"Maksud kamu apa, Mas?" tanya Naya melepaskan dekapan suaminya.Naya manatap Dewa dengan tatapan marah, kecewa dan muak yang bercampur menjadi satu."Beri saya waktu sedikit lagi," ujar Dewa."Berapa lama lagi? Sampe aku muak dan pergi dari hidup kamu?" tanya Naya menatap suaminya marah."Selama ini aku diam, nutup mata dan telinga. Karena aku masih berharap kamu berubah, Mas. Aku selalu berusaha untuk menjadi istri yang baik buat kamu. Dan ini balasan yang aku dapatkan?" Kali ini Naya sudah benar-benar tidak bisa menahannya lagi, dan sepertinya sembilan bulan pernikahan sudah cukup untuk dirinya dengan Dewa. Untuk apa dirinya berjuang sendirian, sedangkan yang dirinya perjuangan saja tidak pernah mau membuka diri. Mau sampai kapan suaminya itu terikat dengan masalalunya."Kalau memang kamu belum selesai dengan masalalu kamu, harusnya kamu selesaikan itu dulu tanpa kamu bawa aku dalam kehidupan kamu yang rumit ini, Mas." Melihat suaminya diam membuat Naya tersenyum miring, "Kalau ka
Malam ini Naya benar-benar pulang kerumah orang tuanya, tentu saja ayah dan bundanya terkejut saat melihat kedatangan Naya yang malam-malam pulang dengan koper besar. Bahkan Naya bisa melihat wajah kebingungan dari kedua orang tuanya. 'Maafkan Naya bunda, Naya sudah tidak kuat lagi.' Naya segera berlari kearah bundanya dan memeluk bundanya erat. Entah rasanya kembali ketempat yang membuatnya nyaman, tidak lagi merasa cemas, gelisah dan juga takut. Selama menikah dengan Dewa dirinya selalu merasakan hal itu semua tapi dirinya selalu berusaha bertahan, selalu berharap suaminya bisa merubah. Bukan karena dirinya lemah, namun dirinya mencoba mempertahan apa yang sudah menjadi miliknya. Apalagi Naya memiliki prinsip hanya untuk menikah sekali. Namun ternyata Naya salah menaruh harapan dengan Dewa. Jika laki-laki itu belum selesai dengan masalalunyan maka dirinya tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan dari laki-laki itu. Sebenarnya ini yang membuat Naya tidak siap melihat wajah kebin
"Naya belum mau ketemu?" tanya Naufal.Hari ini Nuafal sengaja berkunjung kerumah Bos sekaligus sahabatnya hanya untuk memastikan keadaannya, apalagi seminggu ini Dewa benar-benar terlihat tidak terurus, bahkan wajahnya selalu terlihat datar. Dan tadi siang waktu mereka sedang meeting Dewa tiba-tiba pucat dan muntah-muntah sepertinya sedang tidak enak badan. Dan Naufal meminta Dewa untuk pulang istirahat, tapi Bosnya itu tidak istirahat melainkan melamun di ruang tamu dengan pandangan kosong. Bahkan Dewa terlihat kacaunya, dulu waktu Savira menghianatinya Dewa bahkan masih bisa bekerja dengan profesional dan tidak sekacau sekarang ini. Dewa menggeleng lemah, melihat itu sebenernya Naufal kasihan namun dengan kemarahan Kanaya kali ini, dirinya berharap Dewa bisa menyadari perasaanya dan mengambil tindakan yang benar."Kalau Kanaya minta cerai...""Saya tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi," sahut Dewa cepat."Tapi kalau gue di posisi Kanaya gue juga akan minta cerai. Bisa-b
"Nay, beneran lo tetep mau cerai sama Pak Dewangga?"Naya paham setiap orang memiliki masalalu, tapi berbeda dengan kasusnya dan Dewa. Masalalu laki-laki itu belum selesai, bahkan pria itu masih menyimpan hati untuk masalalunya. Memang sekarang dia mendapatkan raganya tapi tidak dengan hatinya.Karena orang yang masih belum bisa berdamai dengan masalalunya itu tidak bisa menghilangkannya. Tapi dia hanya akan memindahkan ke tempat yang lebih dalam dan tersembunyi. Jadi percuma mau berharap sekeras apapun tapi pemenangnya tetap masalalunya.Jadi untuk apa Naya kembali berjuang dan berharap yang tidak pasti, sekarang Naya sudah tau jawabannya. "Buat apa gue bertahan, Cit?" tanya Naya menatap Citra.Citra menghela nafas kemudian menatap Naya. "Gue tau pasti berat banget buat, Lo. Tapi apa lo nggak bisa bertahan buat anak lo?" Naya mengelus perutnya sekilas, sebenernya itu juga yang menjadi pertimbangan Naya. Tapi rasa sakit dan kecewanya lebih besar sekarang, karena selama Naya menjadi
"Ada ibu mertua kamu di depan, mau ketemu?" tanya Ika menatap Naya yang sedang duduk di atas ranjang dengan membaca buku tentang kehamilan dan anak. "Sama siapa, Bun?" tanya Naya "Sendiri, ayo turun bunda bantuin." ujar Ika membuat Naya mengangguk. Setelah periksa ke dokter tadi pagi karena akhir-akhir ini Naya merasakan muntah-muntah parah bahkan pusing yang membuatnya lemas. Hal itu terjadi karena Naya mengalami kecemasan dan stres yang berlebih. Naya harus banyak istirahat, minum air putih yang banyak dan makan makanan sehat. Dan yang paling utama adalah dirinya tidak boleh terlalu banyak pikiran dan stress. Sampainya di ruang tamu Naya sudah melihat ibu mertuanya yang tengah duduk ngobrol dengan ayahnya. Naya segera menghampiri ibu mertuanya dan menyalaminya. "Ibu, sudah lama?" "Belum ibu baru saja datang, ini ibu bawain vitamin, buah-buahan dan sayuran biar cucu ibu tetap sehat." Katanya menunjukan paperbag yang cukup besar. "Terimakasih ya buk." ujar Naya membuat Aida m
Dua puluh tiga tahun lalu Aslan bertemu dengan seorang anak laki-laki yang menarik perhatiannya. Dia bekerja dengan rajin, tidak memperdulikan apapun dan hanya fokus dengan pekerjaanya saja. "Kamu kesini," panggil Aslan Anak laki-laki itu menengok kesana- kemari untuk memastikan jika dirinya yang di panggil setelah memastikan tidak ada orang lain di sekitarnya, anak laki-laki itu menunjuk dirinya sendiri dengan wajah bingungnya."Iya kamu, kesini." ujar Aslan melambaikan tangannya.Dengan takut-takut anak laki-laki itu berjalan menghampirinya dengan wajah menunduk."Kamu takut sama saya?" tanya Aslan terkekeh."Saya tidak melakukan kesalahan hari ini."ujarnya dengan takut-takut.Aslan menatap anak laki-laki itu, Sepertinya anak ini selalu di marahi oleh seniornya disini, hingga merasa ketakutan. Tangan Aslan terulur hendak mengelus kepalanya namun tangannya belum sampai anak laki-laki sudah lebih dulu mundur untuk menghindarinya."Saya tidak akan menyakiti kamu, saya cuma mau ngobro
“Kamu berangkat sama Dewangga ya, Nay. Bunda ada urusan mendadak di toko. Tolong ya, Ngga.” ujar Ika menepuk bahu Dewa sembari tersenyum untuk menyakinkan Dewangga.Dewangga hanya membalas dengan senyum tipis dan mengangguk.Naya hendak protes namun bundanya seolah memang sedang buru-buru membuat Naya akhirnya mengangguk. Karena selama dirinya disini sudah sering merepotkan bundanya.“Ayo..” Dewa mengulurkan tangannya untuk mengandeng Naya. Namun wanita itu hanya menatapnya sekilas kemudian berjalan keluar lebih dulu, Dewa hanya bisa menatap punggung kecil istrinya yang sudah berjalan kearah mobilnya.Dewa segera melangkahkan kakinya untuk menyusul Kanaya, namun saat wanita itu hendak membuka pintu belakang Dewa segera berlari dan menahannya.“Di depan, Kanaya.”Naya memutar mata jengah, menatap laki-laki ini yang mulai kembali seperti Dewa sedia kala selalu mengaturnya. Sebenernya laki-laki di depannya ini memang sudah banyak berubah, sekarang lebih perhatian kepadanya bahkan lebih
Hari ini setelah beberapa minggu mengurung diri di rumah, hari ini Naya keluar untuk refreshing dan mencari suasana baru. Naya memilih pergi ke cafe kebetulan Naya sedang menginginkan es Cream dan minuman berasa matcha itu.Disaat dirinya sedang asik dengan beberapa makanannya, setelah sekian lama dirinya tidak makan dengan enak sekarang dirinya bisa menikmati makanan di depannya.“Nay,” suara itu membuat Naya mendongak menatap laki-laki yang berdiri di depannya dengan senyum merekah.“Ngapain lo disini?” tanya Naya.“Dih ibu hamil marah-marah mulu,” ujar Rian kemudian duduk di depan Kanaya.“Mendingan lo pergi deh.” “Nay, lo masih cinta sama gue, Ya?” tanyanya menatap wajah Naya.“Hah!” Naya menatap Rian dengan wajah bingungnya.“Itu nyatanya lo kalau ketemu gue marah-marah terus, artinya lo emang belum bisa move on dari gue.” Naya memutar bola matanya jengah. Memang ya bicara sama mahluk aneh di depannya ini susah. “Justru karena gue benci sama, Lo!”“Gue doain anak lo mirip gue,
"Kemarin seru, ya, Mas?" tanya Kanaya dengan senyum nakal, matanya yang cerah menatap Dewangga yang tengah duduk bersandar di headboard ranjang, sibuk membaca buku tebal yang tampaknya tak pernah jauh dari tangannya.Kemarin adalah hari penuh keceriaan, waktu berkualitas yang dihabiskan bersama keluarga kecil mereka. Laughter and joy filled the house—penuh tawa dan kebahagiaan. Namun, kini mereka kembali pada rutinitas masing-masing, dan semua itu seolah menjadi kenangan manis yang terpatri dalam hati.Dewangga menoleh sejenak dan mengangguk. "Kai terlihat bahagia kemarin," ujarnya dengan suara pelan, seperti mengingat kembali momen itu dengan penuh rasa syukur."Kai aja? Emang Mas nggak bahagia?" tanya Kanaya dengan nada menggoda, membiarkan pertanyaan itu mengalir begitu saja, berharap Dewangga menangkap leluconnya."Jika anak dan istri saya bahagia, maka saya juga bahagia, Kanaya," jawab Dewangga, suaranya tenang, namun ada kehangatan yang menyertai kata-katanya. Senyumnya yang tul
Pagi itu, Kanaya terbangun dan langsung disuguhi pemandangan romantis antara ayah dan anak. Dewangga tengah menciumi wajah putranya, Kai, yang masih terlelap dalam tidurnya.“Aku nggak di-cium?” tanya Kanaya, dengan wajah cemberut dari balik selimut, membuat Dewangga menoleh sejenak ke arahnya.Namun, bukannya menjawab, Dewangga malah kembali menciumi pipi Kai, seakan tidak peduli dengan Kanaya yang sedang merajuk.“Mas,” Kanaya memanggil dengan nada menggoda.Dewangga menoleh sejenak, lalu bangkit dan turun dari ranjang."Loh, mau ke mana?" tanya Kanaya saat melihat suaminya bergerak menuju pintu."Kamar mandi, mau ikut?" tanya Dewangga santai, namun dengan senyum yang khas."Males," jawab Kanaya malas, lalu menatap Kai yang masih tertidur lelap. Tidur Kai pagi itu tampak jauh lebih nyenyak daripada malam sebelumnya yang sedikit rewel.Setelah selesai dengan rutinitasnya, Dewangga kembali ke kamar, di mana Kanaya tengah bercanda dengan Kai di atas ranjang. Jika kalian berpikir Dewang
“Beneran pekerjaan kamu udah selesai? Aku nggak mau, ya, nanti tiba-tiba harus pulang gara-gara kerjaan kamu,” ucap Kanaya dengan nada sedikit kesal.Ia melirik Dewangga yang duduk bersandar di kepala ranjang, laptop bertengger di pangkuannya. Matanya tetap terpaku pada layar, jemarinya mengetik cepat.Walaupun Dewangga sudah banyak berubah tidak sedingin dulu, namun untuk yang satu ini sepertinya tidak akan berubah. Karena di mana pun mereka berada, pekerjaan selalu menjadi prioritas utama.“Hanya mengecek laporan sebentar,” jawab Dewangga santai, tanpa menoleh sedikit pun.Kanaya mendesah pelan, kemudian mengalihkan perhatiannya ke putra mereka, Kai, yang tertidur di tengah-tengah mereka. Nafasnya teratur, wajah mungilnya tampak begitu damai. Senyum kecil muncul di bibir Kanaya, lalu dengan lembut ia mengulurkan tangan untuk membelai pipi anaknya.“Jangan diganggu, dia baru tidur,” tegur Dewangga lembut, masih dengan mata tertuju ke laptop.Kanaya mendengus kecil, lalu cemberut. “A
"Suami kamu jadi nyusul, Nay?" tanya Eyang dengan wajah penuh tanya, membuat Naya menggelengkan kepala. Ia tidak tahu pasti, karena semalam Dewangga mengatakan masih ada beberapa urusan yang harus diselesaikan."Belum tahu, Yang. Soalnya Mas Dewa lagi ada proyek baru," jawab Kanaya sambil tersenyum tipis.Eyang Ratih mengangguk bijak. "Gak papa, suami kamu itu memang pekerja keras dari dulu. Kamu harus lebih pengertian dengan pekerjaan suamimu, Nak," katanya sambil menatap cucunya dengan penuh kasih sayang.Kanaya mengangguk pelan. "Naya sekarang sudah lebih mengerti kok, Yang. Sebelum menikah pun, Mas Dewa memang suka kerja, tapi semenjak ada Kai, dia mulai lebih bisa membagi waktu."Kanaya mengingat bagaimana dulu ia selalu mempermasalahkan kebiasaan Dewangga yang workaholic, bahkan sering kali waktu mereka bersama terasa terbatas karena suaminya lebih banyak di kantor."Kai, anak kamu mirip banget sama papanya," ujar Ratih sambil terkekeh, melihat Kai yang asyik bermain dengan sepu
Pagi ini, suasana di dalam mobil terasa hening. Dewangga mengemudi dengan wajah serius, hanya sesekali mengalihkan pandangannya ke spion atau dashboard, tanpa banyak kata. Kanaya duduk di sampingnya, berusaha mencairkan suasana, tetapi setiap kali ia membuka suara, suaminya hanya memberi gumaman atau jawaban sepintas. Tidak ada kehangatan seperti biasanya. Dewangga tampak begitu jauh, seolah keberangkatan mereka bukanlah hal yang dia inginkan.Kanaya merasakan ketegangan itu dengan jelas. Ia tahu, jika terus memaksa berbicara, suaminya bisa saja berubah pikiran dan membatalkan izin untuk pergi. Itu adalah sesuatu yang sangat ingin ia hindari. Ia sudah menunggu kesempatan ini begitu lama, sebuah kesempatan untuk bertemu keluarganya di Yogyakarta, meski hanya untuk beberapa hari. Namun, perasaan Dewangga yang gelisah, seolah membawa kecemasan yang tak terucapkan, membuatnya merasa bimbang.Mobil mereka akhirnya memasuki area bandara. Di kejauhan, Kanaya bisa melihat keluarganya sudah me
"Cucu Oma makin ganteng aja," ujar Ika sambil menciumi pipi cubby cucunya dengan gemas. Wajah Kai yang bulat dan menggemaskan membuat hati Ika semakin hangat setiap kali melihatnya.Hari itu, Ika sengaja mengunjungi putrinya setelah beberapa waktu tidak bertemu. Rasa rindu kepada cucunya semakin membuncah, dan akhirnya ia memutuskan untuk datang."Di minum, Bun" ujar Kanaya mempersilahkan, sambil menaruh nampan berisi minuman dan makanan ringan untuk bundanya.Ika tersenyum. "Dewangga lagi sibuk banget, Nay?" tanyanya dengan tatapan penuh perhatian.Kanaya mengangguk pelan, sedikit terlihat lelah. Sejak kecelakaan di Bali beberapa minggu yang lalu, suaminya memang terlihat sangat sibuk. Pekerjaan dan masalah yang datang setelah kecelakaan itu membuat Dewangga hampir tidak punya waktu untuk istirahat."Iya, Bun," jawab Kanaya, membuka bungkus snack untuk Kai, yang tampaknya sudah mulai lapar. Snack itu adalah oleh-oleh dari Oma Ika.Ika menarik napas panjang, seolah berpikir sejenak se
"Beneran mau kerja?" tanya Kanaya, suaranya penuh keraguan setelah kembali dari kamar putranya.Dia melihat Dewangga yang sudah berdiri di depan cermin dengan pakaian kerjanya, terlihat begitu siap untuk meninggalkan rumah. Kanaya mendekat dan meraih dasi di tangan suaminya, lalu mulai memakaikannya dengan lembut."Rambut kamu udah kepanjangan," ujar Kanaya sambil menatap rambut Dewangga yang mulai menutupi dahinya, seakan menyembunyikan sebagian dari wajahnya yang serius itu.Dewangga hanya terdiam, memilih untuk menatap Kanaya yang sedang dengan cekatan menyimpulkan dasinya. Kanaya merasa suaminya memperhatikannya dengan penuh perhatian, membuatnya sedikit salah tingkah. Tanpa sadar, dia mendongak dan membalas tatapan Dewangga, meskipun tinggi mereka sangat berbeda. Dia hanya sejajar dengan dada suaminya."Kenapa?" tanya Kanaya, sedikit canggung, sambil mengelus rahang Dewangga dengan lembut. Senyumnya terbit, meski hatinya sedikit tergerak oleh perhatian suaminya."Kenapa?" Dewangg
"Mau sama Mama," Kai memeluk erat leher Kanaya, bahkan tidak mau melepaskan, meskipun sejak tadi Kanaya sudah berusaha membujuk putranya dengan lembut."Anak mama bobok yaa," "Ndak mau," Kai menggeleng keras, suara tangisan mulai terdengar, membuat hati Kanaya semakin terenyuh.Kanaya hanya bisa menghela napas dan mencoba menenangkan Kai, mengelus punggungnya dengan lembut. "Bobo yaa, sudah malam," bisiknya, mencoba memberikan ketenangan. Ia mengecup kepala Kai beberapa kali, merasakan kehangatan tubuh kecil itu yang semakin membuatnya merasa sulit untuk melepaskannya.Kanaya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya tidur, namun mata Kai belum juga terpejam. Mungkin Kai merasa ada yang berbeda malam ini, apalagi Dewangga, suaminya, yang tengah sakit dan belum bisa melakukan banyak hal. Waktu Kanaya hampir sepenuhnya tersita untuk merawat Dewangga seminggu ini. Mungkin itu yang membuat Kai merasa cemas, merasa iri pada perhatian yang diberikan unt
Kanaya terus menatap suaminya, Dewangga, yang sejak tadi hanya diam saja, memerhatikannya tanpa sepatah kata pun. Matanya penuh dengan kekesalan, tapi Dewangga tetap tidak memberikan reaksi apapun. Hanya tatapannya yang diam, seolah menunggu sesuatu yang tidak bisa Kanaya pahami."Kenapa? Mau marah aku?" tanya Kanaya dengan nada menantang, meskipun ia tahu betul bahwa Dewangga tidak pernah melakukan hal seperti itu padanya. Dulu, jika Dewangga menegurnya, Kanaya hanya diam dan mengabaikan suaminya selama berhari-hari sebagai bentuk pembalasan. Tapi kali ini, perasaannya begitu sulit untuk diredakan.Dewangga hanya menatapnya dengan penuh pengertian, tanpa mengatakan apapun. Lalu, ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Kanaya dengan lembut, mencoba menenangkan suasana yang semakin tegang. Namun, Kanaya merasa kesal dan segera menarik tangannya dengan cepat. Ia berbalik, hendak meninggalkan Dewangga begitu saja.Melihat itu, Dewangga hanya bisa menggelengkan kepala dengan ekspresi