“Akhirnya, kamu ke sini juga, Mas.” Cita mencibir, saat melihat Arya memasuki ruangannya. Pria itu terkekeh, kemudian duduk di kursi yang selalu ada di samping ranjang Cita.“Sorry, tapi aku nggak tega lihat kamu.” Ternyata, Arya masih merasakan hal yang sama ketika bertemu Cita hari ini. Meskipun Sandra dan Harry mengatakan, kondisi Cita sudah jauh lebih baik, tetapi di mata Arya, semuanya terasa sama saja. Bahkan, sekarang ada perban yang masih melingkari separuh kepala gadis itu. “Sekarang masih nggak tega juga sebenarnya. Tapi, karena mami sama papamu yang minta tolong, jadi terpaksa, kan?”Karena Cita sudah dibolehkan pulang dan akan melakukan perawatan di rumah secara intensive, maka Sandra dan Harry saat ini sibuk mengurus segala sesuatunya. Untuk itulah, Sandra meminta Arya untuk berada bersama Cita, selama mereka berdua berada di luar sana.Cita mencebik. “Mas Arya gemukan, pasti kerjaannya makan tidur aja, kan?”Tawa Arya semakin keras, tetapi masih dalam batas wajar, karena
Sebenarnya, Cita sangat lelah menjalani berbagai tahap pemulihan yang sedang dijalankan saat ini. Dari terapi fisik, okupasi, hingga konseling yang tidak bisa terlewat dari jadwal yang sudah ditentukan. Entah berapa banyak uang yang sudah dirogoh Harry, untuk membiayai semua perawatan yang sudah pasti tidak murah. Belum lagi, kedua orang tua Cita pasti mengeluarkan tenaga, serta pikiran yang sangat ekstra dalam perawatan tersebut.Namun, ketika Cita menatap wajah penuh harap dari semua orang yang menyayanginya, semangat untuk sembuh itu kembali datang, lagi dan lagi. Meskipun terasa sakit dan menyiksa, tetapi Cita harus tetap kuat menjalaninya.“Sayang!” Sandra terburu masuk ke dalam kamar, lalu duduk di samping Cita yang baru saja duduk di kursi roda. Meskipun lamban, tetapi Cita selalu menunjukkan kemajuan. Dari yang hanya bisa berbaring, kini sudah kuat untuk duduk tegak meskipun masih dalam waktu terbatas. “Kamu kenal Nando? Fernando Diaz? Mami seperti pernah dengar, sama pernah l
“Jadi, kapan pulang, Mas?”Nando yang tengah bersantai di ruang tamu kediaman Lukito yang baru, lantas berdecak mendengar pertanyaan Arya. Ia cukup heran, saat melihat Arya bisa bebas keluar masuk rumah Cita dengan santainya. Bahkan, Arya sepertinya sudah menganggap kediaman Lukito, sebagai rumahnya sendiri.Beberapa waktu yang lalu, Harry sedang keluar karena harus membeli beberapa keperluan Cita di supermarket. Sementara Sandra, saat ini sedang menyiapkan makan siang di dapur. Tinggallah Arya, yang menemani Nando di ruang tamu saat ini.“Aku baru nyampe, tapi kamu sudah nanya kapan pulang.” Nando mengerut dahi, melihat Arya duduk pada sofa tunggal lalu bersila. Pria itu, seperti tidak punya sopan santun sama sekali. Belum lagi, tangan kiri Arya membawa sebuah gelas, dan tangan kanannya tengah membawa roti. Arya asyik mengunyah, tanpa memedulikan dirinya ada di mana.“Lagian, Cita kena musibah kapan, lo, ke sininya, kapan.” Arya memasukkan roti yang dibawanya ke dalam gelas sebentar,
“Sebenarnya, kamu ke sini itu mau ngapain, sih, Mas?”Untuk kesekian kalinya, Arya berdecak ketika harus membawa Nando ke rumahnya. Mereka hanya berjalan kaki, karena Arya memang tidak menggunakan kendaraan ketika pergi ke rumah Cita. Gadis itu tengah menjalani fisioterapi, karena itulah Arya mengajak Nando pergi dari sana. Daripada Nando hanya bengong dan duduk seorang diri di ruang tamu, lebih baik pria itu berada di kediaman Arkatama.“Jenguk Cita,” jawab Nando singkat, padat dan jelas.Mulut Arya itu kembali berdecak. Sambil berjalan, ia memperhatikan penampilan Nando, dari ujung rambut hingga kaki. Sangat bersih, rapi, mahal, dan tanpa cela. Tidak jauh berbeda dengan sang Permaisuri dari keluarga Sagara. Selalu sempurna.Bedanya, sifat Nando jauh lebih ramah, daripada perangai Mai yang hampir-hampir mirip dengan Pras.“Cuma jenguk? Nggak ada niatan lain?” selidik Arya terus saja berjalan dengan santai, sambil menenteng laptopnya.“Niatan apa?”“Kamu masih suka Cita?” tembak Arya
“Mas Nando?”Nando menoleh, lalu tersenyum dan menarik kursi yang masih kosong di sebelahnya. “Duduk sini!”Leoni berjalan cepat, tetapi tidak langsung duduk di sebelah pria itu. Ia memegang sisi atas punggung kursi, dan menatap heran. “Ada kerjaan di Surabaya?”“Duduk dulu.” Nando meraih siku Leoni, agar gadis itu duduk di sebelahnya. “Lembur? Jam segini baru pulang?”“Nggak.” Leoni menggeleng, dan sudah duduk menghadap Nando. “Nongkrong bentar sama temen. Mas Nando ke sini ngapain?”“Mau jenguk Cita,” kata Gemi sembari meletakkan satu piring ayam geprek di meja makan. “Panggilin Papa, Le. Sama mas Arya juga.”Gemi tidak menitahkan Leoni memanggil Leon, karena putranya itu tidak akan keluar kamar jika bukan keinginannya sendiri. Sudah sering dinasehati, tetapi Leon selalu beralasan sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah.“Jenguk, Mbak Cita?” Wajah ceria Leoni meredup. Setahu Leoni, pria itu tidak memiliki hubungan keluarga dengan Cita. Namun, mengapa Nando jauh-jauh datang hanya untuk
“Mi, aku rasa Arya itu sudah gila.”Cita menatap Arya, Nando, Lee, serta papanya yang sedang bicara serius di tepi kolam renang, dari kamarnya. Mungkin tidak terlalu serius, karena sesekali Cita melihat keempat orang itu tertawa begitu renyah.Cita jadi penasaran, apa yang sedang keempat pria itu bicarakan di pagi hari nan terik seperti sekarang. Kenapa juga harus berada di kolam renang, bukan di dalam rumah dan bisa memakai pendingin ruangan. Surabaya benar-benar terasa terik, dengan panas yang menjadi-jadi belakangan ini.Sandra lantas tertawa, sambil menatap ke arah pandangan Cita. “Gila kenapa?”“Mami tahu dia ngapain pagi-pagi banget tadi datang ke sini?” Cita bicara tanpa titik koma, dan menatap Sandra sembari menggeleng pelan.“Tahu.”“Mami tahu?” Cita terbelalak tidak percaya.“Habis bicara sama kamu, sebelum pulang, dia ngomong sama Mami, juga papa.”“Ngomong apa?” Cita sampai tidak berani menerka-nerka, perihal perkataan Arya pada orang tuanya.“Dia minta izin untuk … berhub
“Cita—““Aku nggak mau ketemu siapa-siapa, Mi.” Cita memotong ucapan Sandra, yang baru saja masuk ke kamarnya. Setelah menghadapi dua orang pria yang cukup memusingkan, Cita hanya ingin berdiam dan merefleksi diri.Bagi Cita, sungguh tidak masuk akal bila ada pria dewasa yang sangat-sangat normal, masih mau menjalin hubungan dengan wanita sepertinya. Di luar sana, banyak sekali wanita yang jauh lebih sehat, cantik, pintar dan sempurna daripada Cita. Namun, mengapa kedua orang itu justru mendekati dirinya?Arya dan Nando pasti hanya mengasihani Cita, dan tidak berniat serius sama sekali. Keduanya, mungkin hanya ingin memberi semangat, tetapi menurut Cita, bukan seperti itu caranya.“Mungkin, aku masih mau ketemu mas Nando, soalnya dia pasti ke sini lagi untuk pamitan,” lanjut Cita saat melihat Sandra duduk di tempat biasanya. Yakni di samping ranjang Cita. “Kalau Arya, males!”“Kenapa lagi dengan Arya?”“Masa’ dia ngajakin nikah?” Cita menggeleng dengan desisan kesal. “Bener, deh, Mi.
“Papa beneran mau nyulap garasi rumah jadi kantor?”Cita melihat desain interior kantor, yang tertera pada layar tablet yang dipegang Harry. Papanya memperlihatkan dua buah desain rancangan kantor, yang baru saja dikirimkan oleh Awan. Harry meminta Cita memilih, di antara dua buah desain yang nantinya akan digunakan.Harry mengangguk. “Daripada kita nyewa tempat lagi, mending kita pake yang ada dulu, seperti kata mamimu. Kamu juga nggak perlu jalan jauh, misal bosan di kamar, terus mau ikut gabung di kantor.”“Kenapa, Papa setuju-setuju aja waktu pak Lee datang terus nawari kerja sama?”Cita hanya tidak menduga, bila Harry bisa dengan mudah menyetujui semua tawaran Lee, tanpa harus melewati proses yang panjang dan berbelit. Tidak ada proposal resmi, atau pembicaraan lebih lanjut lagi. Cita hanya melihat Lee datang satu kali saat Nando masih berada di Surabaya, dan Harry langsung menyetujui kerja sama tersebut.“Pertama, karena keluarga mereka selama ini sering nolong kita, dan mereka
“Cita … nggak ikut, Mi?” Sandra yang baru saja duduk, segera memberi gelengan untuk menjawab pertanyaan Arya tanpa senyuman. Sandra hanya sempat bersikap ramah pada Lee dan Gemi, yang kini duduk melingkar pada satu meja yang sama dengannya. “Cita harus istirahat.” “Pak Lee, maaf kalau harus merepotkan dan meminta Bapak datang ke Singapur dengan segera.” Tidak ingin berbasa basi, Harry pun segera mengutarakan maksud diadakannya pertemuan keluarga malam ini. “Untuk masalah anak kita, Bapak mungkin sudah tahu kronologinya dari bu Gemi. Dan kenapa saya minta Bapak datang, itu karena saya mau cabut semua investasi saya dari Arka Lukito. Bukan cuma itu, tapi saya mau menarik lisensi nama Lukito dari perusahaan tersebut. Untuk mekanismenya, nanti akan ditangani langsung sama Kasih. Dan setelah semua selesai, Lukito Grup sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan perusahaan yang dipimpin Arya.” “Pa—” Lee segera mengangkat tangan ke arah Arya. Meminta putranya tidak bersuara, agar permasa
“Dia? Dia siapa?” Mendengar suara Sandra yang mendadak terdengar di balkon, membuat Arya dan Cita spontan menoleh dengan mata yang terbelalak. Karena terlalu sibuk berdebat, Arya dan Cita sampai-sampai melupakan hal lain di sekitarnya. “Cita, nama “dia” siapa yang sering kamu lihat nelpon Arya?” buru Sandra segera menghabiskan jarak, dan tetap fokus pada putrinya. “Apa Arya selingkuh? Iya? Jadi karena itu kamu minta pisah? Begitu, kan? Arya punya perempuan lain di luar sana? Begitu?” Jika benar Arya berselingkuh, orang yang paling terpukul dengan kabar tersebut adalah Sandra sendiri. Dulu, Sandra adalah wanita selingkuhan Harry, dan sekarang? Putrinya justru diselingkuhi oleh suaminya sendiri. Karma apa lagi yang menimpa Sandra kali ini? Tidak cukupkah, Tuhan menghukum Sandra dengan membuat Cita terpuruk dengan kondisinya? Sampai-sampai, harus memberi cobaan tambahan seperti sekarang? Bertahun-tahun Sandra hidup seperti di neraka bersama Harry, tetapi, itu pun belum sanggup menebu
“Cita, semua nggak seperti yang kamu bayangkan.” Arya segera beranjak menghampiri Cita, lalu berlutut untuk menyamakan tubuhnya. “Aku … aku memang sibuk, aku capek, aku … ya! Aku jenuh dengan semua ini. Bolak balik Surabaya Singapur, Surabaya Jakarta, Jakarta Singapur, itu semua bikin aku muak.” Satu sudut bibir Cita tertarik tipis. “Semua yang kamu dapat sekarang, semua yang kamu jalani sekarang, itu semua adalah kemauanmu sendiri. Kamu bisa sukses dan berdiri seperti sekarang, itu semua juga hasil dari doa-doa orang yang sayang sama kamu, Mas. Kalau sekarang kamu mengeluh, itu artinya kamu nggak pernah bersyukur, karena di luar sana, banyak orang yang ingin ada di posisimu.” “Aku tahu itu, aku tahu, tap—“ “Sebenarnya, bukan itu inti dari pembicaraan kita malam ini, Mas.” Cita memundurkan kursi rodanya, ketika kedua tangan Arya hendak menyentuhnya. “Jadi nggak perlu melebar ke mana-mana. Aku tahu kamu capek, jenuh, dan … muak dengan semua ini. Aku juga tahu, kalau kamu sudah punya
“Sayang …” Sandra mengusap lembut puncak kepala Cita yang hanya duduk di tempat tidur, dan enggan keluar dari kamar. “Sarapan dulu, kita harus ke rumah sakit hari ini.”“Aku nggak mau terapi.” Cita menunduk, dan melanjutkan membaca bukunya. Kali ini, sudah tidak ada lagi yang bisa memengaruhi keputusannya. Cita ingin berpisah dari Arya, dan ingin melanjutkan hidupnya hanya seorang diri.“Cita, papa sudah telpon Arya tadi malam, dan—““Percuma,” putus Cita datar, lalu menutup bukunya. “Aku sudah nggak mau jadi beban mas Arya, atau siapa pun. Kalau Mami mau aku lanjut terapi, tolong ada di pihakku, dan ngerti dengan keadaanku.”“Mami selalu ada di pihakmu, Cit,” ucap Sandra meyakinkan. Di satu sisi, Sandra sangat mengerti dengan perasaan dan kondisi Cita saat ini. Namun di sisi lain, Sandra tidak ingin pernikahan putrinya berakhir, hanya karena kurangnya komunikasi antara keduanya.Sebenarnya, Cita masih bisa membicarakan masalahnya dengan Arya, dan mencari solusi yang terbaik untuk hub
“Pindah?” Sandra sontak berdiri, lalu menarik kursi besi yang sempat didudukinya ke arah Cita, yang duduk di samping pagar. “Maksudnya?”“Aku mau menyendiri, Mi.” Cita sudah memikirkan semuanya dengan matang. Hubungannya dengan Arya belakangan ini semakin berjarak, dan Cita melihat tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari semuanya.Sejak pembicaraan mereka terakhir kali, Arya tidak lagi datang ke Singapura satu bulan belakangan ini. Intensitas obrolan mereka melalui telepon pun, juga bisa dihitung dengan jari. Mereka hanya bicara dan bertukar kabar seperlunya, tanpa ada gurauan, rayuan, atau obrolan hangat seperti dahulu kala.Semuanya hambar.“Menyendiri?” Sandra menghadapkan kursinya pada Cita, lalu duduk di samping putrinya. “Sayang, Mami masih nggak ngerti. Kenapa? Apa ada hubungannya dengan Arya?”Cita membuang napas panjang, dan masih memandang teluk Marina yang terlihat begitu tenang. “Pernikahanku sama mas Arya, kayaknya sudah nggak bisa lagi diteruskan. Ak—““Cita, kenapa bic
Sibuk. Ketika perusahaan yang dipegang Arya semakin berkembang, ia merasakan waktu yang dimiliki untuk diri sendiri semakin sedikit. Dulu, Arya masih bisa pergi ke Negeri Singa di hari jumat malam, dan akan kembali pada senin paginya. Namun, tidak setelah semuanya berkembang semakin pesat. Arya baru bisa pergi ke Singapura pada sabtu pagi, dan akan kembali pada minggu malamnya. Rutinitas tersebut ternyata benar-benar melelahkan, dan semakin menjemukan. Memikirkannya saja, Arya bisa langsung sakit kepala. Bahkan, Arya tidak lagi memiliki kualitas dalam hubungannya dengan Cita. Ketika bertemu, yang Arya lakukan lebih banyak tidur dan beristirahat untuk melepas lelah. “Mas …” Cita menepuk pelan lengan Arya yang tertidur di sofa. Meskipun tidak tega, tetapi Cita harus tetap membangunkan sang suami, karena sudah tiba waktunya makan siang. “Ayo bangun bentar.” Arya menghela panjang nan lelah. Membuka sedikit matanya yang berat, sembari tersenyum tipis. “Bentar..” “Makan dulu, habis itu
Semakin hari perkembangan Cita terlihat semakin ada kemajuan. Meskipun Cita tidak pernah menceritakan detailnya pada Arya, tetapi ia selalu mendapat kiriman video dari Sandra. Dari situlah, Arya bisa melihat semua perjuangan Cita yang terkadang disertai dengan air mata.Ada waktunya Cita terlihat sangat lelah, dan hampir menyerah karena fisioterapi yang dilakukan sangatlah tidak mudah. Adakalanya juga, Cita ngambek dan tidak ingin melakukan terapi apa pun, karena merasa tidak sanggup menjalaninya.Namun, semua drama itu tetap saja akan berakhir, dan Cita kembali melanjutkan fisioterapinya dengan penuh semangat. Selain itu, Cita juga rutin melakukan konseling, karena ia masih butuh dukungan mental atas semua yang pernah terjadi di dalam hidupnya, serta apa yang tengah dijalankan saat ini.“Maaf, aku nggak bisa ke sana lagi jumat ini.” Arya mengolesi roti tawarnya dengan selai kacang, sembari menatap Cita yang berada di layar ponselnya. Sudah tiga kali ini Arya tidak bisa menjenguk Cita
Cita bersedekap. Duduk di kursi rodanya, di antara Harry dan Arya. Melihat kedua pria itu, tengah sibuk dengan laptopnya masing-masing. Sesekali, Arya akan bertanya beberapa hal, dan Harry akan menjelaskannya dengan perlahan dan mendetail.Sementara Sandra, sedang berada di dapur dan memasak seperti biasanya. Untuk urusan masak-memasak, Sandra tidak mau digantikan oleh siapa pun. Ia ingin memastikan sendiri asupan yang masuk ke dalam tubuh Cita, dibuat dengan bahan-bahan yang segar dan berkualitas.“Terus, aku ngapain di suruh duduk di tengah-tengah begini dari tadi?” protes Cita yang sudah bosan karena tidak melakukan apa-apa. Ia hanya duduk atas titah Harry, dan jadi pendengar yang baik sedari tadi.“Dengarkan semua diskusi Papa sama Arya,” ujar Harry masih menatap laptopnya. Sebelumnya, Harry sudah menjelaskan mengenai kerja sama yang akan dilakukan bersama Pras, dalam jangka waktu dua atau tiga bulan ke depan pada Cita. Untuk itulah, Harry ingin Cita mulai terlibat dalam dalam sem
“Jadi, nggak sempat ngobrol sama Rashi?”Cita mendengarkan cerita Arya dengan seksama. Padahal, setiap hari mereka pasti berkomunikasi dan suaminya pasti bercerita tentang banyak hal. Namun, Arya baru menceritakan masalah pertemuannya dengan Rashi kali ini.Arya menggeleng seraya mengambil sebuah kaos dan celana pendek dari kopernya. “Dia cuma datang sebentar ngantar cake, terus buru-buru pulang.”“Kenapa nggak diajak ngobrol?” Cita menyayangkan hal yang satu itu. Harusnya, kakak beradik itu bisa duduk berdua, lalu berdamai dengan masa lalu.Arya kembali menggeleng. Ia membuka kaos berkerah yang dipakainya, lalu melemparnya di atas tempat tidur Cita. “Dianya buru-buru pergi,” kata Arya sembari memakai kaos yang baru saja diambilnya di koper.“Masih deg-degan, nggak, waktu ketemu Rashi?” goda Cita hanya bisa menelan ludah, saat melihat Arya berganti pakaian di depannya. Sebagai wanita normal, tentu saja Cita memiliki sebuah gejolak yang tidak biasa saat melihat pria yang dicintainya ad