Tatap matanya nanar. Amelia Pratiwi melangkah pelan, saat memasuki gedung pernikahan Romy Pradipta.
Semerbak aroma wangi bunga, langsung melesak. Membuat Amelia terdiam sesaat. Seperti ada sembilu, yang mengiris lubuk hati terdalam. Nyeri dan perih.
Sejenak Amelia hanya berdiri mematung. Menyembunyikan wajah cantiknya, yang muram.
"Amel!"
Sontak tepukan lembut di bahunya, membuat wanita cantik itu menoleh.
"Mbak Yu!"
"Ayok, ngumpul di sana. Sudah ditunggu sama yang lain."
Tanpa memberi jeda sedikit pun. Wanita itu langsung menarik lengan Amelia, untuk mengikuti langkahnya.
"Tadi Dita bareng sama Mas Pomo, Mbak Yu."
"Iya, lagi ngumpul sama anak-anaknya keluarga Bulek Titut."
Amelia tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan badai di dalam hatinya.
Dari kejauhan. Di antara keluarga besar yang berkumpul.
Amelia bisa melihat sosok seorang lelaki tampan. Yang parasnya tak bisa lepas dari jiwanya yang sepi.
Sesaat Amelia memalingkan wajah. Wajah cantiknya memerah. Bagai angin panas tengah menyapu kulitnya yang putih.
"Dek, ayo sini! Kok malah menjauh toh!"
Amelia merasa enggan dan rikuh. Saat tatapan Romy Pradipta, tak lepas darinya.
"Saya duduk di sini saja, Mbak."
"Ya, sudah. Jangan jauh-jauh, tadi di cari sama Bulek Tituk. Sama keluarga besar Mas Satriyo."
Amelia mengangguk. Sesekali menelan saliva. Tenggorokannya terasa kering.
Hari ini, Romy akan melangsungkan akad pernikahan dengan Salsa Munandar. Seorang gadis manis berasal dari kota yang sama dengan Romy Pradipta.
Seluruh keluarga besar mereka berkumpul, termasuk Amelia Pratiwi. Yang semula enggan untuk menghadiri pesta tersebut, tetapi keluarga memaksa untuk hadir.
Berbalut busana tunik kebaya berwarna hijau tua, dipadu dengan jarik sidomukti. Malam itu Amelia terlihat sangat cantik.
Walau berusia hampir tiga puluh delapan tahun, tetap membuat Romy tak pernah bisa berpaling.
Saat itu, Romy terlihat tampan dan gagah. Mengenakan busana pengantin jawa berwarna kuning gading.
Tatapan mata Romy, tak pernah beralih dari Amelia.
Melihat gelagat itu, Amelia segera bergegas pergi untuk bersembunyi sesaat. Dia tak ingin kehadirannya malah mengacaukan prosesi akad yang akan berlangsung.
Gerak langkahnya berjalan cepat. Walau cukup kesulitan, dengan jarik yang dikenakan.
Namun, sebuah hentakan cukup keras terasa di lengannya.
“Aaahhh!”
Suara Amelia terdengar cukup kencang. Dia langsung berbalik.
“Ka-kamu!” Suara Amelia terbata, saat melihat sosok Romy sudah berdiri di hadapannya.
Lelaki tampan itu, langsung menarik tangan Amelia paksa. Menuju sebuah ruangan yang tak ada orang.
Tanpa sadar dia langsung memeluk Amelia erat. Hingga manik matanya bergerak-gerak. Seakan menahan perasaan sembilu yang kini menyayat hati.
Mungkin tak hanya Romy, tapi juga Amelia.
“Rom! Lepaskan Romy!” Amelia segera mendorong tubuh Romy, cukup keras.
Melihat penolakan Amelia. Semakin membuat Romy tak kuasa menahan marah, bercampur kerinduan.
Dia tak ingin melepas genggaman eratnya di lengan Amelia.
“Aku selalu merindukan kamu, Amel!”
“Please, Romy! Kamu sudah mau menikah. Hubungan kita sudah berakhir.”
Romy bergerak cepat. Menghimpit tubuh Amelia yang masih terperanjat, dengan ulah nekatnya.
Hanya dalam waktu sekian detik.
Amelia bisa merasakan bibirnya yang basah. Sentuhan lembut bibir Romy, sudah menempel pada bibirnya.
Tak hanya sekedar menempel. Romy semakin rakus memagut bibir Amalia. Hingga gigitan kecil, bersarang di bibir Romy.
Plaaakkk!
Amelia melayangkan tamparan keras di pipi kanan, Romy.
“Jangan pernah melakukan hal itu lagi, Rom!” Tangannya mengusap bibir yang basah. Hingga membuat lipstik Amelia sedikit berantakan.
Mereka berdua bersitatap, cukup lama. Hingga napas mereka saling beradu.
“Aku mencintaimu, Amel.”
Romy seakan tak mengindahkan lagi penolakan Amelia. Dia semakin menarik paksa pinggang wanita cantik itu.
“Kamu tak akan bisa lepas dari aku, Amel!”
“Hentikan, Rom! Plea—“
Bibir Amelia penuh dengan bibir Romy yang memagutnya kembali, dengan paksa. Hingga Amelia tak bisa bernapas.
Tangannya terus memukul tubuh Romy.
“Le-lepas … Rom!”
Romy melepaskan pelukannya. Mengusap lembut bibir Amelia dengan jari tangan.
“Maafkan aku, Mbak! Aku sangat merindukan dirimu,” ucap Romy lirih.
Bagai tersadar. Amelia bergegas pergi meninggalkan Romy, dengan segala kekesalan, amarah, dan cinta.
"Mbaaaak!" teriak Romy.
Namun, Amelia terus melangkah meninggalkan tempat itu.
Tak menyerah sampai di situ. Romy kembali mencekal lengan Amelia. Dia memeluk dari belakang.
“Mbak, sampai kapan pun, aku akan menikahi kamu!” bisik Romy tepat di telinga wanita cantik itu.
“Ingat Romy! Kau akan menikah, lupakan aku dan semua tentang aku!” ucapnya lirih.
“Katakan sekarang! Jika, Mbak tidak ada rasa cinta ke aku. Katakan Mbak!” bentak Romy, masih mendekap Amelia.
“Cukup! Aku sebaiknya pulang. Jadilah seorang lelaki yang bertanggung jawab pada keluarga kecilmu, seperti Faiz padaku, Rom!”
Dengan sedikit berontak. Akhirnya dia berhasil lepas dari dekapan Romy.
Amelia berlalu meninggalkan gedung pernikahan dengan berlari kecil. Langkahnya tergopoh menuruni beberapa anak tangga.
Air mata tak sanggup lagi dia bendung.
“Amel! Ameliaaa!” teriak Romy.
“Aaaaaarghhh!”
Romy berteriak kencang, dengan tangan memukul tembok. Hingga membuat luka kecil, dan berdarah.
Matanya semakin nanar menatap kepergian Amelia.
Ada kernyit sembilu di sudut relung hati terdalam. Begitu perih dan teramat sakit.
Tanpa Romy sadari, dari balik tembok berwarna putih itu. Seorang gadis manis menyeka tetesan air matanya.
Gadis itu pun menatap kepergian Amelia, dengan kesedihan yang mulai mendera lubuk hatinya.
'Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka?' bisik Salsa dalam hatinya.
Amelia berlari cepat, walau gerak langkah kakinya terasa sulit.
Segera dia menuju mobil yang diparkir tak jauh, dari pintu ke luar gedung.
Bergegas tangannya merogoh saku dalam tas tangan, mencari kunci.
Sesaat Amelia menenangkan dirinya di dalam mobil.
Tubuhnya berguncang hebat. Dia tak lagi mampu menahan sesak yang dirasa. Tangisnya pun meledak.
Berulang kali dia mengelengkan kepala. Seakan ingin mengingkari apa yang telah terjadi.
“Aku yang salah membiarkan semua rasa ini terjadi!” isaknya.
Dia terus memukul setir mobil yang tak bersalah.
"Aku yang salah!"
Lembutnya bibir Romy masih terasa hangat di bibirnya. Berulangkali dia mengusap perlahan.
"Bisakah aku melupakan kamu Rom?"
Tangisnya kembali terdengar. Kenangan itu semakin membayang di kedua pelupuk mata.
Saat pertama kali Romy datang ke rumah. Setelah sekian tahun lamanya mereka tak pernah bertemu lagi.
Saat itu Amelia mangabaikan rasa simpati yang dulu pernah ada. Walau samar.
Dia tersenyum lebar. Sesekali masih menghapus kasar kedua mata. Sengaja Amelia memejamkan kedua mata.
Mungkin itu cara terbaik melupakan Romy sesaat. Walau bayangannya tak pernah sirna.
Kata-kata Romy kembali terngiang. Saat dilema melanda mereka berdua. Saat dibenturkan pada masalah yang datang. Bukan dari orang lain. Tapi, dari keluarga besar mereka sendiri.
"Amelia, aku berhak menikah dengan dirimu. Kamu wanita yang sah aku nikahi. Kamu janda dari om aku yang sudah meninggal. Kesalahannya di mana?" teriak Romy saat itu.
Kembali Amelia menggeleng keras.
"Aku ingin lupakan semua! Aku ingin melupakan dirimu Romy!"
*
Hai readers!
Semoga cerita ini, menjadi bacaan yang menarik untukmu.
Happy weekend. Jangan lupa berikan review, vote, hadiah, dan subs ya. Terimakasih.
Amelia masih tertunduk sedih. Dia mengusap air matanya, dengan kedua tangan. Lalu mengangkat kepala yang bersandar di setir mobil.Sesekali dia memejamkan mata. Terbayang ciuman bibir Romy yang terasa hangat menyentuh bibirnya. Amelia mengusap lembut. Seakan ingin cepat melepaskan semua kenangan antara dia dan Romy."Ini enggak mudah. Tapi, aku harus bisa!" tegas Amelia.Saat dirinya masih termenung. Terdengar ponsel yang berdering. Tertulis nama kakak iparnya, yang tak lain mama Romy.Ada terbersit kergauan untuk menjawab. Tapi, dia pun tak ingin mereka berprasangka, jika dirinya benar-benar mencintai Romy.Masih terekam jelas di dalam memori Amelia. Bagaimana keluarga besar mencecar dengan sejuta pertanyaan padanya. Saat Romy memutuskan untuk menikahi dirinya."Haaahhh!"Terdengar napas berat yang terembus. Dering ponsel terus berbunyi. Amelia melirik ke arah ponselnya."Mbakyu Maya. Pasti
Wajah Amelia merah padam. Dia sangat geram dengan lelaki yang duduk di sebelahnya."Maksud kamu apa nih? Jangan permainkan aku ya?!" Tatap Amelia tajam. Dengan dua mata yang membulat lebar."Loh, aku enggak mempermainkan. Aku hanya bilang nanti KTP akan aku antar.""Memangnya mau kamu antar ke mana?"Kali ini, lelaki tampan itu yang menatapnya tajam."Di mana tempat hotel kamu menginap?""Haaahhh ...?""Kok, haaahhh!""Maksud kamu apa sih?""Kok kamu sengit gitu, Mbak! Santai lah dikit. Aku akan kembalikan KTP kamu di hotel. Kebetulan aku tinggal di hotel Amaris."Deg!'Kok bisa sama? Aku enggak bakalan ngaku nginap di sana juga,' bisik Amelia dalam hati."Udah lah, Mas! Aku bayar aja duitnya. Nomer rekening kamu mana? Enggk usah pakai alasan ngenterin KTP aku di hotel segala. Lagian jadwal aku ini padat!""Nanti aku WA. Sekarang, Mbak bisa antar aku ke hotel?""Apa?" Amel
Setelah mobil keluar dari hotel. Amelia terpaksa berputar, hanya untuk menghindari Adrian."Kenapa hari ini aku bener-bener sial banget?"Berulang kali Amelia memukul setir mobilnya. Setelah jalan memutar. Mobil Amelia kembali masuk ke dalam halaman hotel. Di parking valley seorang petugas Valley sudah menyambutnya. Amelia segera turun di depan pintu utama hotel.Dengan bergegas Amelia yang kesal segera masuk menuju lift hotel. Tampak dari raut wajahnya terlihat sangat lelah. Lelah hati dan pikiran yang menghunjam dirinya.Dia menekan angka lima. Terdengar ponsel yang berdering."Dita?"Buru-buru dia menerima panggilan dari anaknya."Dita Sayang.""Mama di mana? Semua udah pada kumpul di rumah Budhe. Om Romy sama Tante Salsa juga sudah datang Ma."Deg!Ada desir kepedihan yang menyelinap dalam dirinya saat ini. Bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. Amelia tak langsung menuju kamar. Dia memilih berdiri di sudut
Tangisnya masih menyisakan sesak di dada. Hingga Amelia Pradipta terlelap oleh kelelahan hati dan fisik yang mendera dirinya.Sampai malam pun menjelang. Hingga terdengar suara bel di pintu. Membuat Amelia tergagap."Apa sudah maghrib? Kayaknya sudah malam banget," bisiknya lirih.Bergegas dia terbangun. Melihat arlojinya."Udah jam tujuh. Mana aku belum mandi."Terdengar kembali suara bel berbunyi. Membuat Amelia tersentak. Dia mengernyitkan dahinya."Siapa malam-malam begini? Lagian enggak ada janjian sama siapa pun."Amelia mengurungkan niatnya ke kamar mandi. Dia mengintip dari lubang kecil di pintu. Namun, tak telihat siapa pun. Akhirnya dia membuka pintu.Dia melihat sosok Adrian yang sedikit berbeda dengan tampilannya di siang tadi. Kaos oblong berwarna hitam, dipadu dengan jeans wash sobek-sobek. Dia terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya."Kamu?"Adrian tersenyum lebar."Mau apa?"Ame
Aaaarghhh!" teriak Romy.Berulang kali dia memukul setir mobil yang tak bersalah."Bagaimana bisa dia secepat itu mendapat pacar? Aku enggak percaya. Apa secepat itu Amelia dapat pengganti aku?"Berulangkali tangannya memukul setir mobil. Tampak dari raut wajah Romy. Dia sangat kecewa, cemburu dan marah. Semua perasaan yang campur aduk. Membuat dadanya terasa sesak."Kenapa dada ini sesak dan perih seperti ini?""Aaaaahhh!"Enggan rasa hati untuk pulang ke rumah. Tapi, pasti orang tuanya kebingungan."Kenapa aku dulu mengiyakan mama saat memutuskan melamar Salsa? Dan bodohnya aku, terlalu mengikuti kemauan mama dan papa."Mobil pun akhirnya sampai di depan pagar rumah yang masih terbuka lebar. Sesaat Romy masih tercenung cukup lama di dalam mobil. Pandangan matanya mengarah pada rumahnya. Yang terlihat masih terang benderang dan terdengar ramai."Ternyata mereka belum pada tidur," bisik Romy.Bergegas dia turun da
Dalam gelisahnya. Romy masih terbayang sosok lelaki tampan bersama Amelia. Lelkai yang sama sekali tak pernah dia tahu."Siapa dia Amelia? Kenapa aku tak pernah mengenalnya?'" bisik Romy lirih.Romy semakin larut dalam gelisah. Sulit baginya saat ini untuk bisa memejamkan mata. Apalagi tidur dengan nyenyak.'Andai kamu tau perasaan ini tak pernah berubah sedikit pun Amelia. dan saat ini aku begitu merinduimu. Andai kau tau, betapa hancurnya diriku saat ini. Melihat dirimu dengan lelaki itu!'Terdengar helaan napas panjang dan berat.'Tak sanggup rasanya hati ini meninggalkan kamu. Katakan padaku Amelia, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa ...?'Tanpa memedulikan Salsa yang duduk di atas kasur. Yang mengarahkan pandangan pada dirinya. Romy menyambar ponsel yang tak jauh dari dirinya.Dengan cepat jari-jari tangannya mengetik tuts ponsel.{Siapa lelaki itu?}Pesan itu masih centang satu.
Adrian masih terpaku dengan ucapan Amelia. Dia terpaku dengan tatap mata yang tak beralih memandang Amelia."Apa ada kalimatku yang salah?"Adrian menggeleng. Dengan tatap mata yang tak beralih."Lalu kenapa melihat aku seperti itu?""Kamu cantik!"Sontak kalimat itu membuat Amelia tersipu. Dia membuang pandangannya jauh keluar jendela."Kenapa Amel? Apa aku salah?"Amelia hanya menjawab dengan menggeleng. Membuat Adrian tersenyum tipis melihat gelagat wanita yang duduk di hadapannya saat ini."Dan sejak lima tahun itu kamu tetap sendiri?""Iya. Bayangan Renata sulit aku lepaskan.""Selama itu kamu sendiri tanpa ada wanita sama sekali?"Tiba-tiba, Adrian tergelak. Membuat Amelia kebingungan. Dia sampai mengernyitkan dahi. Menatap sekilas pada lelaki kharismatik di hadapannya. Terdengar Amelia menghela napas panjang."Kenapa?" tanya Adrian masih tersenyum lebar."Enggak apa-apa kok.""Pe
Segala penolakan dilakukan Amelia. Hingga membuat Romy berang. Dia menatap tajam padanya. Dengan pandangan penuh intimidasi."Kenapa kamu menolakku, Mel?""Karena kamu sudah menikah! Sekarang pulang dan pergi dari kamarku!"Melihat penolakan Amelia. Romy bukan malah mengikutinya. Dia semakin merengkuh tubuh wanita cantik itu, dalam dekapannya."Aku enggak peduli kamu tolak apa enggak, Mel. Yang penting sekarang aku ingin bersamamu. Mencumbuimu. Biar rindu ini hilang!""Rom--"Tak kuasa Amelia melakukan penolakan. Dirinya yang merindukan sosok Romy kembali hanyut dalam buaian asmara. Hasrat mereka berdua semakin bergelora.Hanya terdengar dengus napas yang membara di antara keduanya. Saat tangan-tangan Romy mulai menjelajah di sekujur tubuh Amelia. Bibirnya pun melumat bibir ranum kekasih hati.Detak jantung semakin memburu. Berdegup kencang. Romy semakin tak kuasa menahan kerinduannya. Dia semakin rakus dengan hasrat yang berge
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."