"Ampun, Tuan. Ampun." Pengawal itu segera menyimpuh dan beberapa kali bersujud."Apa yang membuatku tergesa? Aku tidak ingin mendengar sesuatu yang buruk karena kelalaian kalian!""Tidak, Tuan. Tidak ada kelalaian yang kami buat. Hanya saja, ada berita buruk. Saat jalan pulang, kami mendengar suara ledakan tidak jauh dari tempat ritual. Setelah mengeceknya, tempat itu porak-poranda. Kami menemukan mayat Tetua Patri dan dua pengawal dengan kondisi mengenaskan.""Apa?" Galuh Primuja berceletuk dengan sangat keras."Ampun, Tuan. Tetua Hugeng bersama yang lainnya sedang menuju ke sini."Betapa terkejutnya Galuh mendengar kabar tersebut. Dapat dibayangkan bagaimana perasaan seorang Galuh yang harus melihat mayat adiknya, ketika Tetua Hugeng dan lainnya sampai di kediaman Jelak Hitam. Terlebih lagi berapa hari kemarin, dia telah berduka atas kematian putra bungsunya.Selain Galuh, seluruh keluarga juga terguncang atas hal itu. Mereka menangis dan berniat untuk menyelidikinya. Mereka akan me
"Aku tidak mengerti. Hanya berharap dia tidak apa-apa," balas Huzen. "Hm. Dilihat dari lukanya, seharusnya sudah merusak dantiannya. Namun, ketika tadi kuperiksa. Ternyata dantiannya baik-baik saja. Ini cukup aneh. Atau sebuah kejaiban? Entahlah."Huzen hanya bisa mendengar pernyataan itu tanpa memberi komentar. Pengetahuannya tentang medis sangatlah minim....Sementara di ruangan lain. Tiga orang biksu tengah menangani masing-masing satu pasien yang dibawa Huzen."Tuan!" Satu orang biksu tampak mengalirkan tenaga dalamnya kepada Wira, setelah beberapa saat tadi memberikannya ramuan. Namun, tanpa diduga Wira seketika bangkit, yang membuat sang biksu terlonjak hingga terdorong dua langkah ke belakang."Tuan? Tuan? Di mana tuanku?"Keagresifan Wira saat itu membuat sang biksu tidak bisa melakukan apa pun. Dia menggeleng sambil menunjukkan raut linglung."Di mana tuanku?" Wira lalu menoleh ke belakang, pada dua biksu yang tengah mengobati Yati dan Hanum. Namun, sontak saja Wira terdia
Mereka tidak menjawab dan tetap melanjutkan langkah. Beberapa saat, mereka pun tiba. Dari luar, terdengar suara jerita yang sangat keras seorang wanita.KREKSuara pintu terdengar. Di dalam, Yati yang jongkok bersandar di sudut ruangan dengan rambutnya yang sudah awut-awutan, lekas menyorot tatapannya ke arah pintu. SIUUFTetua Kalingga yang lebih dulu masuk, sontak dikejutkan dengan sebuah vas berwarna hijau pudar yang melesat ke arahnya. Untung saja Tetua Kalingga sangat gesit, sehingga dapat menangkap vas itu dengan mudah."Pergil kalian! Pergi! Jangan! Jangan lakukan itu! Pergi kalian! Tidak. Aku tidak mau! Jangan!" Yati melantangkan suaranya."Apa yang terjadi?" Master Hubalang Luda menepuk pundak satu biksu di sana, lalu bertanya."Izin, Tuan Master. Beberapa saat tadi wanita itu sudah sadar. Namun, dia langsung berontak dan seolah-olah kami akan melakukan sesuatu padanya. Kami sudah berusaha menangkan, tapi dia tetap seperti itu. Sepertinya ada yang salah dengan mentalnya," ja
Kali ini Wira tidak banyak bicara dan menerima apa perkataan Tetua Kalingga. Malam itu mereka habiskan dengan bermeditasi, untuk memulihkan kekuatan.***Di tempat lain, tepatnya di sekte Pedang Kuno. Tetua Sura diam-diam masuk ke dalam kamar Panca, di saat biksu yang berjaga sudah terlelap. Dia mendekat ke ranjang dan melakukan berapa gerakan tangan, yang kemudian terlihat cahaya aura memancar pada tubuh Panca.Setelahnya, Tetua Sura tersenyum miring dan lantas menyayat pergelangan tangan Panca, hingga membuat darah mengalir lancar. Darah yang mengalir itu lalu ditampung Tetua Sura dalam sebuah cangkir. Setelah cangkir itu penuh, Tetua Sura segera menghentikan pendarahannya dan menutup luka tersebut hingga tanpa bekas sedikitpun.Kemudian, Tetua Sura kembali merapalkan gerakan tangan dan mengalirkan tenaga dalamnya pada Panca. Tidak lama, Tetua Sura menghentikan aksinya dan pergi diam-diam dari ruangan....Malam beganti pagi. Mereka kini kembali menempuh perjalanan. Di jalan, dua ka
"Setelah berjalan begitu jauh, dua kali kita menemui tempat yang sama. Sepertinya ada yang aneh dengan tebing batu ini," ucap Tetua Kalingga, kemudian turun dari tunggangan, disusul oleh Wira dan Huzen."Aku juga merasakan hal yang sama. Pola garis bebatuan di sana tampak teratur. Apa sebuah simbol atau semacamnya?" Huzen membalas.Wajah mereka mendongak, menilik sisi demi sisi tebing batu yang menjulang hingga tiga puluh kaki di depan sana.Tidak lama, sontak saja mereka merasakan adanya eksistensi lain di sekitar situ."Hm ... aku merasa ada yang sedang mengawasi kita," lirih Huzen.Tetua Kalingga dan Wira mengerti. Kaki mereka sedikit menyerong, bersiap siaga apabila ada pergerakan aneh yang mengancam.Dan benar saja. Kuda yang mereka kendarai mulai resah. Seketika rerumputan di sekitar membeku dan perlahan berjalan mengepung tempat mereka berpijak.SIUF SIUF SIIUFDari atas, puluhan anak panah berlapis es menghujan ke arah mereka. Menyadari hal itu, Tetua Kalingga segera merapalkan
"Bagaimanapun alasannya. Kalian tidak bisa mendapatkannya, kecuali ...."Seta Lugina menambah, dan butuh waktu beberapa detik untuk Tetua Kalingga, Wira, dan Huzen menunggu lanjutannya. Sayangnya, Seta Lugina hanya memperdengarkan suara helaan napas agak panjang setelah itu."Apa yang kalian cari, tidak ada di tempat kami." Aji menjelaskan, membuat perhatian tertuju padanya.Mereka bertiga tidak mengerti. Semuanya telah dilakukan sesuai arahan, tetapi dengan yang satu ini ... entahlah?Kemudian Seta Lugina mengambil perhatian. "Tiga tahun lalu kami berkonflik dengan suku Cuanci. Padahal sebelum itu, hubungan kami baik-baik saja. Namun, semenjak mereka hendak menguasai wilayah kami. Sejak itulah kami kehilangan lotus salju kelopak enam.""Jadi maksud Tuan Seta ...." Tetua Kalingga, menimpal."Jika ingin mendapatkan apa yang kalian cari, maka pergilah ke Lembah Buleleng. Karena lotus salju kelopak enam telah diambil oleh suku Cuanci.""Diambil suku Cuanci?" sambung Wira. "Lantas kenapa
Seta Lugina kemudian tidak menahan Wira untuk ikut. Bersama Aji, Bina Kundala, dan para pengawal lain, Wira bergegas ke perbatasan.Beberapa ratus meter sebelum perbatasan. Wira dapat melihat kepulan awan tebal berada di atas tebing batu, yang di dalamnya terlihat percikan-percikan cahaya putih kebiruan."Entah siapa orang itu. Dia cukup kuat," ucap seorang pengawal, yang sebelumnya telah menyaksikan bagaimana orang tersebut berduel dengan Senior Ban....Tidak berselang lama. Dengan keahlian peringan tubuh, mereka melompati bebatuan bak melayang di udara, yang membuat mereka tak cukup satu menit sudah berada di atas tebing batu tersebut.Dan benar saja. Ketika sorotan mata mereka mengarah ke bawah. Seseorang dengan eksistensi petir terlihat mendominasi pertarungan. Energinya begitu agresif, seolah tak terkendali.Wira menilik dengan sangat serius. Mungkin bisa dibayangkan, pikiran Wira kepada siapa jika eksistensi kekuatannya berkaitan dengan petir. Tentu, mengarah kepada tuannya yai
Panca lantas terdiam beberapa saat. Dia tidak tahu siapa yang tengah berbicara dengannya, tetapi apa yang dikatakan semuanya benar. Namun, Panca sebenarnya telah memutuskan, dan tahu konsekuensi yang ada, sehingga dia sampai di tempat ini."Terima kasih kisanak, atas perhatiannya. Aku sadar, hal ini akan menyulitkan kalian. Namun, aku berjanji untuk tidak membiarkan itu terjadi. Kalaupun aku mati, aku minta kalian untuk tidak khawatir dan makamkan aku di mana saja," balas Panca.Netra Wira yang tersorot pada Panca itu kini membulat, terkejut dengan kalimat yang dilontarkan Panca."Lantas, untuk apa kita bersusah-susah mencari obat penawar untukmu, sedangkan kau bersiap mati dalam misi ini?""Maka aku pastikan itu tidak akan terjadi. Tidak perlu khawatir. Bukankah kita sudah berada di gunung Kabut Es? Tempat tujuan akhir adalah di sini kan?"Panca tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga Tetua Kalingga yang dasarnya keras dan gampang emosian, segera menjelaskan kepada Pan
Sangat familier, hingga sontak mata Wira mendapati sebuah cahaya kebiruan memancar di udara dan jatuh bak meteor tidak jauh di depannya. Bunyi ledakan energi terdengar jelas, seiring hempasan angin yang cukup hebat meluas ke segala arah."Mustahil. Apa aku tidak salah lihat?" celetuk Wira. Kemudian dia berucap lirih, sedikit tertegun. "Tuan?"Di sisi lain, Huzen juga membulatkan matanya. "Apakah ini ...?"Siapa lagi kalau bukan Panca. Terlihat dengan raut tegas, Panca mengayunkan pedang, seiring percikan petir menyelimuti tubuhnya. Hanya butuh sekian detik, para binatang siluman di tempat itu terpental hingga tewas setelah menerima serangan Panca."Tuan? Tuan!"Wira berlari ke arah Panca dengan perasaan sangat senang. Huzen juga menyusul. Tanpa basa-basi Wira memeluk Panca, yang saat itu Panca terdiam sejenak dengan tidak membalas pelukannya."Tuan? Awalnya aku sangat mengkhawatirkanmu, kemudian percaya kau tidak akan kembali, aku pikir aku tidak akan bisa lepas dari merindukanmu. Dan
"KHI KHI KHI. Setelah tiga hari tidak bertemu, rupanya kau sudah mengumpulkan nyali untuk bersikap sombong. Huh. Tidak peduli betapa kerasnya kau melatih kemampuanmu. Pada dasarnya ini adalah alam kami dan manusia yang telah sampai di tempat ini, hanyalah daging segar yang pantas untuk dipanggang. KHI KHI KHI.""Jangan banyak omong," sela Panca."KHI KHI KHI. Hajar dia!"Atas perintah pemimpin makhluk neraka alam bawah, seluruh rekannya pun segera berlari ke arah Panca sambil menyeringai. Beberapa dari mereka kemudian melompat dan segera menggempur Panca dengan pedang besar bergerigi.Panca sedikit menyerong kakinya dan bergerak menghindar dengan sangat lihai, yang membuat para makhluk neraka alam bawah itu cukup terkejut. Bagaimana bisa seorang manusia yang tiga hari kemarin sangat lemah, sekarang memiliki kemampuan yang sangat baik.Para makhluk neraka alam bawah itu terus saja mengayunkan pedangnya. Namun, hingga beberapa detik berlangsung, belum ada yang membuat Panca merasa teran
Leluhur Siang lalu menoleh ke arah Tikus Api Ungu, yang membuat Tikus Api Ungu langsung mengerti. Tikus Api Ungu segera merapalkan beberapa gerakan tangan dan seketika sebilah pedang muncul setelah cahaya keunguan memancar di telapak tangannya."Ambilah. Itu untukmu," ucap Leluhur Siang.Panca agak mendelik, lalu sedikit ragu-ragu mengambil pedang tersebut. Saat Panca menyentuh gagang pedang, pedang tersebut lekas memancarkan cahaya kuning kemerahan."Pedang apa ini, Leluhur Siang?""Pedang Naga Api," jawab Tikus Api Ungu.Hal itu membuat Panca terkejut. Sebagaimana dia ketahui, bahwa Pedang Naga Api adalah salah satu pusaka kuno legendaris yang tidak pernah ada yang tahu keberadaannya. Hanya ada banyak cerita hebat soal pusaka kuno itu, yang bisa membuat para pendekar tergila-gila ingin mendapatkannya."Pedang Naga Api? Benarkah ini untukku?" Panca masih tidak peracaya bahwa dia adalah pewaris dari pusaka luar biasa tersebut. Kini dia memiliki dua pedang yang hebat. "Tentu saja. Na
"Huh. Dasar kalian." Siang Kumandala mengeluh, kemudian segera membuang tatapannya ke arah Panca. "Hey anak muda. Apa yang mereka katakan padamu? Apakah mereka juga bercerita tentang keburukanku?"Siang Kumandala tampak bewibawa dan bersahaja, bahkan kepada Panca yang belum saling kenal.Mendengarnya, Panca terdiam sejenak. Siang Kumandala pun sontak menghilang dari tempatnya dan tiba-tiba telah berada di depan Panca, yang membuat Panca terkejut."Apa yang mereka katakan padamu? Ha? Katakan! Katakan!"Panca tertegun, lalu menggeleng. "Ti-tidak. Tidak ada. Mereka hanya mengatakan hal aneh kepadaku. Mereka mengatakan bahwa aku akan menjadi majikan mereka saat ini dan aku akan mewarisi sesuatu dari majikan mereka sebelumnya."Siang Kumandala tersenyum lebar, yang lekas menampakkan gigi bersihnya. Dia pun segera menghilang dan kembali ke tempatnya tadi."Huh. Aku pikir mereka menceritakan keburukanku. Awas saja," ucap Siang Kumandala."Kami telah mengabdi ratusan tahun, bagaimanapun kondis
"Kita sekarang ada di Kuil Jiwa Leluhur, yang berada di Alam Bawah. Kedatanganmu ke sini, bukan tanpa alasan. Kau ditakdirkan langit untuk berada di sini dan mewarisi peninggalan majikan kami sebelumnya," jelas Tikus Api Ungu.Mendengar hal itu, Panca tampak berpikir. Apakah ini sama dengan Gundal Pama. Lagi dan lagi takdir menemukan Panca, dengan membawa sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya."Alam Bawah? Kuil Jiwa Leluhur?""Ya, Majikan. Kita sekarang berada di Alam Bawah. Jiwamu terjebak di sini atas takdir yang telah ditetapkan. Mungkin sudah bertemu dengan beberapa makhluk di luar sana, sebelum masuk ke tempat ini? Mereka adalah makhluk neraka Alam Bawah."Panca pun teringat dengan para makhluk neraka tadi, membuatnya sedikit mendelik."Aku adalah Tikus Api Ungu, dia adalah Bilah Pedang Kehampaan, dan Majikan bisa memanggil monyet ini dengan sebutan Raja Kabut Hitam. Kami bertiga adalah Prajurit Dewa Alam Bawah, yang ditugaskan untuk menjaga Kuil Jiwa Leluhur ini. Warisan di dala
Jelas Panca tidak akan tinggal diam. Dia merembeskan aura kebiruan miliknya dan segera meladeni gempuran sejumlah makhluk neraka itu.SIUF BUG DUAKBeberapa jurus begitu lihai diperagakan oleh Panca. Menghindar dan menangkis, lalu membalikkan serangan dengan sangat baik. Namun, jumlah kekuatan dari makhluk neraka itu cukup besar, membuat Panca kewalahan menghadapinya.Pada satu kesempatan Panca lengah. Beberapa serangan telak dikirim pada Panca hingga akhirnya Panca terpental ke belakang dan menubruk batu besar di sana hingga retak.BRUK"Uhuk!"Panca terbatuk dan memuntahkan darah segar dari mulutnya."Sial. Mereka terlalu kuat. Aku tidak bisa seperti ini." Panca bergumam, dengan tatapan sinis menyorot ke arah para makhluk neraka.Menyadari perbedaan kekuatan yang cukup jauh, Panca pun segera berbalik dan melesat ke atas batu besar, untuk kemudian melarikan diri."KHI KHI KHI. Kau pikir kau akan lari ke mana?" ujar pemimpin kelompok itu. Segera dia meminta rekannya untuk mengejar Panc
Butuh waktu beberapa detik untuk Wira mengumpulkan kesadarannya dan segera mendengar dengan jelas seruan Huzen."Tuan! Tuan!"Setelah sadar, Wira sontak berdiri dan menatap danau lahar di sana. Huzen yang takut Wira nekat untuk melompat, tampak menggenggam erat tangan Wira."Wira? Tenangkan dirimu. Tenangkan dirimu!" ujar Huzen.Lalu perlahan Wira mulai tenang. Dia pun tanpa ragu segera menangis, walau padahal hal itu pantang dilakukan oleh Wira, apalagi di depan orang lain.Tidak ada yang mau berkomentar dengan sikap Wira. Mereka juga sama-sama merasakannya. GGRRRRTempat itu kembali berguncang. Seiring itu, Gundal Pama terlihat mendongakkan wajahnya, menatap langit-langit yang sudah kehilangan banyak bagiannya."Sebaiknya kita bergegas. Aku takut, langit-langit itu akan runtuh dan akan berefek pada lorong ini," ucap Gundal Pama.Mendengarnya, Wira menolak dan ingin tetap di sana saja. Hal itu membuat Huzen terpaksa harus menotok Wira atas perintah isyarat dari Tetua Kalingga dan me
Panca meminta Hayati untuk tetap tenang. Hayati hanya mengangguk, sama sekali tidak menunjukkan raut wajah panik.Hayati pun terpikirkan suatu ide, yang mana dia akan memanggil binatang roh Merak Api miliknya, untuk membawa mereka dari situ."Baiklah," balas Panca.Segera Hayati merapalkan gerakan tangan, yang membuat tubuhnya seketika diselimuti oleh cahaya aura merah api. Dan tidak berlangsung lama, sebuah cahaya jingga memancar tidak jauh di atas mereka berdua. Seiring itu, Merak Api milik Hayati muncul sambil melebarkan sayapnya.Orang-orang yang berada di seberang tampaknya mulai tenang. "Ayo naik," minta Hayati. Panca hanya mengangguk dan lekas melompat ke punggung sang Merak Api. Rintangan belum sampai di situ, karena setelah Merak Api itu mengepakkan sayapnya menuju tempat Gundal Pama dan lainnya, mereka harus menghindari reruntuhan langit-langit yang jatuhnya semakin parah. Di seberang sana mereka juga menjadi panik, karena tempat tersebut tidak lama akan hancur."Hati-hati
Kembali ke Panca dan lainnya. Saat ini mereka tengah melewati tempat yang cukup luas, yang di beberapa titik terdapat danau lahar. Panca, Wira, Huzen, dan Tetua Kalingga, berjalan dengan tubuh diselimuti oleh cahaya aura, agar tubuh mereka tidak terkena hawa panas secara langsung. Sebab bukan berasal dari suku Cuanci, sehingga apabila berjalan tanpa pelindung, maka tidak menjamin bahwa kulit mereka akan tahan dengan panas di sana.Panca saat itu tampak diselimuti aura kebiruan, Huzen hijau, Wira hitam keunguan, serta Tetua Kalingga kuning keemasan."Berapa lama lagi?" tanya Wira."Seharusnya sebentar lagi kita akan menemukan lorong yang terhubung dengan sungai Lengkeng. Sungai Lengkeng ada di hutan Anjir, tidak jauh berjarak dengan Gunung Kabut Es," jelas Gundal Pama.Namun, saat asyik berjalan, seketika eksistensi kekuatan para kelompok tadi dirasakan oleh Panca, yang membuat Panca meminta mereka segera waspada.SIUUUFPanca mandelik dan sontak berbalik. Beberapa serangan cahaya mer