Werren uring-uringan karena tidak bisa menemukan Ana di manapun. Ia sudah mencarinya berkali-kali ke kelab malam bahkan bertahan sampai pagi buta untuk bertemu dengan Ana tetapi gadis itu tidak pernah lagi datang.
Werren berada di balik meja kerjanya dan tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan baik karena memikrikan tentang Ana. Gadis itu memberikan efek yang sangat hebat untuknya yang sudah sangat handal dalam urusan bercinta.
Werren menghela napas kasar lalu kembali menekuni pekerjaannya.
…
Ana baru saja kembali dari luar kota, ia datang membawa beberapa senjata model baru. Dia bersama rekan-rekannya yang lain mulai aktif lagi, Ana melakukannya dengan berat hati karena nyalinya surut seketika ketika ia melihat kekejaman anggota Burke untuk memberi pelajaran orang-orang yang mencoba kabur dari markas.
Rei yang mengetahui rencananya saat itu menatapnya lalu menggelengkan kepala. Orang itu di pertontonkan kepada semua angota tepat di ruang latih tanding, Ana menelan ludahnya dengan susah payah, napasnya langsung memburu ketika membayangkan ia yang berada di posisi itu dan di tonton oleh anggota yang lain.
Ana melakukan pelaporan tersendiri kepada Burke, sama seperti biasanya. Ia sampai tengah malam dan hampir pukul tiga pagi. Sebenarnya Ana mengantuk tetapi ia ingin mencari hiburan, Ana meminta ijin untuk pergi selama beberapa jam dan akan kembali besok malam, ia di ijinkan untuk pergi karena sudah berada di dalam markas satu bulan lebih.
Ana menyetir dengan bebas, sesaat ia merasa bebas. Ketika ia melihat kelab yang ia kunjungi satu bulan yang lalu, Ana berhenti untuk menatapnya sebentar lalu kembali melanjutkan perjalanan. Ia membeli minuman dan cemilan lalu ke tempat yang ditunjukkan oleh Werren kemarin.
Ana duduk di sana sembari minum minuman yang memiliki sedikit kandungan alkohol dan beberapa cemilan yang ia beli di minimarket. Ana puas melihat pemandangan kota Washington yang sedikit lebih gelap dari pada sebelumnya karena salah satu gendung pencakar langit telah ia ledakkan.
Ana menyandarkan tubuhnya, tempat itu seperti balkon rumah yang hanya memiliki luas dua meter yang di lengkapi dengan pagar besi. Tempat itu memiliki sedikit dinding berbentuk bundar entah untuk apa, sekeliling tempat itu juga di tutupi oleh ranting pohon dan semak-semak rimbun jadi tidak banyak yang tahu jika tempat ini ada.
Ia berdiri begitu mendengar suara mobil yang mendekati tempat itu. Ana mengambil barang-barangnya lalu bersembunyi. Tidak lama kemudian, ia mendengar suara langkah kaki yang terdengar menaiki anak tangga. Lima menit berikutnya, Ana melihat siluet seorang pria.
“Ah, sepertinya tempat ini memang yang terbaik di saat suntuk seperti ini.”
Ana mengenali suara pria itu, Werren. Siluetnya yang terkena cahaya bulan pun tampak jelas. “Aku tahu kau besembunyi di sana. Kau pikir aku tidak melihat mobilmu di bawah?”
Ana melangkah keluar, ia kembali duduk lalu menaruh botol minuman dan cemilannya di lantai. “Oh, iya aku lupa.
Werren tersenyum miring lalu melihat gadis yang selama ini ia cari asyik makan cemilan di lantai. Seolah sama sekali tidak memperdulikan keberadaannya, Werren ikut duduk di samping gadis itu walaupun harus mengorbankan stelan mahalnya.
“Kau sedang apa di sini?” tanya Werren memulai pembicaraan.
Ana melirik Werren, “Makan, aku suntuk.”
“Dari mana saja?” tanya Werren lagi.
Ana mengerutkan kening, “Kenapa kau sangat penasaran? Apakah kita dekat? Aku tidak ke kelab karena tidak ingin bertemu denganmu, tapi kau ke tempat ini dari sekian banyak waktu dan sekarang sudah hampir pagi, seharusna kau tidur!”
Werren tertawa, “Aku baru saja bangun.”
“Kau tidur menggunakan stelan jas?” ucap Ana lalu terkekeh.
Werren berdecak, “Aku tidur di kantor. Sebenarnya, aku juga sudah lelah ke kelab malam itu. Percuma karena aku rasa kau tidak akan datang lagi ke sana.”
“Tentu saja, aku tidak ingin bertemu denganmu.” Balas Ana cepat.
Werren mendengkus, “Sebegitu tidak inginnya kau bertemu denganku?”
“Yap.” Jawab Ana cepat.
Padahal, Ana mengakui jika hati kecilnya sedikit berharap untuk bertemu Werren di sini. Untuk alasan itu juga Ana ke tempat ini, tetapi ketika bertemu dengan pria itu, ia tidak ingin memperlihatkan bahwa Ana ingin melihat pria itu.
“Apa malam itu sama sekali tidak berarti bagimu?” tanya Werren.
Ana berdecak, “Oh, god! Are you fifteen?”
“No, I’m not. Aku sudah bisa membuat bayi,” jawab Werren sarkas.
“Lalu kenapa kau terus membahas apa yang terjadi sebulan lalu. Aku sudah sering melakukannya jadi itu tidak terlalu penting untukku!” jawab Ana berbohong.
Ana sebenarnya tidak pernah melakukan hal panas seperti yang kemarin ia lakukan dengan Werren. Ia juga tidak pernah beciuman, mungkin dulu saat ia di perlakukan tidak pantas saat baru saja di jual ke Burke. Ia sempat menjadi gadis yang sering di ajak berciuman oleh beberapa pria yang memang mengiginkannya tapi hanya sebatas itu. Ana menolak untuk lebih.
Hanya Werren yang menyentuh tubuhnya sejauh itu dan Ana tidak bisa melupakan rasanya. Jadi, hampir seluruh ucapannya barusan itu bohong. Bahkan dari dalam lubuk hatinya ia menginginkan lagi bahkan lebih. Tetapi, ia tidak bisa membahayakan Werren, Ana tidak ingin menyeret Werren masuk target yang harus dilenyapkan oleh Burke karena ketahuan berhubungan dengannya.
Werren menggretakkan rahangnya, ia tidak suka ada perempuan yang merendahkannya seperti itu. Semua gadis yang sudah melakukan malam panas bersamanya akan ketagihan, tetapi gadis yang di sampingnya ini langsung mencoreng kebanggannya itu dalam urusan bercinta.
Ia langsung menarik Ana dalam satu sentakan dan langsung mendudukkan gadis itu di pangkuannya. Ana terkisap dan mencoba mencekal tangan Werren, mereka sedikit beradu kekuatan. Ia tidak akan menyerah untuk menolak keinginan pria itu.
Ketika Werren ingin mencium tengkuknya, Ana langsung mendorong kepala pria itu dan berdiri. “Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan? Kau ingin melecehkanku?”
Werren mendengkus lalu ikut berdiri, mereka bertatapan. “Aku hanya ingin menunjukkan jika ucapanmu salah. Aku bisa memberikanmu rasa nikmat yang tidak akan pernah kau lupakan.”
Ana menampar Werren, “Aku bukan jalang!”
Werren terpaku, ia merasakan panas terbakar di bagian pipi yang di tampar Ana. Gadis itu menatapnya tajam lalu menghela napas panjang dan berbalik untuk membelakanginya. “Sorry,”
Werren bersandar di pagar besi, “Untuk apa? menamparku?”
“Iya,” jawab Ana singkat.
Werren tertawa, “Baru kali ini ada gadis yang menamparku dan langsung meminta maaf.”
“Werren?” panggil Ana.
Ana menoleh melihat Werren lekat-lekat, pria itu sangat tampan dan memiliki wajah yang sangat putih dengan mata abu-abu yang sangat cantik. Ana jatuh cinta pada mata itu, yang tampak semakin becahaya jika terkena sinar bulan.
Ana mendekat ke arah Werren karena terbius oleh mata pria itu, Ana menaikkan tangannya untuk menyentuh wajah pria itu. Kulitnya terasa terbakar ketika menyentuh wajah Werren, ia menahan rasa itu dan terus melarikan tangannya untuk menyentuh pipi Werren.
“Matamu cantik,” ucap Ana tiba-tiba.s
Werren tersenyum miring, “Sudah banyak yang mengatakannya, mungkin kau orang yang keseribu.”
Ana tidak menanggapi kata-kata Werren, ia menurunkan tangannya lalu kembali menatap pemandangan di depan. Ia tergoda untuk kabur sekarang tetapi sangat takut.
“Aku pergi,” ucapnya lalu beranjak dari tempat itu.
Werren sigap menarik lengan Ana, “Mau kemana? Bisakah kau membeitahuku kau tinggal di mana?”
“Aku tidak bisa,” jawab Ana singkat sembari meringis.
Werren langsung melepas tangannya di lengan gadis itu dan langsung menarik jaket Ana. Walaupun tempat ini kurang pencahayaan, ia bisa melihat beberapa lebam berwarna biru di sekujur tubuh gadis itu. Di bahu, leher, lengan dan perutnya.
Ana merebut kembali jaketnya lalu memakainya kembali. Werren tidak membiarkan Ana pergi, “Katakan? Apa ada yang memukulmu?” tanya Werren, mata pria itu berkilat marah.
Ana menggeleng, “Tidak ada,”
“Lalu ini apa?” tanya Werren kembali memegang area lengan Ana yang lebam membuat gadis itu meringis.
Ana menepis tangan Werren, “Bukan apa-apa.” jawabnya lalu menuruni anak tangga.
Werren mengejar gadis itu, ia tidak melepaskan Ana dan kembali menutup pintu mobil gadis itu ketika Ana ingin masuk ke dalam mobil. Werren langsung membalikkan tubuh Ana lalu menghimpit tubuhnya di mobil gadis itu.
Ana mendorong Werren, “Lepas!”
“Tidak akan, kau harus memberitahu apa yang sebenarnya terjadi denganmu?” ucap Weren tegas.
Ana masih berusaha mendorong Werren, tetapi Werren mengerahkan seluruh tenanganya untuk melawan Ana. Ia berhasil membungkam bibir gadis itu dengan bibirnya. Werren memegang tengkuk Ana untuk memperdalam ciumannya.
Ana masih saja berusaha mendorong Werren tetapi tenaga pria itu lebih kuat darinya. Werren mencium Ana kasar, pria itu menggigit bibir Ana agar gadis itu memberikan akses lebih ke dalam mulutnya. Tetapi, gadis itu masih mengunci bibirnya rapat.
Tidak kehabisan akal Werren menyusupkan tangannya ke dalam kaos yang di pakai Ana untuk meraih payudara gadis itu dan meremaskanyan dan sukses membuat Ana terengah. Kesempatan itu di ambil Werren untuk memasukkan lidahnya untuk menjelajahi mulut gadis itu.
Ana menyerah, ia sudah tidak lagi melawan apalagi ketika tangan Werren sempurna menangkup satu payudaranya dan meremasnya kuat. Ana mendesah di tengah ciuman mereka. Ia lemas dan akhirnya hanya mengalungkan tangannya di leher Werren.
Pria itu melepas ciuman mereka untuk membiarkan Ana mengambil oksigen. Tetapi, ciuman pria itu tidak berhenti, Werren beralih mencium telinga Chayra dan mengulumnya pelan. Ana mendesah keras, “Werren?”
“Hm? Aku akhirnya tahu titik sensitifmu sayang.” Ucap Werren serak. “Rasakan ini, betapa dia menginginkanmu.”
Ana terengah ketika merasakan Werren menggesekkan kejantanannya tepat kea rah kewanitaannya. Ia hampir kehilangan akal sehatnya ketika merasakan betapa milik pria itu sangat besar. Ana mendesah keras ketika Werren menjilat dan menghisap ceruk lehernya.
“Werren, berbekas!” ucap Ana setengah mendesah.
Werren tersenyum miring, “Itu tanda bahwa kau menjadi milikku.”
Ana tidak bisa lagi berpikir, apalagi ketika tangan Werren masuk ke dalam celana yang ia gunakan dan berada di antara kedua pahanya. Werren semakin senang melihat reaksi tubuh Ana. Ia membelah lipatan kewanitaan Ana dan membuat gadis itu melengkungkan punggungnya.
“Werren?” desah Ana ketika ia memasukkan dua jarinya di lipatan basah Ana.
Werren senang ketika gadis di depannya ini basah karenanya, padahal tadi Ana mati-matian menolaknya. Werren menggerakkan jarinya brutal di dalam sana dan itu membuat Ana tidak berhenti mendesah. Werren sangat suka mendengar suara Ana karena sangat seksi di telinganya. Ketika merasa jarinya di jepit oleh kewanitaan Ana dan merasa jika gadis itu akan mendapatkan pelepasan, Werren langsung menarik jarinya dan membuat Ana mendesah kecewa.
“Aku tidak ingin kau puas hanya dengan jariku,” bisik Werren sensual.
Ana jengkel, ia langsung memeluk Werren karena tubuhnya sangat lemas. Bagian bawahnya sangat basah dan itu sangat membuatnya tidak nyaman. Ana tidak bisa mengatur napasnya ketika pria itu mulai menanggalkan jaket yang ia pakai dan mendorong tubuhnya lalu menenggelamkan kepalanya di beladan dada Ana.
“Dadamu sangat harum,” ucap Werren lalu menjilati dan mengigitnya pelan.
Ana menjilat bibirnya yang kering karena terus terengah. Ia berkali-kali memejamkan mata dan membukanya kembali akibat perbuatan Werren. Apalagi ketika pria itu mengulum dan menghisap putingnya. Ana merasa kewarasannya hilang seketika.
Werren melepaskan putting Ana dan meninggalkan jejak basah di sana lalu kembali mengulum bibir Ana. Werren tersenyum puas ketika melihat Ana kelelahan akibat perbuatannya, napas gadis itu memburu. Werren memperbaiki baju kaos Ana lalu mencium bibir gadis itu sekilas. “Itu hukuman untukmu karena menolakku.”
Ana masih berusaha menormalkan napasnya ketika ia melihat sebuah titik merah di kepala Werren. Ia melebarkan mata dan langsung menarik Werren ke tanah. Beberapa detik kemudian, mereka berdua mendengar suara tembakan.
Ana langsung bangkit bediri untuk mengecek siapa yang berani menembak mereka. Tetapi, ketika berhasil berdiri yang ia lihat hanya mobil dan suaranya yang menggema meninggalkan tempat ini.
Tidak berselang lama, ponsel Ana berbunyi. Ia buru-buru meraihnya dan sangat terkejut begitu melihat sebuah video dan foto masuk ke pesan ponselnya yang menampilkan dirinya sedang berciuman dengan Werren dan keberadaan mereka berdua malam ini.
“Shit!” umpat Ana.
Pesan itu di kirim oleh Dake, salah satu tangan kanan Burke yang sangat di percayai di organisasi. Ana kembali mengumpat ketika pria itu mengiriminya pesan untuk segera kembali ke markas. Tamatlah riwayatku, gumam Ana dalam hati.
“Ada apa? siapa yang menembak?” tanya Werren panik.
Ana menggeleng, “Kau masuklah ke dalam mobil terus usahakan tidak memakai mobil ini lagi jika nyawamu ingin selamat.” Ucap Ana terburu-buru. Ia menarik Werren untuk berdiri di depannya agar ia bisa menatap mata pria itu.
Werren menangkap raut ketakutan dari wajah Ana dan ia tidak mengerti kenapa gadis itu ketakutan? Apakah karena suara tembakan tadi atau karena isi pesan ponselnya.
Werren merebut ponsel Ana dan membaca pesan di dlamnya. Ia menatap Ana dengan ekspresi tidak mengerti. Beberapa detik kemudian Werren melihat Ana menangis. “Hei? Kenapa, apa kau terkena tembakan?” tanya Werren panik.
Ana menggeleng, “Pesan itu sudah tertulis jelas, Werren. Sebenarnya, aku tidak boleh bertemu denganmu, atau bahkan berinteraksi dengan orang asing lebih dari sekali karena memang aku tidak bisa. Itulah, mengapa aku sering mengucapkan kalau kita tidak akan bertemu lagi.” terang Ana dengan napas memburu.
“Kenapa?” tanya Werren masih sulit untuk mengerti.
Ana menggeleng pelan, “Aku tidak bisa memberitahumu, yang jelas kita harus berpisah sekarang. Mobil ini, kau tidak boleh lagi menggunakannya atau kau pinjamkan kepada orang lain atau ia akan mati.” Ucap Ana memperingatkan.
Werren masih menatap Ana tidak mengerti, “Aku ini bukan gadis baik-baik, Ren. Jadi, ku mohon kau dengarkan ucapanku agar nyawamu bisa aman.”
“Oke, aku tidak akan memakai mobil ini lagi dan berhentilah menangis.” Ucap Werren menghapur air mata yang terus saja turun di pipi Ana.
Ana meraih tengkuk Werren lalu mencium pria itu rakus, “Aku minta maaf karena berbohong, aku memang ingin bertemu denganmu lagi, malam itu sangat menyenangkan untukku dan juga malam ini. Aku sangat menyukainya dan tidak akan pernah melupakannya.”Ucapnya setelah melepaskan ciumannya.
Air mata Ana kembali mengalir, “Kalau aku selamat mungkin aku bisa kembali lagi. Tetapi kemungkinannya sangat rendah, mungkin aku bisa mati juga malam ini.” Ana terdedak ludahnya sendiri ketika mengatakan hal itu.
Werren melebarkan matanya, “Tidak, apa yang kau katakan sebenarnya, siapa yang akan membunuhmu?”
“Ingat pesanku,” ucap Ana tidak menjawab pertanyaan Werren, “Aku harus pergi sekarang.”
Werren mencekal tangan Ana, “Jangan pergi, ikut aku!”
Ana menggeleng, “Aku harus pergi, atau kita berdua bisa mati!”
Mereka bedua membeku ketika mendengar bentakan Ana, Werren masih memegang erat lengan gadis itu tetapi Ana melepaskan cekalan Werren dan berhasil masuk ke dalam mobilnya.
Ana mengambil ponselnya dari tangan Werren lalu menutup pintu mobil. Werren baru selesai berpikir ketika Ana sudah memundurkan dan memutar balikkan mobilnya dan pergi dari tempat itu dengan kecepatan tinggi.
Ana mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia tidak lagi memikirkan tentang peraturan lalu lintas yang harus ia patuhi. Ana bahkan mendengar suara sirine polisi tetapi dengan cepat mengecoh merkea dan berhasil melarikan diri.Ketika ia sampai di markas, tidak banyak orang di sana dan malah sangat sepi dari biasanya. Ana memarkirkan mobilnya dan mencari Dake tetapi pria itu tidak terlihat dimanapun.
Ana tidak di perbolehkan keluar dari markas dan hanya membantu tim yang bertugas mengawasi CCTV selama empat bulan. Ia juga tidak di berikan ponsel, tetapi Ana tidak masalah karena tidak ada yang ia hubungi di dalam ponsel itu selain rekan-rekannya. Ana tersiksa karena dia hanya menatap layar seharian untuk mengawasi timnya melaksanakan misi. Tugas mereka hanya mengawasi dan mengganti gambar yang di tangkap CCTV agar mobil rekan-rekan mereka tidak terlihat di CCTV pihak keamanan yang setiap saat juga di pantau oleh p
Ana benar-benar membersihkan dapur, itu ia lakukan karena ucapan terimakasihnya karena sedikit banyak telah dilindungi walaupun ia di tampar. Ketika ia sedang mencuci lap yang ia pakai, seorang wanita paruh baya yang menamparnya tadi itu masuk ke dalam.“Sudah bersih, sekarang pergilah!” ucap wanita paruh baya itu.
Ana tidak langsung turun, dia menenangkan dirinya terlebih dahulu lalu membuka pintu mobil. Ana melihat sekeliling dan dia sangat lega ketika tidka melihat sesuatu yang mencurigakan. Sampai sekarang, Ana bisa memastikan bahwa tidak ada yang mengikuti mereka.Ana mengikuti langkah Werren, ia masuk lebih jauh ke vila pria itu. “Terimakasih telah menolongku.” Ucap Ana pelan ketika mereka sampai di ruang tamu.
Ana meluruskan otot-ototnya, dia baru saja bangun. Tiga hari tidur di vila Werren dia merasa tenaganya pulih, Ana tidak pernah tidur selelap ini setelah tiga tahun lamanya. Di organisasi dia selalu was-was untuk tidur lelap karena takut ada orang yang ingin mencelakainya.Werren berada di kamar lain di lantai bawah, dia sangat bersyukur pria tu memberikannya waktu untuk sendiri dan setelah hari itu Werren berhenti betanya-tanya soal kehidupannya. Selain itu, Werren juga belum menyentuhnya sampai saat ini, Ana sadar pr
Werren mengemudi sampai di vila, dia mengemudi dalam kecepatan maksimal dan hanya butuh dua puluh menit sampai di tempat itu. Membawa ikut serta berlanjaan Ana, walaupun tadi gadis itu sempat berdebat dengannya hanya karena dua pasang lingerie itu.Ana tidak bisa apa-apa karena dia membeli semua pakaian itu menggunakan uang Werren jadi ketika pria itu membayar dua pakaian kurang bahan itu, Ana hanya menghela napas pelan. Ketika melihat lingerie itu, jujur Ana merasa merinding karena dia tidak pernah memakai pakaian se
Werren masih saja mengelus perut Ana, bahkan telapak tangannya sering naik dan meremas gundukan lembut milik gadis itu. Ana tidak fokus menonton akibat perbuatan Werren.Dia menahan tangan pria itu di perutnya tetapi Werren malah menurutnkan tangannya dan memasukkan jarinya di celah basah milik Ana membuat gadis itu meggelinjang dan membuatnya berbaring terlentang.
Seluruh tubuh Werren merinding, ia membeku di tempatnya berdiri lalu menoleh ke arah datangnya suara dan menghela napas lega ketika pintu garasinya masih tertutup rapat dan tidak ada bekas peluru sama sekali.Werren melihat sekeliling dan lagi-lagi bernapas lega ketika tidak menemukan siapapun di sana. Tetapi, suara tembakan itu sangat keras hingga ia merasa jaraknya sangat dekat.
Ana bangun dengan kaget ketika mendengar suara keributan dari luar, dengan setengah kesadaran dia langsung bangun dan melangkah keluar dari kamar. Hanya butuh beberapa detik untuk Ana melangkah sampai melihat apa yang sedang terjadi. Di sana, tepat di depan pintu berdiri seorang pria dengan wajah memerah karena marah dan di depannya Werren sedang tertunduk sembari memegang wajahnya. Ana melangkah mendekat.
Ana di sadarkan oleh panggilan telepon, dia segera mengangkatnya hanya dengan menekan satu tombol di saku celananya yang langsung terhubung denan earpods yang masih berada di telinganya.“I’m sorry, Ana. Sepertinya tadi aku diikuti dan membuat Dake tahu tempat itu. Sekarang aku berada di atas rumah dan memperhatikan kemera pengawas. Ada ruang bawah tanah yang berada di belakangmu, sekitar dua meter.” Ucap Anton dari sambungan telepon.
Ana kembali masuk ke dalam kamar setelah menyimpan handuk dan baskom di wastafel, dia melihat Werren sudah tertidur pulas di atas tempat tidur. Ana memutuskan untuk membersihkan diri.Sejak tadi, dia merasakan seluruh tubuhnya ngilu. Walaupun posisi bahunya sudah kembali seperti semula Ana masih merasakan nyerinya sampai sekarang. Dia masuk ke dalam kamar mandi dan melihat pantulan dirinya di cermin.
Perasaan Ana tidak enak, sekarang sudah jam dua malam dan Werren masih belum pulang. Dia sangat khawatir dan tidak bisa tenang menunggu Werren pulang. Ana menghela napas pelan, dia sudah berdiri di dekat jendela setengah jam hanya untuk menunggu kepulangan Werren tetapi tidak ada tanda-tanda pria yang di cintainya itu akan pulang.Ana berjalan buru-buru menuju ruangan kerja Werren, di mana banyak terdapat banyak komputer yang telah di rakit oleh pria itu. dia masuk dan melihat CCTV.
Ana memperhatikan tiga layar komputer di depannya. Dia sudah berada di tempat itu selama lima menit dan melihat Werren berada di sana sembari duduk dan sibuk mengerjakan pekerjaannya.Ana sedang melihat rekaman CCTV di ruangan Werren dari beberapa arah. Tetapi, dia menyukai rekaman yang memperlihatkan pria itu secara dekat. Ana sengaja berada di sana karena tidak lama lagi Rose akan datang, Werren sudah mengabarinya jika wanita itu setuju untuk datang.
Malam itu, menjadi malam yang paling buruk untuk Herman—ayah kandung dari Ana. Setelah di tangkap di Indonesia bersama istrinya, dia di bawa paksa menuju Amerika. Di dalam perjalanan, dia terus saja di siksa dan diberi makanan yang sangat tidak layak.Herman sangat marah tetapi dia tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Padahal dia baru saja hidup dengan layak setelah beberapa tahun, Herman sangat marah ketika dia di culik karena anaknya yang telah dia jual, Ana melarikan diri.
Werren duduk setelah pria yang menemaninya, Anton… masuk di damping oleh seorang perempuan lain yang membawa tiga cangkir teh panas untuk mereka. Dia sering bertemu dengan wanita seperti Rose. Hanya saja, yang membedakan Rose dengan wanita lain adalah profesinya. “Jadi, langsung saja. Apa yang ingin kau bicarakan tentang mantan atasanku itu?” tanya Rose tertarik.
Werren dan Ana tidak perlu membawa banyak barang, dia tidak ingin membawa pakaian Ana dari vila itu. Untuk menyamarkan jejak bahwa mereka akan pergi, Werren tidak percaya jika mereka tidak akan kembali untuk masuk lagi ke dalam vila ini.Ana sedang membuat sarapan untuknya dan Werren, kali ini dia hanya membuat wafel di siram dengan madu serta teh panas untuk mengisi perut mereka sebelum pergi.
Werren langsung menghubungi Ana ketika menderima pesan itu, dia juga langsung berlari meninggalkan ruangan kerjanya dan langsung naik lift menuju tempat parkir. Tanpa pengawalan, Werren langsung mengemudi menuju vila miliknya. Ana masih tidak mengangkat panggilannya dan itu membuatnya semakin khawatir. Dia mengemudi sangat kencang sampai di peringati oleh petugas kepolisian.