Amelia tak sanggup lagi berkata-kata. Air matanya menetes, membasahi wajahnya.
"Katakan sekarang, Mel! Apa yang harus aku lakukan? Untuk bisa melupakan kamu dan menghapus semua cinta ini! Katakan Mel!" sentak Romy sembari menahan napas.
Kekuatan hatinya luluh lantak. Amelia tak sanggup menahan isak tangisnya yang tiba-tiba meledak. Dia terduduk di kursi taman dengan tangan menutup wajahnya.
"Maaf, kalau aku membuat kamu menangis. Tapi, ini lah perasaan yang selalu aku simpan buat kamu, Mel. Aku tak bisa menghilang begitu saja. Andaikan bisa sudah kucoba."
Hening. Hanya terdengar Romy yang menghela napas panjang. Berulang kali dia mengusap wajahnya dengan kasar.
"Mel, aku mohon kembalilah padaku sekarang!"
Amelia hanya terdiam. Romy berusaha meraih tangannya. Namun Amelia terus menolak.
"Tolong, Romy. Aku sudah mau menikah. Aku mencintai Adrian, melebihimu!" tegas Amelia dengan suara yang parau.
Romy hanya menatap tajam da
Kini mereka berdua sudah berada di dalam mobil. Amelia membuang muka ke luar jendela. Melihat pemandangan yang terpampang oleh hamparan sawah."Kau mau ajak aku ke mana ini, Rom?""Ke tempat aku pertama kali menyatakan perasaanku."Sontak Amelia melotot ke arahnya."Kau jangan gila! Sudah aku bilang jangan jauh-jauh 'kan?""Hanya untuk kali ini saja, Mel. Lagian aku tahu kok, kalau rumah kamu yang di Malang enggak dijual. Kamu lakukan semua ini cuman untuk menghindari aku. Iya 'kan?""Aku enggak mau bahas!""Kita akan membahasnya, Mel! Karena aku belum tahu alasan sebenarnya kamu melakukan semua ini. Kamu pun tak memberikan penjelasan sama sekali. Kesalahan aku selama ini ada di mana?"Seketika Amelia terdiam. Dia menyandarkan kepalanya di sandaran jok."Aku sudah mau menikah dan kau mengajak aku untuk membicarakan hal ini, Rom? Bagaimana Salsa? Dia pun seorang wanita. Seorang istri! Yag hatinya bisa sakit dan cemb
"Lepaskan Romy! Aku enggak suka kau melakukan seperti ini!""Kenapa, Mel?""Rooom!!! Enggak sadarkah kamu? Aku ini sudah mau menikah. Dan, aku tak ingin lagi menjalin hubungan dengan kamu!"Romy bukan semakin merenggangkan tkedua tangannya. Dia semakin rapat memeluk Amelia. Sekuat tenaga Amelia berontak, tapi Romy memang sengaja tak mau melepasnya."Biarkan aku sesaat memelukmu dirimu Amelia. Beri aku kesempatan terakhir ini," bisik Romy, tepat di telinga Amelia."Kesempatan apa lagi? Aku sudah mengikuti kemauan kamu, Rom. Jangan minta lebih!"Tampak Romy tak mendengarkan apa yang dikatakan Amelia. Dia mencium leher jenjang Amelia lembut. Seketika Amelia terkejut. Kedua tangannya menyikut perut Romy berulang-ulang."Kamu jangan kurang ajar, Rom!""Aku hanya ingin mengulangi kemesaraan kita dulu, Mel.""Itu sudah enggak ada! Bukannya kamu ingin bicara enggak lebih Rom?"Romy mulai merenggangkan pelukannya."
Adakah cinta yang tak menyakiti? Adakah cinta yang tak melukai? Ataukah cinta itu memang LUKA? Karena sejatinya CINTA itu tanpa TAPI.Saat kerinduan mulai mengusik ketenangan jiwa. Saat cemburu membakar palung hati terdalam. Cinta itu semakin menguat. Bagai mengakar menancapkan kuku-kuku tajam yang bisa mengoyak hati.Begitukah rasa yang di alami oleh mereka? Amelia, Romy, Salsa._oOo_Waktu sudah menunjukkan pukul enam malam. Tiba-tiba, ponsel Salsa berdering. Dia tersenyum lebar."Melindaaa?" bisiknya.Buru-buru dia membuka pintu. Terlihat wanita itu pun tersenyum lebar padanya."Kamu?""Kok kaget sih, Sa?""I-iya, kaget lah. Kenapa kamu ke sini?""Ya, mau antarin kamu lah.""Ta-tapi--""Aku kuat dan sehat kok. Adanya baby ini enggak menghalangi aku buat beraktivitas. Dia anak yang kuat.""Serius?"Melinda manggut-manggut sembari tersenyum."Ayo, aku tahu rumahnya kok."
'Sialan bener nih perawan tua!'gerutu Salsa dalam hati."Mending aku masih punya suami. Kamu? Gimana bisa seorang Santi orang hebat, menyuruh suami orang untuk balikan sama mantannya. Kamu ingin menyuruh Romy berselingkuh?"Santi tak bergeming. Dia hanya tersungging sinis."Kasihan sekali kau, Salsa! Pada kenyataan yang ada, Romy lebih memilih Amelia dari pada kamu.""Persetan dengan kau, Bu Santi yang terhormat. Jangan mempermalukan diri kamu sendiri. Kau seorang wanita berkepala empat, tapi tak punya adab. Pintar, iya. Apalagi kaya dan terpandang. Tapi, kelakuan kamu nol. Kalau kau ingin bermain denganku, lakukan saja! Karena aku akan membalasnya. Lagian mana ada yang mengenal seorang Salsa. Istri yang diperlakukan tidak adil oleh suaminya, karena dukungan seorang pengusaha yang terpandang di negeri ini untuk berselingkuh. Karena apa ...?"Sengaja Salsa menghentikan kalimatnya. Dia ingin mengetahui reaksi Santi. Atas apa yang
Langkahnya bergerak cepat enuju mobil Melinda yang tak jauh dari rumah Santi. Bergegas dia masuk ke dalam mobil."Bagaimana?""Aku puas mengancam dia, Lind." "Kamu ancam?""Yup. Enggak pake mikir lagi aku. Udah kesel sama ulah dia yang sok itu. Dasar perawan tua."Melinda menahan tawanya."Memang kamu bilang bagaimana?""Aku ancam akan sebar di sosmed dan katakan sama Adrian.""Terus ... terus?""Dia malah nantangin, Lind. Enggak takut aku. Lagian apa yang bikin aku takut, enggak ada 'kan? Aku udah enggak punya siapa-siapa lagi.""Jangan bilang kayak gitu. Enggak baik!""Habis ini kamu pulang aja, Lind.""Lah, emang kamu mau ke mana?""Ada satu hal lagi yang harus aku selesaikan!"Dahi Melinda mengernyit. Dia menoleh pada Salsa yang terlihat sangat tenang. "Apa yang ada dalam pikiran kamu, Sa?""Aku akan melakukan suatu hal yang masih belum terpikirkan oleh Santi. Aku ak
"Apa kamu sudah menelepon Amelia?" Pertanyaan itu membuat pandangan mata Adrian beralih pada Salsa. "Maksud kamu apa, Sa?" "Maaf, kamu jangan salah tanggap. Aku hanya bertanya baik-baik. Karena Romy seharian ini enggak ngantor. Entah mengapa firasatku mengatakan dia ke rumah Amelia." "Kau jangan membuat perkara denganku, Sa!" "Bu-bukan seperti itu, Adrian. Jangan salah prasangka dulu dong!" "Lantas?" "Dengerin cerita aku ini dulu. Jangan kau sela! Oke?" "Hemmm!" Perlahan Salsa mulai menceritakan semua kejadian yang dia alami. Semua yang berhubungan dengan Santi. Dari pesan yang masuk mengenai foto-foto Amelia dan Romy saat di Jakarta. Sampai Salsa SS semua isi pesan yang berasal dari nomer Santi. Semua penjelasan Adrian membuat dia terhenyak. Lalu, buru-buru menyambar ponsel yang terletak di nakas. "Pagi tadi aku masih bicara sama Amelia. Dan enggak ada masalah. Dia sedang berkebun." "Cob
"Kamu juga enggak tau?" Suara Adrian hampir berteriak. "Lalu, sekarang kita harus cari mereka ke manaaaaa ...?" "Tenang, Adrian! Kalau kau dikuasai emosi seperti ini. Bagaimana bisa berpikir?" Cukup lama mereka terdiam. "Malang ... pasti mereka saat ini ada di Malang!" gumam Adrian. Salsa pun bisa mendengarnya. Lalu dalam hati dia membenarkan apa yang dipikirkan Adrian. "Tapi, di mana?" "Entah, Sa? Pusing kepalaku! Pernikahan sama dia cuman kurang 10 hari. Kenapa juga harus ada masalah seperti ini? Kamu bisa bayangin 'kan?" "I-iya, Adrian. Aku paham. Kita harus cari mereka." "Tunggu dulu!" Tiba-tiba, Adrian memutar balik mobilnya, saat ada belokan di depan. "Ki-kita mau ke mana?" "Sepertinya Santi akan tahu hal ini. Aku rasa dia memakai orang untuk memata-matai kamu dan Romy. Pasti saat ini juga, orangnya tengah mengintai keberadaan Romy." Masih di detik yang sama. Romy terus berupaya mey
Entah setan mana yang mulai merasuki Romy. Dia mulai melepas kemeja dan kaos oblong yang dipakai. Lalu melepas ikat pinggang hingga kancing celana jeans terbuka.Melihat ulah Romy, membuat Amelia terperanjat. Dia tak tahu apa yang akan Romy lakukan padanya. Tubuhnya beringsut mundur hingga punggungnya menempel pada dinding kamar. "Ke-kenapa kamu lepas baju?" "Bukankah kamu merindukan badan aku ini, Mel. Aroma yang dulu selalu kau sukai. Apa kamu melupakannya?" "Kamu jangan gila, Romy!" Amelia melihat sosok Romy sudah bukan seperti yang dia kenal. Amarah dan cemburu telah meliputi hatinya saat ini. "Aku tidak gila, Mel. Sudah aku bilang. Tidak akan ada yang boleh menyentuh kamu selain aku. Termasuk Adrian! Kau hanya milikku!" teriak Romy kencang. Membuat Amelia tersadar, bahwa dirinya dalam keadaan terjepit dan bahaya. Dia mengerti apa yang akan dilakukan Romy padanya. Amelia semakin meringkuk. Kedua tangannya mendekap erat tubuhnya
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."