Aku mengambilkan obat dan kuberikan pada Hendri. Dia juga langsung meminumnya. Kubereskan bekas perban kemudian pamitan. "Saya permisi pulang!""Di luar hujan deras. Bajumu juga basah." Dia menunjuk celana bahan, seragam yang aku pakai."Ya, nggak apa-apa," jawabku sambil tersenyum. Malam ini tidak ada adu mulut di antara kami. Meski dengan sikap yang kaku, dia bicara agak panjang tapi tanpa membantahku. Yang katanya susah minum obat pun, dia akhirnya juga mau tanpa protes seperti kemarin."Saya permisi!" Aku melangkah keluar kamar. Menyimpan obat di tempat biasanya kemudian turun ke bawah. Mencuci tangan di wastafel dapur, lantas pamitan pada Bu Atun. Wanita itu mengantarku hingga teras samping. "Tunggu, Mbak."Langkah kami terhenti ketika Pak Wahab dari arah dalam mengejar kami. Di tangannya ada kunci mobi."Mari saya antar.""Nggak usah, Pak. Saya naik motor saja, lagian sudah terlanjur basah juga," tolakku halus."Mas Hendri tadi menelepon supaya saya mengantarkan Mbak Embun pula
Dia masih diam sejenak lantas melangkah pergi. Bu Atun menghampiri dan aku membantunya membereskan meja makan. Sebenarnya aku penasaran mengenai dua pria di rumah besar itu. Orang-orang yang menurutku aneh. Namun kuurungkan niatku untuk bertanya. Setelah membantu Bu Atun mencuci piring aku segera pamit pulang.Angin pagi menyapaku ramah. Membuat tubuhku yang belum mandi ini merasakan kesegarannya. Terkadang ada keinginan untuk pulang, kangen Bapak, kangen Budhe, juga kangen suasana tenang di sana. Tenang jika ibu tiriku tidak sedang mengomel.Aku benar-benar kalut. Masa iddahku sebentar lagi habis. Aku benar-benar jadi insan yang bebas. Menyandang gelar sebagai janda, status yang tak pernah terbesit dalam benakku sebelumnya. Kupikir aku akan bahagia bersama Mas Fariq hingga kami sama-sama menua. Impian itu sekarang sia-sia."Mbak Embun!" Ada yang berteriak memanggilku. Seketika aku menoleh ke seberang jalan depan kosan, saat aku baru berhenti di depan pintu pagar. Di seberang jalan ak
Aku menoleh dan melihat Andrean yang berdiri tepat di sebelahku. "Saya menunggunya," jawabku sambil menunjuk Roy yang sedang membayar di kasir. "Dia pacarmu?"Aku menggeleng. "Dia adik saya. Oh ya, terima kasih sudah membayar belanjaan saya kemarin," ucapku sambil tersenyum.Pria itu mengangguk, menatapku lagi. "Kira-kira berapa lama luka Hendriko akan sembuh?""Sekarang sudah jauh lebih baik. Tak lama lagi akan sembuh." Sejak kemarin dia selalu menanyakan tentang luka adiknya. Tampak ada yang dikhawatirkannya, tapi bukankah luka itu akhibat dari tembakannya?Pria tegap itu Kemudian memandang lift yang terbuka tidak jauh dari tempat kami berdiri. Dari sana muncul tiga orang yang berpakaian rapi. Dua orang memakai kemeja dan seorang lagi memakai jas. Dan yang memakai jas itu, ah Mas Fariq. Kami saling berpandangan ketika dia melangkah ke arah kami. Andrean maju beberapa langkah untuk menyalami. Tampaknya mereka adalah rekan bisnis atau apalah, aku tidak tahu.Dengan hati berdebar-deba
Mas Fariq kukenal sejak aku masih kuliah semester tiga. Dia juga yang membuatku yakin menikah di usia muda. Orang tuanya sangat menyetujui Mas Fariq menikahiku, karena berharap lekas mendapatkan cucu. Mengingat Mas Fariq adalah anak mereka satu-satunya. Justru penolakan datang dari ibu tiriku. Beliau tidak terima, karena untuk apa aku kuliah kalau wisuda langsung menikah. Dari situlah Mas Fariq berjanji akan men-support finansial keluargaku. Padahal hasil sawah dan kebun lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga. Namun ibu tiriku memang haus harta."Embun," panggil Yani membuyarkan lamunan dan membuatku menoleh."Setahun sudah cukup untuk kamu berduka. Ayo bangkit. Kamu layak bahagia, bestie," ucap Yani sambil menepuk bahuku kemudian berdiri untuk mengambil air minum. "Apa kamu nggak ingat apa yang di katakan budhe dari mantan suamimu itu?"Yani mengingatkan aku pada sesuatu yang tidak mungkin aku lupa. "Ceraikan saja si Embun, kalau memang dia yang minta. Buat apa mertahanin peremp
Mobil Andrean ikut berhenti ketika aku berhenti, karena ada dua orang pemuda yang sedang mabuk berjalan sempoyongan beberapa meter di depan kami. Pria itu turun dan menghampiriku.Dua pemuda yang sedang mabuk itu memandang ke arah kami. Salah satu di antaranya menunjuk-nunjuk sambil meracau tak jelas. Satunya lagi berhenti dan seperti menantang dengan mengepalkan tangannya ke arah kami."Jangan diladeni, Mas. Mereka sedang mabuk. Biarkan saja mereka pergi," ucapku cemas. Aku takut pria di sebelahku ini terpancing emosi, mengingat dengan Hendri pun dia saling ribut.Namun dugaanku salah, Andrean ternyata tetap diam sambil terus mengawasi mereka. Dua pemuda itu mengeluarkan kata-kata yang memancing emosi. Tapi Andrean tetap tenang berdiri. Kami kembali ke kendaraan masing-masing setelah dua pemuda tadi berbelok di sebuah gang. Sebenarnya jarak kami berhenti dengan kosanku tinggal dua ratus meter lagi."Tiap hari ada orang mabuk di sini?" tanya Andrean setelah berhenti di depan kosan."
Aku masih mematung tak percaya. Jika aku ikut, apa yang bisa aku lakukan ketika bersamanya. Jika aku menyetujui, ah betapa murahnya diriku bisa di ajak-ajak oleh lelaki yang baru kukenal. Terlebih jika pada akhirnya mereka tahu kalau aku hanyalah seorang janda."Ayolah, Embun. Kalian bisa jadi teman, kan?""Kamu bisa mengingatkan Hendriko saat waktunya minum obat nanti." Alasan sederhana. Padahal Hendri bisa mengingatkan dirinya sendiri. Meski kenyataannya tadi siang dia juga lupa."Percayalah Hendri bukan laki-laki kurang ajar."Bu Salwa terus merayuku dan aku semakin bingung hendak menolak. Terlebih laki-laki yang mengajakku tadi hanya diam tanpa sanggahan. Aku percaya mereka orang-orang baik. Meski Hendri terlihat dingin. Jika ada konflik, mungkin hanya intern keluarga mereka saja seperti yang di ceritakan oleh Bu Atun."Lain hari jika kamu ada waktu mainlah ke butik Ibu," kata Bu Salwa lagi."Ayo, aku mau berangkat sekarang!" Kini Hendri yang bicara sambil meraih tas kerjanya.Aku
Aku bimbang, haruskah aku ceritakan kisah sebenarnya. Itu akan menyakitiku lagi dan tidak ada gunanya juga kalau Hendri tahu. Padahal ini bukanlah sebuah aib, tapi ini kenyataan hidup yang harus kuterima. Tapi selalu kurasakan sesak jika mengingatnya."Kalau itu menyakitkan bagimu, tak perlu kamu ceritakan."Aku memilih diam. Setelah itu tak ada lagi percakapan di antara kami. Dia fokus pada kemudi, sedangkan aku diam memandang sepanjang perjalanan. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Jika dia menyesal telah mengenal dan berteman denganku yang ternyata seorang janda, tak mengapa. Lebih awal tahu lebih baik. Meski kami hanya berteman, tapi juga butuh kenyamanan."Makasih, kamu mau menemaniku hari ini," ucapnya ketika mobil telah berhenti di depan kosan."Iya sama-sama," jawabku lalu turun. Masih sempat kulihat dia tersenyum.Setelah aku kembali menutup pintu pagar, Hendri baru melajukan kembali mobilnya. Langkahku gontai menuju pintu kamar. Jika dengan kenyataan ini dia engg
Di tengah taman yang terawat ada kolam ikan hias. Airnya jernih dengan berbagai ikan warna-warni yang berenang ke sana ke mari. Bu Atun sekali lagi berteriak memanggilku tapi aku hanya melambaikan tangan tanda menolak untuk diajak sarapan.Pada panggilan yang kedua, Bu Atun bilang kalau Hendri sudah selesai sarapan dan naik ke atas. Aku masuk ke dalam rumah, terus naik ke lantai dua. Membuka laci dan menyiapkan obat serta plester. Setelah Hendri membuka pintu kamarnya, aku baru masuk. Dia hanya memakai handuk yang membelit pinggangnya, baru selesai mandi.Aku bersikap biasa saja, menghilangkan rasa canggung dengan apa yang kulihat di depan mata. Aku seorang perawat dan dia pasiennya."Mulai lusa, ganti plesternya hanya malam saja. Sebab saya kerja masuk jam sepuluh malam dan keluar dari rumah sakit jam delapan pagi. Pasti Anda sudah pergi kerja pas saya pulang. Lagian lukanya juga sudah membaik. Tinggal rajin minum obatnya saja," kataku sambil mengganti plester.Hendri memandangku. Me
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su