Hari ini mentari bersinar terik di seluruh penjuru Damar Langit. Sepasang anak muda tengah memacu kuda di jalanan tanah berhiaskan bebatuan. Mereka terus memacu kuda menuju Istana Damar Langit. Elang sama sekali tidak bisa menggoyahkan niat Kenes Kirana yang ingin melihat kondisi Kota Raja. "Hiyaa. Hiyaa." Suara derap sepatu kuda yang beradu dengan tanah terdengar memecah kesunyian di sepanjang jalan yang mereka lalui. Angin yang bertiup semilir seiring dengan laju kuda. Seolah mengalihkan hawa panas yang terasa menyengat membakar kulit mereka. Wajah putih seorang Raden Ayu Kenes Kirana tampak memerah, menjadikannya terlihat merona menggemaskan. Tepat ketika matahari tepat di atas kepala, si gadis sudah tidak tahan lagi untuk meneruskan perjalanan. Dia sudah tidak sanggup menahan panas yang menyengat kulit indahnya. "Elang, bisakah kita berteduh dulu? Duh, kulitku terlihat kusam," rengek gadis itu menyadari warna kulitnya. Ini pertama kali dirinya berkelana di alam liar ta
Gendhis terus berlari mengabaikan perintah sang Ibunda Selir yang terus memanggilnya tanpa jeda. Dia terus melangkah menjauh, karena hanya itu yang dia inginkan saat ini. Dia ingin pergi dari istana sejauh mungkin. Bulir-bulir air mata yang jatuh dari mata indah milik Gendhis menjadi saksi pilu. Bahwa, hatinya terluka melihat ayahandanya diperlakukan bagai tawanan di istana miliknya sendiri. Genangan basah itu semakin menganak sungai di wajah mulusnya. Sementara, tubuhnya naik turun oleh gerakan tangis yang begitu menyayat. Tidak bisa dibayangkan, jika Ibunda Selir dengan tega melakukan itu semua pada ayahandanya hanya demi tahta. Gendhis kecewa. Dalam benaknya, gadis itu tengah merutuki apa yang terjadi di ruang penjara bawah tanah. Bagaimana angkuh dan jumawanya seorang Gayatri ketika menyaksikan Gusti Prabu dan Gusti Ratu yang tengah menderita. Gendhis merasakan kemarahan dan kekecewaan yang berat terhadap Gayatri dan Senopati. Benar, jika Gendhis selalu iri melihat kecan
Tirai malam tanpa bintang menyelimuti langit Damar Langit. Hanya secuil sinar rembulan yang pucat digelayuti rasa enggan. Desau angin sesekali menampar rerimbunan daun beringin menimbul suara berisik menarik perhatian dua prajurit jaga terdekat dari tempat itu yang setengah terkantuk-kantuk. “Hih, aku kok jadi merinding ya, Dar,” lirih salah seorang prajurit mengeluh pada teman di sampingnya. “Maksudmu hawa malam ini membuatmu merinding?” balasnya sembari melirik suara berisik pohon beringin curiga. “Iya, mustahil kalau kamu nggak memperhatikan. Sejak tadi ndak ada angin sama sekali, tapi pohon beringin di sebelah sana berisik. Apa jangan-jangan—”“Hush, jangan-jangan apa? Nggak usah dilanjutkan, Jo. Nanti para prajurit jaga malah jadi panik!” potongnya. Prajurit itu melambaikan tangan untuk mencegah pembicaraan ini makin kemana-mana. Meski sepenuhnya setuju dengan kecurigaan temannya bahwa situasi malam ini mencurigakan. Sudah bertahun-tahun menjadi prajurit jaga, tidak pernah men
Bayangan sesosok tubuh yang dibalut dengan jubah putih berdiri termangu menghadap sebuah pondok kecil yang berada di komplek tempat tinggal para tabib istana. Hanya tersisa beberapa langkah lagi sudah tiba di halaman kecil pondok itu. Telinganya menangkap suara halus orang mendengkur yang tinggal di dalam pondok. Tahu bahwa pemilik dengkur halus itu adalah seorang wanita tua, Maharesi urung melanjutkan langkah.Dahi sang Maharesi berkerut. Sudah tujuh belas tahun dia menyepi di Wono Daksino. Jika bukan karena takdir yang membawa Elang Taraka ke hadapannya, hampir saja dia melupakan kejadian belasan tahun silam di tempat ini. “Rekso, mungkinkah….” Acarya Adiwilaga mengambil beberapa kerikil kecil dan melemparkan pada jendela samping. Dia yakin suara dengkur halus itu berasal dari balik jendela. Benar saja, beberapa menit kemudian, suara dipan berkeriut terdengar dari luar.“Siapa di sana?” Jendela kayu itu perlahan membuka, menampakkan sosok wanita tua yang menguap terkantuk-kantuk.
“Apakah kita akan kembali ke Desa Sewindu?” pekik Kenes di antara suara derap langkah kuda mereka yang melesat bak anak panah. Beberapa hari terakhir, mereka melakukan perjalanan keluar masuk desa. Kenes yang tidak tahu arah hanya mengekor tanpa bertanya. Kali ini dia sudah sadar, terlalu berbahaya jika seorang gadis seperti dirinya melakukan perjalanan seorang diri. Tanpa bekal pengalaman, tanpa kemampuan olah kanuragan untuk membela diri jika ada orang yang berniat jahat. Untung saja, Elang datang tepat waktu saat itu. Jika tidak, entah bagaimana nasibnya sekarang. Mungkin hanya berakhir menjadi gundik Demang kurang ajar itu.“Tidak, Raden Ayu. Aku sudah menerima pesan dari guruku. Kita harus segera tiba di Desa Sekar Sari. Beliau sudah menunggu kita di sana.” Elang membalas berteriak. Tak berniat memelankan laju kudanya. Mereka sedang diburu waktu. Sebelumnya, mereka terlalu banyak istirahat karena kondisi Kenes yang terluka. Kenes merasa tidak nyaman. Punggungnya pegal tidak te
“Raden Ayu, kita harus cepat supaya tidak kemalaman di hutan!” Elang terpaksa memelankan laju kudanya. Ketika dia menyadari ternyata Kenes tertinggal jauh di belakang. Desa dimana mereka mengisi perut tadi siang adalah desa yang berbatasan dengan hutan. Menurut pemilik warung makan tadi, begitu mereka keluar dari hutan, mereka masih harus melewati area ladang dan persawahan yang luas. Setelah itu, mereka akan sampai di Desa Sekar Sari. “Aku lelah, Elang. Sejak tiga hari lalu, kita berkuda hanya berhenti saat malam tiba,” sungut Kenes. Selepas makan siang tadi mereka juga langsung melanjutkan perjalanan.Saat ini, mereka berada di tengah belantara. Kendati hutan ini tidak semengerikan Wono Daksino, karena menurut cerita dari pemilik warung tadi, banyak warga sekitar yang kerap keluar masuk hutan untuk mencari kayu bakar atau bahan-bahan obat yang tersedia di hutan. Tetap saja bukan tempat yang nyaman untuk beristirahat. Kenes malah berkuda dengan santai tanpa beban. “Gusti Putri, seb
Kanjeng Senopati Bratasena yang mengangkat dirinya sendiri menjadi Raja Diraja Damar Langit saat ini sedang murka. Di atas tahta, pria garang itu tidak bisa duduk dengan tenang. Tangannya gemetar menahan amarah yang belum menemukan muara.Nyaris tidak ada kabar baik yang dilaporkan oleh para bawahannya. Prajurit dari Desa Kahuripan melaporkan ada seorang pendekar sakti pilih tanding menculik calon permaisurinya ‘Kenes Kirana’. Mereka tidak menemukan jejak Kenes di sekitar Desa Kahuripan hingga hari ini.“Mohon ampun, Gusti Prabu. Kami sudah menyisir semua desa yang ada di sekitar Kahuripan. Namun, tidak ada yang bertemu dengan Gusti Putri,” lapor seorang prajurit yang penampilannya tampak lusuh, menandakan baru saja datang dari perjalanan jauh. “Percuma aku melatih kalian selama ini. Pekerjaan kalian tidak ada yang beres satupun!” Para bawahan yang menghadap di Balairung Istana tak ada yang berani mengangkat wajah. Mereka semua tertunduk ketakutan. Suasana mencekam, udara terasa gera
“Kisanak berdua ini berasal dari desa mana?” tanya pemilik kereta yang mereka tumpangi ketika hamparan sawah menghijau menyapa pandangan mata. Matahari senja sudah mulai turun ke peraduan. Perjalanan mereka sudah hampir sampai tujuan.“Kami sudah lama tinggal di Kotaraja, Bopo. Aku dan Simbok sudah lama tidak menengok kampung halaman.” “Perdagangan di Kotaraja memang lebih maju. Tidak heran jika Nakmas betah tinggal di sana,” balas orang itu, mengira Agra bermata pencaharian sebagai pedagang yang merantau ke Kotaraja.“Jika bukan karena Gusti Prabu Maheswara Kamandaka dilengserkan paksa. Kotaraja masih menjadi tempat yang nyaman untuk mencari penghidupan, Bopo.”“Sejak beberapa hari lalu, para prajurit keraton sepertinya berulangkali menyisir pasar dan semua tempat di Kotaraja, sebenarnya apa yang terjadi, Nakmas?” tanya pemilik pedati.“Itu karena Kanjeng Senopati murka karena Prabu dan Gusti Ratu menghilang dari penjara bawah tanah. Sepertinya ada yang menyelamatkan mereka.” Agra m
Hiruk pikuk pertempuran seketika menghilang. Hutan yang diliputi peperangan berubah hening seakan tak berpenghuni. Desau angin bahkan tak berani menunjukkan dirinya dikuasai ketakutan. Bukan hanya hewan-hewan penghuni Wono Daksino saja yang terpengaruh dengan suara seruling. Manusia yang mendengar alunan magis itu juga menjadi linglung. Seakan terenggut kesadarannya, mereka terjerembab di dalam mimpi buruk. Peniup seruling berperan sebagai penguasa mimpi bisa sesuka hati mempermainkan siapapun yang terjebak di dalamnya. Waktu seakan berhenti berputar. Tak ada yang bergerak, hanyut dalam halusinasi. Hanya tiga orang yang bisa keluar dari kebekuan sang Waktu.“Kita berjumpa lagi, Teman.” Jiwa semua orang telah dibelenggu di alam mimpi, ketika pria tua itu berhenti meniup seruling. Dengan wajah tanpa dosa, dia menyapa Maharesi Acarya Adiwilaga. Senyuman menghias di bibir keriputnya.“Setelah tujuh belas tahun berpisah, akhirnya kita bereuni kembali, Acarya. Harusnya, pertemuan kita akan
Para begal dan pendekar dari lembah hitam telah siaga melakukan penyerangan begitu Elang dan pasukannya melewati hutan. Kejutan yang disiapkan Bratasena ini tidak main-main. Para begal dipersenjatai militer lengkap siap tempur. Dengan kekejaman alami yang telah mendarah daging dalam naluri penjahat, mereka tidak bisa dihadapi prajurit sembarangan. Ditambah lagi dengan kekuatan dari para pendekar lembah hitam, menjadikan kesombongan mereka terbang ke awang-awang.“Akhirnya tamu istimewa kita telah tiba, Teman-teman. Mari kita sambut dengan hidangan pembuka. Ha-ha-ha….” Gemuruh sorak-sorai seketika meramaikan hutan yang mencekam. Dari balik pepohonan hutan, sosok hitam bermunculan. Berjumlah tidak kurang dari lima ratus orang yang menghadang pasukan yang dipimpin Elang.“Mana Maheswara Kamandaka?! Kalau kamu sujud di bawah kakiku sekarang juga, aku pasti akan mengurungkan niat untuk membantai prajuritmu!” Seorang pria dengan mata sebelah kanannya ditutupi potongan kulit binatang berwarn
Hanya tersisa pasukan elit yang sebagian besar didominasi penunggang kuda yang masih tinggal di Sekar Sari hari ini. Pasukan yang akan dipimpin oleh Elang ini melewati jalur utama menuju Kotaraja. Jalur paling dekat, tapi cukup berbahaya. Para penjahat durjana yang terdiri dari begal juga pendekar lembah hitam yang bengis dan kejam direkrut khusus oleh Bratasena untuk menghadapi pasukan yang akan ngeluruk Kotaraja.Dua pasukan lainnya telah berangkat beberapa hari sebelumnya sesuai dengan rencana. Hanya saja tetap saja ada yang berjalan tidak sesuai rencana. Di antaranya keberadaan Kenes Kirana. Harusnya, gadis itu berangkat bersama pasukan Tumenggung Mahawira. Namun, inilah yang terjadi kemudian. Kenes menolak mentah-mentah rencana itu. Dengan menggunakan alasan bahwa dia tidak bisa jauh-jauh dari tabib yang merawat dirinya. Maharesi Acarya Adiwilaga bergabung dengan pasukan Elang, maka Kenes juga harus berada di dalam pasukan yang sama. Tidak ada yang bisa membantah. Demikian juga G
Apa yang dijanjikan Raja Jumantara telah sampai. Lima ratus kuda perang pilihan untuk prajurit kavaleri telah datang bersama perbekalan makanan, obat-obatan serta persenjataan. Bukan hanya itu saja, bahkan Pangeran Hadyan Ganendra secara pribadi membawa pasukan khusus untuk membantu calon ayah mertuanya merebut kembali tahta. Dengan dada membusung bangga, sang Pangeran menemui Gusti Prabu yang saat itu sedang ditemani Patih Arya Wursita.“Selamat datang, Pangeran Hadyan,” sambut Gusti Prabu bungah. Hubungan baik Jumantara dengan Damar Langit telah dijalin sejak dulu. Mereka berniat menguatkan ikatan persahabatan itu dengan pernikahan putra-putri mereka.“Gusti Prabu, saya bahagia sekali bisa menjadi bagian di dalam perang ini.” “Andika memang seorang Ksatria sejati, Pangeran. Seorang Ksatria pantang untuk menyerah. Lebih baik mati berkalang tanah membela harga diri, daripada hidup dalam penghinaan,” balas Gusti Prabu.“Kehancuran Bratasena hanya menunggu waktu. Tidak ada tempat di bu
“Aku tidak setuju, Romo Prabu!” Kenes duduk di pembaringan dengan wajah mengeras penuh penolakan. Selepas Gusti Prabu menyampaikan terkait kedatangan Ksatria Jumantara, seakan ada segumpal kebahagiaan yang dirampas dari hidupnya. Ada sebuah nama yang kini telah bertahta di hatinya. Terlalu berat bagi Kenes untuk menjalani pertukaran antara ayahnya dengan Raja Jumantara. Apalah arti mendapatkan kembali tahta, jika setelah itu kebebasannya justru terenggut. Dia akan menjadi seorang putri tawanan yang dikirim ke Jumantara sebagai balas budi.“Cah Ayu, Pangeran Hadyan mencintaimu. Engkau hanya butuh sedikit waktu untuk membalas semua cintanya padamu,” tutur Gusti Ratu seraya mengelus punggung Kenes.“Cinta? Apa ibunda yakin?” Kenes tertawa getir. Sebagai seorang putri, tapi justru ujian hidupnya silih berganti. “Bukankah perhatian ini membuktikan kalau cinta Pangeran Hadyan tulus padamu? Melihat Romo sudah kehilangan tahta, mereka bersedia mengirim bantuan sebagai bukti ketulusan.” Gust
Elang duduk di atas batu besar yang ada di pinggir sungai. Selepas mengantar pergi para Ksatria Jumantara sampai di batas desa, dia memilih duduk sendirian di tempat ini. Elang mencoba menenangkan diri. Hatinya porak-poranda. Dadanya sesak. Darah di tubuhnya mendidih. Sungguh, dia butuh sendiri. Menikmati gemericik air mengalir dari tanah yang permukaannya lebih tinggi jatuh membentur bebatuan di bawahnya. Desau angin yang menampar batang-batang bambu membuatnya saling berkeretak, meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri. Kicauan burung-burung dan jangkrik yang mengerik. Semua suara seakan bersatu padu dengan irama khasnya masing-masing, hingga tercipta nyanyian semesta yang sedikit banyak membuat dadanya yang tadi terasa sesak jadi sedikit lebih lega. Elang memejamkan mata meresapi. Andai waktu bisa berputar ulang, dia pasti akan membuat keputusan yang berbeda. Dengan gagah berani, dia akan menyetujui keinginan Kenes Kirana untuk melamar gadis itu.“Aah, andai saja….” Tanpa sadar, dia mengg
Kedatangan Tumenggung Mahawira dan pasukannya makin menambah bahan bakar kobaran api semangat semua orang. Mereka siap mempersembahkan kesetiaan kepada Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Apapun taruhannya. Apalagi setelah terkuaknya jati diri Pimpinan mereka Kanjeng Senopati Ing Palaga mewarisi darah Naga Biru di dalam tubuhnya dari jalur sang Ibu. Tidak semua orang mengenal nama Sukmo Sentolo memang. Orang lebih mengenal nama Pendekar Naga Biru yang legendaris daripada nama aslinya, Sukmo Sentolo. Ditambah Elang juga mewarisi darah biru kebangsawanan Putra Gusti Prabu Kameswara. Kedudukannya kokoh di mata siapapun sebagai Gusti Pangeran Arya Elang Taraka yang sakti mandraguna.Betapa bungah hati Gusti Prabu mendapati kenyataan dua orang pilih tanding ini berada di sisinya. Jangkap sudah pimpinan militer yang memimpin pasukan untuk menyerang Bratasena.Sialnya, dalam menghadapi peperangan, tidak cukup dengan keterampilan fisik dan olah kanuragan ataupun semangat semata. Ada hal pentin
Sepertinya, hidup sedang mengajaknya bercanda. Apa mungkin inilah yang disebutkan orang sebagai putaran roda nasib yang kadang di atas, kadang di bawah? Selepas Elang merasakan ujung hidupnya ada di ujung tanduk, dihukum pengasingan di Wono Daksino atas perbuatan yang sengaja direncanakan orang lain. Bahkan orang itu masih mengutus pendekar sakti untuk membunuhnya. Sekonyong-konyong, dia berubah menjadi sosok berbeda. Bukan lagi seorang abdi dalem keraton, melainkan putra seorang raja yang telah mangkat.“Malam ini, kalian semua telah menyaksikan apa yang juga kusaksikan. Aku tidak perlu mengulangnya. Elang Taraka adalah keponakanku.” Bukan hanya satu atau dua orang yang menyaksikan kejadian penyatuan Naga Biru dalam tubuh Elang Taraka. Mereka yang tinggal di desa ini berbondong-bondong mengikuti arah bayangan cahaya biru berbentuk naga itu terbang. Halaman tempat tinggal kini Elang ternyata dipenuhi oleh penduduk desa.“Makin teguh keyakinanku untuk merebut kembali Damar Langit. Ti
Mbok Sumi mengeluarkan sebuah kotak kayu ukir-ukiran berwarna hitam yang disimpannya dalam buntelan kain batik yang dibawanya dari Kotaraja. Perasaannya berkecamuk tidak karuan terlihat dari tangan yang gemeraran ketika mengulurkan kotak itu pada Elang. Dengan tatapan kosong, Elang menerima.“Bukalah, Le. Hanya itu satu-satunya barang yang bisa kamu gunakan untuk mengungkap identitasmu yang sebenarnya. Simbok sama sekali ndak tahu siapa orang tuamu. Simbok hanya bisa merawatmu sebaik mungkin semampu Simbok.” Masih diiringi isak tangis, Mbok Sumi menumpahkan semua kalimat sakral itu. Selama ini dia terus saja menolak untuk memberitahu, berharap bisa mengubur kenyataan itu sampai kematian datang menjemput. Akan tetapi, takdir berkehendak lain.Elang membuka kotak itu perlahan. Dengan rasa penasaran yang membuncah, dia tetap bisa menahan diri. Sepasang netranya menangkap sebuah gelang emas dengan ukiran naga yang melilit. “Kata Ki Rekso suamiku, gelang itu milikmu. Pesan darinya, aku ha