Romy menatap tajam pada Salsa. Pertanyaan yang begitu berani dan menohok relung hatinya. Atas kebenaran yang tak Romy sangka kalau Salsa akan mengetahuinya.
"Mas Romy tak berani menjawabnya? Takutkah ini suatu kebenaran?"
"Diam kamu Salsa!"
"Kenapa Mas Romy? Aku ini bukan anak kecil yang bodoh. Yang enggak tahu apa-apa Mas. Usiaku sudah dua puluh lima tahun. Dan aku ini seorang guru. Jangan Mas Romy remehkan perasaan dan kepintaran aku!"
"Stop! Aku enggak mau dengar lagi ocehan kamu."
Melihat sikap Romy yang keras kepala. Membuat Salsa semakin meradang. Dia pun tak kuasa lagi menahan isak tangisnya. Hingga dia terduduk di lantai. Dengan tubuh yang bersandar di daun pintu.
"Kejam kamu Mas Romy! Kenapa kamu memilih aku untuk jadi korban pernikahan ini? Kenapa Mas?!"
Tak ada jawaban yang terdengar dari bibir Romy. Dia hanya terdiam sejuta bahasa. Tangannya meraih bantal dan menutupkan di kepala dan wajahnya sendiri. Membuat Salsa semakin
Raut wajah Salsa tegang. Dia tak ingin sampai Amelia mengatakan pada Dita kalau sudah memberi pesan untuk dirinya lewat Salsa."Ini Dita!" ujar Romy."Makasih Om."Gadis kecil itu kembali pergi ke teras samping. Salsa terus memperhatikannya. Dia hanya bisa berdoa dalam hati. Agar Amelia tak mengatakan kalau sudah bertitip pesan pada dirinya.Hanya sekian menit. Dita sudah kembali ke ruang makan."Ini Om. Makasih ya."Saat melewati kursi Salsa, Dita berhenti. Lalu menepuk lengan Salsa cukup kuat."Tante Salsa kok enggak bilang kalau tadi udah dipesenin sama Mama?"Sontak pertanyaan itu membuat Salsa kebingungan menjawabnya.'Apa yang harus aku jawab?'Suasana seketika tegang. Salsa merasa seluruh pandangan mengarah pada dirinya."Jadi tadi Tante Amel telpon kmau lewat Hp aku Salsa?" tanya Romy tampak meredam amarahnya."I-iya, pas Mas Romy mandi tadi.""Gitu Tante harusnya tetep bilang
Tak lepas Adrian memandang Romy yang duduk tepat di depannya. Terlihat Romy sangat tidak tenang dengan kedatangan Adrian. Dari arah ruang tamu. Salsa muncul dan tersenyum lebar pada mereka berdua. Lantas dia duduk di sebelah Romy.Adrian hanya melihat ke arahnya."Tante langsung pulang?""Iya, Salsa.""Sendirian Tante?"Sengaja Amelia tak menjawab. Dia hanya menggeleng. Mungkin dia hanya ingin menjaga perasaan Romy yang terlihat masam."Enggak. Tante kamu pulang bareng sama saya," sahut Adrian.Terdengar hembusan kuat dari Romy. Yang langsung memalingkan wajahnya.Salsa bisa menangkap kegelisahan yang tercermin dari wajah Romy. Dia pun merasa mendapat sebuah kesempatan untuk semakin membuat Romy panas."Om Adrian teman lama? Atau mungkin calonnya tante Amel?""Ohhh, enggak. Kita baru saja kenal kok.""Tapi Om sama Tante kelihatan serasi."Romy semakin terlihat panasa. Dia terus menggoyang
"Sepertinya Romy memang enggak suka melihat aku ya?"Suara Adrian memecah kesunyian di antara mereka."Kenapa kamu berpikiran seperti itu?""Kita bukan anak SD, Mel."Amelia hanya terdiam. Dia tak ingin membahas soal ini lagi. Cukup sudah semua kesedihan yang dirasakannya. Detik ini juga Amelia berjanji untuk melupakan Romy. Untuk melupakan semua hal gila yang pernah terjadi di antara mereka."Maaf bila menyinggung kamu, Mel.""Enggak sama sekali. Kok bisa kamu berpikiran kayak gini?""Habisnya kamu diam."Amelia mengibaskan tangannya di samping Adrian."Coba kamu cerita kok bisa kenal sama Romy?""Malas ahhh!""Hemmm ... aku sudah cerita tentang diriku. Kamu yang belum.""Terlalu panjang. Buat kamu bosan Adrian.""Enggak akan bosan. Perjalanan Semarang ke Surabaya butuh 350 kilometer. Cukup buat aku untuk mendengarkan kisahmu."Amelia tersneyum dan melempar pandangannya keluar jendela.
Di kamar ini Romy berusaha untuk meredam perasaan yang dulu pernah hidup di hatinya. Saat dia masih dua puluh tahun.Desiran lembut itu seakan kembali menggoda. Romy tersenyum sendirian. Saat mengenang masa-masa itu.Masih teringat saat semester lima. Langkah kaki yang terburu-buru. Karena Romy kesiangan. Tanpa melihat kiri kanan dia masuk ke sebuah ruang kelas. Dengan langkah santai. Tanpa permisi Romy langsung masuk dan mengambil kursi paling belakang."Hemmmmm ... busyeeet! Baru kali ini aku dapat dosen cantik banget," gumam Romy saat itu.Tak pelak tanpa berkedip sedetik pun. Romy terus memperhatikan dosen itu terus menerus. Tanpa pernah menyimak apa yang dia ajarkan."Dosen secantik ini bisa ada di Fakultas Teknik. Ajib benar."Namun ada hal yang aneh. Saat dia mulai tersadar Memperhatikan di sekelilingnya saat ini. Membuat Romy terhenyak."Apa enggak salah nih? Enggak biasanya Teknik banyak makhluk cantik. Wahhh, mending tiap ha
Amelia terlihat masih sibuk dengan masakannya. Terdengar suara pintu yang dibuka perlahan. Muncul seorang wanita muda yang berjalan lambat ke arahnya.“Mbak, maaf saya telat.”“Aku kira kamu enggak datang Nik.” Wanita yang disapa Nik itu langsung tersenyum lebar."Ada tamu?""Iya, si Romy. Keponakan Mas Faiz.""Ohhh!""Siapkan makannya di meja. Ini udah matang semua. Aku mau mandi dulu.""Iya Mbak."Sejak suami Amelia meninggal tiga tahun lalu. Dia menjadi orang yang menutup diri dari pergaulan di sekitar kampungnya. Apalagi dengan predikat yang tersandang.Dikamar ini. Romy terlihat gelisah. Matanya semakin tak bisa diajak tidur. Membuat dia bangkit, mengambil handuk. Lantas Romy menyiapkan kemeja hitam, yang dia keluarkan dari tas.Langkahny ayang terbburu-buru. Tak memperhatikan apa yang ada di hadapannya. Sampai sebuah tabrakan cukup keras. Menghantam keduanya.Bruuukkk!"
Amelia menyandarkan tubuhnya. Selama perjalanan tak banyak pembicaraan di antara mereka. Amelia beberapa kali melirik ke arah Romy. Yang fokus pada jalan."Kenapa Mbak?"Dia hanya menggeleng."Enggak apa-apa kok Rom."Amelia membuang jauh pandangannya ke luar jendela. Tampak dia hanyut dalam lamunan. Terbayang saat mengenal pertama kali Romy Pradipta. Pikirannya terbang jauh sembilan tahun yang lalu.Di saat Amelia Pratiwi masih menjadi staf pengajar di sebuah Universitas Swasta di Semarang. Dia pernah merasakan usia rawan bagi seorang wanita. Tiga puluh tahun. Sedangkan kedua orang tua seolah tidak mau tahu. Terus menuntut untuk segera menikah."Emang menikah semudah yang mereka bilang?" bisik Amelia. Mencoba berdamai dengan hatinya.“Jangan karier yang terus kamu kejar Mel, laki-laki gak bakal berani dekati kamu biarpun kamu cantik!” Kalimat itu selalu terngiang di telinga.Hingga aroma par
"Kamu ingin merebut hati Dita?"Kali ini Amelia bertanya serius."Apa ada yang salah Mbak?""Enggak sih. Kamu kan kakaknya.""Tapi dia terbiasa panggil Om. Iya kan?"Amelia hanya mengangguk. Dia terus mengikuti langkah Romy yang menuju sebuah rak. Tempat boneka hello Kity dengan ukuran sebesar manusia dewasa."Kamu mau belikan Dita ini?""Iya. Apa dia enggak suka?""Bu-bukan itu, tapi buat apa?""Sesekali lah Mbak. Aku belum bawain dia oleh-oleh."Tanpa menghiraukan Amelia. Romy terus berjalan menuju kasir. Setelah membayar, spontan Romy menggandeng tangan Amelia. Langkah mereka berdua berjalan sejajar. Tampak tinggi Amelia sebahu Romy.Ketika keluar dari toko, hujan deras langsung menyambut mereka.“Mbak tunggu di sini! Aku ambil payung.”Namun Amel mencegahnya.“Kita lari aja ke mobil.”Romy mengikuti langkah cepat Amelia dengan memayungkan boneka ke ata
"Kamu ngomoing apaan sih Adrian?"Terdengar tawa yang meledak. Saat melihat wajah Amelia seperti udang rebus."Maaf! kebetulan aku salah satu pria yang paling tidak suka memaksa wanita.""Baguslah!"Kembali Adrian tersenyum dengan melirik pada Amelia yang terlihat cemberut."Hubungan kalian itu terlalu rumit Amelia. Sebaiknya tinggalkan dan kamu bisa bahagia dengan cara kamu.""Terima kasih atas nasehatnya!"Perjalanan mereka mulai memasuki gerbang kota Surabaya."Serius kamu mau antar aku sampai rumah?""Iyalah Adrian. Masa aku bohong?""Pulang besok aja ke Malang. Istirahat dulu di rumahku." Seraya mengerling pada Amelia yang masih gusar."Haaa? Rumah kamu?!""Udahlah, lihat rumahku dulu!"Amelia hanya terdiam. Dia tak langsung memberikan jawaban. Sampai akhirnya mobil mereka memasuki sebuah perumahan elit kawasan Surabaya timur."Wowww! Ini lingkungan rumah kamu Adrian?"Lelak
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."