Langkahnya bergerak cepat enuju mobil Melinda yang tak jauh dari rumah Santi. Bergegas dia masuk ke dalam mobil.
"Bagaimana?"
"Aku puas mengancam dia, Lind."
"Kamu ancam?"
"Yup. Enggak pake mikir lagi aku. Udah kesel sama ulah dia yang sok itu. Dasar perawan tua."
Melinda menahan tawanya.
"Memang kamu bilang bagaimana?"
"Aku ancam akan sebar di sosmed dan katakan sama Adrian."
"Terus ... terus?"
"Dia malah nantangin, Lind. Enggak takut aku. Lagian apa yang bikin aku takut, enggak ada 'kan? Aku udah enggak punya siapa-siapa lagi."
"Jangan bilang kayak gitu. Enggak baik!"
"Habis ini kamu pulang aja, Lind."
"Lah, emang kamu mau ke mana?"
"Ada satu hal lagi yang harus aku selesaikan!"
Dahi Melinda mengernyit. Dia menoleh pada Salsa yang terlihat sangat tenang.
"Apa yang ada dalam pikiran kamu, Sa?"
"Aku akan melakukan suatu hal yang masih belum terpikirkan oleh Santi. Aku ak
"Apa kamu sudah menelepon Amelia?" Pertanyaan itu membuat pandangan mata Adrian beralih pada Salsa. "Maksud kamu apa, Sa?" "Maaf, kamu jangan salah tanggap. Aku hanya bertanya baik-baik. Karena Romy seharian ini enggak ngantor. Entah mengapa firasatku mengatakan dia ke rumah Amelia." "Kau jangan membuat perkara denganku, Sa!" "Bu-bukan seperti itu, Adrian. Jangan salah prasangka dulu dong!" "Lantas?" "Dengerin cerita aku ini dulu. Jangan kau sela! Oke?" "Hemmm!" Perlahan Salsa mulai menceritakan semua kejadian yang dia alami. Semua yang berhubungan dengan Santi. Dari pesan yang masuk mengenai foto-foto Amelia dan Romy saat di Jakarta. Sampai Salsa SS semua isi pesan yang berasal dari nomer Santi. Semua penjelasan Adrian membuat dia terhenyak. Lalu, buru-buru menyambar ponsel yang terletak di nakas. "Pagi tadi aku masih bicara sama Amelia. Dan enggak ada masalah. Dia sedang berkebun." "Cob
"Kamu juga enggak tau?" Suara Adrian hampir berteriak. "Lalu, sekarang kita harus cari mereka ke manaaaaa ...?" "Tenang, Adrian! Kalau kau dikuasai emosi seperti ini. Bagaimana bisa berpikir?" Cukup lama mereka terdiam. "Malang ... pasti mereka saat ini ada di Malang!" gumam Adrian. Salsa pun bisa mendengarnya. Lalu dalam hati dia membenarkan apa yang dipikirkan Adrian. "Tapi, di mana?" "Entah, Sa? Pusing kepalaku! Pernikahan sama dia cuman kurang 10 hari. Kenapa juga harus ada masalah seperti ini? Kamu bisa bayangin 'kan?" "I-iya, Adrian. Aku paham. Kita harus cari mereka." "Tunggu dulu!" Tiba-tiba, Adrian memutar balik mobilnya, saat ada belokan di depan. "Ki-kita mau ke mana?" "Sepertinya Santi akan tahu hal ini. Aku rasa dia memakai orang untuk memata-matai kamu dan Romy. Pasti saat ini juga, orangnya tengah mengintai keberadaan Romy." Masih di detik yang sama. Romy terus berupaya mey
Entah setan mana yang mulai merasuki Romy. Dia mulai melepas kemeja dan kaos oblong yang dipakai. Lalu melepas ikat pinggang hingga kancing celana jeans terbuka.Melihat ulah Romy, membuat Amelia terperanjat. Dia tak tahu apa yang akan Romy lakukan padanya. Tubuhnya beringsut mundur hingga punggungnya menempel pada dinding kamar. "Ke-kenapa kamu lepas baju?" "Bukankah kamu merindukan badan aku ini, Mel. Aroma yang dulu selalu kau sukai. Apa kamu melupakannya?" "Kamu jangan gila, Romy!" Amelia melihat sosok Romy sudah bukan seperti yang dia kenal. Amarah dan cemburu telah meliputi hatinya saat ini. "Aku tidak gila, Mel. Sudah aku bilang. Tidak akan ada yang boleh menyentuh kamu selain aku. Termasuk Adrian! Kau hanya milikku!" teriak Romy kencang. Membuat Amelia tersadar, bahwa dirinya dalam keadaan terjepit dan bahaya. Dia mengerti apa yang akan dilakukan Romy padanya. Amelia semakin meringkuk. Kedua tangannya mendekap erat tubuhnya
Mobil Adrian melesat kencang. Dia mengendarai bagai kesetanan. Membuat Salsa ketakutan dan cemas."Adrian, jangan buat kita celaka.""Tenang aja!""Ta-tapi aku takut Adrian.""Pegangan yang kuat!"Hanya dalam waktu lima belas menit. Mobil mereka telah berhenti di depan rumah Santi."Aku enggak ikut!""Ya, udah. Kamu tunggu di sini."Bergegas Adrian turun dari dalam mobil. Tampaknya penjaga rumah Santi sudah cukup mengenal Adrian. Seorang lelaki mengantarnya hingga masuk rumah."Bu Santi masih dipanggilkan Pak. Tunggu dulu saja."Adrian yang panik dan cemas. Tak menunggu dengan duduk. Dia berjalan mondar mandir. Merasa gelisah dan resah.Tak berapa lama dia menunggu. Terdengar derap langkah yang sedang menuruni beberapa anak tangga. Saat melihat Adrian yang tengah mondar mandir. Seketika sudut bibirnya melengkung. Dia tersenyum lebar."Adriaaaan?"Sontak dia menoleh. Langkahnya cepat berg
Belum sampai Santi selesai bicara. Adrian sudah berlari kencang meninggalkan Santi. Wanita itu melepas kepergian Adrian dengan perasaan gundah. Kemudian, setelah sendiri. Dia menyeringai puas. Dari kedua sudut matanya menetes bulir bening. "Kau terlambat Adrian! Saat kau mengerti, hatimu pati hancur." Sedang Adrian, berlari menuju mobil. Dari raut wajahnya, tampak dia benar-benar khawatir dan cemas. Dia hanya berharap semua akan baik-baik saja. "Kamu, oke kan Adrian?" "Mana bisa aku oke, Sa. Yang ada aku cemas." Salsa terdiam. "Jadi, mereka ada di mana?" "Kemungkinan di rumah Amelia." "Ohhh ...." Tanpa berpikir panjang lagi. Adrian menyetir sangat kencang, melaju membelah jalanan yang mulai lengang. "Hati-hati, Adrian. Kau menyetir kayak setan begini." "Diamlah, Sa!" sentak Adrian kesal. "Maaf, aku hanya enggak mau kita celaka." Dalam pikiran Adrian saat ini. Romy pasti me
"Aaaaaahhh! Rom ... jangan!"Romy semakin liar dan beringas melucuti, pakaian Amelia. Hingga tubuhnya terbuka, tanpa sehelai benang pun.Teriakan dan jerit tangis Amelia, tak lagi dihiraukan oleh Romy. Sekuat tenaga Amelia melawan dan meronta. Tenaganya pun semakin lemah tak berdaya. Dia hanya mampu, memandang wajah Romy dalam kebencian."Aku, membencimu!"Namun, segala sumpah serapah dan permintaan ampun dari Amelia, tak mampu membuat Romy, berbelas iba.Setiap rintihan Amelia. Semakin membuat hasratnya, berkobar. Napsu kelelakiannya, semakin tertantang.Romy ingin membuktikan, pada Adrian. Bahwa Amelia adalah miliknya sampai kapan pun.Kini yang tersisa, hanya tangis dan kepedihan hati Amelia. Aroma tubuh Romy yang dulu dia sukai. Terasa menyesakkan dada. Membuatnya semakin hancur dan lemah. Saat Romy menyusuri setiap inchi tubuhnya.Terdengar dengus napas Romy yang memburu. Saat dia berada dalam puncak kenikmatan
'Aku harus bisa keluar dari sini. Tapi, aku tak pegang uang sama sekali. Dompet, HP, ada di kamar. Kalau aku balik ke kamar dan mengambilnya, Romy pasti curiga.'Lalu, dia teringat akan kaleng biskuit yang berisi tabungan Dita. Langkahnya tertatih menuju kamar depan. Pandangan matanya tertuju pada sebuah kaleng yang berada di atas lemari."Ini dia!"Perlahan Amelia membuka tutup kaleng itu. Dia melihat ada pecahan uang lima ribuan hampir lima ratus ribu. Tanpa menghitung lagi. Dia megambil jeket milik Dita dalam lemari. Memasukkan semua uang, ke dalam tas kantong plastik hitam. Dan menyembunyikan di balik jaket."Aku harus keluar sekarang!"Langkah Amelia berjingkat, menuju pintu depan. Ternyata pintu ini telah dikunci oleh Romy."Sialan, kau Rom!"Tampak Amelia berpikir agar bisa keluar rumahnya sendiri."Amel ... Amelia! Di mana kamu?""Haaahhh? Dia mencari aku. Aku harus bagaimana ini?"Dia berusaha un
"Adrian, maafkan aku. Maafkan aku!"Ingin hati melaporkan tindakan Romy yang telah berbuat biadab terhadap dirinya. Namun, bagaimana dengan keluarga besar mereka? Dita dan Adrian?Begitu banyak pertimbangan yang dia pikirkan saat ini. Pelampiasan Amelia hanyalah air mata yang menyaksikan kebrutalan Romy.Sang sopir taxy, yang sedari tadi melihat dari arah spion dalam. Tampak khawatir. Mendengar isak tangis Amelia yang terus menerus."Mbak, kenapa kok nangis terus?""Enggak apa-apa kok, Pak. Aabaikan saja dan cepat antar saya pulang.""Ba-baik, Mbak."Dalam waktu yang bersamaan. Di rumah Amelia. Romy yang masih tanpa busana, mulai merasa aneh. Saat suasana rumah terasa hening. Tanpa ada suara sama sekali. "Mel! Amelia ...!"Tak ada suara yang menyahuti panggilannya."Ameliaaaa!" teriak Romy kencang.Dia mulai merasa ada yang janggal. Dengan cepat Romy memakai pakaiannya. Buru-buru dia keluar kamar dan menca