Tadinya, Arya meminta Gemi dan Lee juga ikut dalam pertemuannya dengan Aries. Namun, kedua orang itu menolak dengan alasan, Arya dan Aries harus bicara empat mata untuk menyelesaikan semuanya. Baik Gemi maupun Lee, tidak mau ikut campur agar Aries tidak berpikiran macam-macam tentang mereka.“Apa kabar, Ar?”Melihat wajah malas putranya, Aries akhirnya mengalah dan lebih dulu menyapa Arya. Aries tahu, perbuatannya dahulu kala tidak bisa dibenarkan. Namun, selama ini Aries telah berusaha menebus semua kesalahannya.“Baik.”Arya benar-benar merasa canggung. Keakraban yang dulu sempat terjalin, mendadak menjadi asing karena satu fakta yang sudah terungkap. Andai Arya tidak menjalin kasih dengan Rashi, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Sampai kapan pun, Arya mungkin tidak akan tahu bila Aries adalah ayah kandungnya.Jika dilihat dari wajah, Arya juga tidak terlalu mirip dengan Aries. Wajahnya lebih condong menyerupai Gemi yang manis, dan tidak keras seperti Aries. Namun, jika hendak m
Bagi Cita, sosok pria yang baru saja sah menjadi suaminya, merupakan pria yang sangat menyenangkan. Arya adalah pria yang humble, ceria, nekat, dan agak “gila”. Jika tidak gila, mana mungkin pria normal seperti Arya mau menikah dengan gadis seperti Cita.Cinta ….Cita tidak bisa berkomentar untuk satu kata itu. Ia bahkan tidak mengerti dengan arti kata cinta tersebut. Cita menyukai Arya, tetapi ia bisa menjamin, rasa suka itu belum bisa dikatakan sebagai cinta. Meskipun belum ada cinta, tetapi akhirnya Cita tetap saja menikah dengan Arya. Sepertinya, Cita juga mulai ikut-ikutan “gila”.“Ini … ayahku.” Meskipun masih terasa berat untuk mengakui Aries sebagai ayah kandungnya, tetapi Arya sudah tidak memiliki pilihan lain.Setelah semua prosesi sakral yang sederhana itu selesai digelar, Arya segera memperkenalkan Cita pada Aries. Sebelumnya, Arya juga sudah memperkenalkan Aries pada Sandra dan Harry lebih dulu. Namun, pada saat Aries berkunjung ke kediaman Lukito siang hari tadi, Cita s
“Pagi, Mas,” sapa Cita setelah melihat Arya menggumam dan membuka mata. Bila Arya terlihat bisa tidur nyenyak semalaman, Cita justru sebaliknya. Ia berusaha menutup mata, tetapi pikirannya tidak kunjung bisa terlelap. Ada kegelisahaan yang tidak bisa dijelaskan, saat Cita berada satu ranjang dengan Arya. Namun, Cita hanya bisa diam, dan menyimpannya untuk dirinya sendiri. “Pagi.” Arya menggeliat sejenak untuk meregangkan otot-ototnya, kemudian terdiam untuk mencerna beberapa hal. Pagi ini, ia terbangun di kamar yang berbeda, dan sudah ada seorang gadis yang menyapa dan memberi senyum manisnya. Ini semua, adalah mimpi Arya yang sempat tertunda dengan Rashi kala itu. “Pagi, Cinta.” Arya kembali mengulang ucapannya, untuk menyematkan satu panggilan sayang untuk istrinya. Istri …. Siapa yang bisa menyangka, Arya pada akhirnya menikah dengan Cita. Merencanakan pernikahan impian dengan Rashi, tetapi Arya akhirnya disatukan dengan Cita. Benar kata orang, manusia hanya bisa berencana, dan
Saat melihat Ine keluar dari kamar, Arya langsung menutup laptop di pangkuan dan beranjak pergi menuju kamarnya. Ia segera menutup pintu, dan tidak lupa menguncinya.“Ngapain dikunci?” Cita melotot, tetapi bibirnya menahan tawa saat melihat wajah konyol Arya.“Mau nyambung yang tadi subuh.” Arya meletakkan laptopnya di tempat tidur, lalu berlutut di depan Cita yang sudah berada di kursi roda. Istrinya sudah terlihat segar, dan semakin manis dengan lipstik tipis yang menghiasi bibirnya.“Yang mana!” Cita tidak lagi bisa menahan tawa, saat melihat wajah Arya sudah di depan mata. Karena gemas sekaligus kesal, ia pun mendorong wajah Arya menjauh darinya. “Dah, nggak usah deket-deket! Bahaya!”“Eh, kualat begitu sama suami.” Arya dengan cepat meraih pergelangan tangan Cita, lalu menggigit sisi telapak tangan istrinya itu dengan gemas.“Mas Arya!”Astaga! Pernikahan macam apa ini, batin Cita. Harusnya, Arya mengganti profesinya sebagai komika, atau pelawak sekalian, karena selalu membuat Ci
“Tolong sampaikan ke Rashi, kalau aku sudah menikah.” Tanpa menoleh pada Aries yang berada di sebelahnya, pandangan Arya tetap fokus pada jalan yang tidak terlalu macet siang ini. Jika bukan karena Cita, mana mau Arya mengantarkan pria itu ke bandara. Lebih baik berada di rumah bersama sang istri yang sebentar lagi akan pergi ke Singapura, daripada bersama Aries. “Kamu yakin?” tanya Aries memastikan. Hati Rashi pasti akan semakin hancur, tetapi semua ini demi kebaikan bersama. Perpisahan Rashi dengan Arya memang sudah berlalu selama satu tahun lebih, tetapi Aries tahu pasti, putrinya masih belum bisa melupakan pria itu sepenuhnya. Arya mengangguk, tanpa menyimpan keraguan sedikit pun. Hati Arya,saat ini sudah jatuh sepenuhnya pada Cita. Sementara Rashi, saat ini hanyalah sebuah kenangan yang terlarang. Tidak ada lagi angan yang bisa mereka rajut, karena darah yang mengalir sama di tubuh mereka. “Biar dia bisa move on.” Arya berharap, saudara perempuannya itu bisa meraih kebahagiaa
“Mas, udahan meluknya.” Cita menepuk lengan Arya, yang sudah memeluknya cukup lama. “Malu dilihat orang.”“Biarin, aku lagi meluk istri sendiri, bukan istri orang.” Arya memang tidak peduli dengan tatapan orang-orang, yang berlalu lalang di bandara siang itu. Mereka tidak mengerti perasaan Arya, jadi untuk apa ia memikirkan tentang pendapat orang lain.Arya juga sudah membuang rasa malunya jauh-jauh di depan kedua mertuanya, yang saat ini tengah pura-pura sibuk dan menjauh untuk melihat layar informasi jadwal penerbangan.“Kalau nangis, baru aku malu,” tambah Arya.Cita terkekeh, meskipun hatinya juga merasakan kesedihan yang sama. Sebisa mungkin, Cita tidak menunjukkan kesedihan tersebut di depan Arya, agar perpisahan mereka bisa diselimuti dengan senyuman.“Tapi aku malu dilihat orang, Mas.”“Biarin, nggak kenal ini.”Cita kembali menepuk tangan Arya, dan masih saja terkekeh. “Baik-baik di Surabaya. Jangan lirik-lirik yang lain.”“Nggak bisa kalau itu.” Arya mengurai pelukannya, dan
“Hei, hei, hei!” Baru saja masuk ke ruang keluarga, pandangan Arya langsung disambut oleh balita yang masih oleng ketika berjalan. Arya segera berlari menghampiri, lalu mengangkat sang keponakan perempuannya yang sudah berusia satu tahun ke gendongan. “Panggil Om dulu! Om Arya!” Balita tersebut menggeleng, dan menggeliat minta kembali diturunkan. “Turunin, Ar,” pinta Gemi yang tengah duduk di karpet bersama Chandie. Putri sambungnya itu baru saja sampai pagi ini dengan penerbangan pertama, dan langsung meluncur ke kediaman Arkatama. Sementara sang suami, langsung pergi ke kantor cabang, karena ada pertemuan yang akan dilakukan pagi ini dengan segera. “Emoh,” tolak Arya lalu memberi ciuman bertubi-tubi, di wajah cantik yang selalu membuatnya gemas. “Arya turunin!” hardik Chandie sudah melotot lebar, tetapi masih enggan beranjak pergi ke mana pun. Ia masih betah berbaring di paha Gemi, untuk melepas rindu karena sudah cukup lama tidak bertemu. “Ikut Eyang sini.” Saat Lee sudah mengh
“Kamu ngerasa nggak, hubungan keluarga kita sama keluarga ayah itu agak jauh belakangan ini?” Chandie mulai mulai merasakan hal tersebut satu tahun belakangan ini. Keluarga Gautama, hampir tidak pernah lagi terdengar berkunjung ke Surabaya untuk berlibur seperti biasanya. Chandie pernah bertanya pada Gemi akan hal tersebut, tetapi Gemi hanya menjawab Aries tengah sibuk, dan Rashi pun sedang fokus menyelesaikan skripsinya. Meskipun jawaban Geeta juga hampir sama, tetapi Chandie masih merasakan ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Dari cerita Leoni, kunjungan terakhir keluarga Gautama ke Surabaya saat itu tidak berjalan seperti biasanya. Sesuatu telah terjadi, tetapi tidak ada yang tahu mengenai hal tersebut kecuali Arya. Leoni hanya tahu, kedua keluarga bertemu di ruang kerja Lee dan membicakan sesuatu secara tertutup. Tanpa Leoni, juga Leon. Arya yang asyik berbaring di karpet di ruang tengah rumah Chandie, hanya melirik sebentar. Kemudian, ia kembali melanjutkan bermain game online,
“Cita … nggak ikut, Mi?” Sandra yang baru saja duduk, segera memberi gelengan untuk menjawab pertanyaan Arya tanpa senyuman. Sandra hanya sempat bersikap ramah pada Lee dan Gemi, yang kini duduk melingkar pada satu meja yang sama dengannya. “Cita harus istirahat.” “Pak Lee, maaf kalau harus merepotkan dan meminta Bapak datang ke Singapur dengan segera.” Tidak ingin berbasa basi, Harry pun segera mengutarakan maksud diadakannya pertemuan keluarga malam ini. “Untuk masalah anak kita, Bapak mungkin sudah tahu kronologinya dari bu Gemi. Dan kenapa saya minta Bapak datang, itu karena saya mau cabut semua investasi saya dari Arka Lukito. Bukan cuma itu, tapi saya mau menarik lisensi nama Lukito dari perusahaan tersebut. Untuk mekanismenya, nanti akan ditangani langsung sama Kasih. Dan setelah semua selesai, Lukito Grup sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan perusahaan yang dipimpin Arya.” “Pa—” Lee segera mengangkat tangan ke arah Arya. Meminta putranya tidak bersuara, agar permasa
“Dia? Dia siapa?” Mendengar suara Sandra yang mendadak terdengar di balkon, membuat Arya dan Cita spontan menoleh dengan mata yang terbelalak. Karena terlalu sibuk berdebat, Arya dan Cita sampai-sampai melupakan hal lain di sekitarnya. “Cita, nama “dia” siapa yang sering kamu lihat nelpon Arya?” buru Sandra segera menghabiskan jarak, dan tetap fokus pada putrinya. “Apa Arya selingkuh? Iya? Jadi karena itu kamu minta pisah? Begitu, kan? Arya punya perempuan lain di luar sana? Begitu?” Jika benar Arya berselingkuh, orang yang paling terpukul dengan kabar tersebut adalah Sandra sendiri. Dulu, Sandra adalah wanita selingkuhan Harry, dan sekarang? Putrinya justru diselingkuhi oleh suaminya sendiri. Karma apa lagi yang menimpa Sandra kali ini? Tidak cukupkah, Tuhan menghukum Sandra dengan membuat Cita terpuruk dengan kondisinya? Sampai-sampai, harus memberi cobaan tambahan seperti sekarang? Bertahun-tahun Sandra hidup seperti di neraka bersama Harry, tetapi, itu pun belum sanggup menebu
“Cita, semua nggak seperti yang kamu bayangkan.” Arya segera beranjak menghampiri Cita, lalu berlutut untuk menyamakan tubuhnya. “Aku … aku memang sibuk, aku capek, aku … ya! Aku jenuh dengan semua ini. Bolak balik Surabaya Singapur, Surabaya Jakarta, Jakarta Singapur, itu semua bikin aku muak.” Satu sudut bibir Cita tertarik tipis. “Semua yang kamu dapat sekarang, semua yang kamu jalani sekarang, itu semua adalah kemauanmu sendiri. Kamu bisa sukses dan berdiri seperti sekarang, itu semua juga hasil dari doa-doa orang yang sayang sama kamu, Mas. Kalau sekarang kamu mengeluh, itu artinya kamu nggak pernah bersyukur, karena di luar sana, banyak orang yang ingin ada di posisimu.” “Aku tahu itu, aku tahu, tap—“ “Sebenarnya, bukan itu inti dari pembicaraan kita malam ini, Mas.” Cita memundurkan kursi rodanya, ketika kedua tangan Arya hendak menyentuhnya. “Jadi nggak perlu melebar ke mana-mana. Aku tahu kamu capek, jenuh, dan … muak dengan semua ini. Aku juga tahu, kalau kamu sudah punya
“Sayang …” Sandra mengusap lembut puncak kepala Cita yang hanya duduk di tempat tidur, dan enggan keluar dari kamar. “Sarapan dulu, kita harus ke rumah sakit hari ini.”“Aku nggak mau terapi.” Cita menunduk, dan melanjutkan membaca bukunya. Kali ini, sudah tidak ada lagi yang bisa memengaruhi keputusannya. Cita ingin berpisah dari Arya, dan ingin melanjutkan hidupnya hanya seorang diri.“Cita, papa sudah telpon Arya tadi malam, dan—““Percuma,” putus Cita datar, lalu menutup bukunya. “Aku sudah nggak mau jadi beban mas Arya, atau siapa pun. Kalau Mami mau aku lanjut terapi, tolong ada di pihakku, dan ngerti dengan keadaanku.”“Mami selalu ada di pihakmu, Cit,” ucap Sandra meyakinkan. Di satu sisi, Sandra sangat mengerti dengan perasaan dan kondisi Cita saat ini. Namun di sisi lain, Sandra tidak ingin pernikahan putrinya berakhir, hanya karena kurangnya komunikasi antara keduanya.Sebenarnya, Cita masih bisa membicarakan masalahnya dengan Arya, dan mencari solusi yang terbaik untuk hub
“Pindah?” Sandra sontak berdiri, lalu menarik kursi besi yang sempat didudukinya ke arah Cita, yang duduk di samping pagar. “Maksudnya?”“Aku mau menyendiri, Mi.” Cita sudah memikirkan semuanya dengan matang. Hubungannya dengan Arya belakangan ini semakin berjarak, dan Cita melihat tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari semuanya.Sejak pembicaraan mereka terakhir kali, Arya tidak lagi datang ke Singapura satu bulan belakangan ini. Intensitas obrolan mereka melalui telepon pun, juga bisa dihitung dengan jari. Mereka hanya bicara dan bertukar kabar seperlunya, tanpa ada gurauan, rayuan, atau obrolan hangat seperti dahulu kala.Semuanya hambar.“Menyendiri?” Sandra menghadapkan kursinya pada Cita, lalu duduk di samping putrinya. “Sayang, Mami masih nggak ngerti. Kenapa? Apa ada hubungannya dengan Arya?”Cita membuang napas panjang, dan masih memandang teluk Marina yang terlihat begitu tenang. “Pernikahanku sama mas Arya, kayaknya sudah nggak bisa lagi diteruskan. Ak—““Cita, kenapa bic
Sibuk. Ketika perusahaan yang dipegang Arya semakin berkembang, ia merasakan waktu yang dimiliki untuk diri sendiri semakin sedikit. Dulu, Arya masih bisa pergi ke Negeri Singa di hari jumat malam, dan akan kembali pada senin paginya. Namun, tidak setelah semuanya berkembang semakin pesat. Arya baru bisa pergi ke Singapura pada sabtu pagi, dan akan kembali pada minggu malamnya. Rutinitas tersebut ternyata benar-benar melelahkan, dan semakin menjemukan. Memikirkannya saja, Arya bisa langsung sakit kepala. Bahkan, Arya tidak lagi memiliki kualitas dalam hubungannya dengan Cita. Ketika bertemu, yang Arya lakukan lebih banyak tidur dan beristirahat untuk melepas lelah. “Mas …” Cita menepuk pelan lengan Arya yang tertidur di sofa. Meskipun tidak tega, tetapi Cita harus tetap membangunkan sang suami, karena sudah tiba waktunya makan siang. “Ayo bangun bentar.” Arya menghela panjang nan lelah. Membuka sedikit matanya yang berat, sembari tersenyum tipis. “Bentar..” “Makan dulu, habis itu
Semakin hari perkembangan Cita terlihat semakin ada kemajuan. Meskipun Cita tidak pernah menceritakan detailnya pada Arya, tetapi ia selalu mendapat kiriman video dari Sandra. Dari situlah, Arya bisa melihat semua perjuangan Cita yang terkadang disertai dengan air mata.Ada waktunya Cita terlihat sangat lelah, dan hampir menyerah karena fisioterapi yang dilakukan sangatlah tidak mudah. Adakalanya juga, Cita ngambek dan tidak ingin melakukan terapi apa pun, karena merasa tidak sanggup menjalaninya.Namun, semua drama itu tetap saja akan berakhir, dan Cita kembali melanjutkan fisioterapinya dengan penuh semangat. Selain itu, Cita juga rutin melakukan konseling, karena ia masih butuh dukungan mental atas semua yang pernah terjadi di dalam hidupnya, serta apa yang tengah dijalankan saat ini.“Maaf, aku nggak bisa ke sana lagi jumat ini.” Arya mengolesi roti tawarnya dengan selai kacang, sembari menatap Cita yang berada di layar ponselnya. Sudah tiga kali ini Arya tidak bisa menjenguk Cita
Cita bersedekap. Duduk di kursi rodanya, di antara Harry dan Arya. Melihat kedua pria itu, tengah sibuk dengan laptopnya masing-masing. Sesekali, Arya akan bertanya beberapa hal, dan Harry akan menjelaskannya dengan perlahan dan mendetail.Sementara Sandra, sedang berada di dapur dan memasak seperti biasanya. Untuk urusan masak-memasak, Sandra tidak mau digantikan oleh siapa pun. Ia ingin memastikan sendiri asupan yang masuk ke dalam tubuh Cita, dibuat dengan bahan-bahan yang segar dan berkualitas.“Terus, aku ngapain di suruh duduk di tengah-tengah begini dari tadi?” protes Cita yang sudah bosan karena tidak melakukan apa-apa. Ia hanya duduk atas titah Harry, dan jadi pendengar yang baik sedari tadi.“Dengarkan semua diskusi Papa sama Arya,” ujar Harry masih menatap laptopnya. Sebelumnya, Harry sudah menjelaskan mengenai kerja sama yang akan dilakukan bersama Pras, dalam jangka waktu dua atau tiga bulan ke depan pada Cita. Untuk itulah, Harry ingin Cita mulai terlibat dalam dalam sem
“Jadi, nggak sempat ngobrol sama Rashi?”Cita mendengarkan cerita Arya dengan seksama. Padahal, setiap hari mereka pasti berkomunikasi dan suaminya pasti bercerita tentang banyak hal. Namun, Arya baru menceritakan masalah pertemuannya dengan Rashi kali ini.Arya menggeleng seraya mengambil sebuah kaos dan celana pendek dari kopernya. “Dia cuma datang sebentar ngantar cake, terus buru-buru pulang.”“Kenapa nggak diajak ngobrol?” Cita menyayangkan hal yang satu itu. Harusnya, kakak beradik itu bisa duduk berdua, lalu berdamai dengan masa lalu.Arya kembali menggeleng. Ia membuka kaos berkerah yang dipakainya, lalu melemparnya di atas tempat tidur Cita. “Dianya buru-buru pergi,” kata Arya sembari memakai kaos yang baru saja diambilnya di koper.“Masih deg-degan, nggak, waktu ketemu Rashi?” goda Cita hanya bisa menelan ludah, saat melihat Arya berganti pakaian di depannya. Sebagai wanita normal, tentu saja Cita memiliki sebuah gejolak yang tidak biasa saat melihat pria yang dicintainya ad