Gara-gara permintaan menyebalkan itu, Elena enggan untuk beristirahat. Kalau tidak Mei yang menyuruhnya mungkin ia akan terus bekerja. Alva membuatnya malu, bisa-bisanya ia nekat melakukan itu. Keterlaluan, sungguh ia tak nyaman.
Elena hendak memencet sandi unitnya, namun ia berbalik dan menatap tajam pintu unit yang ada di depannya itu. Apa aku harus memarahinya sekarang?
Setelah melakukan pertimbangan singkat, ia pun berjalan mendekat ke arah pintu unit Alva. Ia memencet bel dan mengetuk pintu.
Dia ada di unitnya kan? Apa lagi-lagi dia sedang berada di ruang musiknya?
Pintu unit Alva tak kunjung terbuka padahal ia sudah memencet dan mengetuk pintu beberapa kali, Elena pun berbalik dan segera membuka pintu unitnya dengan tergesa. Pintu terbuka dan apa yang ia harapkan tak terjadi. Tak ada sepatu yang berada di dekat pintu. Sepatu milik Erick biasanya, karena kalau Alva sendiri selalu mengenakan sandal rumahnya dan langsung masuk menggunakan sandal itu.
Dinding lift yang dingin menjadi sandaran tubuh Alva. Percakapan Roy dan Rosie malam itu kembali terngiang di telinganya mengingatkan Alva akan rencana yang beberapa hari lalu ia sepakati bersama Erick. Pencarian akan siapa ibu kandungnya.“Va, tentang masa lalu lo…” Secara kebetulan Erick mengatakan apa yang sedang Alva pikirkan saat ini. “Apa lo punya orang yang bisa lo tanyain, tentunya yang bisa lo percaya,” lanjut Erick.“Belum ada langkah yang gue ambil sampai sekarang,” jawab Alva karena memang ia belum melakukan apapun untuk pencarian siapa perihal orang tua kandungnya itu.Suara getaran ponsel terdengar. Alva yang merasakan getaran dari saku celananya langsung merogoh benda itu. Alva kembali memalingkan wajahnya malas ketika melihat siapa yang sedang menghubunginya. Erick melirik ke arah layar kecil yang masih menampilkan nama seseorang di sana.“Bokap lo?”“Hm,” jawab Alva
Elena kembali dari dapur dengan nampan yang berisi minuman untuk disuguhkan pada Alva dan Erick. Namun, ia melihat Alva maupun Felic masih berdiri dengan saling diam. Beberapa saat lalu perbincangan kedua orang itu Elena dengar dan memang merupakan topik yang cukup serius.“Ayo duduk dulu.” Alva dan Felic menoleh ke arah Elena dan mengikutinya bergabung dengan Erick yang sudah sejak tadi pada sofa panjang itu.“Makasih cantik pasti ini enak banget,” kata Erick yang mengambil salah satu gelas yang Elena simpan di atas meja. Alva melihat Erick yang mengerlingkan matanya jahil ke arah Elena dan hal itu membuat Alva sedikit kesal. Elena tersenyum atas apa yang Erick ucapkan.Elena duduk pada single sofa yang tak jauh dari sofa panjang yang di duduki Alva, Erick dan Felic. Mata Elena melirik Alva dan Felic bergantian. Perbincangan itu belum berlanjut lagi. Sepertinya ia perlu memberikan ruang hanya untuk Alva dan Felic agar perbincangan periha
Felicia mendekatkan kursinya dengan kursi yang ditempati Alva. Ia memperhatikan wajah Alva dari dekat. Mendengar permintaan Alva barusan membuat Felic ingin menggoda kakaknya itu.“Sejak kapan kakak kesulitan menaklukan hati perempuan?” Felic bertanya masih dengan posisinya dekat dengan Alva. Alva menempelkan telunjuknya di kening Felic dan memundurkan wajah itu.Setahu Felic kakaknya ini selalu mudah mendapatkan seseorang yang ia inginkan, bahkan malah mereka yang mengejarnya bukan Alva yang sengaja mencari. Hidup menjadi seorang model menjadikan Alva dikenal banyak orang dan banyak yang menyukainya. Banyak juga dari teman-teman Felic yang menanyakan banyak hal tentang Alva, terkadang ia lelah menjadi adik seseorang yang terkenal dan didambakan banyak orang seperti Alva.“Tak semudah itu mendapatkan Elena, untuk itu Kakak butuh bantuan kamu,” kata Alva yang mulai memakan sarapannya.“Jangan bilang Kakak tertarik karena dia s
Alva maupun Roy masih berdiri di tempatnya. Alva memusatkan perhatiannya ke arah lain, sedangkan Roy menatap nanar putranya.“Ya, Rosie bukanlah ibu kandungmu. Tapi dia yang merawatmu sejak kecil hingga dewasa Alva.” Roy melangkah mendekat menyimpan tangannya di pundak Alva. “Dia sangat menyayangimu, dia menganggapmu seperti anak kandungnya sendiri,” tutur Roy yang mencoba memberi pengertian pada Alva.“Dia hanya gila akan reputasi, bukan menyayangiku.” Plak! Suara nyaring itu terdengar, tangan Roy lolos melayangkan tamparannya. Ucapan Alva sangat ia tak sukai. Posisi wajah Alva menoleh ke arah samping karena tamparan keras Roy pada wajahnya.“Jangan sembarangan kamu kalau ngomong, kamu tidak akan menjadi sesukses ini tanpa dirinya,” suara tinggi itu menggema. Alva menoleh perlahan menghadapkan wajahnya ke arah Roy. Mata Roy membulat ketika melihat ada cairan merah di sudut bibir Alva. Tangannya bergetar, semua ini
Wajah tampan menyebalkan itu masih ia pandangi, permintaan Alva tak Elena hiraukan. Ia terus mengobati sudut bibir pria itu. Alva hanya diam menikmati wajah Elena dari dekat, tak ada ringisan yang ia keluarkan walaupun sudut bibirnya terasa perih.“Apa yang terjadi sebenarnya?” Suara pelan Elena terdengar jelas dipendengaran Alva karena jarak mereka begitu dekat.“Tidak ada apa-apa,” jawab Alva tanpa pikir panjang. Elena melirikkan matanya, membalas tatapan Alva.“Ceritalah, siapa tahu aku bisa membantu,” kata Elena yang kini mulai menjauh karena pekerjaannya sudah selesai. Elena merapikan kotak obat itu dan menutupnya kembali.“Kamu mau bantu?” tanya Alva menolehkan wajah Elena. Anggukan Elena berikan dan mulai berdiri menghadap Alva.“Jika aku mampu melakukannya, aku akan berusaha untuk bisa membantumu,” tutur Elena. Senyum Alva terbit, ia berdiri dari duduknya dengan kedua tangan
Elena mengeluarkan tawanya, tawa yang sangat dibuat-buat. Apa yang Andres katakan sebelumnya membuat Elena gugup setengah mati. Teman tapi mesra? Apa iya? Elena merasa tidak bersikap seperti itu terhadap Alva. Tapi kalau tidak, kenapa dirinya segugup ini? “Bukannya itu judul sebuah film?” kata Elena menganggapnya candaan. Andres terkekeh, rupanya Elena seru juga di ajak mengobrol seperti ini. Bincang singkat itu terhenti, saat di mana sang model sudah kembali siap dengan busana yang berbeda. Elena kembali memperhatikan proses pengambilan gambar itu, matanya menatap intens wajah Rachel yang entah kenapa semakin ia melihatnya dengan seksama, wajah itu semakin mirip dengan Alva. “Pemilihan model yang bagus,” suara itu membuat Elena menoleh ke arah samping. Dimana ia melihat keberadaan Rosie dengan jarak beberapa langkah dari tempatnya. Rosie sedang berbincang dengan Mei yang berada di sampingnya. “Rachel satu agensi dengan Alva, mereka juga pernah berada
Nomor tujuan itu masih belum bisa dihubungi. Alva mencobanya beberapa kali tapi tetap saja nomor ponsel Elena belum aktif. Kakinya berjalan ke sana kemari tak bisa diam, membuat Mei maupun Reno geleng-geleng melihatnya.“Dia lagi asik sama temen-temennya Va, biarlah,” ucap Mei entah yang keberapa kali berusaha menenangkan Alva yang uring-uringan.“Tapi apa harus gak bisa dihubungi gini?” katanya. Mei menahan senyumnya melihat keponakannya ini yang sepertinya sudah tak bisa jauh dari Elena.“Kasih dia waktu buat main sama teman-temannya Va, lagi pula ini pertama kalinya loh Elena jalan bareng mereka.” Reno yang mendengar itu sontak menoleh pada Mei.“Serius Tan?” tanyanya yang tak percaya. Anggukan Mei berikan.“Elena selalu langsung pulang setelah pekerjaannya selesai, ia lebih memilih istirahat di rumah daripada ikut jalan sama yang lain. Padahal sudah bisa dikatakan lama mereka bersama. Tapi s
Suara berat Alva terdengar jelas di telinga kirinya. Bagaimana tidak, Alva menumpukkan dagunya di sana. Elena terbatuk sebentar lalu menurunkan gelas yang ia pegang. Ia pun memegang tangan Alva yang melingkar di pinggangnya, ingin melepaskannya dari sana.“Lepas Va,” pinta Elena. Bukannya melepaskan, Alva malah mengendus rambut setengah basah Elena.“Rambut kamu wangi,” katanya membuat Elena merasakan sesuatu bergejolak di dalam perutnya. Posisi ini cukup intim, ia harus mengakhirinya.“Va lepas, jangan gini,” kata Elena lagi berusaha melepaskan pelukan Alva.“Alva!” Suara itu menggema, Elena sontak menoleh ke arah tangga. Audy menatapnya dengan tajam. Derap langkah itu begitu berisik, sepatu hak tinggi yang dikenakan Audy menimbulkan suara nyaring. Ia berjalan cepat menuruni tangga lalu berjalan ke arah dapur di mana Elena dan Alva berada.“Va,” lirih Elena menoleh ke arah samping. Rupany
“Nunduk sedikit Va.”Alva menunduk mengikuti arahan Andres. Apalagi urusannya dengan Andres kalau bukan perihal pemotretan. Ya, Alva sedang melakukan pemotretan koleksi terbaru butik Meisie yang mengeluarkan rancangan terbaru edisi pria. Mei sendiri yang meminta Alva untuk menjadi modelnya dan Alva tak keberatan karena memang ia masih menjalani karirnya sebagai model. Walaupun profesi ini adalah profesi yang sempat Rosie paksakan padanya tapi seiring berjalannya waktu Alva pun mulai menikmatinya. Profesi ini sudah menjadikan namanya dikenal banyak orang, tak lupa Alva juga sudah berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Rosie karena pernah ada perselisihan di antara mereka. Dengan senang Rosie menerima maaf dan terima kasih itu, dan terjadilah moment haru di antara mereka. Alva tersenyum tipis mengingat semua itu, ia bersyukur kini hubungannya dengan keluarga sudah membaik apalagi dilengkapi dengan seseorang yang sudah ia ikat beberapa bulan lalu.Waktu b
Elena menoleh ke arah samping, dimana Alva yang sedang mengemudikan mobilnya. Ia pun melirik ke bawah, dimana tangannya yang sejak tadi terus saja digenggam oleh Alva. Elena sudah beberapa kali melepaskan genggaman tangan itu karena ia takut Alva tak leluasa mengemudi. Tapi, Alva sendiri yang tak membiarkan itu. Ia kembali menarik tangan Elena ketika genggaman tangan itu terlepas. Ia menyimpan tangan Elena di pangkuannya saat perlu mengemudi dengan dua tangan dan selebihnya ia kembali menggenggam tangan Elena.“Va, lepas dulu ya, biar kamu leluasa,” ucap Elena yang masih membujuk Alva agar tak terus menggenggam tangannya.“Gak apa-apa, masih bisa ko. Tenang aja,” jawabnya yang selalu mengatakan tidak apa-apa saat Elena membujuknya.“Tapi Va-““Stttt, kamu ngantuk hm? Tidur aja nanti aku bangunin kalau udah sampe.” Alva malah mengalihkan pembicaraan.“Sebentar lagi juga sampe, tangg
Aku tidak akan membiarkanmu terlepas darikuAku akan membuatmu tak sanggup untuk pergiKarena aku membutuhkanmu dan ingin memilikimu seutuhnyaBisakah kamu menyukaiku , bersamalah dengankuKamu bilang tak mau bertemu lagi jika aku masih menahanmu seperti iniJustru dengan ini aku tak akan membiarkanmu pergiSepertinya banyak hal yang aku tak tahu tentangmumenolak karena takut dicampakkan setelah didapatkanApa kamu perlu waktu untuk memikirkan jawabannyaTolong jaga hati kamu untukku selama aku dalam proses meyakinkan kamuAku tak pernah main-main tentang perasaan, yang hanya bisa dirasakan tanpa alasan. Aku menyukaimu bahkan menyayangimu, entah kenapa dan bagaimanaIzinkan aku untuk berjalan bersamamuAkan aku kendalikan apa yang bisa ku kendalikanBerhara
Ini pertama kalinya Elena memasuki ruang kerja Rosie, ia mengagumi ruangan yang didesain sangat cantik dengan perpaduan warna putih dan gold yang memang merupakan tema warna butik Rosie. Namun, hal itu bukan yang menjadi fokusnya saat ini, tetapi tujuan Rosie melibatkan dirinya atas pertemuannya dengan Alva memberikan tanda tanda tanya besar untuknya. Ada apa ini, tidak seperti biasanya.“Jangan khawatir, ada aku disini,” ucap Alva tiba-tiba. Sepertinya ia mengetahui kekhawatiran dari raut wajah Elena.Elena tersenyum tipis, ia menunduk seraya mengulum bibirnya. Sungguh ini menegangkan baginya. Rasa penasaran membuatnya semakin tegang, apa kabar nanti? Elena berharap masih dapat bernafas dengan lancar.Pintu ruangan terbuka. Rosie yang tadi izin keluar sebentar kini sudah kembali. Elena semakin menunduk, rasanya ia segan untuk mengangkat wajahnya. Berbeda dengan Alva yang duduk santai dan terlihat biasa saja.“Maaf menunggu lama,”
Punggungnya terasa pegal, padahal sudah diganjal oleh bantal. Elena mulai membuka matanya, ia menunduk melihat Alva yang begitu pulas dipelukannya. Lengannya yang Alva tindih ingin sekali Elena gerakan tapi takut Alva terbangun. Elena mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan jam dinding. Pukul dua dini hari, waktu saat ini. Rupanya sudah beberapa jam mereka dalam posisi seperti ini. Sebelumnya Elena meminta Alva untuk tidur di kamar, tapi Alva ingin Elena menemaninya. Karena enggan dan tak enak jika harus berduaan di dalam kamar Elena pun menolak. Bersikukuh tak ingin tidur tanpa Elena, Alva pun mengatur posisi tidur dan hasil akhirnya seperti ini. Elena pikir Alva hanya akan bertahan sebentar saja dengan posisi tidur itu, tapi nyatanya tidak. Ia begitu pulas tidur di lengan Elena dengan tangan yang melingkar di pinggang Elena. Sungguh, Elena merasa memiliki bayi besar.Bagaimana tidak pulas, kalau di lihat-lihat Alva tidur dengan posisi cukup nyaman. Kakinya ia selonjork
Perasaan apa ini? Kenapa begitu sakit? Seharusnya aku tak merasa kecewa, kenapa malah sebaliknya, batin Elena dengan tangan yang terus menggenggam erat pegangan pintu. Emosi yang ia rasakan sedang tak dapat bekerja sama. Tangan Elena menutup pintu dengan kasar, gerakan di luar kendalinya membuat ia sendiri terkejut.Takut ketahuan, Elena pun bergegas menjauhi pintu dan masuk ke kamar mandi. Berharap kedua orang yang ada di luar tak mendengar suara itu. Tenang El, mereka pasti gak denger, batin Elena menenangkan diri sendiri.Elena menghadapkan tubuhnya ke arah cermin wastafel yang ada di kamar mandi. Ia mengusap wajahnya, memejamkan mata sebentar seraya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar.“Kenapa sesakit ini sih liat mereka pelukan.”“Gak boleh El, kamu gak boleh kayak gini. Mereka saudara, tapi kenapa tatapan Rachel…” Elena menggelengkan kepalanya, ia membuang pikiran buruknya terhadap Rachel. Bayangan akan Al
Roy mengusap bahu Rosie beberapa kali, ia mencoba menenangkan Rosie yang tak tenang semenjak penyampaian Alva pada media. Ponselnya berdering sejak tadi, beberapa pesan sempat Rosie terima tak lain mereka menanyakan kebenaran atas apa yang Alva sampaikan dan beberapa lainnya kembali mengulang masa lalu. Hal yang sangat Rosie khawatirkan saat ini, mereka yang tahu kembali mengungkit apa yang telah terjadi. Keterpurukan yang sudah Rosie kubur dalam-dalam dan menggantikannya dengan gemerlap yang merubah segalanya. Sungguh ia tak ingin masa itu kembali datang.Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Terlihat Reno yang hanya datang seorang diri tidak bersama seseorang yang ingin mereka temui saat ini.“Mana Alva?” tanya Rosie yang tak melihat keberadaan Alva memasuki ruang tunggu agensi musik itu.“Dia masih di studio, baru bisa ditemui 15 menit lagi. Maaf membuat Tuan dan Nyonya menunggu lama.” Reno menunduk memperlihatkan rasa hormatny
“Ya, aku memiliki hubungan yang cukup dekat dengannya.”“Apa kalian pacaran? Kamu terlihat memasuki rumah Rachel Aditya malam tadi. Apakah itu benar kamu Alva?”Alva tersenyum tipis, ia menunduk sebentar dan kembali memperlihatkan wajahnya pada kamera. “Dia adikku,” jawaban itu mengejutkan semua awak media.“Adik? Bukannya adikmu adalah Felicia?” tanya salah satu reporter yang ada di sana. Alva tak langsung menjawab, ia hanya menampilkan senyumnya di sana membuat semuanya penasaran akan apa yang Alva katakan selanjutnya.“Aku baru mengetahui kenyataan yang cukup mengejutkan.” Apa yang Alva utarakan begitu membuat riuh.“Nyonya Rosie, pemilik Rosie boutique yang cukup terkenal dikalangan para selebriti itu adalah ibumu, bukan begitu?” Alva menoleh pada reporter yang baru saja bertanya dan kembali menampilkan senyum tipisnya di sana.“Ibu kandungku bernama Kalina,&rd
Dua orang yang menempati meja dekat jendela itu masih saling diam. Rosie yang memandang keluar jendela memperhatikan keadaan di luar sana, sedangkan Rachel yang menunduk seraya mengaduk minumannya. Mulai tak nyaman dengan keadaan ini, Rachel pun menghembuskan nafas pelan seraya menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia mulai memandang lurus ke arah Rosie yang belum mengatakan alasannya kenapa mengajak bertemu pagi ini juga.“Apa yang anda ingin sampaikan Nyonya Rosie?” tanya Rachel yang sudah tak tahan dengan keadaan saling diam.Helaan nafas Rosie terdengar, masih dengan memandang keluar ia pun menjawab, “Aku penasaran kenapa kamu dan Alva bisa ada di pemakaman itu?” akhirnya Rosie mengatakan maksudnya.Hal yang sudah Rachel duga sebelumnya, dan dugaan itu benar rupanya. Beberapa saat Rachel terdiam, sampai Rosie mulai menoleh ke arahnya karena gadis itu yang tak langsung menjawab.“Kenyataan ini sangat mengejutkan, ha