Amelia masih tertunduk sedih. Dia mengusap air matanya, dengan kedua tangan. Lalu mengangkat kepala yang bersandar di setir mobil.
Sesekali dia memejamkan mata. Terbayang ciuman bibir Romy yang terasa hangat menyentuh bibirnya. Amelia mengusap lembut. Seakan ingin cepat melepaskan semua kenangan antara dia dan Romy.
"Ini enggak mudah. Tapi, aku harus bisa!" tegas Amelia.Saat dirinya masih termenung. Terdengar ponsel yang berdering. Tertulis nama kakak iparnya, yang tak lain mama Romy.Ada terbersit kergauan untuk menjawab. Tapi, dia pun tak ingin mereka berprasangka, jika dirinya benar-benar mencintai Romy.Masih terekam jelas di dalam memori Amelia. Bagaimana keluarga besar mencecar dengan sejuta pertanyaan padanya. Saat Romy memutuskan untuk menikahi dirinya."Haaahhh!"Terdengar napas berat yang terembus. Dering ponsel terus berbunyi. Amelia melirik ke arah ponselnya.
"Mbakyu Maya. Pasti dia sibuk mencari aku," bisik Amelia.Sejenak Amelia terdiam. Berulang kali dia mengembuskan napas yang terasa berat. Akhirnya dia mengalah. Earphone di sambarnya."Hallo, Mbakyu.""Hallo! Kamu ini di mana toh, Mel? Semua keluarga kita cariin kamu lho!" Terdengar suara Anna yang melengking dari seberang ponselnya.
"Maaf, Mbakyu. Kepala saya sedikit pusing. Jadi pulang duluan tanpa pamit."
"Oalaaa, kamu kok gitu. Jadi sekarang ada di hotel?"
"Iya, Mbakyu. Saya mau istirahat sebentar.""Ya, sudah kalau gitu. Tapi, nanti malam harus datang ke rumah. Ini loh, Bulek Tituk pengen ketemu."
"Baik, Mbakyu."
Suara dari seberang langsung terputus. Amelia melepas earphone, dan terdiam. Pandangannya nanar, mengarah lurus ke depan. Lalu dia menoleh pada gedung resepsi pernikahan Romy.
"Aku harus segera pergi dari sini!"
Masih dengan mata yang sembab. Dan wajah kuyu oleh kesedihan. Dia melaju dengan mobilnya. Terlihat pikirannya kalut. Sesekali Amelia masih mengusap, air mata yang menetes.
"Kenapa ya Tuhan, aku bisa mengalami semua ini? Mengapa aku bisa mencintai dia? Mengapaaa ...?!"
Berulangkali dia memukul setir mobil. Sampai tanpai sadar. Saat berada di pertigaan jalan.Tiba-tiba ....Bruaaakkk!
"Aaaahhhh!"
Seketika airbag mengembang. Wajah Amelia terbenam di dalamnya. Jantungnya berdegup sangat kencang.
"A-aku masih hidup? Iya, aku masih hidup."Perlahan airbag mengempis. Sehingga Amelia bisa lebih mudah keluar dari mobil. Dan, dalam waktu yang bersamaan. Seorang lelaki tampan, dengan tampang seumuran dirinya keluar dari mobil mewah.
Kedua mata Amelia terbelalak. Saat dia mengetahui jenis kendaraan yang ditabraknya. Kendaraan berinisial LP 720, itu lecet di bagian bamper belakang.
"Mati, aku!" bisik Amelia.
Dia masih terperanjat. Saat lelaki itu sudah berdiri tepat di hadapannya.
"Tau berapa harga sparepartnya, Mbak?"
Amelia hanya menggeleng. Dengan berulang kali meneguk salivanya. Dia hanya bisa tertunduk.
"Harganya kisaran lima juta sampai tigapuluh lima juta. Paham ya kamu, Mbak?!""Iya, Mas. Maaf, saya tadi bener-bener enggak lihat!""Ini enggak bisa dibayar dengan kata maaf, Mbak!""I-iya, saya tau. Saya akan ganti semua kok!"
"Sini KTP, Mbak!"
"Sebentar, Mas. Jangan kasar sama saya. Pasti saya bayar, lagian dari awal saya 'kan enggak ada ngeyel juga," jawab Amelia kesal, dan geram.'Untung wajahnya ganteng.' Lelaki itu mengusap wajahnya, yang mulai berkeringat."Yang marah itu siapa? Memang saya kalau bicara seperti ini!" tegas lelaki tampan itu.Amelia berjalan menuju mobilnya. Dia merogoh tas, dan mengambil KTP miliknya. Llau, kembali berjalan menghampiri sang lelaki tampan.Dia mengulurkan KTP padanya. Sekilas lelaki itu membaca alamat, dan nama Amelia."Kenapa?" tanya Amelia ketus."Bukan orang sini?"
"Bukan, kenapa?"
"Cuman tanya aja, Mbak. Kok jadi Mbak yang ketus?"
Amelia hanya melengos, dengan kesal.
"Terus mobil saya gimana?" tanya Amelia tanpa rasa bersalah.
Sang lelaki, langsung menatap Amelia. Dia berjalan menghampiri wanita cantik itu. Lalu, dia terkekeh.
"Lama-lama kamu ini lucu, Mbak! Yang nabrak situ, jadi soal mobilnya Mbak, ya bukan urusan aku lah!" tegas sang lelaki.
"Ya, udah sini!"
"Apanya?"
"KTP aku lah. Mau kamu sandera?"
"Ikut dulu ke servis mobilku!" ajak lelaki itu.
Kemudian, sang lelaki tampan itu, membaca nama yang tertera di KTP.
"Amelia Pratiwi ... cakep juga namanya."
Amelia tak menghiraukannya. Dia memilih masuk ke dalam mobil.
"Apes bener aku hari ini! Sial ...! Mana nabrak mobil mahal lagi."
Berulangkali dia memukul setir mobil. Tampak dia sangat kesal, sedih, marah, bercampur jadi satu.
Kemudian, dia mengikuti mobil yang sudah jalan. Amelia terus membuntutinya. Menuju ke jalan raya.Tak lama kemudian. Mobil itu memasuki sebuah bangunan, tempat servis merek mobil yang dia pakai.Amelia pun memasukkan mobilnya. Dan, berhenti di tempat parkir. Dia segera turun tanpa melepas kacamata hitamnya. Dari kejauhan sang lelaki berdiri, menunggu dirinya."Duduklah di situ!" ujar sang lelaki tampan.Amelia mengikuti perkataannya. Dia duduk di ruang tunggu. Salah seorang pegawai menyuguhkan minuman dingin dalam kemasan botol.
"Makasih, Mbak!"
"Sama-sama."
Cukup lama Amelia menunggu. Dia melirik jam tangan. Yang menunjukkan pukul dua siang.
'Hemmm! Pasti acara di gedung sudah selesai. Mereka sudah pada pulang ke rumah.'
Sesekali terdengar napas yang berembus. Amelia memejamkan matanya. Lalu melepaskan kaca mata hitam.
'Aku enggak sanggup bayangin mereka sekarang lagi bermesraan. Kenapa aku jadi begini? Apa aku cemburu?'Dia menghempaskan tubuhnya. Bersandar di bantalan kursi."Haaaaahhh!"Tanpa sadar, lelaki itu sudah duduk di sebelahnya. Aroma parfum mahal langsung tercium Amelia. Dia menoleh.
"Kamu lagi suntuk?""Enggak!" jawab Amelia sekenanya.Lelaki itu tersenyum lebar.
"Kelihatan kamu lagi suntuk. Sampai menabrak mobil yang masih baru aku pakai satu bulan."
"Satu bulan? Berarti--" Amelia tak melanjutkan lagi kalimatnya.
Lelaki itu hanya tersungging."Maksud kamu ada asruransi?"
"I-iya, dong. Apalagi ini kan mobil mewah!" tegas Amelia.
"Apa asuransi aku enggak bayar?"
Amelia menatap tajam lelaki itu, sembari menelan salivanya. Dia terlihat sangat kesal.
'Mungkin dia memanfaatkan aku? Tapi, emang aku salah sih.'
"Melamun lagi? Bilang kalau enggak punya duit!""Menghina banget kamu.""Aku akan ambil billnya"Lelaki itu pun pergi meninggalkan Amelia. Dia terus mengekor ke mana lelaki itu pergi."Ganteng tapi kok nyebelin!"Lima belas menit berlalu. Lelaki tampan itu pun kembali menghampiri dirinya."Ini bill-nya!" Dia menyodorkan pada Amelia.Saat dia membaca tulisan yang menrangkan jumlah nominal. Seketika matanya membulat lebar.
"Ini beneran?" Hampir berteriak Amelia menanyakannya.
"Iya, benar!"
"Tiga puluh tujuh juta?" ulang Amelia terbelalak.
"Iya, sesuai yang tertulis di situ. Kenapa?"
Dengan wajah cemberut. Amelia mengeluarkan ponselnya.
"Berapa nomer rekening kamu?" tegas Amelia.
"Aku kirim pesan aja. Biar kamu enggak salah."
"Ribet amat!" gerutunya.
Lelaki itu, mengeluarkan ponselnya. Lalu melihat pada Amelia.
"Berapa nomer kamu?"
"Nomer apa?"
"WA kamu, Non!"
Terdengar Amelia mendengkus. Dia pun memperlihatkan nomernya pada lelaki itu. Setelah disimpan. Amelia masih memandangnya heran.
"Mana? Kok malah HP dimasukkan ke kantong lagi?"
*
Bersambung!
Baca juga ceritaku yanga lain. Kuku Bu Sapto, Geishaku Karmila genre horor.
Wajah Amelia merah padam. Dia sangat geram dengan lelaki yang duduk di sebelahnya."Maksud kamu apa nih? Jangan permainkan aku ya?!" Tatap Amelia tajam. Dengan dua mata yang membulat lebar."Loh, aku enggak mempermainkan. Aku hanya bilang nanti KTP akan aku antar.""Memangnya mau kamu antar ke mana?"Kali ini, lelaki tampan itu yang menatapnya tajam."Di mana tempat hotel kamu menginap?""Haaahhh ...?""Kok, haaahhh!""Maksud kamu apa sih?""Kok kamu sengit gitu, Mbak! Santai lah dikit. Aku akan kembalikan KTP kamu di hotel. Kebetulan aku tinggal di hotel Amaris."Deg!'Kok bisa sama? Aku enggak bakalan ngaku nginap di sana juga,' bisik Amelia dalam hati."Udah lah, Mas! Aku bayar aja duitnya. Nomer rekening kamu mana? Enggk usah pakai alasan ngenterin KTP aku di hotel segala. Lagian jadwal aku ini padat!""Nanti aku WA. Sekarang, Mbak bisa antar aku ke hotel?""Apa?" Amel
Setelah mobil keluar dari hotel. Amelia terpaksa berputar, hanya untuk menghindari Adrian."Kenapa hari ini aku bener-bener sial banget?"Berulang kali Amelia memukul setir mobilnya. Setelah jalan memutar. Mobil Amelia kembali masuk ke dalam halaman hotel. Di parking valley seorang petugas Valley sudah menyambutnya. Amelia segera turun di depan pintu utama hotel.Dengan bergegas Amelia yang kesal segera masuk menuju lift hotel. Tampak dari raut wajahnya terlihat sangat lelah. Lelah hati dan pikiran yang menghunjam dirinya.Dia menekan angka lima. Terdengar ponsel yang berdering."Dita?"Buru-buru dia menerima panggilan dari anaknya."Dita Sayang.""Mama di mana? Semua udah pada kumpul di rumah Budhe. Om Romy sama Tante Salsa juga sudah datang Ma."Deg!Ada desir kepedihan yang menyelinap dalam dirinya saat ini. Bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. Amelia tak langsung menuju kamar. Dia memilih berdiri di sudut
Tangisnya masih menyisakan sesak di dada. Hingga Amelia Pradipta terlelap oleh kelelahan hati dan fisik yang mendera dirinya.Sampai malam pun menjelang. Hingga terdengar suara bel di pintu. Membuat Amelia tergagap."Apa sudah maghrib? Kayaknya sudah malam banget," bisiknya lirih.Bergegas dia terbangun. Melihat arlojinya."Udah jam tujuh. Mana aku belum mandi."Terdengar kembali suara bel berbunyi. Membuat Amelia tersentak. Dia mengernyitkan dahinya."Siapa malam-malam begini? Lagian enggak ada janjian sama siapa pun."Amelia mengurungkan niatnya ke kamar mandi. Dia mengintip dari lubang kecil di pintu. Namun, tak telihat siapa pun. Akhirnya dia membuka pintu.Dia melihat sosok Adrian yang sedikit berbeda dengan tampilannya di siang tadi. Kaos oblong berwarna hitam, dipadu dengan jeans wash sobek-sobek. Dia terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya."Kamu?"Adrian tersenyum lebar."Mau apa?"Ame
Aaaarghhh!" teriak Romy.Berulang kali dia memukul setir mobil yang tak bersalah."Bagaimana bisa dia secepat itu mendapat pacar? Aku enggak percaya. Apa secepat itu Amelia dapat pengganti aku?"Berulangkali tangannya memukul setir mobil. Tampak dari raut wajah Romy. Dia sangat kecewa, cemburu dan marah. Semua perasaan yang campur aduk. Membuat dadanya terasa sesak."Kenapa dada ini sesak dan perih seperti ini?""Aaaaahhh!"Enggan rasa hati untuk pulang ke rumah. Tapi, pasti orang tuanya kebingungan."Kenapa aku dulu mengiyakan mama saat memutuskan melamar Salsa? Dan bodohnya aku, terlalu mengikuti kemauan mama dan papa."Mobil pun akhirnya sampai di depan pagar rumah yang masih terbuka lebar. Sesaat Romy masih tercenung cukup lama di dalam mobil. Pandangan matanya mengarah pada rumahnya. Yang terlihat masih terang benderang dan terdengar ramai."Ternyata mereka belum pada tidur," bisik Romy.Bergegas dia turun da
Dalam gelisahnya. Romy masih terbayang sosok lelaki tampan bersama Amelia. Lelkai yang sama sekali tak pernah dia tahu."Siapa dia Amelia? Kenapa aku tak pernah mengenalnya?'" bisik Romy lirih.Romy semakin larut dalam gelisah. Sulit baginya saat ini untuk bisa memejamkan mata. Apalagi tidur dengan nyenyak.'Andai kamu tau perasaan ini tak pernah berubah sedikit pun Amelia. dan saat ini aku begitu merinduimu. Andai kau tau, betapa hancurnya diriku saat ini. Melihat dirimu dengan lelaki itu!'Terdengar helaan napas panjang dan berat.'Tak sanggup rasanya hati ini meninggalkan kamu. Katakan padaku Amelia, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa ...?'Tanpa memedulikan Salsa yang duduk di atas kasur. Yang mengarahkan pandangan pada dirinya. Romy menyambar ponsel yang tak jauh dari dirinya.Dengan cepat jari-jari tangannya mengetik tuts ponsel.{Siapa lelaki itu?}Pesan itu masih centang satu.
Adrian masih terpaku dengan ucapan Amelia. Dia terpaku dengan tatap mata yang tak beralih memandang Amelia."Apa ada kalimatku yang salah?"Adrian menggeleng. Dengan tatap mata yang tak beralih."Lalu kenapa melihat aku seperti itu?""Kamu cantik!"Sontak kalimat itu membuat Amelia tersipu. Dia membuang pandangannya jauh keluar jendela."Kenapa Amel? Apa aku salah?"Amelia hanya menjawab dengan menggeleng. Membuat Adrian tersenyum tipis melihat gelagat wanita yang duduk di hadapannya saat ini."Dan sejak lima tahun itu kamu tetap sendiri?""Iya. Bayangan Renata sulit aku lepaskan.""Selama itu kamu sendiri tanpa ada wanita sama sekali?"Tiba-tiba, Adrian tergelak. Membuat Amelia kebingungan. Dia sampai mengernyitkan dahi. Menatap sekilas pada lelaki kharismatik di hadapannya. Terdengar Amelia menghela napas panjang."Kenapa?" tanya Adrian masih tersenyum lebar."Enggak apa-apa kok.""Pe
Segala penolakan dilakukan Amelia. Hingga membuat Romy berang. Dia menatap tajam padanya. Dengan pandangan penuh intimidasi."Kenapa kamu menolakku, Mel?""Karena kamu sudah menikah! Sekarang pulang dan pergi dari kamarku!"Melihat penolakan Amelia. Romy bukan malah mengikutinya. Dia semakin merengkuh tubuh wanita cantik itu, dalam dekapannya."Aku enggak peduli kamu tolak apa enggak, Mel. Yang penting sekarang aku ingin bersamamu. Mencumbuimu. Biar rindu ini hilang!""Rom--"Tak kuasa Amelia melakukan penolakan. Dirinya yang merindukan sosok Romy kembali hanyut dalam buaian asmara. Hasrat mereka berdua semakin bergelora.Hanya terdengar dengus napas yang membara di antara keduanya. Saat tangan-tangan Romy mulai menjelajah di sekujur tubuh Amelia. Bibirnya pun melumat bibir ranum kekasih hati.Detak jantung semakin memburu. Berdegup kencang. Romy semakin tak kuasa menahan kerinduannya. Dia semakin rakus dengan hasrat yang berge
Romy menatap tajam pada Salsa. Pertanyaan yang begitu berani dan menohok relung hatinya. Atas kebenaran yang tak Romy sangka kalau Salsa akan mengetahuinya."Mas Romy tak berani menjawabnya? Takutkah ini suatu kebenaran?""Diam kamu Salsa!""Kenapa Mas Romy? Aku ini bukan anak kecil yang bodoh. Yang enggak tahu apa-apa Mas. Usiaku sudah dua puluh lima tahun. Dan aku ini seorang guru. Jangan Mas Romy remehkan perasaan dan kepintaran aku!""Stop! Aku enggak mau dengar lagi ocehan kamu."Melihat sikap Romy yang keras kepala. Membuat Salsa semakin meradang. Dia pun tak kuasa lagi menahan isak tangisnya. Hingga dia terduduk di lantai. Dengan tubuh yang bersandar di daun pintu."Kejam kamu Mas Romy! Kenapa kamu memilih aku untuk jadi korban pernikahan ini? Kenapa Mas?!"Tak ada jawaban yang terdengar dari bibir Romy. Dia hanya terdiam sejuta bahasa. Tangannya meraih bantal dan menutupkan di kepala dan wajahnya sendiri. Membuat Salsa semakin
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."