"Ya, sudah ...."Aku pun balik kanan, meninggalkan Mas Raka.
"Na!"
Aku langsung membalikkan badanku, siapa tahu dia berubah pikiran, kan?
"Maaf, ya, Na."
Aku menganggukkan kepalaku, lalu berjalan menuju kamarku, dengan sejuta Hal yang berkecamuk di pikiranku. Jangan-jangan Mas Raka gak doyan perempuan? Atau aku kurang seksi? Jangan-jangan dia 'jeruk makan jeruk' nih. Langsung kutendang jauh-jauh ide terakhir konyol itu. Aku yakin Mas Raka normal, buktinya, pas kemarin lihat dadaku itu, dia 'on'.
Besok aku mau dandan yang cantik, lah, kalau di rumah mau pakai dress casual yang seksi-seksi, biar Mas Raka kepincut pingin meng-unboxing aku. Astaga, ngeres bener kan pikiranku? Unboxing-unboxing melulu isinya.
Ketika masih asyik-asyiknya merem, mimpi bercengkerama dengan pangeran dari antah berantah, tersengar pintu kamarku digedor-gedor. Sialan.
Dengan mata masih merem melek dan belekan, aku bangkit dari kasur lalu membuka pintu kamar.
"Dah siang banget loh, Na. Gak ngantor kamu memangnya?"
"Iya, aku ngantor. Bentar lagi aku mandi," jawabku sambil menguap lebar. Gak tahu orang ngantuk apa, ya. Ini gara-gara mikirin kamu semalaman, Mas, aku jadi kesiangan kaya' gini.
Kupandangi kasurku yang awut-awutan. Sepertinya merem 10 menit lagi, asyik deh. Tapi niat itu seketika buyar, ketika Mas Raka kembali menghampiriku dengan berkacak pinggang, persis preman Pasar nunggu setoran.
"Mau kumandiin, Na?"
Seketika kantukku lenyap. Aku langsung ngibrit meninggalkan kamar, mengambil handuk di jemuran lalu pergi mandi. Sebenarnya hari ini malas benar mau berangkat kerja. Tapi kerjaan kantor banyak, gak enak kan mau bolos. Lagipula, di rumah mau ngapain coba?
"Dah mau berangkat, Na?" Tanya Mas Raka ketika aku mengambil helm.
"Iya."
"Mau tak anterin?"
"Gak usah," jawabku jutek, sambil men-starter motorku.
Ketika aku sedang duduk meja kerjaku, sekitar pukul setengah sepuluh, kulihat ada sebuah pesan di aplikasi hijau dari Mas Raka.
[Jangan lupa sarapan, Na.] begitu isi pesannya.
Tumben amat, perhatian. Biasanya gak pernah tuh nanyain ini itu sama aku, saking cueknya.
Baru saja hendak membalas pesan Dari Mas Raka, sebuah pesan dari Aji muncul di aplikasi yang sama.
[Hai, Na. Pa kabar?] kubaca pesan dari Aji pelan-pelan, lalu segera membalasnya.
[Hai, Aji. Ya ampun, kangennya. Pingin banget ngobrol-ngobrol sama kamu. Lama banget kita gak ketemu.]
[Enaknya ketemu di mana, ya, Na?]
[Gimana kalau ketemu di rumahku aja? Sabtu aku kerja cuma setengah hari aja.]
[Emang gak apa-apa, aku ke rumahmu? Suamimu gak marah?]
[Enggak lah. Kenapa harus marah coba? Entar aku share loc alamat rumahku, ya.]
[Oke. See you soon, Nana.]
Duh, senangnya hatiku, bisa diketemukan lagi sama Aji, sahabat lamaku. Dia ini sebenarnya tetanggaku di Kajoran. Kami bersahabat sejak kecil. Mandi di sungai bareng, nyolong mangga bareng, main-main di sawah bareng, dan sebagainya. Ibuk bilang, kami ini dah kaya' cicak sama taiknya, nempel melulu. Bahkan sampai SMA, kami juga masih akrab, walaupun dia sekolah di sekolah kejuruan, sementara aku di SMA.
Hubungan kami tuh, benar-benar lost ketika kami mulai kuliah. Dia kuliah di Jogja, ambil Jurusan Teknik Pertambangan, di sebuah PTS terkenal. Sementara aku, yang otaknya biasa-biasa aja, meneruskan kuliah di kotaku saja. Demi menghemat ongkos lah, selain itu Ibuk tetap bisa mengawasiku dengan baik. Ibuk sih gitu, curigaan melulu sama aku.
Setelah kuliah, Aji langsung bekerja di luar Jawa, sementara aku sempat nganggur dulu setahunan, nunggu lowongan kerja. Kalau ingat waktu itu, pas setahun nganggur di rumah, sumpah stress berat aku. Diomelin melulu sama Ibuk. Sampai diancam, kalau gak mau kerja mau dikawinin paksa sama Ibuk. Eh, ternyata sama aja ending-nya, aku tetap aja dijodohin. Nasib ... nasib ....
***
"Kok gak membalas pesanku, Na?" Mas Raka menodongku, begitu aku turn dari motor.
"Lupa, Mas. Sorry, sibuk," jawabku cuek.
"Aduh!" Mas Raka menjerit, saat sebelah kakinya kuinjak ketika aku melewatinya tadi. Aku langsung ngibrit ke kamar, takut dibalas. Soalnya yang udah-udah, pembalasan biasanya lebih kejam.
Pukul setengah delapan malam, aku masih asyik dengan ponselku, ngobrol sama Aji via aplikasi hijau. Sampai aku lupa jam makan malam. Lagi asyik-asyiknya ketawa-ketiwi, pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Jelas bukan jin yang ngebuka, tak lain dan tak bukan, ya pasti Mas Raka lah, Sang Penguasa Kegelapan, eh, penguasa rumah ding.
"Mau makan gak, sih?" tanyanya galak.
'"iya, iya."
Aku langsung beranjak dari kasur, lalu mengikuti Mas Raka ke ruang makan. Tak lupa ponsel kubawa serta.
Ting
Sepertinya ada balasan pesan dari Aji. Tapi, berhubung Mas Raka memelototiku, kuabaikan saja pesan dari Aji tersebut. Takut dilempar sambal soalnya.
Segera setelah nasiku habis, aku langsung cuci tangan dan mencuci piringku. Setelah itu aku langsung masuk kamar, meneruskan obrolan dengan Aji.
"Na, kamu gak nonton TV?." Teriak Mas Raka dari luar kamar. Eh, tumben dia agak perhatian. Biasanya sih, boro-boro.
"Enggak! Malam ini Nana sibuk." jawabku, sambil berteriak.
Keesokan harinya, Mas Raka tampak lebih ramah dan ceria. Biasanya kan diam aja, pasang wajah jutek, yang kalau gak ditanya ya gak ngomong gitu lah.
"Mas, entar Sabtu, Aji mau ke sini. Boleh, kan?"
"Siapa Aji?"
"Teman lamaku. Tetangga jugak di kampung."
Ia manggut-manggut, lalu mengganggukkan kepalanya. "Pantesan kamu cengar-cengir melulu pas pegang ponsel. Sibuk sama dia rupanya."
"Idih, rempong! Biarin lah, ponsel-ponselku sendiri kok."
Tak terasa, Sabtu sore pun tiba. Sabtu kantorku buka setengah hari soalnya. Jam 12 siang, karyawan dah pada pulang. Sore ini, aku sudah cetar. Sudha mandi, pakai baju kece, dan dandan tipis-tipis untuk menyambut kedatangan Aji.
"Heboh amat dandannya,Na. Kayak mau kondangan aja," ledek Mas Raka.
"Biarin! Tapi cantik, kan?" kugoda dia, dengan mengedipkan sebelah mataku.
"Idih, kayak ondel-ondel gitu ngaku cantik." Setelah meledekku, dia langsung ngeloyor pergi.
Tak berapa lama kemudian, Aji pun datang. Ia mengendarai sebuah mobil hitam mengkilat. Sumpah, penampilannya keren banget. Dulu dia cungkring, hitam, dekil, sekarang kebalikannya. Ganteng berkelas gitulah, mana tubuhnya sekarang berisi, atletis banget. Beda banget sama dulu. Aku terkesima jadinya, melongo aja dari tadi, bukannya langsung menyambutnya.
"Na!" Aji memanggilku, buyar deh lamunanku.
"Hai! Ganteng banget sekarang, kamu, Ji. Sumpah deh, lain banget."
"Halah, gombal, kamu, Na! Kamu sendiri juga cantik banget, Na. Gak sedekil dulu."
Dan kami pun tertawa terbahak-bahak. Aku mempersilahkan Aji duduk di kursi teras, sementara aku pergi ke dalam, mengambil minuman dingin dan beberapa camilan untuk menemani kami. Mas Raka tak nampak samansekali, mengunci di kamarnya kurasa.
Kami asyik mengobrol ini itu, sampai tak menyadari, bahwa sedari tadi ada sepasang mata yang selalu mengawasi kami. Mata Ras Raka tentu saja, masak iya mata-mata Amerika.
Pukul setengah enam sore, Aji pamit mau pulang. Aku segera masuk ke rumah, memanggil Mas Raka.
"Saya pamit dulu, Mas. Terimakasih sudah mengizinkan Nana menemui saya." Aji berpamitan pada Mas Raka.
Mas Raka menyambut ukuran tangan Aji. "Santai aja, Mas. Kamu boleh kok main ke sini kapan saja."
Aku terkejut dong, mendengar ucapan Mas Raka barusan. Tumben nih orang gak jutek.
Setelah Aji pulang, aku segera membereskan teras. Mas Raka sendiri masih berdiri di teras.
"Happy banget kamu kayaknya, Na." Tiba-tiba dia berkomentar.
"Ya iyalah happy, namanya jugak kunjungan dari orang istimewa." Tak kusangka, jawabanku membuat eajag Mas Raka jutek seketika. Masa bodo ah.
Malamnya, aku kembali ngobrol dengan Aji di aplikasi hijau.
[Na, suamimu asyik, ya ternyata] tulisnya.
[Asyik apaan. Galak gitu. Jutek lagi.]
[Kamu dah hamil belum, Na?]
[Astaga. Gimana mau hamil, lha wong kita belum pernah ehem-ehem.] Duh, aku keceplosan.
[Serius, Na?]
[Serius. Panjang ceritanya, Ji]
[Aku penasaran. Kapan-kapan ceritain, ya.]
[Oke. I promise.]
***
Minggu pagi, ketika aku tengah asyik bermalas-malasan di kamar, Mas Raka berteriak memanggilku. Nana, keluar! Ada temanmu, tuh!"
Kupikir dia mengerjaiku, ternyata benar, Aji yang datang mencariku. Kusangka, Aji mau mengajakku mengobrol di rumah saja, seperti kemarin. Ternyata tidak, hari ini dia meminta izin pada Mas Raka untuk mengajakku keluar sebentar.
Setelah pamit pada Mas Raka, Kami pun berangkat. Aji menghentikan mobilnya di taman kota, lalu kami pun duduk-duduk di sana.
"Ato, ceritain sama aku, Na. Penasaran bener aku." Aji memulai pembicaraan.
Akhirnya, dengan malu-malu kucing, kuceritakan semuanya pada Aji.
"Begitu, Ji. Aneh gak sih, menurutmu sikap Mas Raka itu?"
"Ya jelas aneh, lah. Masa' iya, kucing dikasih ikan asin kagak mau?" Idih, aku disamain sama ikan asin. Dasar Aji!
"Kalau menurutku, suamimu itu menyimpan sebuah rahasia masa lalu, Na."
"Hah?"
"Kurasa nih, sebelum dijodohin sama kamu, dia sudah punya pacar. Gagal move on gitu lah. Makanya selama ini dia gak mau menyentuhmu. Karena masih keingetan sama mantannya."
"Gitu, ya, Ji? Terus aku harus gimana dong?"
"lha kok malah nanya aku. Ngomong-ngomong, kamu sendiri pinginnya gimana? Mau lanjut apa mau stop?" Sumpah aku pusing, mau menjawab apa. Masak iya sih, mau stop begitu saja? Entar Bapak sama Ibuk gimana dong? Bisa-bisa dikutuk jadi batu beneran aku. "Keluar yuk, Na. Daripada bengong aja di rumah." Aji membuyarkan lamunkanku. "Yuk lah. Tunggu ya, aku pamit sama Mas Raka." Setelah minta izin, kami pun berangkat. Aji mengajakku ke pusat perbelanjaan. Di sana, ia membelikanku beberapa potong pakaian. Duh, senengnya. Berasa lagi dapat lotre deh. Setelah makan siang bersama, Aji mengantarku pulang. Sesampainya di rumah, Mas Raka sudah menyambutku dengan muka masam. "Lama bener sih, perginya?" "Maaf, Mas, tadi saya ngajak Nana shopping sebentar. Gak apa-apa, kan?" Mas Raka hanya membalas dengan tersenyum kecut-kecut asem gimana gitulah. Setelah Aji pulang, Aku segera mencoba baju baruku. Bolak-balik ngaca, ampe cerminnya bosan.&
"Bisa gak sih, geser dikit tidurnya? Dah tahu ranjangnya sempit, tidur banyak gaya gitu!" Aku menyemprot Mas Raka, yang lagi gegoleran di ranjang."Kamu itu, Na, galaknya melebihi anjing penjaga rumah tetangga!""Biarin! Habisnya situ jahil sih! Suka ambil kesempatan dalam kesempitan. Mentang-mentang lagi ada bapak ibuku di sini." Aku masih saja mengomel panjang lebar kali tinggi kali luas alas kali volume kali, kali, ah entahlah ...."Yang ngambil kesempatan dalam kesempitan itu siapa? Kan bermesraan dah jadi kesepakatan kita, toh? Orang cuma meluk-meluk dikit, nggandeng tangan, sama nyium kening dikit aja loh, ngamuknya kaya' Kingkong gitu! Memangnya kamu mau, bapak ibumu tahu kondisi kita yang sebenarnya, terus tahu-tahu ibumu kena serangan jantung?" Seperti biasa, Mas Raka memberikan jawaban diplomatis.Kuhentakkan kakiku ke lantai keras-keras. Menyesal kemudian benar-benar tak ada guna. Seminggu yang lalu, aku sudah resmi menikah dengan lelaki
Mulai deh, Ibuk mengeluarkan ceramahnya. Kulirik Mas Raka yang duduk di sampingku. Dia mesam-mesem aja. Pingin kudorong aja dia, soalnya duduknya nyender-nyender ke badanku, agak risih jadinya.Karena gak ada yang menjawab, Ibuk malah melanjutkan ceramahnya lagi."Nanti, kalau misalnya kamu sudah hamil, resign saja dari kerjaanmu, Na. Toh penghasilan suamimu sudah nyukupi to. Kamu di rumah saja mengurus rumah dan anak-anakmu. Iya kan, Nak Raka?""Iya, Bu. Saya sih terserah Nana saja."Ibuk terlihat mengangguk puas. Iya, Ibuk puas, aku yang terhempas. Gimana mau hamil, wong hingga saat ini, segelku masih rapat belum dibuka kok. Piye toh, Buk? Tunggu ya, Buk, nanti kalau sudah siap, sudah nyaman sama Mas Raka, aku tak minta 'jatahku'. Yaelah, istilahnya gitu amat yak. Nafkah batin, maksudnya.Tau-tau dah malam aja. Bapak sama Ibuk sudah masuk kamar sebelah, padahal sekarang baru jam setengah sembilan. Dah pada ngantuk rupanya. Aku sama Mas Raka
Aku segera menghentikan langkahku. Siapa tahu akhirnya Ibuk tak tega melihatku meninggalkan rumah, menikah dengan orang asing, lalu tiba-tiba ingin membatalkan pernikahanku. Bisa saja, kan? "Kamu sudah jadi istri orang loh ya, Nduk, kurangi pecicilanmu!" ujar Ibuk dengan lantangnya, mematahkan harapanku. Aku langsung meneruskan langkahku. Aku berjalan sambil mencebikkan bibir. Dasar Ibuk! Bisa-bisanya loh, di depan mertua dan keluarga lainnya, bilang kaya' gitu. Kubanting pintu mobil keras-keras. Lalu kami pun berangkat meninggalkan rumahku. Ada sedih yang menyeruak di hatiku. Duh, kaya' apa rasanya tinggal seatap dengan orang lain? *** Alhasil, pagi ini aku bangun kesiangan. Kulihat Mas Raka sudah tak ada di kasur. Sayup-sayup terdengar ramai orang mengobrol. Sepertinya mereka bertiga tengah sarapan bersama. Ealah, aku ditinggal. Ya gak apa-apa sih, yang penting jangan dihabisin aja lauknya. Soalnya aku ini tipe orang yang 'wani rekasa ning ra
"lha kok malah nanya aku. Ngomong-ngomong, kamu sendiri pinginnya gimana? Mau lanjut apa mau stop?" Sumpah aku pusing, mau menjawab apa. Masak iya sih, mau stop begitu saja? Entar Bapak sama Ibuk gimana dong? Bisa-bisa dikutuk jadi batu beneran aku. "Keluar yuk, Na. Daripada bengong aja di rumah." Aji membuyarkan lamunkanku. "Yuk lah. Tunggu ya, aku pamit sama Mas Raka." Setelah minta izin, kami pun berangkat. Aji mengajakku ke pusat perbelanjaan. Di sana, ia membelikanku beberapa potong pakaian. Duh, senengnya. Berasa lagi dapat lotre deh. Setelah makan siang bersama, Aji mengantarku pulang. Sesampainya di rumah, Mas Raka sudah menyambutku dengan muka masam. "Lama bener sih, perginya?" "Maaf, Mas, tadi saya ngajak Nana shopping sebentar. Gak apa-apa, kan?" Mas Raka hanya membalas dengan tersenyum kecut-kecut asem gimana gitulah. Setelah Aji pulang, Aku segera mencoba baju baruku. Bolak-balik ngaca, ampe cerminnya bosan.&
"Ya, sudah ...."Aku pun balik kanan, meninggalkan Mas Raka. "Na!" Aku langsung membalikkan badanku, siapa tahu dia berubah pikiran, kan? "Maaf, ya, Na." Aku menganggukkan kepalaku, lalu berjalan menuju kamarku, dengan sejuta Hal yang berkecamuk di pikiranku. Jangan-jangan Mas Raka gak doyan perempuan? Atau aku kurang seksi? Jangan-jangan dia 'jeruk makan jeruk' nih. Langsung kutendang jauh-jauh ide terakhir konyol itu. Aku yakin Mas Raka normal, buktinya, pas kemarin lihat dadaku itu, dia 'on'. Besok aku mau dandan yang cantik, lah, kalau di rumah mau pakai dress casual yang seksi-seksi, biar Mas Raka kepincut pingin meng-unboxing aku. Astaga, ngeres bener kan pikiranku? Unboxing-unboxing melulu isinya. Ketika masih asyik-asyiknya merem, mimpi bercengkerama dengan pangeran dari antah berantah, tersengar pintu kamarku digedor-gedor. Sialan. Dengan mata masih merem melek dan belekan, aku bangkit dari kasur lalu membuk
Aku segera menghentikan langkahku. Siapa tahu akhirnya Ibuk tak tega melihatku meninggalkan rumah, menikah dengan orang asing, lalu tiba-tiba ingin membatalkan pernikahanku. Bisa saja, kan? "Kamu sudah jadi istri orang loh ya, Nduk, kurangi pecicilanmu!" ujar Ibuk dengan lantangnya, mematahkan harapanku. Aku langsung meneruskan langkahku. Aku berjalan sambil mencebikkan bibir. Dasar Ibuk! Bisa-bisanya loh, di depan mertua dan keluarga lainnya, bilang kaya' gitu. Kubanting pintu mobil keras-keras. Lalu kami pun berangkat meninggalkan rumahku. Ada sedih yang menyeruak di hatiku. Duh, kaya' apa rasanya tinggal seatap dengan orang lain? *** Alhasil, pagi ini aku bangun kesiangan. Kulihat Mas Raka sudah tak ada di kasur. Sayup-sayup terdengar ramai orang mengobrol. Sepertinya mereka bertiga tengah sarapan bersama. Ealah, aku ditinggal. Ya gak apa-apa sih, yang penting jangan dihabisin aja lauknya. Soalnya aku ini tipe orang yang 'wani rekasa ning ra
Mulai deh, Ibuk mengeluarkan ceramahnya. Kulirik Mas Raka yang duduk di sampingku. Dia mesam-mesem aja. Pingin kudorong aja dia, soalnya duduknya nyender-nyender ke badanku, agak risih jadinya.Karena gak ada yang menjawab, Ibuk malah melanjutkan ceramahnya lagi."Nanti, kalau misalnya kamu sudah hamil, resign saja dari kerjaanmu, Na. Toh penghasilan suamimu sudah nyukupi to. Kamu di rumah saja mengurus rumah dan anak-anakmu. Iya kan, Nak Raka?""Iya, Bu. Saya sih terserah Nana saja."Ibuk terlihat mengangguk puas. Iya, Ibuk puas, aku yang terhempas. Gimana mau hamil, wong hingga saat ini, segelku masih rapat belum dibuka kok. Piye toh, Buk? Tunggu ya, Buk, nanti kalau sudah siap, sudah nyaman sama Mas Raka, aku tak minta 'jatahku'. Yaelah, istilahnya gitu amat yak. Nafkah batin, maksudnya.Tau-tau dah malam aja. Bapak sama Ibuk sudah masuk kamar sebelah, padahal sekarang baru jam setengah sembilan. Dah pada ngantuk rupanya. Aku sama Mas Raka
"Bisa gak sih, geser dikit tidurnya? Dah tahu ranjangnya sempit, tidur banyak gaya gitu!" Aku menyemprot Mas Raka, yang lagi gegoleran di ranjang."Kamu itu, Na, galaknya melebihi anjing penjaga rumah tetangga!""Biarin! Habisnya situ jahil sih! Suka ambil kesempatan dalam kesempitan. Mentang-mentang lagi ada bapak ibuku di sini." Aku masih saja mengomel panjang lebar kali tinggi kali luas alas kali volume kali, kali, ah entahlah ...."Yang ngambil kesempatan dalam kesempitan itu siapa? Kan bermesraan dah jadi kesepakatan kita, toh? Orang cuma meluk-meluk dikit, nggandeng tangan, sama nyium kening dikit aja loh, ngamuknya kaya' Kingkong gitu! Memangnya kamu mau, bapak ibumu tahu kondisi kita yang sebenarnya, terus tahu-tahu ibumu kena serangan jantung?" Seperti biasa, Mas Raka memberikan jawaban diplomatis.Kuhentakkan kakiku ke lantai keras-keras. Menyesal kemudian benar-benar tak ada guna. Seminggu yang lalu, aku sudah resmi menikah dengan lelaki