“Uncle, Itu dokter yang merawat Catherine!” bisik Esme pada pamannya yang terduduk lesu di sampingnya. Sudah satu jam lebih mereka menunggu, tapi tim dokter belum juga keluar. Uncle Rod sampai tidak mengingat hal lain lagi, kecuali menunggu kabar tentang Catherine.
Dan saat mendengar ucapan Esme, Uncle Rod langsung bangkit dan menghampiri dokter.
“Bagaimana, Dokter?”
Sang dokter menghela napasnya seraya melepaskan kacamata yang bertengger di atas hidungnya. “Putri Anda berhasil tertolong. Efek obat di dalam darahnya telah berhasil kami bersihkan. Kita hanya perlu menunggu dia tersadar saja.”
Seketika Uncle Rod lemas karena terlalu bahagia. Tetapi wajahnya mulai merekah hidup kembali. “Boleh saya lihat dia, Dok?”
“Ya, silakan. Tapi dia masih belum sepenuhnya sadar. Silakan ditemani agar saat sadar dia tidak merasa down lagi.”
“Iya, Dok. Iya.”
Bertiga, mereka masuk ke ruang perawatan Catherine. Kondisi gadis itu cukup memilukan d
Darren tak hentinya menatap ponsel yang ada di tangannya. Jantungnya berpacu lebih kencang mendapati pesan dari Esme yang menyatakan sebuah janji bahwa gadis itu takkan mengganti nomor ponselnya. Dan setelah beberapa pesan balasan untuk Esme dan akhirnya gadis itupun membalasnya dengan sebuah ‘good night’, pria itu lekas berkemas untuk perjalanannya malam itu juga. Dia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Penerbangan menuju Miami selama 15 jam lebih dilalui Darren dengan tak sabaran. Rasanya pesawat yang ditumpanginya ini bergerak sangat pelan. Hingga saat dia tiba di Miami, Darren bergegas menuju kantornya. Hari baru beranjak siang saat itu. Dan kehadiran Darren di sana cukup menyita perhatian rekan-rekannya. Apalagi pakaiannya hanya berupa kaos oblong dan celana jeans selutut. “Hei, Darren! Kau sudah pulang?” sapa Michael yang kebetulan keluar dari ruangannya menuju mesin kopi. Darren hanya menepuk bahunya tanpa menjawab. Langkahnya mantap dan tergesa menuju
Pintu kamar hotel yang gelap dan pengap itu akhirnya terbuka. Sosok pelayan hotel masuk ke dalamnya, membawa troli dorong yang berisikan peralatan bersih-bersih. Hal pertama yang dilakukan pelayan laki-laki itu adalah menyalakan lampu. Begitu kamar terang dan pelayan itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, tatapannya terhenti pada sosok pemuda yang terikat di atas kursi. Kepala pemuda itu terkulai dan tampak darah berceceran di sekujur pakaiannya. Seketika si pelayan menjerit keras. Polisi datang sepuluh menit kemudian. Mereka melepaskan ikatan Hale dan membawa pemuda itu ke rumah sakit. Beruntung nyawanya tertolong. Tapi, adanya sebotol heroin di saku celananya, membuat Hale dipantau pihak berwenang. Saat sembuhnya nanti, dia akan segera diproses pihak berwajib sebagai pemakai narkoba. Beberapa temannya yang lain, saat mendengar berita Hale, tidak berani datang menjenguk. Sempat ada yang mencoba, tetapi langsung mendapatkan interogasi yang k
Darren memandangi pantulan dirinya di cermin. Dia memakai sebuah hoodie yang berwarna abu-abu. Resleting hoodie itu dia rekatkan setengah dan bagian topinya dia pasangkan di atas kepalanya, hingga seluruh keningnya tertutupi. Dia tidak memakai kacamata hitam, tapi dengan bagian topi hoodi yang terpasang rendah, rasanya tidak mungkin ada yang akan mengenalinya dengan mudah. Wajahnya bahkan tidak terlalu jelas terlihat jika hanya dilirik sekilas.Setelah yakin penampilannya tidak mudah dikenali, Darren mengambil ponselnya dan menuju titik koordinat di mana nomor ponsel Esme terlacak.Darren tiba di sebuah rumah sakit swasta terbesar di kota itu. Dia masuk dan mengitari seluruh lantai yang ada, hingga dia melihat sosok pengawal yang menjaga sebuah kamar perawatan intensif di lantai lima.Dua pengawal berjaga di kanan dan kiri pintu. Darren tidak mengenali mereka, tapi sangat janggal melihat ada kamar yang dikawal seketat itu, kecuali memang dari pihak kepolisian. T
“Selamat malam, Tuan Bandares. Maafkan aku terlambat.” Esme menoleh dan mendapati sosok yang menjulang tinggi, penuh senyum berlebihan dan menggelikan. Mulutnya mengemut pipa rokok dan tatapannya menjelajah ke seluruh ruangan. Dengan beberapa pria yang merupakan pengawalnya berjalan di belakangnya, sosok itu menuju meja mereka dan duduk tepat di hadapan ayahnya. “Selamat malam, Nicky. Ini putriku, Esmeralda. Dan Esme, kenalkan ini rekan kepercayaan Dad. Namanya Nicky Meizzo, penerus kartel Signaloa.” Esme menyambut uluran tangan pria bernama Nicky itu dengan was-was. Benaknya menerka-nerka apa sebenarnya rencana ayahnya mengajaknya makan malam, bersama sosok Nicky yang keriangannya meletup-letup? Setelah jabat tangan yang terasa menjijikkan karena sosok Nicky ini terus memandangi Esme dengan raut yang seakan meneteskan air liur, mereka semua duduk dan menunggu makanan disajikan. Marco dan NIcky terus berbicara mengenai bisnis me
Lebih dari satu minggu yang lalu … Esme menunjukkan kemarahannya pada pengaturan ayahnya atas pernikahannya dengan Nicky Meizzo dengan mengurung dirinya di dalam kamar. Dia tidak keluar untuk makan. Dia bahkan membanting semua barang-barang, memastikan Rosa tahu kalau dia marah. Marah besar. Semua dilakukannya agar Rosa melaporkan keadaan emosinya yang tidak stabil kepada ayahnya. Akhirnya, pintu kamarnya diketuk tegas setelah seharian penuh kemarin dia mogok makan. Rencananya akan melanjutkan mogok makannya hari ini. Tapi ternyata, siang ini, ayahnya sudah tak bisa mengabaikannya lagi. ESme tersenyum menang saat pintu kamarnya terbuka dan sosok ayahnya muncul dari balik sana. Esme tidak menoleh. Dia tetap berbaring telungkup di atas kasurnya. Dia tidak mau menggubris ayahya. “Aku dengar kau marah-marah?” Suara ayahnya terdengar tenang dan datar. Tidak heran, ayahnya sudah terlatih untuk tidak menunjukkan emosi saat berbicara.
Kepergian ibunya, mengantarkan Catherine dan keluarganya datang berbelasungkawa ke rumah Esme. Gadis itu menyambut Catherine dengan perasaan bercampur aduk. Dia berduka. Dia rindu. Dan dia juga senang.Selain Catherine dan orangtuanya, yang juga hadir lagi adalah Enrique, kakak lelakinya. Enrique sempat mengamuk karena tidak diberitahu akan kondisi ibunya saat sakit. Esme merasa bersalah telah melupakan kakaknya waktu itu. Tapi dia tidak ingin mengganggu Enrique. Dia tahu kakaknya sibuk. Dan Esme juga tidak menyangka kondisi ibunya berubah drastis.Kini setelah berkumpul lagi dengan Enrique, satu-satunya hal yang ingin dia lakukan pada Enrique hanyalah mengadu akan keputusan ayah mereka yang memintanya menikah dengan Nicky Meizzo.“Kau baik-baik saja, kan, Esme?” tanya Enrique saat telah satu minggu kematian ibu mereka. Rumah kembali sepi. Hampir seluruh sanak keluarga telah kembali ke kehidupan mereka lagi. Hanya Enrique yang masih tin
Esme memikirkan ide Catherine.”Tidur dengannya, kemudian bujuk dia membawamu lari. Kawin lari!” Tidur dengan Darren? Untuk bisa tidur dengan pria itu, jelas mereka harus bisa terlibat aktivitas mesra yang intens. Siapa yang akan memulai itu semua? Darren kelihatannya kaku dan bukan tipe perayu wanita. Lalu, diakah yang harus memulai kemesraan mereka? Eew! Memikirkan semua itu perutnya terasa bergejolak. Akan bagus jika Darren bisa terpancing dan mengikuti permainannya, namun, jika sudah dia yang harus memulainya dan Darren malah menolaknya? Mau ditaruh di mana wajahnya ini? Diliriknya Catherine yang nyenyak tertidur di sampingnya. Ah, sudahlah, ide Catherine tidak perlu dipikirkan terlalu sungguh-sungguh. Sepupunya itu pastilah hanya asal ceplos saja! Ponsel di atas nakas tiba-tiba berbunyi. Esme meraihnya. Darren yang mengirimnya pesan. Tumben sekali pria itu begitu intens berchatting ria dengannya. Darren: Hei! Kau lagi apa?
“Aku minta imbalan,” kata Marco pada keponakannya, Catherine. “Imbalan apa, Uncle? Uangmu lebih banyak dariku,” jawab Catherine penuh candaan. Marco tersenyum, kemudian melanjutkan. “Aku ingin kau membujuk Esme agar mau menikah dengan Bos Signaloa, dan pastikan dia tidak melarikan diri atau berbuat sesuatu untuk mengacaukan pernikahannya itu. Jika sampai semua kacau, kau pun akan kena hukuman dariku.” “Urgh, Uncle. Kenapa galak begitu? Kok aku jadi ikutan kena?” protes Catherine mengeluarkan gaya manjanya. “Ya, karena kau sudah kuserahi tanggung jawab itu. Dan kau menukarnya dengan jalan-jalan hari ini. Bagaimana?” Catherine pura-pura berpikir keras atas tawaran Uncle Marco. Kemudian dengan gaya manjanya dia bertanya, “Bos Signaloa dengan Uncle, siapa yang lebih keren?” “Haiizz! Kenapa kau bertanya seperti itu?” “Ya, kan aku mau tau donk siapa yang kudukung. Kalau masih kerenan Uncle sih ya mending gak usah lah. Masa Esme denga
Tiga hari di Claymont terasa kurang bagi Darren maupun Esme. Akan tetapi, apa mau dikata. Mereka sudah harus pulang. Pekerjaan Darren menantinya. Dengan pangkat baru, tanggung jawab baru, Darren tidak bisa berlama-lama cuti, meskipun dia berharap dia bisa. Sebelum meninggalkan Claymont di hari itu, pagi harinya Esme mengajak Darren menuju ke perkebunan anggur. Dia ingin membawa pulang anggur berkualitas yang langsung bisa dia petik di perkebunan itu. Kebetulan, pemilik perkebunan mengenal baik keluarga Darren. Mereka menyusuri perkebunan itu dengan Mr. Thompson, pemilik perkebunan. Pria paruh baya itu sambil menjelaskan pohon anggur mana yang buahnya berkualitas baik. Hingga tiba di deretan pohon yang berada tepat di tengah-tengah kebun, Mr. Thompson berhenti. “Ini yang paling berkualitas di sini. Dan kau beruntung, ada yang baru berbuah dan belum dipetik. Jika kau datang siang ini, aku yakin buah ini sudah tidak ada di sini.” Esme tersenyum senang. “Trims, Mr. Thompson. Tapi, ak
“Aku ingin tempat yang lebih tenang untuk hidup. Kota kecil atau pedesaan rasanya lebih cocok untukku.”“Pedesaan? Bagaimana kau bisa hidup di pedesaan?”“Aku bisa bertani. Atau beternak. Rasanya lebih menantang, dari pada hanya duduk seharian di apartemen dan menghabiskan uangku untuk minum dan makan saja.”Selesai mengucapkan itu, Martinez melewati Catherine begitu saja.Catherine begitu shock hingga dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Mengejar pria itu? Atau membiarkannya pergi? Catherine seperti kehilangan akalnya sendiri.Baru saat langkah Martinez semakin jauh darinya, Catherine baru tersadar. Gegas dia mengejar pria itu.“Jangan! Jangan pergi!”Martinez menghela napasnya. “Tekadku sudah bulat, Cath.”“Sudah bulat bagaimana? Kenapa kau tiba-tiba pergi? Padahal kau tidak boleh pergi! Kau ha
Pagi itu, Darren duduk di kursi makannya. Dia sedang menyesap kopinya saat matanya tertuju pada layar ponsel. Claire mengiriminya undangan pesta pernikahan. Sebagai kakaknya, tanpa dikirimi undangan pun Darren pasti harus hadir. Tetapi, adiknya itu tetap ingin mengiriminya undangan.Melihat undangan itu, Darren merasa ada yang menggelitik hatinya.Sepiring poblano peppers tersaji di hadapannya secara tiba-tiba. Esme menyusul dengan duduk di sebelah pria itu. Wajahnya tersenyum lembut, memancarkan kebahagiaan.“Wow! Sarapan yang menggiurkan,” ucap Darren dengan matanya berbinar penuh gejolak.“Ya! Tadi kebetulan bangun lebih pagi, dan semua bahannya ini lengkap. Jadi, aku masak saja ini.” Esme mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah dengan perlahan dan sambil menikmatii rasa yang bercampur dalam mulutnya.“Hmmm, ini sangat lezat. Kau tidak makan?”“Tentu, aku akan
“Apa yang terjadi di sini, biarlah berlalu. Tidak perlu disimpan dalam hati apalagi sampai dibawa pulang ke rumah kita. Aku tidak ingin kebersamaan kita nantinya ternoda dengan segala hal yang diucapkan Claire padamu. Bisakah?”Mendengar ucapan Darren, air mata Esme luruh lagi. Dia menganggukkan kepalanya. Darren menghapus air mata itu dan mengecup wajah Esme dengan penuh kasih.Setelahnya, mereka membawa segala barang bawaan mereka keluar kamar.Baru juga membuka pintu, sosok Claire sudah menghadang Esme di sana.“Mau apa lagi kau?” hardik Esme pada Claire. Rasanya seluruh persendian tubuhnya terasa sakit karena segala emosinya tersentak pada perseteruannya dengan Claire.Darren pun yang masih menarik koper di belakang Esme langsung menghardik Claire juga. “Claire, please. Apa tidak capek kau memikirkan hal itu terus-menerus?”Claire menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan lemah. Dan dengan
Catherine menahan napasnya selama perkelahian mereka dan baru mengembuskan napasnya itu saat Garry telah kehilangan kesadaran. Dia mengangkat wajahnya dan pandangannya tertaut pada tatapan mata Martinez. Di benaknya, dia mengharapkan Martinez akan menanyakan dengan lembut, ‘apa kau tidak apa-apa?’ Namun yang terjadi sesungguhnya, pria itu menatapnya marah dan membentaknya. “Apa kau sudah gila?! Apa kau sudah tidak punya harga diri lagi?!” Catherine shock minta ampun. Dia sampai terbelalak dan mulutnya menganga lebar. Martinez masih melanjutkan kemarahannya pada Catherine. “Kalau kau bodoh, lebih baik kau tinggal di rumah dan mengurus bayimu. Bukannya berkeliaran mencari lelaki lajang. Kau haus belaian atau apa, huh?!” Kata-kata Martinez begitu menusuk hati Catherine. Dia yang baru saja merasakan keterkejutan karena perlakuan Garry yang membuatnya takut, kini malah harus menghadapi kemarahan Martinez. Dia bahkan dikatai b
“LEPASKAN! KAU BAJINGAN!” Catherine berusaha keras untuk berteriak, memukul, menendang. Apa saja agar terlepas dari kungkungan Garry. Tetapi, pria itu jauh lebih kuat darinya.Kini, wajah Garry berada di atas wajahnya. Bibirnya menjelajah di sekeliling pipi dan lehernya, membiarkan liurnya menempel di kulit Catherine. Dan pada akhirnya bibir itu mendarat di bibirnya.Catherine meronta-ronta ingin melepaskan dirinya.Namun nyatanya, tangan Garry malah merobek kaosnya.Catherine semakin histeris. Segala tenaga dia kerahkan hanya untuk merasakan terjangan tenaga yang lebih besar lagi dari Garry.“HELP! HELP!!!” teriak Catherine putus asa. Garry sudah bagai binatang buas yang siap membantai korbannya. ***Tok tok tok.Darren mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tak lama kemudian, ayahnya membuka pintu dengan perlahan. Te
Sementara itu di kamarnya, Claire juga menangis tersedu. Dia memikirkan betapa James Carter adalah pria yang baik.James sudah berteman dengan Darren sejak mereka di awal karier kepolisian. Claire suka berada di dekat mereka jika James datang ke rumah.Dan entah sejak kapan, James mulai menunjukkan tanda-tanda suka pada Claire. Meskipun gadis itu tidak menganggap James lebih dari seorang teman, Claire tidak pernah meremehkan perasaan James.Di hari ketika kabar tewasnya James tiba di telinganya, Claire mulai sering memikirkan pria itu. Saat itu, Claire merasa tidak ada salahnya membuka hatinya untuk James. Pria itu dewasa dan sangat baik. Dirinya yang manja mungkin akan bisa merasakan cinta yang manis saat bersama James.Claire bahkan sudah menyusun kata-kata yang akan dia ungkapkan pada James, bahwa dia ingin membuka hatinya untuk James.Tetapi kemudian kabar itu datang. Hatinya hancur remuk.Baru bertahun-tahu
Garry benar-benar mengajak Catherine ke apartemennya. Dalam setiap langkahnya, Catherine merasa semakin gelisah.Meskipun semua ini adalah idenya sendiri, tetapi memikirkan dia akan kepergok Martinez mengunjungi apartemen pria lain, yang malahan baru dia kenal lewat kencan buta, tetaplah membuat perutnya terasa mual.Langkah kaki Cahterine hampir saja berbalik arah jika bukan karena wanita itu terngiang lagi akan ucapan Martinez sebelum ini.‘Kau berhak mendapatkan pria lain yang lebih sempurna. Yang layak mendapatkan dirimu.’Huh! Dasar lelaki tidak peka! Memangnya Martinez tidak sadar jika yang Catherine inginkan adalah pria itu sendiri? Dan karena kebodohannya itu, sekarang Catherine benar-benar ingin mencari yang lebih baik dari pria itu. Dia akan tunjukkan bahwa dia tidak akan mengemis cinta.“Unitmu di lantai ini?” tanya Cahterine terkejut saat mereka keluar dari lift. Bahkan unit Garry berada di lantai yang sama denga
Garry pun memberitahu apartemen tempatnya tinggal. Cahterine terkejut karena nama apartemen yang disebut Garry adalah apartemen tempat Martinez tinggal. Mendadak, selintas ide gila lewat di otak Catherine. Dan idenya ini telah menghilangkan rasa malu Cahterine sebagai wanita. Dia berkata, “Boleh aku mampir ke apartemenmu? Ehm, maksudku, sekarang?” Pertanyaan Cahterine sukses membuat Garry tercengang. Tidak ada wanita yang lebih seterus terang dan segesit dia. Garry juga tidak menyangka jika Catherine bisa mengatakan ini semua mengingat saat makan di kafe tadi, Catherine tidak terlihat ramah. Dia begitu cuek, dingin, dan jutek. Wanita itu seperti tidak memiliki pikirannya di tubuhnya. Tetapi sekarang, tiba-tiba wanita ini memintanya untuk mengajaknya ke apartemen? Mungkin sebentar lagi akan hujan uang. Namun begitu, Garry laki-laki normal. Tidak mungkin dia melewatkan kesempatan emas seperti ini. Apalagi Catherine adalah wanita pirang seksi. Sungguh me