Kini keduanya terhempas lunglai. Setelah kenikmatan paling puncak telah mereka raih. Romy membiarkan Salsa tertidur di atas tubuhnya. Dia pun membelai rambut sang istri. Sesekali mengecupnya mesra.
Seolah Romy melupakan seseorang yang tengah menunggu janji dirinya. Janji yang baru saja terucap. Untuk saling merangkai ikatan tali percintaan mereka. Benteng pertahanan yang selama ini Romy pertahankan akhirnya runtuh juga. Bersamaan dengan hasrat yang tak terbendung.
Hingga pagi menjelang. Romy terbangun dan sangat terkejut mendapati kepala Salsa yang tidur di lengannya. Sontak dia duduk dan memperhatikan sekeliling ruang.
"Kamar Salsa?" Lalu Romy menoleh pada istrinya yang masih terlelap. Sembari Romy mencoba mengingat kejadian semalam.
"A-apa kami melakukannya?"
Dia menyingkap selimut. Kedua bola matanya terbelalak. Sungguh Romy sangat terperanjat. Melihat tubuhnya tanpa bungkus apa-apa.
Saat dia menyingkap selimut Salsa. Romy terperangah. Tu
Salsa sengaja membiarkan Romy di kamar. Dia memang tak ingin mangganggunya. Bergegas Salsa meracik semua bumbu. Dan siap masuk penggorengan.Hanya dalam waktua sekian detik. Aroma sedap sudah mulai tercium. Senyum terus mengembang di wajah Salsa."Pasti Mas Romy suka!" tegas dia pecaraya diri.Kemudian dia mengaduk kopi susu kesukaan Romy. Tak lupa dia menambahkan air dari Tante Molly."Perfecto!"Langkahnya sangat yakin. Salsa meletakkan sepiring nasi goreng dan kopi susu di meja makan. Setelah memandang sekilas. Dia melangkah ke arah kamar Romy.Tok tok tok!"Mas Romy!"Masih belum ada sahutan sama sekali."Mas Romy, aku buatkan sarapan nasi goreng spesial, sama kopi susu. Sukaannya Mas Romy semua."Tetap tak ada jawaban. Membuat Salsa cemberut dan kesal. Sampai akhirnya terdengar suara handle pintu yang bergerak.Perlahan pintu terbuka. Romy sudah terlihat rapi dengan tampilan maskulin. Aroma parfu
Senyum terus mengembang di wajah Salsa. Membuat Linda turut bahagia. Dia meraih telapak tangan Salsa."Kamu harus percaya diri. Kamu bukan seorang wanita yang bisa dianggap remeh.""Terima kasih ya, Lind.""Aku datang ke sini. Karena semua pesan dan telepon aku enggak kamu angkat sih."Sontak Salsa terperangah, terkejut. Dia langsung teringat akan ponselnya. Dia mencari di dalam tas yang ada di sofa."Pantas, ponsel aku mati. Aku lupa charge deh. Sorry ya. Lind.""Ihhh, enggak apa-apa deh. Aku cuman takut aja kamu ini marah sama aku."Pandangan mata Salsa beralih pada Melinda. Lalu membalas tatapannya."Ke-kenapa aku harus marah?""Yah, mungkin karena semalam aku enggak bisa langsung pulang. Terus kamu marah aku ajak ke tempat begituan."Seketika terdengar suara tawa Salsa yang tergelak."Sumpah, Lind. Pertama kali lihat begituan aku sebenarnya syok. Dan lebih syok lagi saat lihat kamu," cetus S
Bruaaakkk!Sella membanting pintu kamar. Dia melempar tas ke lantai. Begitu juga dengan sepatu yang dia lempar begitu saja.Buuughh!Sepatu dengan tinggi tujuh sentimeter terlempar ke dinding kamar. Terdengar teriakan kekesalan dari Sella. Entah kenapa malam ini dia begitu marah."Awas kau Adrian!"Lalu dia terduduk di lantai. Dengan isak tangis yang menderu."Kenapa kamu begitu sulit mencintai aku, Adrian. Kenapa?"Tiba-tiba pintu kamar ada yang mengetuk kencang.Tok tok tok!"Non Sella baik-baik aja?" Suaranya terdengar kencang. Membuat Sella mengalihkan pandangannya pada pintu kamar."Apaaan sih, Bi?""Dicari Tuan, Non. Di tunggu di ruang tengah.""Papa baru pulang?""Barusan kok, Non."Tanpa berganti pakaian. Masih dengan riasan yang cenderung menor. Sella keluar kamar.Dari lantai atas dia mengarahkan pandangannya ke ruang tengah."Ada apa, Pa?"Sontak Handy Santoso me
Kali ini sorot matanya tajam mengarah pada sang papa. Membuat lelaki tua itu blingsatan. Dia tak menyangka kalau Sella pada akhirnya akan tahu."Sebaiknya Papa terus terang sama Sella, Pa! Jangan buat Sella tak percaya lagi.""Enggak ada, Sella. Papa tak terlalu suka pesta 'kan?"Mendengar ucapan sang papa, Sella hanya tersungging masam. Dia sangat tahu bangaimana Handy Santoso mempermainkan sang ibunya dulu. Semasa masih hidup.Bahkan di depan mata Sella sendiri. Dia mendapati papanya membawa gadis muda ke hotel. Tak hanya sekali dua kali. Tapi, berkali-kali, yang membuat hatinya sakit.Hanya saja keadaan sekarang jauh membaik dari sebelumnya. Saat mama Sella masih hidup. Gadis ini begitu membenci Handy Santoso. Dia sangat marah dengan perlakuan kasar dan ketidaksetiaan seorang suami pada istrinya.Terdengar gadis itu menghela napas panjang dan beranjak pergi meninggalkan ruang tengah. Tanpa menoleh lagi pada lelaki yang dia sebut papa. Yan
Entah kenapa Sella jadi teringat siang itu Dia sangat yakin kalau di antara mereka ada hubungan yang lebih. Terlihat bagaimana cara Romy dalam memperlakukan Amelia. Cara pandang dan sikapnya. Sangat tampak kalau dia mencintai Amelia."Apa Adrian tahu hal ini? Apa mereka--"Seketika Sella terhenyak. Dalam pikirannya saat ini, menyangka kalau Amelia jalan dengan dua lelaki. Buru-buru Sella mencari ponsel yang tadi dia lempar di kasur."Adrian harus tau soal ini!"Sella yang sudah menemukan ponselnya. Segera menelepon Adrian. Dia melihat jam ponsel yang menunjukkan pukul sepuluh malam.Terdengar nada sambung. Namun masih saja belum diangkat Adrian. Raut wajah Sella berubah semakin kesal bercampur geram."Kau ini selalu bikin kesal Adrian. Hanya terima telepon aku saja enggak mau!"Namun bukanlah Sella bila langsung menyerah. Dia masih mencoba menelepon Adrian."Aku enggak akan berhenti sampai kamu terlima telepon aku, Adrian."
Apartemen Romy ....Terlihat Salsa yang gelisah menunggu kepulangan Romy. Pikirannya semakin tidak tenang. Ponsel Romy tiba-tiba tidak aktif. Tak seperti biasanya."Kamu ke mana, Mas?" bisik Salsa kebingungan.Dia semakin cemas dan resah."A-pa dia bersama Amelia? A-pa--"Salsa tak sanggup menyelesaikan kalimatnya yang terputus. Berulang kali dia menggeleng. Seakan ingin mengingkari apa yang dia pikirkan saat ini."Jangan! Enggak mungkin. Ini pasti enggak mungkin terjadi. Aku enggak yakin kalau Mas Romy saat ini bersama Amelia."Dia terus berjalan mondar mandir mengelilingi seluruh ruangan. Suara hentakan kaki Salsa sampai terdengar."Huuuuhhh! Mas Romy kamu di mana? Masa aku tanyakan Tante sih? Yang ada Mas Romy akan marah dan menjauhi aku lagi."Saat dalam keresahan hati yang tak menentu. Terdengar bunyi bel berbunyi. Membuat hati Salsa berdetak tak karuan. Langkahnya terburu-buru menuju pintu
Pesan WA itu membuat dada Salsa bergemuruh. Jantungnya berdebar-debar. Dengan dagu yang berkerut-kerut menahan gejolak di dada."Kamuuu ...."Suara Salsa tertahan. Dia mengulang lagi membaca pesan itu. Menatap cukup lama layar ponsel Romy."Ada apa di hari jumat?"Salsa semakin gelisah. Dia tak menyangka kalau antara Amelia dan Romy masih berlanjut. Bukannya dulu dia pernah mendapatkan pesan dari Salsa?Dadanya semakin bergemuruh oleh api cemburu. Kali ini Salsa benar-benar kesal dan gedrma pada Amelia. Hanya dua kali tekan di layar. Pesan itu sudah terhapus dari ponsel Romy."Maafkan aku, Mas. Aku tak ingin kau ada hubungan lagi dengan wanita itu. Apa pun alasannya."Kembali dia menuju kamar Romy. Dia sudah berdiri di depan pintu dengan tersenyum lembut."Apa Mas Romy ingin sesuatu?"Dia hanya menggeleng. Lalu membereskan piring dan gelas kotor dari kamar Romy."Salsa!"Panggilan itu membuat langkah Raisa
Sengaja Salsa menjerit lirih. Seakan memberi kesan kalau mereka saat ini sedang melampiaskan hasrat yang terpendam."Tanteee! Taaan ...?"Hening dan sunyi. Saat Salsa melihat ponsel Romy. Ternyata masih belum dimatikan."Tante cari Mas Romy?"Seketika terdengar telepon yang ditutup.Tut tut tut!"Aku akan kirimkan vidio ini buat dia."Hanya sekali tekan, vidio sudah terkirim. Dan langsung centang biru.""Hemmm, sudah dibaca ternyata. Rasakan Tante sakitnya rasa cemburu itu. Dan itu aku rasakan sejak lama."Senyum dingin mengembang di wajah Salsa."Maaf bila akhirnya aku menjadi sejahat ini!"_Rumah Amelia_Dadanya berdebar kencang. Saat menyaksikan video itu. Dia tahu benar bahwa laki-laki yang berada di sebelah Salsa memang benar Romy."Apalagi yang perlu dibuktikan? Semua ini sudah sangat jelas, Romy. Sangat jelas sekali!"Tak terasa bulir bening itu akhirnya membasah
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."