Share

Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat
Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat
Author: Lis Susanawati

Part 1 Bertemu Mantan

last update Last Updated: 2022-09-22 07:36:54

"Embun, ada mantan kamu sama istrinya," bisik Yani padaku. Sontak aku memandang ke pintu masuk kafe.

Benar saja. Beberapa langkah di hadapanku, seorang pria tegap yang lengan kirinya digelayuti manja seorang perempuan yang usianya jauh lebih muda dariku masuk kafe dan mencari tempat duduk. Jiwaku bergejolak, ada cemburu yang membuncah dan sakit yang tak dapat terlukiskan dengan kata-kata. Sepuluh tahun kami hidup bersama, sepuluh tahun juga kami berjuang untuk mendapatkan putra. Tapi hingga kesabaran mertuaku habis, aku tak kunjung mengandung. Hingga aku harus merelakan pria yang sangat kucintai menikahi perempuan pilihan keluarganya.

"Kita menghindar saja," ajak Yani. Dia ingin menyelamatkanku dari situasi yang tentu tidak nyaman bagi siapa saja yang mengalami peristiwa sepertiku. Lagian kami juga sudah selesai makan.

Belum juga kami beranjak, dari pintu muncul mantan mertuaku. Dua orang yang tampak selalu kompak dan harmonis di usia senjanya bergabung duduk dengan putra dan menantu barunya. Dua bulan yang lalu, aku masih menjadi menantunya. Sebelum putusan pengadilan agama mengesahkan perpisahan kami.

Ramainya pengunjung kafe, membuat mereka tidak menyadari kehadiranku bersama Yani. Justru aku bingung, apakah aku harus menyapa mereka duluan atau diam saja?

"Yan, kamu tahu apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus nyapa duluan?" tanyaku bingung.

"Nggak usah, biarin aja. Pura-pura aja nggak ngeliat mereka." Yani menjawab dengan kesal dan tidak peduli. Dia ikut sakit hati juga ketika orang tuanya Mas Fariq ingin agar aku mengizinkan putranya menikah lagi. Demi mendapatkan keturunan untuk melanjutkan generasi mereka selanjutnya. Sebab Mas Fariq adalah anak satu-satunya.

Kuraih gagang gelas dan kuhabiskan teh hangat yang tadi kupesan. Dada makin terasa debarannya. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat kalau Mas Fariq tidak seceria istri dan kedua orang tuanya. Lelaki itu lebih sibuk dengan ponselnya. Bahkan ia terkesan tak peduli pada perempuan di sebelahnya. Dia hanya bicara ketika seorang pramusaji datang menanyakan pesanan.

"Kalau nggak nyapa aku nggak enak, Yan."

"Ah, kamu ini terlalu baik. Mereka aja nggak peduli bagaimana perasaanmu. Bertahun-tahun mendampingi anaknya meniti karir, eh seenaknya saja ngasih madu buat kamu."

"Mereka ingin cucu dan aku nggak bisa memberikannya." Sebenarnya hatiku tak seikhlas ini. Aku merasakan sakit yang masih terasa hingga kini. Tapi aku tidak boleh terlalu mengikutkan emosi. Inilah caraku untuk mengobati diri sendiri.

Akhirnya aku berdiri dan meraih sling bag di atas meja. "Yan, ayo kita pulang. Kamu tunggu di luar biar aku samperin mereka sebentar."

Yani berdecak lirih. Kemudian dengan jengkelnya meninggalkan aku yang berdiri mematung. Pada saat yang bersamaan, Mas Fariq menatap ke arahku. Binar bahagia di netra itu jelas terlihat olehku. Pria itu hendak berdiri, tapi aku segera menghampiri. Daripada istrinya nanti salah paham jika suaminya mendekati mantan istrinya.

"Assalamu'alaikum," sapaku ramah dan menguatkan hati pada mantan mertua yang tengah berbincang.

Pak Salim dan istrinya, juga perempuan muda bernama Karina memandang ke arahku. Bu Salim tampak terkejut dan langsung berdiri memelukku. "Embun, Ya Allah, Nak. Apa kabar?" Beliau memelukku. Dua bulan ini kami tidak pernah bertemu.

Aku berusaha untuk menahan air mata yang sudah mengaburkan pandangan. Ternyata aku tidak sekuat itu. Aku tak bisa bersikap biasa setelah sepuluh tahun kebersamaan kami. "Alhamdulillah, kabar saya baik, Tante."

Wanita yang telah melepaskan pelukan kaget ketika aku memanggilnya dengan sebutan Tante. Tapi beliau diam saja. Mungkin untuk menjaga perasaan menantu barunya. Lantas kusalami mantan papa mertua, kemudian menyalami Karina, dan aku menangkupkan kedua tangan pada Mas Fariq dan membiarkan tangannya yang hendak menyalami mengambang di udara.

"Duduklah sini. Ayo, bergabung makan malam bersama dengan kami," ajak Bu Salim dengan ramah.

Aku tersenyum dan menangkupkan kedua tangan ke dada. "Terima kasih, Tante. Maaf, saya sudah makan. Saya permisi dulu, saya ditunggu Yani di luar. Assalamu'alaikum."

Aku pergi setelah salamku di jawab. Tidak kulihat bagaimana ekspresi wajah Mas Fariq, aku belum sanggup bertatapan muka terlalu lama dalam jarak yang dekat. Namun aku bisa melihat kalau Karina tidak suka melihat kehadiranku di antara mereka. Istri mana yang tidak cemburu melihat suaminya bertemu sang mantan.

Masa iddahku tinggal tiga puluh hari lagi. Sebenarnya mamanya Mas Fariq memintaku menjalani masa Iddah di rumahnya jika tidak mau tinggal seatap dengan istri muda putranya.

Apa yang mau ditunggu juga. Sudah pasti aku tidak akan hamil. Lagipula aku juga ingin menenangkan diri setelah sidang panjang perceraian kami. Mas Fariq keukeuh tidak ingin bercerai, bahkan berulang kali mengajakku rujuk. Tapi aku tidak sanggup jika hidup di madu. Tidak sanggup juga menyuruhnya menceraikan Karina. Itu juga tidak diperbolehkan dalam agama. Makanya aku lebih baik pergi untuk mengobati luka hati.

"Yan, ayo pulang," ajakku pada sahabat sekaligus temanku bekerja sebagai perawat. Kami pergi menaiki taksi online yang sudah di pesan oleh Yani.

Sepanjang perjalanan pulang, Yani tidak mengajakku bicara. Mungkin dia jengkel karena aku masih mau saja bersikap baik pada mereka. Keluarga yang menjadikan aku janda di usia tiga puluh tiga tahun. Ah, akulah yang sebenarnya menjandakan diri, karena tidak sanggup hidup berbagi suami.

Taksi berhenti tepat di depan kosan. Sejak sidang pengadilan di putuskan, aku pergi dari rumah Mas Fariq dan tinggal di kosan. Aku tak dapat pembagian rumah, karena rumah yang selama ini kami tempati adalah rumah yang dibeli oleh Papa mertua. Tapi aku dapat sejumlah uang dari Mas Fariq. Dan uang itu sampai sekarang masih beku di bank. Aku tidak menggunakan sepeserpun.

Setelah aku turun, taksi pergi untuk mengantarkan Yani pulang. Aku membersihkan diri di kamar mandi, kemudian Salat Isya. Setelah itu berbaring di ranjang. Dalam remang cahaya lampu kamar, kenangan itu kembali membayang.

Masih segar dalam ingatan bagaimana Papa dan Mamanya Mas Fariq memanggil kami untuk makan malam di rumahnya, beberapa bulan yang lalu.

Di musim kemarau itu aku seperti di sambar petir di malam hari. Saat dengan penuh rasa bersalah, Papanya Mas Fariq mengutarakan pendapat yang sudah disepakati bersama istrinya. Berulang kali mereka mengucapkan kata maaf dan maaf.

Kala itu Mas Fariq menentang keras dan langsung mengajakku pulang tanpa pamitan. Seminggu kemudian ibu mertuaku datang ke rumah, kebetulan aku baru saja pulang dari shif malam sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta di kota kecil kami.

Beliau memohon padaku agar Mas Fariq mau menyetujui saran mereka. Mama mertua sampai menangis dan memohon dengan amat sangat agar aku menyetujui Mas Fariq menikah lagi. Dan beliau juga berharap agar aku tidak meminta cerai, karena sudah teramat sayang padaku. Bagaimana mungkin seorang ibu bicara begitu padaku yang katanya sudah dianggap sebagai anak perempuannya? Seorang ibu tidak akan menyakiti anaknya.

Ah, menantu tetaplah menantu.

Mas Fariq mengamuk ketika aku membicarakan kedatangan dan permintaan mamanya. Namun sekuat tenaga aku menahannya agar dia tidak pergi ke rumah orang tuanya untuk marah pada mereka.

"Aku nggak masalah nggak punya anak. Kenapa mereka mempermasalahkannya?" teriaknya malam itu. Mungkin tetangga yang mendengar, menganggap kami sedang bertengkar. "Aku mencintaimu dan aku nggak akan menduakanmu. Titik. Jangan rayu aku untuk hal konyol begini," tambahnya berapi-api. Membuatku tertunduk berderai air mata.

Pemeriksaan berulang kali, tak ada satu pun di antara aku dan Mas Fariq yang dinyatakan mandul oleh dokter kandungan. Kami berdua tidak memiliki masalah apa-apa. Namun mereka tetap tidak sabar untuk menunggu kami tetap berusaha. "Usia Fariq sudah banyak. Waktunya ia punya anak. Mama harap kamu paham, Embun."

Aku sendiri sudah tidak sanggup lagi menghadapi tekanan dari mertua. Hingga aku merayu suamiku untuk menyetujui permintaan mereka, daripada aku sendiri dapat tekanan mental. Sepuluh tahun, bukan waktu yang singkat. Mungkin memang sudah saatnya aku mengikhlaskan.

"Berjanjilah kalau kamu nggak akan minta cerai setelah aku menikahi Karina. Jika kamu tidak mau berjanji, aku nggak akan menikah lagi."

Aku hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sungguh, siapa yang rela berbagi suami. Aku benar-benar tidak bisa dan aku tak punya pilihan untuk itu.

Sebulan setelah Mas Fariq dan Karina menikah, aku mengajukan gugatan perceraian. Aku tak sanggup di madu. Terlebih jika memikirkan apa yang dilakukan suamiku di kamar istri mudanya.

Aku ingin mengakhiri semuanya sebelum aku menjadi gila. Lebih baik aku menjauh dan tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan mereka. Mas Fariq membawaku pergi hampir seminggu setelah dia menerima surat panggilan sidang dari pengadilan. Semua orang mencari kami. Orang kantornya, instansi tempatku bekerja juga, terutama kedua orang tua Mas Fariq yang akhirnya jatuh sakit dan membuat Mas Fariq mau pulang.

Sidang perceraian kami berlarut-larut dan sangat melelahkan. Jujur saja, Mas Fariq berharap agar ada keajaiban dengan kehamilanku. Namun nihil juga. Dan sampai sekarang pun setelah keguguran, Karina juga belum mengandung lagi.

Perempuan itu hamil setelah dua bulan menikah, tapi janin itu gugur ketika baru berusia delapan minggu. Setidaknya Pak Salim dan istrinya bahagia, karena menantu barunya bisa mengandung meski keguguran waktu itu.

Aku yang masih terjaga kaget ketika mendengar pintu kamar kos di ketuk pelan dari luar. Pelan aku turun dari pembaringan. Dari gorden jendela kaca, kuintip siapa yang sedang mengetuk pintu. Biasanya kalau teman satu kosan, mereka akan memanggil namaku juga. Tapi kali ini tidak.

Dari cahaya lampu teras kamar, aku melihat ada seorang perempuan dan lelaki setengah baya berdiri menatap pintu kamarku. Dia tidak mungkin orang tuaku. Bapak tidak mungkin bisa membujuk ibu tiriku untuk menjenguk di sini. Bahkan ketika aku memutuskan untuk bercerai saja, mereka malah menentang. Memarahiku kenapa aku tidak ingin bertahan saja. Toh masalahnya di aku yang tidak bisa memberikan anak buat suami. Ah, apa semua ibu tiri memang jahat seperti itu?

Jelas saja ibu tiriku tidak terima, karena setelah aku bercerai dari Mas Fariq, dia tidak akan mendapatkan jatah uang bulanan lagi dari Mas Fariq. Dia juga akan hilang kebanggaan memiliki menantu dari keluarga berada.

Kembali pintu di ketuk. Aku masih bertahan belum membuka pintu. "Mbak," suara wanita itu kembali memanggilku dengan suara lirih.

Kulihat kembali dari balik gorden. Saat wanita itu menoleh aku baru ingat kalau dia adalah seorang ART dari rumah megah di ujung jalan sana. Aku sering melihatnya kalau naik motor mau berangkat kerja. Tapi untuk apa dia mencariku.

Akhirnya aku membuka pintu setelah memakai bergo. Wanita dan lelaki setengah baya itu tampak lega. "Maaf, Mbak. Kami mengganggu istirahat, Mbak. Bos saya mau minta tolong sama, Mbak."

"Minta tolong apa?" tanyaku bingung.

"Mbak, bisa ikut dengan kami. Dan Mbak bisa membawa keperluan darurat untuk pertolongan pertama pada pasien." Wanita itu lagi yang bicara. Sedangkan lelaki di sebelahnya hanya diam saja.

Aku makin di buat tak mengerti. Aku tidak memiliki apa yang di maksud wanita itu. Tentu untuk pertolongan pertama yang kupunya hanya perlengkapan P3K. Sama seperti yang tersedia di rumah-rumah warga.

"Saya nggak punya alat khusus, Bu. Saya hanya perawat rumah sakit, bukan dokter."

"Nggak apa-apa, Mbak. Ayolah segera ikut kami. Tahu kan kalau saya bekerja di rumah besar ujung sana. Rumahnya Pak Darmawan."

Aku mengangguk. Aku tidak bisa berpikir apapun selain ikut mereka. "Sebentar saya ambil jaket dulu."

Mereka membawaku pergi ke rumah itu dengan mengendarai mobil mewah warna putih. Ketika aku pergi, teman kosanku tidak ada yang keluar. Mungkin sebagian dari mereka kerja malam. Sebab kosan itu di huni anak-anak yang bekerja di pabrik. Aku sempat takut kalau di culik.

Di culik? Apa istimewanya diriku hingga perlu banget untuk di culik. Aku janda yang tak punya apa-apa. Bahkan untuk hamil saja aku tak bisa.

Pintu gerbang besar itu terbuka secara otomatis. Tampak ada seorang satpam yang berjaga di sana. Aku di bawa masuk ke rumah megah dan mewah. Ornamen klasik menjadi desain interiornya. Kedua orang itu terus membawaku naik ke lantai dua, meniti tangga marmer putih yang terasa dingin di telapak kaki.

Baru saja menginjak lantai atas, aku di kejutkan oleh suara erangan yang cukup keras dari salah satu kamar. Tubuhku gemetar. Ada apa sebenarnya? Dan rumah sebesar ini hanya di huni para pekerjanya saja. Mana bos yang dimaksud wanita tadi.

Seorang laki-laki berperawakan besar membukakan pintu.

Aku makin kaget ketika melihat di ranjang besar itu berceceran darah dan ada seorang pria muda mengerang kesakitan sambil memegangi lengan kiri bagian atas.

"Namaku Bu Atun, Mbak. Tolonglah Mas Hendri." Wanita itu menuntunku mendekati ranjang majikannya.

"Dia kenapa, Bu?" tanyaku ketakutan sambil memandang pria dengan tubuh tegap yang sedang kesakitan. Keringat membasahi wajah dan tubuhnya.

"Tolong keluarkan peluru ini dari lenganku." Pria bernama Hendri itu yang bicara sambil menahan sakit.

"Apa?" pekikku kaget.

***

Comments (11)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
q mampir sini kk..habis BCA si barra delia
goodnovel comment avatar
siti fauziah
gak ada Lo wanita yg mo di madu
goodnovel comment avatar
Yanyan
wanita mana yg mau di madu walaupun alasannya ingin punya anak.. tapi juga mungkin sebagai ortu pasti sangat ingin mmpunyai cucu.. dilema yg berat.. keputusan berpisah buat embun.. smoga ada jodoh yg lain dan terbaik buat embun
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    Part 2 Situasi yang Rumit

    "Please!""Maaf, saya nggak bisa. Saya bukan dokter. Sebaiknya di bawa ke rumah sakit saja. Ini bisa berbahaya jika dibiarkan dengan penanganan yang salah." Aku bicara dengan suara bergetar. Bertahun-tahun menangani pasien dengan luka berbagai macam, tapi aku tidak segemetar ini. Seorang laki-laki bertubuh kekar menghampiriku. "Tolong, bos kami, Nona. Kami tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Apa yang Anda butuhkan, akan kami carikan."Tidak bisa membawanya ke rumah sakit? Kenapa? Nyawanya terancam tapi orang-orang itu keukeuh tidak ingin mendapatkan pertolongan di rumah sakit. "Ini lukanya sangat parah. Harus mendapatkan penanganan segera." Aku berdebat di kamar mewah bernuansa maskulin. Mereka tetap tidak ingin membawa lelaki yang sudah kehilangan banyak darah itu ke rumah sakit. Para lelaki berpakaian serba hitam itu menatapku tajam. Tampaknya mereka membenciku karena terlalu banyak bicara dan penolakan. Mereka benar-benar memaksaku untuk melakukan hal sebesar ini. Yang seharus

    Last Updated : 2022-09-22
  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    Part 3 Tatapan Dingin

    Aku duduk di sebelah Yani yang sedang minum teh di kursi ruangan kantor kami. Aku mengambil gelas teh lain yang tadi di buatkan Yani untukku. Rasanya lama sekali menunggu jam sepuluh malam. Sungguh capek dan mengantuk malam ini. Rasanya tubuhku ingin segera rebah saja. Menunggu satu jam lagi kenapa terasa lama sekali."Embun, kamu kenapa? Kelihatan lelah begitu. Kamu nggak tidur semalaman?"Aku masih menyesap teh. Apa harus kuceritakan pada Yani tetang peristiwa tadi malam?"Kamu masih mikirin mantan kamu itu?" tanya Yani lagi.Aku tersenyum getir. Kejengkelan Yani melebihi kekecewaan yang aku rasakan sendiri. Yani tahu bagaimana aku dan Mas Fariq melewati sepuluh tahun kebersamaan kami. Dialah saksi susah senangku bersama pria yang kucintai sepenuh hati. Dan sekarang semua tinggallah kenangan yang amat menyakitkan."Sudah setahun yang lalu, lupakan itu. Kamu masih muda, cantik juga. Masih banyak kesempatan untuk mendapatkan pria yang jauh lebih baik daripada Mas Fariq.""Aku sekaran

    Last Updated : 2022-09-22
  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    Part 4 Namamu Siapa?

    Hanya sekilas saja pria itu menatapku, kemudian melangkah ke sebuah ruangan dengan pintu kayu jati yang sangat megah. Aku tidak tahu itu ruang apa.Bu Atun menarik pelan tanganku untuk menuju ke dapur. Aku memilih makan di kursi dapur, rasanya tak pantas aku makan di ruangan dengan perabotan mahal itu. Meja makannya saja terbuat dari kayu jati tebal dengan pelitur mengkilat.Di atas meja masih ada makanan untuk sarapan tadi. Tampaknya tuan rumah sudah selesai makan."Tadi itu siapa, Bu?" tanyaku lirih pada Bu Atun setelah memastikan tidak ada orang di ruangan itu selain kami."Namanya Mas Andre tadi, Mbak. Putra sulungnya Tuan.""Oh." Aku lebih mendekati Bu Atun lagi. "Apa dia yang menembak Mas Hendri?"Bu Atun belum sempat menjawab, masuklah Bu Salwa. Aku kembali duduk setelah mengangguk sopan pada wanita yang rambutnya agak bergelombang terurai sebahu. Hari ini beliau hanya pakai gaun biasa bercorak bunga-bunga. Tapi penampilan sederhana itu tetap terlihat memesona. "Siapa yang data

    Last Updated : 2022-10-05
  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    Part 5 Namamu Siapa?

    Usai mencuci dan menjemur pakaian. Aku merebahkan diri di ranjang. Saat begini baru kurasakan tubuh yang terasa letih. Aku menatap langit kamar dengan plafonnya yang baru di cat oleh ibu kos beberapa minggu yang lalu. Wanita pemilik kosan yang sangat baik padaku. Dulu Yani yang membantuku mencari kosan setelah putusan sidang cerai di pengadilan.Ingat cerai membuatku ingat Mas Fariq. Sejak semalam pesannya belum aku buka. Ponsel di meja sebelah tempat tidur kuambil dan membuka aplikasi pesan.[Embun, bisa kita bertemu?][30 hari lagi masih ada kesempatan untuk kita membicarakan hubungan ini.]Tidak kuteruskan lagi membaca deretan pesan selanjutnya. Rujuk, itulah intinya yang dia inginkan. Kalau aku sanggup hidup di madu, tentu saja aku tidak akan mengajukan gugatan cerai. Jika aku bersedia rujuk, aku akan jadi istri keduanya. Aku tersenyum simpul.Sepuluh tahun berakhir sia-sia. Aku terpaksa merelakan sebuah hubungan yang pernah kuperjuangkan. Sampai detik perpisahan kami, orang tua M

    Last Updated : 2022-10-05
  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    Part 6 Dua Pria Bersaudara

    "Sebentar saya ambilkan." Aku melangkah cepat keluar kamar dan menuju dapur. Bu Atun kenapa lupa pula menaruh sendok di piring. Hendri makan dengan menggunakan tangan kirinya. Aku menunggu pria itu hingga selesai makan. Tapi yang membuatku jengkel, dia makan sambil melihat layar ponselnya. Makan satu suap meletakkan sendok, lalu memegang ponsel. Kapan mau selesai, sedangkan jam terus berputar dan aku harus segera berangkat ke rumah sakit."Maaf, bisakah agak cepat makannya. Saya harus segera berangkat ke rumah sakit." Hati-hati aku bicara pada lelaki itu. Bagaimanapun aku di bayar untuk merawatnya, harus sabar dan tidak boleh membuatnya tersinggung."Kenapa harus menungguku? Kalau mau berangkat sekarang, pergi saja," jawabnya angkuh. "Anda harus minum obat." Aku masih memegang kantung plastik berisi obatnya."Tinggalkan saja. Aku bisa meminumnya sendiri."Bagaimana jika dia tidak meminumnya? Kenapa juga aku harus cemas. Toh, itu badan dia sendiri, sakit juga di rasakaannya sendiri.

    Last Updated : 2022-10-05
  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    Part 7 Kamar VIP

    "Selamat malam, Suster. Infsus untuk pasien di kamar nomer delapan sudah mau habis," seorang wanita setengah baya memberitahu kami. Tanpa menunggu yang lain, aku lekas berdiri. Dan Yani sudah menyodorkan jenis infus yang sesuai dengan catatan pasien padaku. Ini infus kedua untuk pasien.Bergegas aku ke kamar VIP nomer delapan. Aku tidak sampai mengetuk pintu karena pintu kamar sedikit terbuka. Aku tersenyum pada pasien dan tiga orang yang ada di dalam. Dan satu di antara dua pria itu aku mengenalnya. Andre. Apa hubungan laki-laki ini dengan pasien yang sedang menjalani perawatan karena typus.Setelah selesai mengganti infus dan memastikan cairan itu mengalir dengan lancar, aku segera keluar. Tapi baru beberapa langkah meninggalkan tempat itu, ada yang memanggilku. "Tunggu!"Andre berjalan menghampiriku. "Kamu bekerja di sini?" tanya laki-laki itu."Iya," jawabku singkat."Bagaimana perkembangan lukanya Hendri?" tanyanya dengan nada dingin."Alhamdulillah." Itu saja jawabanku. Aku tida

    Last Updated : 2022-10-05
  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    Part 8 Keras Kepala 1

    "Saya bawa motor," jawabku pada lelaki yang berpakaian serba hitam itu."Saya ikuti di belakang."Aku tidak menolak. Memang lebih baik kalau aku tidak sendirian. Mengingat sudah hampir jam sebelas malam. Kulambaikan tangan pada Bu Atun yang masih berdiri di depan pintu samping. Lantas aku menstater motor dan pergi. Lelaki yang di suruh mengantarkan mengikutku dengan jarak yang lumayan dekat.Kosan sangat sepi. Lampu-lampu kamar sudah padam semua. Aku turun dari motor dan membuka pintu pagar. "Mas, terima kasih ya," ucapku pada pengawalnya Hendri.Lelaki itu mengangguk dan tetap mengawasi hingga aku berada di dalam pagar. Aku memasukkan motor di sebuah ruangan yang dikhususkan untuk menaruh kendaraan penghuni kosan. Setelah melepas helm, menaruh tas, dan menanggalkan jaket, aku langsung mengambil handuk untuk mandi. Bandanku terasa lengket dan tak sabar untuk lekas membersihkan diri. Biasanya aku merebus air dulu, tapi kali ini aku langsung mandi air dingin biar bisa segera istirahat.

    Last Updated : 2022-10-06
  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    Part 9 Keras Kepala 2

    "Lukanya sudah kering. Tapi untuk sembuh total membutuhkan waktu yang lama. Minimal enam mingguan. Rajinlah minum obat biar lekas pulih. Terus perban harus di ganti, paling nggak dua kali sehari. Soalnya ini bekas luka tembak dan bukan bekas operasi biasa. Pastikan perban tetap kering agar nggak terjadi infeksi.""Apa tidak ada obat yang lebih baik lagi dari resep yang diberikan oleh dokter itu?""Ini sudah obat terbaik yang Pak Nanda beri. Bersabarlah, memang butuh waktu untuk menyembuhkan luka tembak ini."Aku memberikan obat di tangannya dan ia segera meminumnya. "Berikan obatku untuk nanti siang," pintanya sambil memandangku."Anda akan meminumnya sekalian?" tanyaku curiga."Aku belum tentu bisa pulang. Biar kubawa obat itu."Segera kuambil empat obat yang harus diminum siang nanti. Obat kubungkus dengan plastik kecil yang ada di situ. "Minumlah tepat waktu, jika ingin pulih dengan cepat. Sebab ini bukan seperti di film-film. Hari ini kena tembak, besok sudah pulih dan baku hantam

    Last Updated : 2022-10-06

Latest chapter

  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    S2 Part 144 Senja di Lereng Wilis II

    Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan

  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    S2 Part 143 Senja di Lereng Wilis I

    Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan

  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    S2 Part 142 Speechless II

    Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku

  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    S2 Part 141 Speechless I

    Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny

  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    S2 Part 140 Jamuan Tengah Hari II

    Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,

  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    S2 Part 139 Jamuan Tengah Hari I

    Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi

  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    S2 Part 138 Malam di Singhasari II

    Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah

  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    S2 Part 137 Malam di Singhasari I

    Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen

  • Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat    S2 Part 136 Akad Nikah Kedua II

    Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status