"Karena kamu seorang wanita yang layak untuk dicintai dan diperjuangkan." Suara Adrian terdengar lembut. Membuat Amelia mengangkat wajahnya yang tertunduk. Lalu menoleh pada Adrian yang tersenyum hangat untuknya.
"Apa aku selayak itu Adrian?"
"Sangat layak, Amelia Pratiwi."
Dia pun menyandarkan kepalanya di bahu Adrian.
"Terkadang aku sudah tak ingin untuk menikah lagi. Semua terasa sulit buat aku. Kadang aku merasa nyaman dalam kesendirian, tapi ada saat aku juga membutuhkan kehadiran seseorang. Yang bisa membuat aku tenang, nyaman, saat bersamanya. Tak ada pertengkaran yang berarti. Hanya ada saling mencintai dengan penuh keikhlasan, Adrian. Apakah masih ada lelaki seperti itu untukku?"
Adrian mengusapkan tangannya di kepala Amelia.
"Semua ada dalam hati kamu, Mel. Berasal dari keinginan untuk membuka hatimu lagi. Untuk hadirnya seseorang. Mungkin aku bisa kamu seleksi juga," sahut Adrian terkekeh.
Buughhh!
Lengan Adrian kemb
Raut wajah Romy tertekuk dalam. Dahinya terus berkerut dengan rahang yang mengeras. Dia masih berjalan mondar mandir gelisah. Pertemuan dengan Amelia sungguh tak pernah dia sangka.Hotel yang berada dalam satu kawasan dengan hotel tempat Amelia menginap. Membuat Romy semakin tidak tenang. Keinginan dalm hatinya untuk terus bertemu dengan Amelia. Perasaan yang kian melesak, membuat Romy ingin mnecari Amelia di hotel itu."Gara-gara Adrian sialan. Dia mengacaukan rencana aku. Harusnya sekarang aku sudah saling bicara dan menyelesaikan semua permasalahan yang ada. Tapi, gara-gara si brengsek itu ...!" Sura Romy terdengar menggeram.Tak berapa lama. Terdengar suara ponselnya yang berdering. Romy hanya melihat sepintas. Sebuah nomer baru masuk. Membuat Romy bertanya-tanya, "nomer siapa ini?"Sengaja Romy tak mengangkatnya. Karena merasatak mengenalnya. Lagian malam-malam begini. Sampai dia kembali mendengar sebuah notifikasi dari pesan WA masuk.Ting!
Tampak Romy memikirkan semua perkataan wanita tadi. "Aku pikirkan dulu, Santi." "Silakan. Tapi jangan lama-lama." "Maksud kamu? Harus malam ini juga aku menjawabnya?" "Kalau bisa, Rom. Aku juga enggak memaksa kok." Romy berpikir sejenak. Sembari mencoba menebak apa yang ada dalam pikiran Santi. Wanita yang terlihatnya tenang dan penuh wibawa. Akan tetapi Romy bisa tahu bahwa dia sebenarnya berhatiular. Sehingga dia pun harus berhati-hati. Tak ingin masuk dalam perangkap yang sudah di susun wanita ini. Romy terus menatap wanita yang duduk di hadapannya. Sembari menikmati rokok putih yang berada di sela jemari tangannya. Dia begitu menikmati rokok itu, tanpa mempedulikan Romy yang masih berusaha menebak, rencana apa yang telah disusun olehnya. "Kenapa memandang aku dengan penuh curiga seperti itu Rom?" "Aneh aja melihat kamu. Seorang wanita cantik dan sukese, tapi masih sendiri." Deg! Santi merasa jantungn
"Enggak pengen ngopi?"Amelia mengangkat wajahnya. Mengarahkan pandangan pada Adrian yang baru keluar dari kamar mandi."Ngopi?" ulang Amelia."Iya, lagian perut aku laper lagi nih.""Oke deh. Emang di kafe mana?""Kita jalan aja dulu!"Amelia pun mengangguk. Seraya menyambar jaket yang ada di atas tas. Keduanya pun segera keluar dari kamar."Aku tadi lihat di depan hotel ada cafe yang cocok buat nyangkruk.""Oke.""Perasaan akmu udah baikan?""Mengenai apa?""Ya siapa lagi kalau bukan Romy, Mel?""Sudah mendingan. Aku bersyukur enggak jadi menikah sama dia, Adrian. Setidaknya aku enggak mau juga jadi yang kedua untuk selamanya.""Syukurlah, kalau kamu sudah bisa menrima semuanya. Tinggal kau masukkan aku dalam daftar seleksi kamu. Jangan lupa itu!"Seketika Amelia tertawa terbahak-bahak."Kau bisa dapatkan yang jauh lebih baik dari aku, Adrian. Aku ini wanita penuh dosa. Tak pan
Saat dua hati yang dulu saling mencinta. Kini berpisah bukan karena tak mencinta. Dulu, berharap untuk bisa saling menyatu, berbagi kasih dan hidup berdua selamanya. Kenyataan Ilahi berkata lain. "Ini semua sakit, Mel!" "Aku pun juga merasakan hal yang sama! Sakit, aku juga Romy." "Tapi, kenapa kau tak permudah semua ini? Kita bisa lari, menghilang dari mereka. Aku sanggup jalani semua itu, Mel! Kamu yang ... tidak!!!" "Kurasa kamu mengerti apa alasan aku lakukan semua ini, Rom. Salsa, anugerah cinta untuk kamu. Jangan pernah sakiti dia. Jadikan dia selalu yang pertama di hatimu, bukan hanya untuk saat ini saja. Tapi untuk selamanya! Detik ini juga, lupakan semua tentang kita. Belajar untuk mencintainya, Romy. Lepaskan cintaku perlahan, walau sakit. Aku pun sama!" Saat janji mulai tak bisa ditepati lagi. Bukan karena ingkar atau tak setia. Namun, terlebih untuk tak saling menyakiti dan tersakiti. Bertahan merasakan semua kesakitan atau k
"Ki-ta menikah?" Adrian pun mengangguk. "Bagaimana?" ulang Adrian. Sorot mata yang tajam menatap pada Amelia. Lalu dia berbisik lembut, "Aku serius!" "Bisakah kau memberi aku waktu? Karena aku tak bisa memutuskannya sendiri Adrian. Kau tahu 'kan? Aku harus meminta persetujuan Dita." "Aku akan menunggu. Dengan sabar Amelia. Asalkan kau tak mengkhianati aku." "Apa maksud kamu Adrian?" "Kau tak melanjutkan lagi hubungan kamu dengan Romy." Mendengar Adrian yang memberikan pengertiannya, semakin membuat Amelia terpikat dengan kematangan Adrian. Spontan Amelia memeluknya. Merasakan kehangatan tubuh Adrian dan debar lembut di dada lelaki tamapn itu. "Terima kasih, Adrian. Mau menerima aku dengan segala kekurangan aku ini." "Aku pun penuh kekurangan. Yang kau tak pernah sangka sebelumnya Mel." Amelia mulai melonggarkan pelukannya. "Tidurlah, Mel. Besok kita pulang!" Senyum hangat mengembang di wa
Ting!Terdengar notifikasi pesan masuk pada ponsel Salsa. Dia mengernyit saat melihat nomer asing yang belum tersimpan di kontaknya. Sembari melihat beberapa gambar yang masuk. Membuat tatap matanya membulat lebar. Hatinya berdesir lirih. Begitu terkejutnya Salsa atas foto-foto yang masuk dalam pesan itu."Apa ini?" Dengan suara yang bergetar.Jemari tangan bergerak menggeser beberapa foto yang terpampang. Semakin membuat Salsa meradang. Seketika hatinya hancur berkeping-keping. Saat melihat foto Romy dan Amelia berpelukan."Haaahhh? Kamu, Mas? Ke Jakarta hanya untuk bertemu dengan Amelia?"Terdapat beberapa foto yang terlihat sangat mesra antara keduanya."Tapi, siapa pengirim gambar ini?"Salsa langsung menelepon nomer asing itu. Namun sayang nomer yang dia telepon tak terdengar nada panggil sama sekali."Sepertinya nomer ini memang enggak bisa ditelepon. Tapi, aneh. Siapa dia yang mengirim foto-foto ini? Kenapa dia kenal aku
"Hahhhh, sialan! Siapa yang berani membuat foto ini?" Lalu dia teringat akan Santi. Yang pada saat itu muncul tiba-tiba di tempat itu. "Apa dia yang mengambil foto aku dan Amelia? Tapi, untuk tujuan apa?" Suara Romy tertahan. Dia merasa aneh atas semua kejadian ini. "Ada Santi dan foto-foto itu? Tapi--" Romy mondar mandir di kamarnya. Tampak dia gelisah. Bagimana pun, jika foto itu tersebar ke media sosial. Pasti nama Amelia yang akan tercemar. Dia akan dihujat banyak orang karena sebagai perebut suami orang. Romy terus memikirkan siapa pengirim foto-foto itu. Dari mana sang pengirim bisa tahu nomer Salsa. Buru-buru dia meraih ponsel yang berada di dekatnya. Lalu dia menelepon seseorang. "Aku harus menelepon wanita aneh ini." Terdengar nada panggilan keluar. Namun tak diangkat. Membuat Romy harus mengulangnya lagi. Masih saja tetap tak diangkat. Jemarinya bergerak cepat mencari sebuah pesan dari seseorang. "Dapat juga.
Santi berbalik mengarahkan pandangan pada Romy. Tatap matanya tajam bagai menembus relung hati. Lalu dia menggeleng dengan tegas."Ada saatnya kau akan meminta bantuan aku, Rom. Mungkin saat ini kau masih mengagungkan CINTA. Kita lihat saja sampai berapa lama kau agungkan rasa cintamu itu pada Amelia!"_oOo_Terlihat pagi ini, Salsa sangat sibuk. Dia membersihkan rumah dan memasak beberapa menu kesukaan sang ibu dan Romy. Kali ini Salsa ingin apartemennya terlihat sempurna di mata sang ibu."Ibu mungkin travelnya sampai sini jam sebelasan. Kalau Mas Romy jam sembilan pasti sudah sampai. Ada waktu untuk membuat Mas Romy istirahat."Walau kiriman foto-foto itu sempat membuat dirinya terluka. Namun begitu banyak maaf Salsa untuk Romy. Sepintas dia seperti melupakan. Walau sulit untuk dilupakan.Setelah semua terlihat bersih dan rapi. Salsa menyiapkan air dalam lemari es untuk Romy. Air yang diberi oleh Tante Molly. Dia pun 
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."