Siang hari ini, Dito Alamsyah memilih untuk bermalas-malasan. Bersantai di waktu senggang syuting ia manfaatkan. Mengingat jika padatnya jadwal sungguh sangat melelahkan. Apa lagi sekarang sudah tidak ada Shana di dekapan. Sumber semangatnya telah pergi meninggalkan. Di luar bagaimana sikap buruknya pada Shana, tidak dapat dipungkiri jika Dito adalah sutradara muda yang cukup handal. Banyak orang yang mengagumi karena pencitraannya. Namun tak jarang ada juga yang menghujatnya karena pernah menjadi korban mulut manisnya. Dito tidak peduli pada semuanya. Dia menganggap semua wanita yang pernah singgah hanyalah pengisi kekosongan semata. Namun berbeda dengan Shana. Setelah gadis itu pergi, rasa kehilangan itu benar-benar terasa. Rasa penyesalan sudah pasti ada. Rasa kesal juga masih di dada begitu tahu jika Shana mendapatkan pengganti yang jauh di atasnya. Handaru Atmadjiwo. Mengingat nama itu, Dito mendengkus tidak suka. Dia bukan orang bodoh. Dia tahu ada sesuatu yang aneh pa
Ada apa? "Kamu istirahat aja, Lang. Biar anak nakal itu makan siang sama saya," ucap Harris. Gilang menatap Ndaru menunggu perintah. Saat melihat Ndaru mengangguk, Gilang pun pamit undur diri. Biar bagaimana pun dia bukanlah robot, dia juga butuh makan. "Ada apa, Pa?" tanya Ndaru meletakkan berkas yang ia baca ke atas meja. Harris langsung menghempaskan tubuhnya di sofa begitu saja. Semakin bertambahnya usia, peran tongkat penyangganya semakin berguna. Dia jadi mudah lelah jika berjalan terlalu lama. Harris mengulurkan tangannya pada Iqbal untuk meminta sesuatu. Sebuah map ia terima dan ia letakkan di atas meja. "Apa itu?" Ndaru berdiri dan ikut bergabung dengan ayahnya di sofa. "Hasil rapat bersama Pak Darma, Pak," jawab Iqbal. "Nggak perlu dicetak, kamu bisa kirim langsung dokumennya ke Gilang." Iqbal tersenyum. "Untuk arsip Pak Harris juga, Pak." "Ada banyak hal yang dibahas saat rapat tadi." Harris mulai berbicara, "Tapi bukan itu yang akan Papa bahas lebih dul
Sebenarnya pertemuan Shana dengan Raja tidak berlangsung lama. Mereka hanya membahas hal-hal kecil mengenai iklan yang masuk. Setelahnya, Shana memilih untuk berdiam diri di kafe. Sudah lama ia tidak berada di ruangannya untuk waktu yang lama. Hal itu ia manfaatkan untuk kembali menulis. Mencari ide baru yang mungkin saja bisa keluar dari tema zona nyamannya. Tak terasa jarum jam terus berputar. Membuat Shana lupa akan waktu yang ternyata tidak sebentar. Matanya mulai mengedar, menatap dinding kaca yang menampilkan keadaan luar. Ramainya pengunjung mulai membuat konsentrasinya buyar. Sudah waktunya untuk dirinya menghindar. Shana meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. Hanya sebuah pesan, tetapi langsung direspon dengan cepat. Terbukti dari pintu ruangannya yang langsung diketuk tiga kali dan disusul oleh seseorang yang masuk ke dalamnya. "Ada apa, Mbak?" Dia adalah Bagas, manager kafenya. "Buatin kopi buat take away." "Mbak Shana udah mau pulang? Mau kopi yang kayak
Jantungnya berdegup dengan cepat. Langkah kakinya juga tidak melambat. Pikiran buruk berkeliling dengan dahsyat. Membuatnya seketika dilanda perasaan yang tak tepat. Tidak ada yang Ndaru pikirkan selain Shana. Setelah mendengar kabar yang tak terduga, ia lupa akan segala rencana. Tanpa perasaan ragu ia pun berbelok tujuan tanpa menunggu lama. Langkah kaki yang lebar itu membuat Gilang terlihat kesulitan untuk mengikuti. Namun dia sudah mulai membiasakan diri. Sudah tugasnya menjadi asisten pribadi. Bahkan sebelum sampai rumah sakit, ia sudah mengantongi banyak informasi. Mulai dari letak kamar, kondisi terkini si Nyonya Besar, hingga dokter yang menanganinya. Begitu lengkap, membuat Ndaru tak ragu untuk langsung melompat turun dari mobil begitu tiba. "Belok kanan, Pak." Ndaru langsung berbelok begitu dia di hadapkan pada dua jalan. Namun dengan cekatan Gilang memberitahunya. "Kamar paling ujung sebelah kanan, Pak," ujar Gilang lagi. Dahi Ndaru berkerut saat menyadari jika
Malam semakin larut. Rasa kantuk pun langsung beringsut. Tergantikan dengan rasa canggung yang menyelimut. Membuat lagi-lagi jantung mulai berdenyut. Di ruangan itu, hanya terdengar detik jarum jam yang berputar. Menahan seorang gadis agar tetap sadar. Mengingat jika ada seorang pria yang tengah duduk bersandar. Menatapnya lekat tanpa berkomentar. Shana memainkan jari-jemarinya di dalam selimut dengan gelisah. Dia masih menatap ke samping, ke arah yang berlawanan dari tempat Ndaru duduk. Sesekali dia melirik, dan menyadari jika pria itu masih menatapnya lekat. Hal itu membuat Shana gelisah. Pada akhirnya dia pun tak tahan. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Pak. Jangan liatin saya kayak gitu," gerutu Shana jengah. "Bodoh." Kalimat pertama yang keluar benar-benar di luar dugaan. Sangat tajam dan terdengar sangat menusuk. "Maksud Bapak apa?" tanya Shana mulai bangkit dari tidurnya. Meski kesal, Ndaru dengan sigap berdiri dan membantunya. Tangan besarnya membenarkan posis
Sarapan pagi dipenuhi dengan makanan lezat. Mengingat jika sang Putra Sulung sudah kembali merapat. Membuat suasana rumah menjadi lebih hangat. Sungguh, potret keluarga bahagia yang terjalin dengan erat. Suara riuh dari teriakan sang cucu memenuhi ruangan. Tampak berlarian menghindari sarapan. Namun itu bukanlah sebuah kesulitan. Sudah ada para pengasuh yang siap bekerja sesuai arahan. "Nggak mau sayur!" "Biar sehat, Ayu," balas sang pengasuh yang masih mengejar. Pemandangan itu diabaikan oleh para manusia dewasa. Yang tetap duduk tenang dengan banyak makanan di atas meja. Perbincangan kecil juga ikut mengisi suasana. Membahas banyak hal yang tak terduga. "Udah pada denger belum?" Sania, Si Bungsu memulai topik baru. "Shana kecelakaan." Kalimat itu berhasil membuat pergerakan semua orang terhenti. Semua mata langsung tertuju pada Sania. "Kok bisa?" Atikah, sang ibu menunjukkan wajah khawatirnya. "Papa udah denger." Nurdin menghela napas kasar. "Di rumah sakit mana?"
Shana menatap Roro bingung. Bukankah kemarin Ndaru berkata akan mengizinkan Dito menjenguknya saat berada di rumah sakit? Namun yang ia lihat sekarang tampak berbeda. "Ro?" panggil Shana bingung. Dengan tegas Roro kembali menggeleng. "Bapak tidak mengzinkan Pak Dito untuk menjenguk Ibu." "Apa kata lo?!" Dito menatap Roro kesal. "Lo lama-lama ngeselin, ya? Ndaru sendiri yang bilang kemarin katanya gue boleh jenguk Shana!" "Bawa dia keluar," perintah Roro pada dua pengawal yang berjaga. "Oke... oke gue keluar!" Dito berhenti memberontak dan mengangkat kedua tangannya, membuat dua pengawal itu perlahan melepasnya. Namun satu detik kemudian, Dito nekat kembali memaksa masuk membuat Shana membulatkan matanya. Dia meringis melihat Dito yang ditahan oleh dua pengawal berbadan besar. "Berhenti." Shana akhirnya berbicara. Mendadak dia tak tega melihat Dito yang dibohongi oleh Ndaru. Apa lagi pria itu yang menolongnya kemarin. Ditambah dengan luka ditangannya? Shana tidak sejahat it
Setiap omelan yang masuk ke telinga ia abaikan. Tidak menganggapnya sebagai beban. Berbeda dengan pria yang duduk di depan. Tampak was-was takut jika ada perdebatan. "Kalau nggak ada yang penting, aku tutup teleponnya, Mas." "Ndaru! Kamu itu, ya! Jang—" Dan panggilan pun benar-benar terhenti. Bukan karena terputus, melainkan Ndaru sendiri yang mematikannya. Membuat Gilang yang duduk di depan menghela napas kasar. "Jangan diangkat kalau tidak penting," ujar Ndaru mengembalikan ponsel Gilang. "Mana bisa, Pak?" gumam Gilang pelan. Semenjak perjalanan pulang, Ndaru memang mematikan ponselnya. Bukan tanpa alasan. Kepergiannya yang mendadak tanpa mengabari Guna tentu menimbulkan kehebohan tersendiri. Apa lagi Guna sudah menyiapkan makan malam di sebuah Hotel untuk Ndaru. Begitu sampai di Jakarta, ponsel Gilang lah yang menjadi korban. Guna menghubunginya meminta penjelasan. Yang pada akhirnya juga tak mendapat jawaban. Seperti biasa. Ndaru dan tingkah tak terduganya membuat
Di dalam lift, Ndaru mulai menarik napas dalam. Dia menatap pantulan Nendra dari kaca lift. "Apa maksud Anda?" tanya Ndaru pada akhirnya. Nendra, pria itu juga menatap Ndaru dari kaca. Senyum tenang ia berikan. "Saya mau jenguk Shana." "Shana tidak bisa dijenguk..." Ndaru menggantungkan kalimatnya dan mulai menoleh pada Nendra, "Terutama oleh Anda." Nendra terkekeh. "Saya tau, karena itu saya muncul di depan kamera." "Kalau begitu, sebaiknya Anda pergi." Nendra kembali menggeleng. "Saya mau lihat kondisi teman saya." "Teman yang Anda maksud itu istri saya." Nendra menggelengkan kepalanya pelan. "Sebenarnya ada apa, Ndaru? Kenapa kamu melarang saya menemui Shana? Semua orang tau kalau Shana lebih dulu mengenal saya dari pada kamu." Pintu lift terbuka. Sebelum keluar, Ndaru menyempatkan menatap Nendra sekali lagi. "Jangan bertingkah bodoh. Kita berdua tau apa yang sebenarnya terjadi. Dan satu lagi, siapa peduli dengan siapa yang mengenal Shana lebih dulu. Saat ini, S
Setiap omelan yang masuk ke telinga ia abaikan. Tidak menganggapnya sebagai beban. Berbeda dengan pria yang duduk di depan. Tampak was-was takut jika ada perdebatan. "Kalau nggak ada yang penting, aku tutup teleponnya, Mas." "Ndaru! Kamu itu, ya! Jang—" Dan panggilan pun benar-benar terhenti. Bukan karena terputus, melainkan Ndaru sendiri yang mematikannya. Membuat Gilang yang duduk di depan menghela napas kasar. "Jangan diangkat kalau tidak penting," ujar Ndaru mengembalikan ponsel Gilang. "Mana bisa, Pak?" gumam Gilang pelan. Semenjak perjalanan pulang, Ndaru memang mematikan ponselnya. Bukan tanpa alasan. Kepergiannya yang mendadak tanpa mengabari Guna tentu menimbulkan kehebohan tersendiri. Apa lagi Guna sudah menyiapkan makan malam di sebuah Hotel untuk Ndaru. Begitu sampai di Jakarta, ponsel Gilang lah yang menjadi korban. Guna menghubunginya meminta penjelasan. Yang pada akhirnya juga tak mendapat jawaban. Seperti biasa. Ndaru dan tingkah tak terduganya membuat
Shana menatap Roro bingung. Bukankah kemarin Ndaru berkata akan mengizinkan Dito menjenguknya saat berada di rumah sakit? Namun yang ia lihat sekarang tampak berbeda. "Ro?" panggil Shana bingung. Dengan tegas Roro kembali menggeleng. "Bapak tidak mengzinkan Pak Dito untuk menjenguk Ibu." "Apa kata lo?!" Dito menatap Roro kesal. "Lo lama-lama ngeselin, ya? Ndaru sendiri yang bilang kemarin katanya gue boleh jenguk Shana!" "Bawa dia keluar," perintah Roro pada dua pengawal yang berjaga. "Oke... oke gue keluar!" Dito berhenti memberontak dan mengangkat kedua tangannya, membuat dua pengawal itu perlahan melepasnya. Namun satu detik kemudian, Dito nekat kembali memaksa masuk membuat Shana membulatkan matanya. Dia meringis melihat Dito yang ditahan oleh dua pengawal berbadan besar. "Berhenti." Shana akhirnya berbicara. Mendadak dia tak tega melihat Dito yang dibohongi oleh Ndaru. Apa lagi pria itu yang menolongnya kemarin. Ditambah dengan luka ditangannya? Shana tidak sejahat it
Sarapan pagi dipenuhi dengan makanan lezat. Mengingat jika sang Putra Sulung sudah kembali merapat. Membuat suasana rumah menjadi lebih hangat. Sungguh, potret keluarga bahagia yang terjalin dengan erat. Suara riuh dari teriakan sang cucu memenuhi ruangan. Tampak berlarian menghindari sarapan. Namun itu bukanlah sebuah kesulitan. Sudah ada para pengasuh yang siap bekerja sesuai arahan. "Nggak mau sayur!" "Biar sehat, Ayu," balas sang pengasuh yang masih mengejar. Pemandangan itu diabaikan oleh para manusia dewasa. Yang tetap duduk tenang dengan banyak makanan di atas meja. Perbincangan kecil juga ikut mengisi suasana. Membahas banyak hal yang tak terduga. "Udah pada denger belum?" Sania, Si Bungsu memulai topik baru. "Shana kecelakaan." Kalimat itu berhasil membuat pergerakan semua orang terhenti. Semua mata langsung tertuju pada Sania. "Kok bisa?" Atikah, sang ibu menunjukkan wajah khawatirnya. "Papa udah denger." Nurdin menghela napas kasar. "Di rumah sakit mana?"
Malam semakin larut. Rasa kantuk pun langsung beringsut. Tergantikan dengan rasa canggung yang menyelimut. Membuat lagi-lagi jantung mulai berdenyut. Di ruangan itu, hanya terdengar detik jarum jam yang berputar. Menahan seorang gadis agar tetap sadar. Mengingat jika ada seorang pria yang tengah duduk bersandar. Menatapnya lekat tanpa berkomentar. Shana memainkan jari-jemarinya di dalam selimut dengan gelisah. Dia masih menatap ke samping, ke arah yang berlawanan dari tempat Ndaru duduk. Sesekali dia melirik, dan menyadari jika pria itu masih menatapnya lekat. Hal itu membuat Shana gelisah. Pada akhirnya dia pun tak tahan. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Pak. Jangan liatin saya kayak gitu," gerutu Shana jengah. "Bodoh." Kalimat pertama yang keluar benar-benar di luar dugaan. Sangat tajam dan terdengar sangat menusuk. "Maksud Bapak apa?" tanya Shana mulai bangkit dari tidurnya. Meski kesal, Ndaru dengan sigap berdiri dan membantunya. Tangan besarnya membenarkan posis
Jantungnya berdegup dengan cepat. Langkah kakinya juga tidak melambat. Pikiran buruk berkeliling dengan dahsyat. Membuatnya seketika dilanda perasaan yang tak tepat. Tidak ada yang Ndaru pikirkan selain Shana. Setelah mendengar kabar yang tak terduga, ia lupa akan segala rencana. Tanpa perasaan ragu ia pun berbelok tujuan tanpa menunggu lama. Langkah kaki yang lebar itu membuat Gilang terlihat kesulitan untuk mengikuti. Namun dia sudah mulai membiasakan diri. Sudah tugasnya menjadi asisten pribadi. Bahkan sebelum sampai rumah sakit, ia sudah mengantongi banyak informasi. Mulai dari letak kamar, kondisi terkini si Nyonya Besar, hingga dokter yang menanganinya. Begitu lengkap, membuat Ndaru tak ragu untuk langsung melompat turun dari mobil begitu tiba. "Belok kanan, Pak." Ndaru langsung berbelok begitu dia di hadapkan pada dua jalan. Namun dengan cekatan Gilang memberitahunya. "Kamar paling ujung sebelah kanan, Pak," ujar Gilang lagi. Dahi Ndaru berkerut saat menyadari jika
Sebenarnya pertemuan Shana dengan Raja tidak berlangsung lama. Mereka hanya membahas hal-hal kecil mengenai iklan yang masuk. Setelahnya, Shana memilih untuk berdiam diri di kafe. Sudah lama ia tidak berada di ruangannya untuk waktu yang lama. Hal itu ia manfaatkan untuk kembali menulis. Mencari ide baru yang mungkin saja bisa keluar dari tema zona nyamannya. Tak terasa jarum jam terus berputar. Membuat Shana lupa akan waktu yang ternyata tidak sebentar. Matanya mulai mengedar, menatap dinding kaca yang menampilkan keadaan luar. Ramainya pengunjung mulai membuat konsentrasinya buyar. Sudah waktunya untuk dirinya menghindar. Shana meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. Hanya sebuah pesan, tetapi langsung direspon dengan cepat. Terbukti dari pintu ruangannya yang langsung diketuk tiga kali dan disusul oleh seseorang yang masuk ke dalamnya. "Ada apa, Mbak?" Dia adalah Bagas, manager kafenya. "Buatin kopi buat take away." "Mbak Shana udah mau pulang? Mau kopi yang kayak
Ada apa? "Kamu istirahat aja, Lang. Biar anak nakal itu makan siang sama saya," ucap Harris. Gilang menatap Ndaru menunggu perintah. Saat melihat Ndaru mengangguk, Gilang pun pamit undur diri. Biar bagaimana pun dia bukanlah robot, dia juga butuh makan. "Ada apa, Pa?" tanya Ndaru meletakkan berkas yang ia baca ke atas meja. Harris langsung menghempaskan tubuhnya di sofa begitu saja. Semakin bertambahnya usia, peran tongkat penyangganya semakin berguna. Dia jadi mudah lelah jika berjalan terlalu lama. Harris mengulurkan tangannya pada Iqbal untuk meminta sesuatu. Sebuah map ia terima dan ia letakkan di atas meja. "Apa itu?" Ndaru berdiri dan ikut bergabung dengan ayahnya di sofa. "Hasil rapat bersama Pak Darma, Pak," jawab Iqbal. "Nggak perlu dicetak, kamu bisa kirim langsung dokumennya ke Gilang." Iqbal tersenyum. "Untuk arsip Pak Harris juga, Pak." "Ada banyak hal yang dibahas saat rapat tadi." Harris mulai berbicara, "Tapi bukan itu yang akan Papa bahas lebih dul
Siang hari ini, Dito Alamsyah memilih untuk bermalas-malasan. Bersantai di waktu senggang syuting ia manfaatkan. Mengingat jika padatnya jadwal sungguh sangat melelahkan. Apa lagi sekarang sudah tidak ada Shana di dekapan. Sumber semangatnya telah pergi meninggalkan. Di luar bagaimana sikap buruknya pada Shana, tidak dapat dipungkiri jika Dito adalah sutradara muda yang cukup handal. Banyak orang yang mengagumi karena pencitraannya. Namun tak jarang ada juga yang menghujatnya karena pernah menjadi korban mulut manisnya. Dito tidak peduli pada semuanya. Dia menganggap semua wanita yang pernah singgah hanyalah pengisi kekosongan semata. Namun berbeda dengan Shana. Setelah gadis itu pergi, rasa kehilangan itu benar-benar terasa. Rasa penyesalan sudah pasti ada. Rasa kesal juga masih di dada begitu tahu jika Shana mendapatkan pengganti yang jauh di atasnya. Handaru Atmadjiwo. Mengingat nama itu, Dito mendengkus tidak suka. Dia bukan orang bodoh. Dia tahu ada sesuatu yang aneh pa