendri bicara padaku. Kami berpandangan dengan jarak yang sangat dekat."Akan saya antarkan Anda ke dokter bedah.""Aku tidak ingin ke rumah sakit.""Ini bukan ke rumah sakit, tapi ke rumah pribadinya." Aku tak punya pilihan selain mengatakan hal itu. Walaupun mungkin aku akan di marahi oleh Pak Nanda karena melibatkan beliau dengan urusan yang tidak jelas begini."Di mana rumahnya?""Di pinggiran kota.""Antarkan kami." Lelaki setengah baya itu bicara padaku kemudian menyuruh para anak buahnya untuk segera membawa putranya keluar.Aku tidak bisa berkutik lagi selain mengikuti mereka. Jelas saja Pak Nanda akan marah padaku. Ya Allah, peristiwa demi peristiwa datang bertubi-tubi.Tergesa-gesa aku mengikuti mereka yang memapah lelaki muda menuruni tangga. Meski terluka parah, dia memilih berjalan kaki saja untuk keluar rumah.Mobil melaju kencang membelah pekat malam. Aku duduk di samping pria berbadan besar yang sedang mengemudi. Sesekali aku mengarahkan sebagai petunjuk jalan. Malam ini aku pasrah. Aku mempertaruhkan tentang hidupku. Hidup yang tak lagi berarti sejak perpisahan dengan laki-laki yang telah membersamaiku selama sepuluh tahun ini.Kami telah sampai di depan sebuah rumah bercat warna putih. Aku segera turun dan menghampiri seorang satpam yang sedang memperhatikan kami. Sebenarnya laki-laki muda itu tidak mengizinkan aku untuk masuk dan bertemu dengan dokter Nanda. Karena dokter bedah itu sedang istirahat. Tapi aku memaksa dan lelaki berpakaian warna putih biru itu masuk ke dalam. Tidak lama kemudian seorang pria berperawakan tinggi keluar menemuiku.Aku mengajak dokter Nanda duduk dan menceritakan maksud kedatanganku. Dokter berkacamata itu terbelalak kaget. Namun dengan tenang dokter berusia empat puluh lima tahun itu menyarankan agar aku mengajak mereka langsung ke rumah sakit."Selamat malam, Dokter." Tiba-tiba saja Ayah dari pria yang tertembak itu berada di antara kami. Pria yang bernama Darmawan. "Tolong putra saya. Tolong keluarkan saja peluru itu dari lengannya. Saya akan membayar berapa pun itu.""Ini bukan soal bayarannya. Tapi saya tidak bisa melakukannya di rumah. Mari kita ke rumah sakit."Lelaki itu menolak. Bahkan dia memerintahkan anak buahnya untuk membawa anaknya turun. "Tolong keluarkan pelurunya saja, biar perawatannya nanti akan dilakukan oleh Mbak ini." Pak Darmawan memandang ke arahku. Sekali lagi aku hanya bisa menatapnya saja. Lelaki itu sungguh pemaksa.Dokter Nanda tidak bisa mengelak sepertiku. Beliau menjelaskan kemungkinan terburuk ketika dia akan melakukan tindakan mengeluarkan peluru itu. Bisa jadi akan terjadi pendarahan, infeksi, kerusakan jaringan. Untuk meminimalisir butuh persiapan yang tepat."Lakukan saja, Dokter. Saya percaya dengan, Anda!"Pada akhirnya aku membantu dokter Nanda dengan perlengkapan seadanya. Beliau melakukan prosedur kilat. Tanpa adanya ronsen. Padahal untuk mengeluarkan sebuah peluru harus menjalani banyak prosedur. Terutama juga butuh alat ultrasonografi untuk mempermudah mencari tahu letak peluru. Namun karena semua alat itu tidak tersedia di rumahnya. Maka Dokter Nanda memeriksa fisik pasien dengan perlengkapan seadanya. Beliau bisa menilai jenis senjata api apa yang melukai pria itu. Beliau juga bisa membaca kecepatan peluru dan jarak tembakan yang di duganya tidak dari jarak yang jauh. Aku tahu kalau dokter ahli bedah ini juga menyimpan banyak pertanyaan dan rasa penasaran. Namun baginya sekarang, cepat melakukan pekerjaannya dan orang-orang itu pergi dari rumahnya.Satu jam yang melelahkan. Akhirnya peluru itu bisa keluar dari bahu pria bernama Hendri. Daya tahan tubuhnya cukup kuat sehingga tak membuat Hendri pingsan. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan peristiwa menakutkan seperti ini.Dokter Nanda memperlihatkan peluru yang di letakkan di atas tisu padaku. "Ini peluru apa, Dok?" tanyaku lirih."Entahlah, ada tulisan FN kalau kamu melihatnya dengan jeli."Aku enggan memperhatikannya. Aku lebih fokus pada dokter Nanda yang sedang menulis resep di sebuah kertas biasa tanpa di tanda tangani olehnya. "Ini obat terbaik semua. Semoga apotek mau memberikannya tanpa ada surat keterangan jelas dari saya," ucap dokter Nanda sambil memberikan catatan itu pada Pak Darmawan. Tentunya dokter yang kukenal itu tidak mau menanggung resiko apapun jika ternyata pria yang ditolongnya ternyata residivis atau ODP.Dokter Nanda serius memandangku. "Mungkin malam ini dia akan demam. Jaga suhu tubuhnya agar tetap hangat dan menyelimutinya. Jangan sampai dia mengalami hipotermia yang bisa mengancam nyawanya.""Ya, Dok.""Hati-hati, Suster!" pesannya padaku. Aku mengangguk dan pergi bersama mereka.Pak Darmawan menurunkan seorang anak buahnya di depan sebuah apotek. Kami menunggu karena antrian sangat panjang. Hendri yang lengannya terbalut perban hanya diam saja sambil memejam.Lelaki kerempeng di sana tampak sedang menjawab pertanyaan dari petugas apotek. Namun akhirnya obat berhasil di beli."Kamu rawat Hendri sampai kondisinya pulih. Aku akan membayarmu mahal," kata Pak Darmawan ketika kami sudah sampai di rumahnya. Kamar yang tadi penuh bercak darah sekarang sudah bersih, rapi, dan wangi.Lelaki berbadan kekar itu membantu bos mudanya berganti pakaian. Sedangkan aku menunggu di luar sambil mempersiapkan obat yang harus di minum. Sementara Bu Atun membawakan nampan berisi makanan dan air minum."Besok saya shif siang, Pak.""Jam berapa?""Jam dua. Sebelum jam dua saya harus sampai di rumah sakit.""Anak buah saya akan mengantar dan menjemputmu. Mereka akan membawamu kembali ke rumah ini.""Nggak usah, Pak. Saya akan berangkat sendiri seperti biasa. Daripada nanti saya jadi pusat perhatian.""Tapi kamu harus janji akan datang ke sini?"Aku mengangguk pada pria yang sebenarnya terlihat baik itu. Tapi entahlah, karena apa yang terjadi terlihat sangat misterius."Bu Atun kasih makan dulu buat Mas itu. Dia harus makan setelah kehilangan banyak darah. Setelah itu saya akan menyuruhnya minum obat."Bu Atun mengangguk dan bicara dengan pria itu. Aku memperhatikannya dari ambang pintu kamar. Setelah beberapa saat membujuk dan tidak berhasil, aku mendekat. "Makanlah, Anda harus minum obat," bujukku."Mana obatnya?""Anda harus makan dulu, karena ini obat keras. Lagian Anda juga tidak mendapatkan infus jadi tidak ada cairan yang masuk.""Aku bisa minum obat tanpa makan," paksanya."Jangan keras kepala. Saya tidak ingin di salahkan jika terjadi sesuatu dengan, Anda.""Aku tak akan mati semudah itu. Mana obat yang harus kuminum."Kusentuh kening pria yang mulai menggigil. Dan benar, suhu tubuhnya mulai naik. Kuambil piring dari tangan Bu Atun. "Cepat makan dan saya akan memberikan Anda obat. Suhu tubuh Anda mulai panas. Sebentar lagi pasti demam." Terpaksa aku menyuapinya. Namun, dia tetap enggan membuka mulut. Beberapa kali kucoba tapi dia tetap enggan makan. Kalau anak kecil aku bisa membujuk dan mengajaknya bercanda biar mau makan, tapi ini ....Piring kukembalikan pada Bu Atun. "Cari perawat lain saja. Saya mau pulang karena waktunya saya harus istirahat. Besok saya kerja," ucapku karena emosi."Tunggu, Nona," lelaki berbadan kekar yang sejak tadi berdiri di dekat jendela kamar itu menahanku yang hendak melangkah.Dan dari arah pintu kamar, masuklah Pak Darmawan. "Hendriko, tak usah membantah. Apa kamu ingin mati?""Itu kan yang diinginkan oleh anak kesayangan Papa?" Hendri menjawab dengan sinis. Dari sini aku bisa menangkap kalau mereka sedang terlibat konflik dalam keluarga.Anak kesayangan? Bukankah mereka berarti bersaudara? Kenapa antar saudara harus bertikai dengan menggunakan senjata api begini? Apa ini alasan mereka tidak mau ke rumah sakit yang akan berujung pengusutan oleh pihak aparat?Aku yang merasa lelah dan mengantuk tidak menghiraukan perdebatan papa dan anak. Aku diam memandang kamar yang minim perabot dan terlihat maskulin.Akhirnya pria muda itu mau makan meski tidak dihabiskannya. Kini giliranku memberikan beberapa obat yang mengandung pereda nyeri, antibiotik, dan untuk meredakan demam."Jaga dia malam ini, Suster. Orangku akan membawakan ranjang lipat ke ruangan ini," ucap Pak Darmawan."Biar saya tidur di luar saja, Pak.""Kamu harus menjaganya. Malam ini aku akan memberikan sebagian gajimu. Berapa nomer rekening kamu?""Maaf, saya nggak ingat.""Baiklah, saya akan memberikan uang cash.""Nanti saja setelah pekerjaan saya di sini sudah selesai, Pak," tolakku."Oh ya, biar Bu Atun menemani saya malam hari di sini!" pintaku."Baiklah." Pak Darmawan memerintahkan beberapa anak buahnya untuk menyiapkan tempat tidurku di kamar ini."Bu Atun, ambilkan pakaian ganti untuk Suster ...." Kalimat itu mengambang dan Pak Darmawan memandangku. "Siapa namamu?""Panggil saja saya Embun.""Oke. Ambilkan pakaian ganti untuk Embun." Setelah memerintahkan ART-nya, lelaki itu memandang putranya sejenak lantas ke luar ruangan.Beberapa orang laki-laki masuk sambil membawa sebuah sofa yang kemudian diubah menjadi tempat tidur. Diletakkannya ranjang instan itu mepet dekat dinding. Aku akan menidurinya bersama Bu Atun.Tak lama kemudian wanita itu datang sambil membawakan pakaian untukku. Sebuah tunik dan celana panjang. Wangi dan terlipat rapi. Entah milik siapa. Kalau bajuku tidak ternoda darah, aku tidak akan memakainya."Mbak, baju ini mungkin kebesaran sedikit. Tapi bisa Mbak pakai untuk sementara. Biar bajunya Mbak yang terkena darah besok saya cuci." Wanita itu memberikan baju itu padaku."Nggak usah, Bu. Saya akan mencucinya sendiri."Benar, baju itu kebesaran di tubuhku. Aku menggunakan kamar mandi yang ada di ruangan itu untuk berganti pakaian.* * *Suara Azan Subuh di kejauhan membuatku terbangun. Rasanya berat sekali mata ini terbuka dan tubuh bangkit dari pembaringan. Mungkin baru satu setengah jam aku tidur setelah semalaman begadang. Pria itu mengalami demam tinggi hingga menggigil. Beberapa selimut aku tangkupkan di tubuhnya yang jangkung. Seperti yang dikatakan dokter Nanda, hampir saja Hendri mengalami hipotermia.Aku pinjam mukena pada Bu Atun. Aku Salat di kamar itu juga karena kamar Bu Atun masih ada Pak Wahab, lelaki yang menjemputku tadi malam.Meski keadaannya belum benar-benar membaik, tapi panas tubuhnya sudah menurun. Hendri bahkan sudah bisa berdiri siang itu, sepertinya dia memaksakan diri sekali. Di cegah pun percuma, dia pria yang keras kepala."Saya harus pulang karena sebentar lagi saya masuk kerja," ucapku setelah memberikan obat yang harus diminum siang itu."Pulang jam berapa?" tanyanya datar."Jam sepuluh malam.""Biar dijemput oleh sopirku.""Nggak perlu."* * *Aku duduk di sebelah Yani yang sedang minum teh di kursi ruangan kantor kami. Aku mengambil gelas teh lain yang tadi di buatkan Yani untukku. Rasanya lama sekali menunggu jam sepuluh malam. Sungguh capek dan mengantuk malam ini. Rasanya tubuhku ingin segera rebah saja. Menunggu satu jam lagi kenapa terasa lama sekali."Embun, kamu kenapa? Kelihatan lelah begitu. Kamu nggak tidur semalaman?"Aku masih menyesap teh. Apa harus kuceritakan pada Yani tetang peristiwa tadi malam?"Kamu masih mikirin mantan kamu itu?" tanya Yani lagi.Aku tersenyum getir. Kejengkelan Yani melebihi kekecewaan yang aku rasakan sendiri. Yani tahu bagaimana aku dan Mas Fariq melewati sepuluh tahun kebersamaan kami. Dialah saksi susah senangku bersama pria yang kucintai sepenuh hati. Dan sekarang semua tinggallah kenangan yang amat menyakitkan."Sudah setahun yang lalu, lupakan itu. Kamu masih muda, cantik juga. Masih banyak kesempatan untuk mendapatkan pria yang jauh lebih baik daripada Mas Fariq.""Aku sekaran
Hanya sekilas saja pria itu menatapku, kemudian melangkah ke sebuah ruangan dengan pintu kayu jati yang sangat megah. Aku tidak tahu itu ruang apa.Bu Atun menarik pelan tanganku untuk menuju ke dapur. Aku memilih makan di kursi dapur, rasanya tak pantas aku makan di ruangan dengan perabotan mahal itu. Meja makannya saja terbuat dari kayu jati tebal dengan pelitur mengkilat.Di atas meja masih ada makanan untuk sarapan tadi. Tampaknya tuan rumah sudah selesai makan."Tadi itu siapa, Bu?" tanyaku lirih pada Bu Atun setelah memastikan tidak ada orang di ruangan itu selain kami."Namanya Mas Andre tadi, Mbak. Putra sulungnya Tuan.""Oh." Aku lebih mendekati Bu Atun lagi. "Apa dia yang menembak Mas Hendri?"Bu Atun belum sempat menjawab, masuklah Bu Salwa. Aku kembali duduk setelah mengangguk sopan pada wanita yang rambutnya agak bergelombang terurai sebahu. Hari ini beliau hanya pakai gaun biasa bercorak bunga-bunga. Tapi penampilan sederhana itu tetap terlihat memesona. "Siapa yang data
Usai mencuci dan menjemur pakaian. Aku merebahkan diri di ranjang. Saat begini baru kurasakan tubuh yang terasa letih. Aku menatap langit kamar dengan plafonnya yang baru di cat oleh ibu kos beberapa minggu yang lalu. Wanita pemilik kosan yang sangat baik padaku. Dulu Yani yang membantuku mencari kosan setelah putusan sidang cerai di pengadilan.Ingat cerai membuatku ingat Mas Fariq. Sejak semalam pesannya belum aku buka. Ponsel di meja sebelah tempat tidur kuambil dan membuka aplikasi pesan.[Embun, bisa kita bertemu?][30 hari lagi masih ada kesempatan untuk kita membicarakan hubungan ini.]Tidak kuteruskan lagi membaca deretan pesan selanjutnya. Rujuk, itulah intinya yang dia inginkan. Kalau aku sanggup hidup di madu, tentu saja aku tidak akan mengajukan gugatan cerai. Jika aku bersedia rujuk, aku akan jadi istri keduanya. Aku tersenyum simpul.Sepuluh tahun berakhir sia-sia. Aku terpaksa merelakan sebuah hubungan yang pernah kuperjuangkan. Sampai detik perpisahan kami, orang tua M
"Sebentar saya ambilkan." Aku melangkah cepat keluar kamar dan menuju dapur. Bu Atun kenapa lupa pula menaruh sendok di piring. Hendri makan dengan menggunakan tangan kirinya. Aku menunggu pria itu hingga selesai makan. Tapi yang membuatku jengkel, dia makan sambil melihat layar ponselnya. Makan satu suap meletakkan sendok, lalu memegang ponsel. Kapan mau selesai, sedangkan jam terus berputar dan aku harus segera berangkat ke rumah sakit."Maaf, bisakah agak cepat makannya. Saya harus segera berangkat ke rumah sakit." Hati-hati aku bicara pada lelaki itu. Bagaimanapun aku di bayar untuk merawatnya, harus sabar dan tidak boleh membuatnya tersinggung."Kenapa harus menungguku? Kalau mau berangkat sekarang, pergi saja," jawabnya angkuh. "Anda harus minum obat." Aku masih memegang kantung plastik berisi obatnya."Tinggalkan saja. Aku bisa meminumnya sendiri."Bagaimana jika dia tidak meminumnya? Kenapa juga aku harus cemas. Toh, itu badan dia sendiri, sakit juga di rasakaannya sendiri.
"Selamat malam, Suster. Infsus untuk pasien di kamar nomer delapan sudah mau habis," seorang wanita setengah baya memberitahu kami. Tanpa menunggu yang lain, aku lekas berdiri. Dan Yani sudah menyodorkan jenis infus yang sesuai dengan catatan pasien padaku. Ini infus kedua untuk pasien.Bergegas aku ke kamar VIP nomer delapan. Aku tidak sampai mengetuk pintu karena pintu kamar sedikit terbuka. Aku tersenyum pada pasien dan tiga orang yang ada di dalam. Dan satu di antara dua pria itu aku mengenalnya. Andre. Apa hubungan laki-laki ini dengan pasien yang sedang menjalani perawatan karena typus.Setelah selesai mengganti infus dan memastikan cairan itu mengalir dengan lancar, aku segera keluar. Tapi baru beberapa langkah meninggalkan tempat itu, ada yang memanggilku. "Tunggu!"Andre berjalan menghampiriku. "Kamu bekerja di sini?" tanya laki-laki itu."Iya," jawabku singkat."Bagaimana perkembangan lukanya Hendri?" tanyanya dengan nada dingin."Alhamdulillah." Itu saja jawabanku. Aku tida
"Saya bawa motor," jawabku pada lelaki yang berpakaian serba hitam itu."Saya ikuti di belakang."Aku tidak menolak. Memang lebih baik kalau aku tidak sendirian. Mengingat sudah hampir jam sebelas malam. Kulambaikan tangan pada Bu Atun yang masih berdiri di depan pintu samping. Lantas aku menstater motor dan pergi. Lelaki yang di suruh mengantarkan mengikutku dengan jarak yang lumayan dekat.Kosan sangat sepi. Lampu-lampu kamar sudah padam semua. Aku turun dari motor dan membuka pintu pagar. "Mas, terima kasih ya," ucapku pada pengawalnya Hendri.Lelaki itu mengangguk dan tetap mengawasi hingga aku berada di dalam pagar. Aku memasukkan motor di sebuah ruangan yang dikhususkan untuk menaruh kendaraan penghuni kosan. Setelah melepas helm, menaruh tas, dan menanggalkan jaket, aku langsung mengambil handuk untuk mandi. Bandanku terasa lengket dan tak sabar untuk lekas membersihkan diri. Biasanya aku merebus air dulu, tapi kali ini aku langsung mandi air dingin biar bisa segera istirahat.
"Lukanya sudah kering. Tapi untuk sembuh total membutuhkan waktu yang lama. Minimal enam mingguan. Rajinlah minum obat biar lekas pulih. Terus perban harus di ganti, paling nggak dua kali sehari. Soalnya ini bekas luka tembak dan bukan bekas operasi biasa. Pastikan perban tetap kering agar nggak terjadi infeksi.""Apa tidak ada obat yang lebih baik lagi dari resep yang diberikan oleh dokter itu?""Ini sudah obat terbaik yang Pak Nanda beri. Bersabarlah, memang butuh waktu untuk menyembuhkan luka tembak ini."Aku memberikan obat di tangannya dan ia segera meminumnya. "Berikan obatku untuk nanti siang," pintanya sambil memandangku."Anda akan meminumnya sekalian?" tanyaku curiga."Aku belum tentu bisa pulang. Biar kubawa obat itu."Segera kuambil empat obat yang harus diminum siang nanti. Obat kubungkus dengan plastik kecil yang ada di situ. "Minumlah tepat waktu, jika ingin pulih dengan cepat. Sebab ini bukan seperti di film-film. Hari ini kena tembak, besok sudah pulih dan baku hantam
"Tapi kenapa mereka bermusuhan, Bu?" tanyaku makin penasaran. Sudah terlanjur di ceritakan, aku jadi ingin tahu banyak kehidupan mereka.Sebelum menjawab, Bu Atun minum seteguk air. "Sebenarnya Mas Andre ini baik. Hanya saja ada yang memprovokasinya. Yang membuat mereka selalu terlibat salah paham. Bu Salwa sendiri juga sangat sayang pada Mas Andre. Dulu hubungan mereka sangat baik, tapi mulai berubah ketika Mas Andre duduk di bangku SMP. Saya sudah mengenal Tuan Darmawan sejak beliau masih bujangan, Mbak. Suami saya teman baik beliau. Makanya saya tahu kisah mereka. Perusahaan itu sebenarnya milik mertuanya Tuan. Milik orang tuanya Nyonya Lili, mamanya Mas Andre. Tapi yang menjadikannya besar seperti sekarang ini ya Tuan. Kakek, nenek, dan mamanya Mas Andre sudah meninggal. Jadi Mas Andre satu-satunya pewaris. Neneknya Mas Andre belum lama meninggal, Mbak. Baru sekitar tiga tahunan ini."Oh, apa karena ini ada yang mengatai Hendri sebagai benalu. Apa mungkin Andre setega itu pada adi
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su