"Banyak sekali pertanyaan kamu. Aku enggak tau mau jawab apa, San. Yang jelas aku ingin bertemu Salsa dan Amelia! Dan kamu harus mau membantu aku, San!"
Sontak kalimat itu membuat Santi tertawa terbahak-bahak. Seolah sedang mengejek Romy yang terlihat plin-plan.
"Kamu ini sama kayak orang yang jilat lagi air ludah kau!"
"Aku banyak salah pada mereka berdua. Terutama sama Amelia. Dan itu semua karena kamu!"
"Haaahhh! Kenapa kamu menyalahkan aku? Aneh kamu ini!"
"Ya, kamu yang bikin aku sampai terprovokasi seperti waktu itu."
Kembali Santi menyeringai tipis.
"Lagi ... lagi, kamu salahin aku. Niat kamu ke sini emang mau salahin aku atau bagaiamana Rom?"
"Maaf, aku lagi enggak ingin berdebat atau bertengkar sama kamu."
Sesaat Romy terdiam. Kepalanya tertunduk menatap keramik lantai. Dalam pikiran Romy, ingin sekali bisa menemukan Salsa dan Amelia.
"Kalau keluargaku tahu kepergian Salsa karena perbuatan aku
"Aku akan bilang Salsa pergi wisata sama teman-teman senam. Yah ... itu pilihan tepat. Aku sementara harus sembunyikan permasalahan yang ada ini."Setelah kamar Salsa rapi dan bersih, Romy dengan langkah gontai menuju kamar. Dia terduduk di tepian ranjang. Dengan tatap mata tertuju pada cermin."Aku memang brengsek! Aku yang brengsek!"Romy berulang kali memaki dirinya sendiri. Sesekali menjambak rambutnya dan berteriak sepuasnya. Menyalahkan atas semua keadaan yang membuat dirinya terpuruk seperti saat ini.Perlahan dia melepas kancing kemeja satu persatu. Berganti dengan kaos oblong dan celana pendek. Sejenak Romy menghela napas panjang. Ingin melepaskan semua permasalahan yang ada dalam kepala.Lalu Romy keluar kamar menuju dapur. Entah mengapa dia merindukan kopi susu buatan Salsa. Yang biasa dia hidangkan untuk Romy."Mungkin minuman hangat bisa buat pikiran aku sedikit tenang," bisiknya lirih.Kembali terkenang betapa dia
"Kok diam sih Rom?""Ohhh, sorry Ma. Efek masih ngantuk nih."Mereka terus tertuju pada sang anak yang terlihat aneh dan berbeda di mata keduanya."Kamu Mama lihat agak aneh sih Rom? Bukan karena ngantuk ini. Tapi, enggak fokus. Tau enggak sih kamu?""Iya, Ma. Maaf, Romy semalam kurang tidur aja.""Memangnya si Salsa sampai berapa hari wisatanya?" ulang si Papa."Ehhh, seminggu Pa.""Apa? Kok lama banget begitu si Rom? Lagian kok kamu kasih aja dia berangkat. Harusnya tuh kamu larang dia ikutan. Mama takutnya dia terjerumus pergaulan yang enggak baik," seloroh si Mama."Bener kata Mama kamu!" tegas Hartono."Ya, aku enggak mau kekang Salsa aja, Ma. Nanti dia malah tersiksa lagi. Biar bisa buat refreshing juga 'kan, Ma?"Keduanya kembali terdiam. Seraya membenarkan pemikiran Romy."Mama sama Papa istrihat dulu! Biar Romy pesanin makanan di online aja.""Kamu libur?""Ya ijin aja, Ma. Meli
"Ada apa Ma?" bisik sang suami."Entahlah, Pa! Aku merasa Romy lagi dalam suatu masalah yang berat.""Bagaimana kalau kepulangan kita ke Semarang tunggu sampai Salsa datang?"Maya memalingkan muka. Hingga menatap wajah suaminya. Lalu manggut-manggut."Sepertinya Papa benar. Kita tunggu sampai Salsa datang. Biar kita enggak was-was melihat mereka berdua.""Iya, Ma."Romy berjalan ke arah mereka."Ayok, Pa, Ma! Kita sarapan dulu!"Mereka berdua mengikuti langkah Romy menuju meja makan. Dia menyiapkan piring dan mangkok."Telur asinnya yang enggak ada Pa. Tapi, Romy minta tambahan daging empalnya.""Wahhh, ini kelihatan enak Rom. Baunya sedep banget ya, Pa?""Iya, Ma." Hartono langsung menyuapkan nasi ke mulutnya. Dia begitu menikmati makanan favoritnya itu. "Kamu sengaja meliburkan diri atau gimana, Rom?""Memang sengaja libur, Pa.""Apa enggak ada proyek yang lagi jalan?""Ada, Pa.
Sekilas Romy melihat ke lantai dua. Dia merasa ada seseorang yang tengah memperhatikan dirinya."Kayak ada yang barusan lihat. Tapi, siapa?"Dalam waktu yang bersamaan. Di dalam rumah. Melinda memanggil Salsa untuk turun."Kamu lihat 'kan?""Iya. Aku lihat, Lind. Tapi, maksud dia apa?""Sepertinya dia mencari kamu. Makanya dia pengen ketemu aku.""Mencari aku?"Melinda manggut-manggut."Dari pada Romy nekat. Aku baiknya temui dia. Kamu sembunyi aja di kamar.""I-iya, Lind."Segera Melinda menyuruh pelayannya untuk membuka pintu."Suruh tamunya masuk, Eka!""Baik, Mbak."Langkah wanita muda itu tergopoh menuju pagar. Lalu dia membuka kunci dan mempersilakan Romy masuk ke rumah."Mari, Mas! Ikuti saya!""Ya, makasih Mbak."Di ruang tamu Melinda sudah duduk menunggu Romy. Sesekali dia mengusap perutnya yang semakin membuncit.Romy yang melangkah masuk langsung te
"Mas Romy," desis Salsa. Ingin hati menemui Romy saat berada di lantai bawah. Namun bila mengingat dan mengenang semua kejadian. Membuat hati Salsa perih dan sakit. "Mas Romy, andai kau datang meminta maaf dan berjanji melupakan Amelia. Mungkin aku akan berpikir ulang lagi."Tok tok tok!"Masuk!"Eka melongok dan tersenyum."Ditunggu Mbak Melinda di bawah, Mbak Salsa.""Makasih, Ka."Salsa menuruni anak tangga, berjalan menuju ruang tengah. Di mana Melinda sudah menunggunya. Dia melihat Mleinda tengah duduk santai di sofa panjang. Kakinya berselonjoran."Ehhh, Sa. Sini duduk dekat aku!"Salsa pun duduk di lantai yang beralaskan permadani yang tebal dan hangat."Kamu dengerin pembicaraan kita enggak?""Enggak, Sa!""Dia lagi cari kamu. Kayaknya nyesel banget gitu. Kenapa kamu sampai pergi dari rumah.""Haahhh!" Salsa menyandarkan kepalanya pada tepian sofa. Hela napas berat yang terdengar.
"Apa alasan yang aku katakan nanti sama Mama terus sama Papa? Biar mereka bisa menerima." Romy memukul setir mobil berulang-ulang. "Aaaaarghhh! Sial kau Salsa!"Mobil melaju membelah jalan kota yang cukup padat di siang yang terik."Aku harus ke rumah Adrian. Mungkin dia juga sudah menemukan Amelia. Kalau memang iya, aku akan menikahi Amel. Itu lebih baik."Hanya butuh waktu tiga puluh menit. Romy sudah berada di depan rumah Adrian. Walau awalnya terlihat gamang. Dia memutuskan untuk menemui Adrian. Menyelesaikan semua permasalahan yang ada di antara mereka."Permisi, Pak Adrian ada?""Ada. Dari mana ya?""Bilang saja dari Romy. Ada hal sangat penting yang ingin dibicarakan."Sejenak penjaga rumah Adrian memandang Romy dengan penuh selidik. Lalu, lelaki paruh baya itu berjalan menuju samping rumah. Terlihat Adrian yang sedang berolah raga."Ada apa, Pak?""Ada Tamu, Mas Adrian.""Tamu?""Iya, Mas. Namanya R
Belum sampai Romy membalas perkataan Adrian. Lelaki tampan itu sudah menutup pintu rumah. Membuat Romy hanya bisa terpaku dalam kebingungan."Silakan Mas Romy pulang! Mas Adrian sudah tidak mau bertemu."Penjaga mengantarkan kepergian Romy sampai menuju mobilnya. Sesaat dia menundukkan kepala. Dan bersandar pada setir mobil."Kenapa aku bisa melakukan ini? Kenapa ...?!"Seolah Romy terus menyalahkan dirinya. Hingga notifikasi pesan terdengar.Ting!"Mama?"{Rom, jangan lupa lontong kikilnya ya. Papa kamu udah lapar nih}{Iya, Ma. Ini perjalanan pulang}"Bagaimana kamu bisa meninggalkan aku seperti ini Salsa? Menyiksa aku sampai seperti ini. Mungkin saat ini kamu baik-baik saja. Sedangkan aku? Aku di sini terpuruk penuh luka."_Rumah Adrian_Sesaat Adrian berdiri menatap pakaian pengantin yang rencana semua hendak dipakai oleh Amelia. Dia mengusap pelan. Sembari meremas pakaian itu."Ke
"Apa kamu dengar kabar terbaru tentang istri Romy?" "Enggak! Kenapa memangnya?" Sella mengembuskan napasnya perlahan. "Salsa pergi dari apartemen Adrian. Dan dia dalam keadaan hamil." "Haaaahhh ...?!" Adrian tak percaya yang baru dikatakan oleh Sella. "Jadi dia juga hamil si Sella?" "Yes." "Ta-tapi si Romy barusan datang ke rumah aku. Dia ingin tahu tentang Amelia. Bahkan ngajak aku bareng cari dia." "Romy sebelumnya datang ke rumah Tante Santi. Katanya dia minta alamat Melinda." "Siapa Melinda?" "Istri Papa yang baru. Kata si Romy, Melinda ini satu-satunya teman Salsa di Surabaya." "Ohhh, aku tau si Melinda ini. Teman dekat Papa kamu. Jadi sekarang sudah menikah sama Om?" "Sudah lagi nunggu lahiran aja." Hemmm ...!" Adrian termangu. Dia mencoba mengingat kembali kejadian malam saat dia mengamuk. "Mungkin saja Salsa pergi setelah kejadian malam itu. Aku mengamuk di sana, dan menghajar Rom
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."