Angin sore itu membawa asap yang mengepul dari mulut Alva ke arah dalam. Sampai menerpa wajah seseorang yang berdiri di ambang pintu balkon, mengawasi Alva yang sedang menikmati suasana sore dengan sebuah rokok elektrik yang berada di genggamannya sejak tadi. Rachel masih berada di apartemen Alva, kebetulan ia pun sedang tak ada pekerjaan membuatnya masih menahan diri untuk berada di tempat ini sejak kemarin malam.
“Va,” panggil Rachel seraya menyentuh pundak Alva dengan salah satu telapak tangannya. Panggilan itu tak membuat Alva menoleh atau hanya sekedar merespon. Alva masih memandangi suasana sore di depan sana dengan sesekali menghisap asap beraroma manis.
“Kenapa lo masih disini?” pertanyaan Alva membuat Rachel mengerjap. “A..aku aku khawatir ninggalin kamu Va?”
“Ada Felic, lagi pula gue udah gede gak perlu diawasi kayak gini,” tutur Alva yang masih belum menoleh ke arah Rachel yang berdiri di sampingnya. Rac
Entah sudah berapa lama Alva berdiri di depan unitnya, memandangi pintu unit apartemen yang sempat Elena tempati. Alva merindukan saat dimana setiap pulang selalu bertemu dengan gadis itu, makan malam bersama dan merecoki waktu istirahatnya.Alva juga teringat saat dimana ia memergoki Elena yang hanya mengenakan sehelai handuk untuk menutupi tubuhnya. Alva ingat betul raut wajah ketakutan Elena saat itu, karena Alva yang mem perangkapnya. Senyuman Alva tersungging kala mengingatnya, gadisnya sungguh menggemaskan.Namun, saat ini dia memilih untuk menempati tempat tinggal baru. Meninggalkan tempat lama yang menyisakan banyak hal yang berkesan. Ya, begitulah menurut Alva. Seorang desainer butik Mei yang menarik perhatiannya dan begitu saja menimbulkan sebuah rasa dalam dadanya.“Aku akan membawamu kembali El, aku tak akan membiarkan tempat ini tak berpenghuni,” ucap Alva masih dengan mata yang tertuju pada pintu berwarna coklat yang ada di hadapa
Sudah tiga hari setelah ia datang ke apartemen Alva terakhir kali, Elena belum mengetahui kabar Alva lagi sampai sekarang. Dirinya juga belum mencoba menghubungi Alva lebih dulu, Elena enggan melakukannya. Melihat kedekatan Alva dan Rachel ditambah Rosie yang sedang berusaha mendekatkan keduanya membuat Elena tak berani untuk melangkah mendekat. Setelah hari itu pula Felic tak menemuinya lagi bahkan telepon pun tak ada, kejadian ini membuat Elena cemas.Apa Felic marah sama aku ya karena pergi gitu aja, batin Elena. Padahal dirinya kini sudah tidak tinggal di tempat Alva, ini artinya rasa tak enak karena sudah merepotkan itu sudah hilang. Seharusnya dirinya lega, tapi kenapa rasa ini berbeda. Elena merasa tak nyaman dengan keadaan ini, apa karena tak adanya kabar dari Alva.Sesuatu mengejutkannya, usapan pada pundak membuat Elena terperanjat.“Ops maaf aku mengagetkanmu ya?” kata Mei seorang penyebab keterkejutan itu. Memang tak main, sungguh Elena t
Seperti apa yang dikatakan Mei tadi, Gisel dan karyawan lain butik pergi untuk mencari hiburan akhir pekan, menonton bioskop, makan di café dan berkeliling untuk melihat-lihat barang yang mungkin akan mereka beli. Gisel juga sempat mengajak Elena, tapi kini Elena menolaknya karena memang sejak siang ia berniat untuk langsung pulang. Tidak ada hal yang begitu mendesak, hanya saja ia merasa ingin langsung pulang saja. Mungkin memasak sesuatu yang berbeda dan menonton di kamar kost sendiri akan Elena lakukan malam ini.Gisel sempat sedikit memaksa memang, tapi jika dibandingkan dengan Elena yang memiliki pertahanan kuat Elenalah lebih unggul. Akhirnya Gisel menyerah dan membiarkan Elena pulang ke kost lebih dulu.Taksi yang ditumpangi Elena sudah berhenti tak jauh dari pagar kost putri banurasmi, tempat tinggalnya saat ini. Sang pemilik kost tidak memberikan peraturan yang begitu ketat bagi mereka yang tinggal di sini, karena sebagian besar dari kita bukanlah seora
“Ka..kamu ngapain?” Elena sungguh terkejut dengan aksi nyeleneh Alva.“Cicipi makanan kamu,” jawab Alva santai seraya mengambil makanannya dalam kantong.“Ta.. tapi kenapa harus-“ ucapan Elena tertahan, ia tak sanggup melanjutkannya. Kedipan mata Alva berikan, ia segera melahap bagiannya dan menatap lurus ke depan. Sedangkan Elena merasakan pergerakan kaku pada tubuhnya. Ia memalingkan wajah ke arah lain seraya menetralisir degup jantungnya.Keduanya menikmati makanan masing-masing, hanya suara dari luar dan pergerakan mereka yang terdengar. Keduanya belum kembali membuka suara. Elena sudah selesai dengan makannya, ia pun melipat bungkusan kecil bekas makanan cepat saji itu. Alva menyodorkan satu cup minuman ke arah Elena. Elena mengerjap kemudian menerimanya.“Makasih,” ucap Elena. Ia merasa tak enak padahal ia bisa ambil sendiri tanpa di sodorkan seperti itu. Setelah beberapa kali menenggaknya, Elena kemba
Tidurnya nyenyak sekali, sampai ia belum bangun hingga saat ini. Alva sempat khawatir Elena akan terbangun ketika ia membawanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Di sini lah mereka sekarang, Alva membawa Elena ke unit apartemen yang sempat ditinggalkan penghuninya. Alva membawa Elena ke apartemennya. Tapi syukurlah Elena tak terbangun walau sempat terusik.“Masih aja liatin Kak El,” suara Felic membuat Alva melirik sebentar dan kembali pada pusat perhatiannya sejak tadi.“Tau Kok, Kak El cantik,” kata Felic lagi. Alva menyunggingkan senyumnya, masih dengan mata yang memandangi Elena yang bergerak mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping menghadap Alva yang duduk di sisinya.“Mandi gih, baru bangun udah nongkrong aja liatin doi,” seru Felic yang mulai masuk menghampiri Alva. Felic hendak menarik tangan Alva, tapi Alva lebih dulu menghentikan pergerakannya. Felic memutar bola mata malas merasa geli dengan sikap Alva
“Sampai kapan kamu akan menganggap dirimu tak pantas El?” Alva berucap masih dengan memeluk Elena yang sesenggukkan.“Aku tak peduli apa profesimu, dari mana kamu berasal, dari keluarga mana pun kamu. Aku mencintaimu El, itu yang aku rasakan.” Alva mencium dan menghirup dalam puncak kepala Elena dengan mata terpejam.“Apa aku berhak mencintaimu Va?” Alva membuka matanya kembali dengan pelukan yang ia pererat.“Balaslah perasaanku El, beri aku ruang untuk bersamamu dan berjalan denganmu.” Alva melepaskan pelukan itu beralih menangkup sisi wajah Elena. Mata berair membasahi pipi, dan hidung memerah menjadi pemadangan Alva kali ini. Alva kembali mendekat dan mencium kening Elena beberapa detik. Setelah itu, ia membersihkan jejak air mata pada wajah Elena.“Maaf aku telah mengecewakanmu,” kata Alva yang kembali menangkup sisi wajah Elena. Tak membiarkan Elena mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Bagaimana keadaanmu?” Roy bertanya seraya berjalan mendekat ke arah Alva dan Elena.“Aku ada disini, itu berarti aku baik-baik saja,” jawab Alva yang malah ditimpali kekehan oleh Roy.Elena menunduk saat Roy melirik Alva dan dirinya secara bergantian. Bertemu dengan Roy mengingatkan Elena akan cerita masa lalu Naura. Ia jadi semakin canggung.“Halo Elena, apa kabar?” Elena mengerjap. Ia mengangkat wajah memberanikan diri membalas tatapan Roy.“Baik Tuan, Tuan Roy apa kabar?” Elena balik bertanya. Bukannya jawaban yang Roy berikan, pria paruh baya itu kembali terkekeh membuat Elena heran apakah ada yang salah dengan ucapannya.“Bagaimana kalau kamu panggil aku om saja,” ucapnya. Rupanya tawa renyah itu tertuju pada sebuah panggilan.“Saya takut tidak sopan Tuan,” timpal Elena yang kini kembali menunduk. Roy tersenyum melihatnya dan mendekat. Roy mengusap bahu Elena membu
Roy menggeleng kuat, ia tak habis pikir Rosie membayar orang untuk mengikutinya. Sangat keterlaluan, pikir Roy.“Kenapa kamu melakukan itu Ros?” Roy memegang kedua bahu Rosie, menuntut penjelasan.“Karena kamu orang yang sulit dipercaya.” Deg! Bahu tegap Roy meluruh, ia tertampar dengan jawaban yang dilontarkan istrinya.“Beralasan pergi untuk meeting ke luar kota, tapi nyatanya menemui perempuan lain.”“Kapan aku melakukan itu Rosie? Kamu jangan asal bicara!” Roy melepaskan cekalannya pada bahu Rosie.“Kau pikir aku tak tahu kamu yang diam-diam datang hanya untuk memperhatikan Naura dari jauh!” Mata Roy membulat, ia tak mampu berkata-kata lagi.Rosie berbalik membelakangi Roy, ia memijat keningnya. Bahunya bergetar, ia berusaha untuk menahan tangis namun tak bisa.“Menurutmu kenapa aku tak setuju dengan hubungan Alva dan desainer Mei itu?” lirih Rosie di sela tan
“Nunduk sedikit Va.”Alva menunduk mengikuti arahan Andres. Apalagi urusannya dengan Andres kalau bukan perihal pemotretan. Ya, Alva sedang melakukan pemotretan koleksi terbaru butik Meisie yang mengeluarkan rancangan terbaru edisi pria. Mei sendiri yang meminta Alva untuk menjadi modelnya dan Alva tak keberatan karena memang ia masih menjalani karirnya sebagai model. Walaupun profesi ini adalah profesi yang sempat Rosie paksakan padanya tapi seiring berjalannya waktu Alva pun mulai menikmatinya. Profesi ini sudah menjadikan namanya dikenal banyak orang, tak lupa Alva juga sudah berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Rosie karena pernah ada perselisihan di antara mereka. Dengan senang Rosie menerima maaf dan terima kasih itu, dan terjadilah moment haru di antara mereka. Alva tersenyum tipis mengingat semua itu, ia bersyukur kini hubungannya dengan keluarga sudah membaik apalagi dilengkapi dengan seseorang yang sudah ia ikat beberapa bulan lalu.Waktu b
Elena menoleh ke arah samping, dimana Alva yang sedang mengemudikan mobilnya. Ia pun melirik ke bawah, dimana tangannya yang sejak tadi terus saja digenggam oleh Alva. Elena sudah beberapa kali melepaskan genggaman tangan itu karena ia takut Alva tak leluasa mengemudi. Tapi, Alva sendiri yang tak membiarkan itu. Ia kembali menarik tangan Elena ketika genggaman tangan itu terlepas. Ia menyimpan tangan Elena di pangkuannya saat perlu mengemudi dengan dua tangan dan selebihnya ia kembali menggenggam tangan Elena.“Va, lepas dulu ya, biar kamu leluasa,” ucap Elena yang masih membujuk Alva agar tak terus menggenggam tangannya.“Gak apa-apa, masih bisa ko. Tenang aja,” jawabnya yang selalu mengatakan tidak apa-apa saat Elena membujuknya.“Tapi Va-““Stttt, kamu ngantuk hm? Tidur aja nanti aku bangunin kalau udah sampe.” Alva malah mengalihkan pembicaraan.“Sebentar lagi juga sampe, tangg
Aku tidak akan membiarkanmu terlepas darikuAku akan membuatmu tak sanggup untuk pergiKarena aku membutuhkanmu dan ingin memilikimu seutuhnyaBisakah kamu menyukaiku , bersamalah dengankuKamu bilang tak mau bertemu lagi jika aku masih menahanmu seperti iniJustru dengan ini aku tak akan membiarkanmu pergiSepertinya banyak hal yang aku tak tahu tentangmumenolak karena takut dicampakkan setelah didapatkanApa kamu perlu waktu untuk memikirkan jawabannyaTolong jaga hati kamu untukku selama aku dalam proses meyakinkan kamuAku tak pernah main-main tentang perasaan, yang hanya bisa dirasakan tanpa alasan. Aku menyukaimu bahkan menyayangimu, entah kenapa dan bagaimanaIzinkan aku untuk berjalan bersamamuAkan aku kendalikan apa yang bisa ku kendalikanBerhara
Ini pertama kalinya Elena memasuki ruang kerja Rosie, ia mengagumi ruangan yang didesain sangat cantik dengan perpaduan warna putih dan gold yang memang merupakan tema warna butik Rosie. Namun, hal itu bukan yang menjadi fokusnya saat ini, tetapi tujuan Rosie melibatkan dirinya atas pertemuannya dengan Alva memberikan tanda tanda tanya besar untuknya. Ada apa ini, tidak seperti biasanya.“Jangan khawatir, ada aku disini,” ucap Alva tiba-tiba. Sepertinya ia mengetahui kekhawatiran dari raut wajah Elena.Elena tersenyum tipis, ia menunduk seraya mengulum bibirnya. Sungguh ini menegangkan baginya. Rasa penasaran membuatnya semakin tegang, apa kabar nanti? Elena berharap masih dapat bernafas dengan lancar.Pintu ruangan terbuka. Rosie yang tadi izin keluar sebentar kini sudah kembali. Elena semakin menunduk, rasanya ia segan untuk mengangkat wajahnya. Berbeda dengan Alva yang duduk santai dan terlihat biasa saja.“Maaf menunggu lama,”
Punggungnya terasa pegal, padahal sudah diganjal oleh bantal. Elena mulai membuka matanya, ia menunduk melihat Alva yang begitu pulas dipelukannya. Lengannya yang Alva tindih ingin sekali Elena gerakan tapi takut Alva terbangun. Elena mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan jam dinding. Pukul dua dini hari, waktu saat ini. Rupanya sudah beberapa jam mereka dalam posisi seperti ini. Sebelumnya Elena meminta Alva untuk tidur di kamar, tapi Alva ingin Elena menemaninya. Karena enggan dan tak enak jika harus berduaan di dalam kamar Elena pun menolak. Bersikukuh tak ingin tidur tanpa Elena, Alva pun mengatur posisi tidur dan hasil akhirnya seperti ini. Elena pikir Alva hanya akan bertahan sebentar saja dengan posisi tidur itu, tapi nyatanya tidak. Ia begitu pulas tidur di lengan Elena dengan tangan yang melingkar di pinggang Elena. Sungguh, Elena merasa memiliki bayi besar.Bagaimana tidak pulas, kalau di lihat-lihat Alva tidur dengan posisi cukup nyaman. Kakinya ia selonjork
Perasaan apa ini? Kenapa begitu sakit? Seharusnya aku tak merasa kecewa, kenapa malah sebaliknya, batin Elena dengan tangan yang terus menggenggam erat pegangan pintu. Emosi yang ia rasakan sedang tak dapat bekerja sama. Tangan Elena menutup pintu dengan kasar, gerakan di luar kendalinya membuat ia sendiri terkejut.Takut ketahuan, Elena pun bergegas menjauhi pintu dan masuk ke kamar mandi. Berharap kedua orang yang ada di luar tak mendengar suara itu. Tenang El, mereka pasti gak denger, batin Elena menenangkan diri sendiri.Elena menghadapkan tubuhnya ke arah cermin wastafel yang ada di kamar mandi. Ia mengusap wajahnya, memejamkan mata sebentar seraya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar.“Kenapa sesakit ini sih liat mereka pelukan.”“Gak boleh El, kamu gak boleh kayak gini. Mereka saudara, tapi kenapa tatapan Rachel…” Elena menggelengkan kepalanya, ia membuang pikiran buruknya terhadap Rachel. Bayangan akan Al
Roy mengusap bahu Rosie beberapa kali, ia mencoba menenangkan Rosie yang tak tenang semenjak penyampaian Alva pada media. Ponselnya berdering sejak tadi, beberapa pesan sempat Rosie terima tak lain mereka menanyakan kebenaran atas apa yang Alva sampaikan dan beberapa lainnya kembali mengulang masa lalu. Hal yang sangat Rosie khawatirkan saat ini, mereka yang tahu kembali mengungkit apa yang telah terjadi. Keterpurukan yang sudah Rosie kubur dalam-dalam dan menggantikannya dengan gemerlap yang merubah segalanya. Sungguh ia tak ingin masa itu kembali datang.Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Terlihat Reno yang hanya datang seorang diri tidak bersama seseorang yang ingin mereka temui saat ini.“Mana Alva?” tanya Rosie yang tak melihat keberadaan Alva memasuki ruang tunggu agensi musik itu.“Dia masih di studio, baru bisa ditemui 15 menit lagi. Maaf membuat Tuan dan Nyonya menunggu lama.” Reno menunduk memperlihatkan rasa hormatny
“Ya, aku memiliki hubungan yang cukup dekat dengannya.”“Apa kalian pacaran? Kamu terlihat memasuki rumah Rachel Aditya malam tadi. Apakah itu benar kamu Alva?”Alva tersenyum tipis, ia menunduk sebentar dan kembali memperlihatkan wajahnya pada kamera. “Dia adikku,” jawaban itu mengejutkan semua awak media.“Adik? Bukannya adikmu adalah Felicia?” tanya salah satu reporter yang ada di sana. Alva tak langsung menjawab, ia hanya menampilkan senyumnya di sana membuat semuanya penasaran akan apa yang Alva katakan selanjutnya.“Aku baru mengetahui kenyataan yang cukup mengejutkan.” Apa yang Alva utarakan begitu membuat riuh.“Nyonya Rosie, pemilik Rosie boutique yang cukup terkenal dikalangan para selebriti itu adalah ibumu, bukan begitu?” Alva menoleh pada reporter yang baru saja bertanya dan kembali menampilkan senyum tipisnya di sana.“Ibu kandungku bernama Kalina,&rd
Dua orang yang menempati meja dekat jendela itu masih saling diam. Rosie yang memandang keluar jendela memperhatikan keadaan di luar sana, sedangkan Rachel yang menunduk seraya mengaduk minumannya. Mulai tak nyaman dengan keadaan ini, Rachel pun menghembuskan nafas pelan seraya menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia mulai memandang lurus ke arah Rosie yang belum mengatakan alasannya kenapa mengajak bertemu pagi ini juga.“Apa yang anda ingin sampaikan Nyonya Rosie?” tanya Rachel yang sudah tak tahan dengan keadaan saling diam.Helaan nafas Rosie terdengar, masih dengan memandang keluar ia pun menjawab, “Aku penasaran kenapa kamu dan Alva bisa ada di pemakaman itu?” akhirnya Rosie mengatakan maksudnya.Hal yang sudah Rachel duga sebelumnya, dan dugaan itu benar rupanya. Beberapa saat Rachel terdiam, sampai Rosie mulai menoleh ke arahnya karena gadis itu yang tak langsung menjawab.“Kenyataan ini sangat mengejutkan, ha