Bel apartemen berbunyi beberapa kali. Elena mulai membuka matanya dan tersadar bahwa ia juga ikut tertidur di sofa. Bahunya masih terasa berat, Alva masih pulas disana dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga ke leher. Elena kembali menempelkan punggung tangannya di kening Alva, mengecek suhu tubuh itu. Syukurlah membaik, batin Elena yang tak merasakan kening Alva yang panas seperti tadi. Obatnya cocok dan membuat Alva tertidur pulas juga.
Ting! Tong! Bel kembali berbunyi, hampir saja Elena lupa bahwa tadi ia terbangun akan suara itu. Perlahan Elena menggeser tubuhnya dan menyandarkan kepala Alva pada sandaran sofa. Elena mulai beranjak dari sana dengan hati-hati takut Alva terbangun karena geraknya. Ia juga berjalan cepat menuju pintu karena suara bel yang bisa saja mengganggu tidur Alva.
Suasana hening tercipta saat pintu mulai terbuka, dua orang terdiam berdiri kaku diantara bingkai pintu hitam. Saling mengunci pandangan, menatap satu sama lain. Kedatangan Rosie
Dalam kegiatan memasaknya, Elena terus terpikirkan akan ucapan Rosie yang cukup menyayat hatinya sampai air mata tak dapat ia bendung lagi. Di hadapan Rosie Elena mengeluarkan cairan mataya, tetapi wanita itu terlihat tak peduli akan respon Elena sampai ponsel Rosie yang bergetar membuatnya beranjak dan menyudahi acara bincang yang tak ingin Elena alami lagi. Sebegitu bencinya kah Rosie padanya sampai berucap yang tak mengenakan hati di depannya. Elena berbalik menghadap wastafel, ia menarik nafas panjang dan mengusap jejak tangisnya. Tak ingin ia berlarut dalam kesedihan ini. Dirinya bisa saja memilih pergi dari sini, tapi Alva menjadi alasannya bertahan dan tetap melanjutkan apa yang sudah ia niatkan sebelumnya yaitu memasak untuk makan malam nanti.Tak mungkin Elena meninggalkannya apalagi dalam keadaan Alva yang sedang sakit. Untuk itu, Elena mengesampingkan rasa sakit hatinya. Apa ini yang dinamakan memperjuangkan sebuah hubungan, Elena baru tahu rasanya sekarang. Elena
Sebuah meja bundar dekat jendela ditempati oleh seseorang yang sedang termenung. Pandangannya berpusat ke arah luar jendela bergaya bay yang disesuaikan dengan tema coffee shop yaitu klasik eropa. Café ini adalah salah satu tempat yang sering Rosie jumpai seorang diri. Sudah menjadi kebiasaanya setiap ada masalah ia menikmati secangkir kopi di tempat ini. Keberadaan coffee shop cukup jauh dari area jalanan menjadikan suasana tak terganggu dengan berisiknya kehidupan kota. Sebagian besar pengunjung datang untuk mencari ketenangan dan suasana café sangatlah mendukung. Begitu pun dengan Rosie, ia lelah dengan pikirannya yang riuh sejak tadi.Berbagai ingatan muncul di pikirannya. Ingatan akan sikap seorang ibu terhadap anak sambungnya. Akhir-akhir ini Alva menunjukkan penolakan akan apa yang sudah Rosie bentuk sejak dulu. Sesuatu yang Rosie ciptakan agar anak itu dapat membanggakan. Sebuah pencapaian luar biasa berhasil Alva raih, ia berhasil menjadi seseorang yang
“Gimana El?” tanya Luna.Elena mengerutkan keningnya karena memang ia tak tahu dengan topik pembicaraan mereka sebelumnya.“Emm.. aku gak tau maksud kalian apa,” ucap Elena yang mulai mendekatkan piring berisi makanan itu pada Alva. Alva menerimanya dan mengambil salah satu menu dari sana.“Weekend nanti kita anak kost putri banurasmi bakal ke pantai, tadi siang kita rencanain dan kebetulan kamu lagi gak ada di kostan El, jadi baru di kasih tahu sekarang,” jelas Luna. Elena mengangguk dengan mulut membentuk huruf O.“Iya El, kebetulan kamu belum kita kasih tahu ya. Harus ikut ya, wajib nih buat anak kost putri banurasmi,” tutur Gisel yang mulai bergabung.Lagi-lagi Elena mengangguk, tapi dengan jawaban yang belum ia berikan. Banyak hal yang perlu Elena pertimbangkan, waktu, pekerjaan dan suasana hatinya. Apakah dirinya ingin ikut atau tidak.“Aku juga udah bilang ke Nyonya Mei dan dia gak
“Lo serius udah baikan?” tanya Reno yang begitu khawatir.“Hm,” dehem Alva.“Serius gue kaget banget, pagi tadi Nyonya Rosie telepon marah-marah karena gue biarin pas lu sakit. Ya, gue mana tau lu lagi sakit Va,” tutur Reno yang terus mengikuti Alva yang menelusuri koridor menuju studio rekaman. Jadwal Alva hari ini memang akan melakukan rekaman single pertama yang judulnya masih di rahasiakan.“Jadi lu khawatir karena kena marah?” tanya Alva tanpa menoleh ke arah Reno.“Bu..bukan itu, serius gue khawatir sama lu Va.” Alva tak lagi menimpali, ia membuka ruang studio dan melihat Erick bersama staf lainnya yang sudah siap di sana.“Pagi ganteng, akhirnya datang juga,” seru Erick menyambut kedatangan Alva.“Sorry, gue belum telat setengah jam kan?” kata Alva.“It’s okay tapi kamu membuat seseorang lama menunggu sejak tadi,” tutur Erick.
Alva dan Rachel menelusuri jalanan setapak di antara gundukan-gundukan tanah yang ditumbuhi rerumputan hijau diatasnya. Alva membaca setiap nama yang tertera pada batu nisan yang sempat ia lihat. Jantungnya berdebar menantikan Rachel menghentikan langkahnya yang itu artinya mereka sudah sampai di tempat tujuan. Apa yang dinantikan Alva pun terjadi, Rachel berhenti menghadap dua gundukan tanah di depannya. Alva bergeser untuk berdiri di samping Rachel. Nama Raditya Andi yang Alva baca dari batu nisan yang ada di hadapannya, matanya melirik ke samping dan apa yang terjadi di dalam sana, terasa hancur berantakan. Kenyataan ini telah Alva ketahui sebelumnya, ia pun mengikuti Rachel dengan sadar. Tapi setelah melihatnya secara langsung dan kini berada di depan matanya semua rasa sakit ini begitu jelas.“Ini makam ibu… dan juga ayahku,” kata Rachel yang tetap memperkenalkannya pada Alva walaupun sebenarnya pria itu sudah tahu. Alva belum bersuara, Rachel menoleh
Kedua tangan Rachel memegang erat seatbelt yang baru ia gunakan di tengah perjalanan karena Alva yang mempercepat laju mobilnya sampai Rachel tersentak. Bahu Rachel terbentur pintu, salahnya tak mengenakannya seatbelt sejak awal.“Alva kamu gila!” seru Rachel yang memandang takut Alva yang menatap tajam jalanan di depan sana. Rachel tahu, Alva sedang tersulut emosi.“Aku tau kamu lagi marah, tapi tolong jangan kayak gini Va! Bahaya!” Rachel berteriak, berharap Alva akan tersadar, tapi nyatanya tidak. Alva terus saja mengemudikan mobilnya menggila.Rachel kini mulai memejamkan matanya seraya merapalkan doa, kini ia hanya berharap pada tuhan untuk menjaga dirinya dan Alva, terhindar dari hal yang tak diinginkan.Rachel merasakan laju mobil itu kini terhenti, nafasnya tak beraturan dengan tubuh bergetar. Perlahan ia membuka matanya bersamaan dengan suara pintu samping yang di buka. Sontak Rachel menoleh ke arah samping dan melihat Alv
Elena menekankan kedua kakinya pada lantai, menahan tubuh itu agar tak terjatuh karena Alva yang tiba-tiba menghampiri dan merengkuhnya. Tapi, walaupun tak melakukan itu Elena yakin Alva tak akan membiarkannya terhempas ke lantai. Sekarang saja pelukan Alva begitu erat seakan tak ingin terlepas. Elena merasakan geli pada lehernya, karena Alva yang menyembunyikan wajahnya di sana. Hembusan nafas Alva tak beraturan, membuat Elena khawatir dengan kondisi Alva saat ini.“Va, ada apa?” tanya Elena dengan tangan yang mulai terangkat membalas pelukan Alva, lalu mengusap punggung itu. Bukan jawaban yang Elena dapatkan, ia malah merasakan tangan Alva yang semakin melingkar sempurna pada tubuhnya. Tatapan mata Elena kini bertemu dengan manik mata Felic yang sama-sama memperlihatkan keterkejutannya. Bergeser ke samping kini pandangan Elena bertemu dengan Rachel yang beberapa detik setelahnya menolehkan pandangan ke arah lain seakan menghindar.“Va.” Tangan
Elena mengunyah makanannya perlahan, matanya sesekali melirik ke arah Rachel yang duduk bersisian dengan Alva. Kursi yang tadinya Elena ingin tempati, diduduki lebih dulu oleh Rachel. Oke gak apa El, masih ada kursi lain kan, batin Elena saat menarik diri dari arah belakang Alva menuju kursi yang kini berseberangan dengan Alva. Elena duduk bersisian dengan Felic. Sejak awal acara makan, Rachel begitu telaten menghidangkan menu ke dalam piring Alva. Ia mengambilkan Alva nasi, bertanya Alva ingin makan dengan apa dan Rachel pun mengambilkannya. Senyum Elena tersungging melihat itu, walaupun entah kenapa ada rasa tak nyaman pada perasaanya apalagi Alva yang terlihat tak keberatan dengan perlakuan Rachel. Elena langsung tepis perasaan itu. Alva dan Rachel adalah saudara, kamu gak berhak cemburu El, batin Elena lagi mengingatkan diri sendiri.Bukan hanya Elena yang tak nyaman dengan pemandangan itu, rupanya Felic pun diam-diam memicingkan mataya. Merasa heran dengan Alva yang bias
“Nunduk sedikit Va.”Alva menunduk mengikuti arahan Andres. Apalagi urusannya dengan Andres kalau bukan perihal pemotretan. Ya, Alva sedang melakukan pemotretan koleksi terbaru butik Meisie yang mengeluarkan rancangan terbaru edisi pria. Mei sendiri yang meminta Alva untuk menjadi modelnya dan Alva tak keberatan karena memang ia masih menjalani karirnya sebagai model. Walaupun profesi ini adalah profesi yang sempat Rosie paksakan padanya tapi seiring berjalannya waktu Alva pun mulai menikmatinya. Profesi ini sudah menjadikan namanya dikenal banyak orang, tak lupa Alva juga sudah berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Rosie karena pernah ada perselisihan di antara mereka. Dengan senang Rosie menerima maaf dan terima kasih itu, dan terjadilah moment haru di antara mereka. Alva tersenyum tipis mengingat semua itu, ia bersyukur kini hubungannya dengan keluarga sudah membaik apalagi dilengkapi dengan seseorang yang sudah ia ikat beberapa bulan lalu.Waktu b
Elena menoleh ke arah samping, dimana Alva yang sedang mengemudikan mobilnya. Ia pun melirik ke bawah, dimana tangannya yang sejak tadi terus saja digenggam oleh Alva. Elena sudah beberapa kali melepaskan genggaman tangan itu karena ia takut Alva tak leluasa mengemudi. Tapi, Alva sendiri yang tak membiarkan itu. Ia kembali menarik tangan Elena ketika genggaman tangan itu terlepas. Ia menyimpan tangan Elena di pangkuannya saat perlu mengemudi dengan dua tangan dan selebihnya ia kembali menggenggam tangan Elena.“Va, lepas dulu ya, biar kamu leluasa,” ucap Elena yang masih membujuk Alva agar tak terus menggenggam tangannya.“Gak apa-apa, masih bisa ko. Tenang aja,” jawabnya yang selalu mengatakan tidak apa-apa saat Elena membujuknya.“Tapi Va-““Stttt, kamu ngantuk hm? Tidur aja nanti aku bangunin kalau udah sampe.” Alva malah mengalihkan pembicaraan.“Sebentar lagi juga sampe, tangg
Aku tidak akan membiarkanmu terlepas darikuAku akan membuatmu tak sanggup untuk pergiKarena aku membutuhkanmu dan ingin memilikimu seutuhnyaBisakah kamu menyukaiku , bersamalah dengankuKamu bilang tak mau bertemu lagi jika aku masih menahanmu seperti iniJustru dengan ini aku tak akan membiarkanmu pergiSepertinya banyak hal yang aku tak tahu tentangmumenolak karena takut dicampakkan setelah didapatkanApa kamu perlu waktu untuk memikirkan jawabannyaTolong jaga hati kamu untukku selama aku dalam proses meyakinkan kamuAku tak pernah main-main tentang perasaan, yang hanya bisa dirasakan tanpa alasan. Aku menyukaimu bahkan menyayangimu, entah kenapa dan bagaimanaIzinkan aku untuk berjalan bersamamuAkan aku kendalikan apa yang bisa ku kendalikanBerhara
Ini pertama kalinya Elena memasuki ruang kerja Rosie, ia mengagumi ruangan yang didesain sangat cantik dengan perpaduan warna putih dan gold yang memang merupakan tema warna butik Rosie. Namun, hal itu bukan yang menjadi fokusnya saat ini, tetapi tujuan Rosie melibatkan dirinya atas pertemuannya dengan Alva memberikan tanda tanda tanya besar untuknya. Ada apa ini, tidak seperti biasanya.“Jangan khawatir, ada aku disini,” ucap Alva tiba-tiba. Sepertinya ia mengetahui kekhawatiran dari raut wajah Elena.Elena tersenyum tipis, ia menunduk seraya mengulum bibirnya. Sungguh ini menegangkan baginya. Rasa penasaran membuatnya semakin tegang, apa kabar nanti? Elena berharap masih dapat bernafas dengan lancar.Pintu ruangan terbuka. Rosie yang tadi izin keluar sebentar kini sudah kembali. Elena semakin menunduk, rasanya ia segan untuk mengangkat wajahnya. Berbeda dengan Alva yang duduk santai dan terlihat biasa saja.“Maaf menunggu lama,”
Punggungnya terasa pegal, padahal sudah diganjal oleh bantal. Elena mulai membuka matanya, ia menunduk melihat Alva yang begitu pulas dipelukannya. Lengannya yang Alva tindih ingin sekali Elena gerakan tapi takut Alva terbangun. Elena mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan jam dinding. Pukul dua dini hari, waktu saat ini. Rupanya sudah beberapa jam mereka dalam posisi seperti ini. Sebelumnya Elena meminta Alva untuk tidur di kamar, tapi Alva ingin Elena menemaninya. Karena enggan dan tak enak jika harus berduaan di dalam kamar Elena pun menolak. Bersikukuh tak ingin tidur tanpa Elena, Alva pun mengatur posisi tidur dan hasil akhirnya seperti ini. Elena pikir Alva hanya akan bertahan sebentar saja dengan posisi tidur itu, tapi nyatanya tidak. Ia begitu pulas tidur di lengan Elena dengan tangan yang melingkar di pinggang Elena. Sungguh, Elena merasa memiliki bayi besar.Bagaimana tidak pulas, kalau di lihat-lihat Alva tidur dengan posisi cukup nyaman. Kakinya ia selonjork
Perasaan apa ini? Kenapa begitu sakit? Seharusnya aku tak merasa kecewa, kenapa malah sebaliknya, batin Elena dengan tangan yang terus menggenggam erat pegangan pintu. Emosi yang ia rasakan sedang tak dapat bekerja sama. Tangan Elena menutup pintu dengan kasar, gerakan di luar kendalinya membuat ia sendiri terkejut.Takut ketahuan, Elena pun bergegas menjauhi pintu dan masuk ke kamar mandi. Berharap kedua orang yang ada di luar tak mendengar suara itu. Tenang El, mereka pasti gak denger, batin Elena menenangkan diri sendiri.Elena menghadapkan tubuhnya ke arah cermin wastafel yang ada di kamar mandi. Ia mengusap wajahnya, memejamkan mata sebentar seraya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar.“Kenapa sesakit ini sih liat mereka pelukan.”“Gak boleh El, kamu gak boleh kayak gini. Mereka saudara, tapi kenapa tatapan Rachel…” Elena menggelengkan kepalanya, ia membuang pikiran buruknya terhadap Rachel. Bayangan akan Al
Roy mengusap bahu Rosie beberapa kali, ia mencoba menenangkan Rosie yang tak tenang semenjak penyampaian Alva pada media. Ponselnya berdering sejak tadi, beberapa pesan sempat Rosie terima tak lain mereka menanyakan kebenaran atas apa yang Alva sampaikan dan beberapa lainnya kembali mengulang masa lalu. Hal yang sangat Rosie khawatirkan saat ini, mereka yang tahu kembali mengungkit apa yang telah terjadi. Keterpurukan yang sudah Rosie kubur dalam-dalam dan menggantikannya dengan gemerlap yang merubah segalanya. Sungguh ia tak ingin masa itu kembali datang.Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Terlihat Reno yang hanya datang seorang diri tidak bersama seseorang yang ingin mereka temui saat ini.“Mana Alva?” tanya Rosie yang tak melihat keberadaan Alva memasuki ruang tunggu agensi musik itu.“Dia masih di studio, baru bisa ditemui 15 menit lagi. Maaf membuat Tuan dan Nyonya menunggu lama.” Reno menunduk memperlihatkan rasa hormatny
“Ya, aku memiliki hubungan yang cukup dekat dengannya.”“Apa kalian pacaran? Kamu terlihat memasuki rumah Rachel Aditya malam tadi. Apakah itu benar kamu Alva?”Alva tersenyum tipis, ia menunduk sebentar dan kembali memperlihatkan wajahnya pada kamera. “Dia adikku,” jawaban itu mengejutkan semua awak media.“Adik? Bukannya adikmu adalah Felicia?” tanya salah satu reporter yang ada di sana. Alva tak langsung menjawab, ia hanya menampilkan senyumnya di sana membuat semuanya penasaran akan apa yang Alva katakan selanjutnya.“Aku baru mengetahui kenyataan yang cukup mengejutkan.” Apa yang Alva utarakan begitu membuat riuh.“Nyonya Rosie, pemilik Rosie boutique yang cukup terkenal dikalangan para selebriti itu adalah ibumu, bukan begitu?” Alva menoleh pada reporter yang baru saja bertanya dan kembali menampilkan senyum tipisnya di sana.“Ibu kandungku bernama Kalina,&rd
Dua orang yang menempati meja dekat jendela itu masih saling diam. Rosie yang memandang keluar jendela memperhatikan keadaan di luar sana, sedangkan Rachel yang menunduk seraya mengaduk minumannya. Mulai tak nyaman dengan keadaan ini, Rachel pun menghembuskan nafas pelan seraya menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia mulai memandang lurus ke arah Rosie yang belum mengatakan alasannya kenapa mengajak bertemu pagi ini juga.“Apa yang anda ingin sampaikan Nyonya Rosie?” tanya Rachel yang sudah tak tahan dengan keadaan saling diam.Helaan nafas Rosie terdengar, masih dengan memandang keluar ia pun menjawab, “Aku penasaran kenapa kamu dan Alva bisa ada di pemakaman itu?” akhirnya Rosie mengatakan maksudnya.Hal yang sudah Rachel duga sebelumnya, dan dugaan itu benar rupanya. Beberapa saat Rachel terdiam, sampai Rosie mulai menoleh ke arahnya karena gadis itu yang tak langsung menjawab.“Kenyataan ini sangat mengejutkan, ha