Rey menoleh sekilas pada Milly yang bahkan tidak menyadari kehadirannya. “Kenapa? Kau cemburu melihat kedekatan mereka?”Sontak, Milly menoleh cepat dan melotot mendengar pertanyaan Rey. “Aku? Cemburu? Omong kosong! Memikirkan hal seperti itu tidak pernah terlintas di dalam pikiranku!”Mendengar elakan Milly yang bernada satu tingkat lebih tinggi dari biasanya, membuat Rey terkekeh. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, kemudian dia melihat ke arah yang sama dengan Milly.“Tidak perlu ditutupi. Jika suka katakan saja suka, tidak perlu gengsi. Kalaupun kau suka juga tidak apa-apa. Zayn sepertinya juga tertarik padamu. Terlihat dari cara dia memperlakukanmu. Masuklah, Zayn akan marah jika kita tidak fokus pada penyelidikan.” Rey berbalik, dan kembali masuk ke dalam rumah.Milly masih termenung sambil menatap pada Rey yang telah menjauh. Sejauh ini sudah ada dua orang yang mengatakan kalau Zayn tertarik padanya. Pertama Zeus, lalu kini Rey juga mengatakan hal yang sama. Namun,
Milly berhasil membuat Zayn terlonjak. Meskipun dia sedikit terkejut karena teriakan tiba-tiba dari Milly, tapi pria itu bisa dengan cepat mengontrol kesadarannya dan langsung mendekat pada Milly.“Apa yang kau temukan?” tanya Zayn cepat dan tidak sabar.Milly menoleh pada Zayn dengan wajah antusiasnya, lalu menunjuk pada layar laptop. “Lihat ini, di jam yang jaraknya tidak jauh dari jam kematian Scott, ada seorang pria yang keluar dari rumahnya. Gerak-geriknya terlihat sangat mencurigakan, bukan?”Zayn lebih mendekat untuk melihat rekaman pria itu.“Aku juga telah mengikuti jejaknya dari rekaman CCTV yang lain,” imbuh Milly lagi. “Lihat, dia naik taksi di depan rumah yang berjarak tiga sampai empat rumah dari kediaman Scott. Kemungkinan besar dia bukan warga kompleks. Selain itu, rekaman CCTV yang berada di titik itu juga menangkap nomor plat taksi yang ditumpangi pria itu.” Kemudian Milly membiarkan Zayn untuk memeriksa rekaman itu sampai selesai. Letih yang tadi sempat dia rasakan
“Blue Corner? Kita akan ke sana?” Rey mengikuti Zayn ke pakiran, tempat mobilnya terpakir seusai jam kerja.“Ada hal yang harus kita lakukan di sana.” Zayn menjawab sambil menekan tombol kunci dari remote mobil key-less miliknya.Rey membuka pintu penumpang, dan duduk di sana sambil tetap menatap Zayn. “Apa itu? Bersenang-senang?”“Katakanlah begitu. Mari kita bersenang-senang,” balas Zayn datar dengan raut wajah tanpa ekspresi.Bunyi klik dari sabuk pengaman milik Rey terdengar bersamaan dengan deru halus mesin mobil. Tanpa menunggu lama, Zayn segera melajukan mobilnya menuju bar milik Jace. Zayn mengemudi dengan kecepatan penuh agar segera tiba sampai tujuan dengan cepat.Sesampainya di sana, keduanya segera bertemu dengan Jace di meja VIP yang berada di lantai dua. Aroma alkohol menguar, membuat pengar hidung Zayn dan Rey. Kilatan lampu sorot di tempat dengan pengaturan cahaya remang senada dengan dentuman musik DJ yang memekakkan telinga.Jika diingat lagi, terakhir kali Zayn ke t
“Kau Menemukannya?” tanya Rey setelah hampir setengah jam menggeledah rumah itu.Zayn menggeleng. “Tidak ada bukti apa pun yang merujuk pada kasus Scott.” Tangannya menutup laci terakhir yang baru saja selesai diperiksa.“Bisa jadi dia memang tidak ada kaitannya dengan kasus itu.” Rey memberikan pendapatnya sambil memungut barang-barang yang berserakan karena penggeledahan ilegal ini.Zayn terdiam, lalu mengedarkan pandangannya pada sekeliling. Pria itu sepertinya memang tidak ada sangkut pautnya dengan kasus Scott, tapi dia harus memastikan sesuatu. Terlebih lagi, Zayn tidak akan meloloskan pria berengsek seperti ini.“Rey, potret foto-foto tidak pantas di papan itu untuk dijadikan bukti.” Zayn menoleh pada Rey yang masih berada di ruang sebelah.Rey melongok, merogoh ponsel di sakunya dan mulai memotret semua foto tidak pantas yang sebagian menempel pada dinding, dan beberapa yang berserakan di atas meja.“Oke, bukti sudah diamankan,” ucap Reyyakin.“Hold on, bukti apa? Bukankah kau
Sepuluh menit sebelum meeting bersama tim lain untuk membahas kasus lainnya, Zayn sudah menyiapkan semua bahan yang dijadikan acuan untuk pembahasa meeting, dan bersiap untuk keluar ruangan ketika Milly tiba-tiba masuk dengan raut serius di wajahnya.“Aku sibuk, jika kau mau membahas sesuatu, nanti saja setelah aku selesai meeting bersama dengan tim lain.” Zayn mendongak, menatap Milly dari kursinya.Milly menyerahkan sebuah surat padanya. “Tidak lama, aku hanya ingin mengajukan untuk penggantian mentor dan keluar dari tim milikmu, untuk dipindah ke tim yang lain.”Zayn menerima surat itu dengan sebelah alisnya yang terangkat. “Apa alasan kau mengajukan surat pemindahan ini? Apa karena masalah kemarin?”Milly yang merasa benar, dengan berani menatap lurus pada kedua mata Zayn. “Aku menjadi pengacara untuk menaati aturan, bukan untuk melanggarnya. Kejadian kemarin, sangat di luar batas dari toleransiku terhadap melanggar aturan.”Zayn mendengkus, disertai dengan tawa kecil yang terdeng
Koper besar yang selalu dipakai Zayn untuk berpergian terlihat di sudut ruangan apartemennya. Pria itu baru sampai dari perjalanannya ke luar negeri. Aroma kopi yang menguar memenuhi area dapurnya yang selalu tampak bersih. Perjalanan yang melelahkan, dia butuh asupan kafein untuk membuatnya tetap bugar.Hari ini masih masuk dalam off day nya. Perjalanan yang panjang dan tekanan udara di dalam pesawat selalu membuatnya sakit kepala. Alih-alih mengonsumsi obat anti nyeri, dia lebih memilih untuk membuat dirinya kecanduan dalam kopi.Bukankah yang alami lebih baik daripada obat kimia? Setidaknya, begitulah teori sederhana dari seorang pengacara ternama untuk menghilangkan rasa sakit kepalanya.Secangkir kopi yang masih mengepul di cangkir hitam segera Zayn bawa ke ruang tengah. Saat dia baru duduk setelah menyesap kopinya sambil berjalan, ponselnya berdering. Matanya melirik ke layar, nama Rey terlihat sedang mencoba untuk menghubunginya.“Zayn!” Rey langsung berseru saat Zayn menerima
Aroma tanah yang lembap menyeruak ke rongga hidung Milly saat gadis itu mengerjap dan sedikit mengerang karena kepalanya terasa berat. Masih mencoba untuk membaca situasi, dia jsutru dikejutkan karena di sekelilingnya hanya terlihat tanah.Milly mendongak, sial! Saat ini dirinya telah berada di sebuah liang yang terlihat seperti semua makam. Terakhir kali hal yang diingat adalah, dia datang ke rumah pria yang menjadi tersangka utama pembunuhan Scott. Saat dia akan menekan bel rumah, dari arah belakang tiba-tiba ada sesuatu yang menghantam tengkuk kepalanya sampai dia pingsan. Namun, kenapa sekarang dia berada di sini?“Tolong!” teriak Milly panik, saat dia sadar bahwa tangan dan kakinya terikat.“Apakah ada seseorang di atas sana? Tolong aku!” teriak Milly lagi meminta pertolongan.Tidak ada jawaban sama sekali. Suasana terlalu hening bagi kota besar Manhattan. Firasat Milly mengatakan dia tidak berada di kota. Aroma yang dia hirup seperti aroma hutan yang basah. Beberapa burung juga
Ambulance 911 telah datang, tepat saat Zayn berhasil mengeluarkan Milly dari dalam tanah. Beberapa petugas langsung membawa emergency stretcher untuk membawa Milly yang mulai tidak terdeteksi lagi detak jantungnya.“Bawa ke Alpha Hospital!” seru Zayn pada petugas medis sebelum dia masuk ke dalam ambulans, menemani Milly.Sementara Rey mendapat tugas untuk membawa mobil Zayn ke rumah sakit. Dia melihat cemas pada Milly. Hatinya ikut hancur melihat Milly yang berada dalam kondisi kritis. Dia tidak pernah menyangka kasus Scott akan membawanya petaka pada Milly.Di dalam ambulans yang telah melaju cepat, menembus jalanan menuju kota Manhattan dengan kondisi hujan yang semakin deras, petugas medis berusaha untuk menangani henti jatung Milly dengan alat kejut jantung. Perlu dua kali sampai detak jantungnya kembali terdeteksi di layar monitor.Meskipun begitu, hal itu tidak bisa membuat Zayn tenang. Walaupun dia bukan orang medis, tapi dia tahu betul detak jantung Milly masih sangat lemah. W
“Are you ready?” Zayn bertanya setelah membukakan pintu mobil untuk Milly.Milly menghela napasnya panjang, kemudian tersenyum sambil menatap Zayn penuh cinta. “Aku gugup, tapi aku siap untuk hari pertamaku lagi.”Zayn tersenyum sambil menggenggam tangan Milly. Keduanya berjalan menuju ke gedung firma milik Zayn. Dada Milly berdebar kencang, sensasi awal kerja dulu kembali dia rasakan. Hanya saja, kali ini dia mendapatkan kekuatan besar yang terus menggenggamnya samapai kapan pun, Zayn.“Selamat datang Nyonya Ducan!” Rey berseru kencang begitu Milly dan Zayn masuk ke dalam lobi firma.Milly sampai berjingkat dan mundur selangkah karena terkejut dengan ledakan confetti yang sekarang telah berterbangan di depannya. Rasanya seperti dejavu, saat berada di firma lama, ketika dia selamat dari kematian.“Akhirnya Nyonya dari firma ini telah kembali ke medan pertempuran. Ayo kita bersemangat lagi!” seru Rey masih dengan penuh semangat seperti dulu.Milly terkekeh mendengarnya, dia mengangguk
Zio mengetuk pintu kamar orang tuanya, wajahnya terlihat sedikit takut saat Milly menoleh padanya. Kedua tangan Zio berada di balik punggung kecilnya, tapi tetap saja Milly bisa melihat beberapa tangkai bunga yang mencuat di belakangnya.“Kau sudah pulang, Zio? Bagaimana di kantor Daddy?” tanya Milly sambil tersenyum.Zio bergerak maju dengan perlahan, “Mom, this is for you.” Sebuah buket bunga dengan sekotak cokelat disodorkan pada Milly. “Maafkan aku tadi, Mom. Aku salah karena telah membentak Mom.”Milly langsung memeluk Zio setelah putranya itu meminta maaf. Milly tersenyum haru karena putranya semakin bertambah dewasa. “It’s okay, Zio. Lain kali jangan diulangi lagi, ya, Nak.”Zio mengangguk, lalu menegcup pipi Milly. “Iya, Mom. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi.”Milly meletakkan buket bunga dan cokelat di meja, kemudian mengajak Zio untuk duduk di tepi kasur. “Bagaimana tadi di kantor Daddy? Apa menyenangkan?”Zio mengangguk antusias. “Aku bertemu paman Rey dan beberapa t
Keributan telah terdengar di mansion saat pagi hari. Tidak biasanya situasi seperti ini terjadi, Milly sampai harus menghela napas berkali-kali karena Zio menolak untuk pergi ke sekolah.“Zio, kita sudah sepakat untuk tidak bolos sekolah.” Milly kembali membujuk putranya agar mau segera berangkat ke sekolah.“Sudah kubilang aku tidak mau sekolah, Mom!” Pertama kalinya Milly mendengar Zio membentaknya.“Apakah kau mengalami kesulitan di sekolah? Apakah ada yang mengganggumu sampai kau tidak mau pergi ke sekolah? Katakan pada Mom,” ucap Milly seraya memijat kepalanya, akibat pusing membujuk putranya.Zio menatap Milly, kemudian mengalihkan pandangannya pada mainan lego berbentuk dinosaurus yang sedang dia pegang. “Aku hanya bosan, Mom. Tidak ada yang menggangguku.”“Mom… aku akan terlambat kalau Zio tidak mau berangkat sekarang,” rengek Madysen yang telah siap berangkat.Milly mengehala napas karena kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan ibunya yang selalu menjadi seseora
Milly bangun lebih awal, menyiapkan banyak makanan yang akan dia bawa. Hari ini Milly dan Zayn mengajak dua anak kembar mereka untuk bersantai di taman bermain. Wanita itu tahu anaknya sangat aktif bermain, dan berujung mudah sekali lapar.“Nyonya, biarkan saya yang menyiapkan makanan.” Seorang pelayan menghampiri Milly.“Tidak apa-apa. Biar aku saja yang menyelesaikannya. Tolong sampaikan pada pengasuh untuk memandikan Zio dan Madysen,” jawab Milly lembut.Pelayan tadi mengangguk, kemudian pergi dengan patuh untuk menyampaikan pesannya pada kedua pengasuh si kembar. Bagi Milly, meskipun di mansion ini Zayn telah menyediakan beberapa pelayan untuk melakukan semua pekerjaan rumah tangga, tapi Milly masih sering membuat makanan sendiri untuk Zayn, si kembar, dan ibunya. Menurutnya, dengan memasak dan menyajikannya pada orang terkasih, bisa menggambarkan besar cintanya pada mereka.Beberapa saat kemudian, Zio dan Madysen telah siap. Zayn juga telah berada di luar, memanaskan mesin mobil
Beberapa tahun berlalu … Langkah kaki tegas Zayn masuk ke dalam mansion mewah yang sudah ditempati hampir empat tahun ini. Pria tampan itu telah meninggalkan penthouse dan tinggal di mansion, demi memberikan kehidupan nyaman untuk istri dan anak-anaknya.“Yeay! Daddy sudah pulang!” Sambutan hangat dari Zio dan Madysen membuat Zayn melukiskan senyumannya. Dua bocah itu memeluk erat ayah mereka. Refleks, Zayn menggendong anak kembarnya itu sambil memberikan kecupan di pipi bulat mereka.Milly tersenyum melihat Zayn sudah mendapatkan sambutan dari kedua anak mereka. Dia mendekat dan ikut memeluk sang suami yang baru saja pulang dari bekerja.“Sayang, akhirnya kau pulang. Zio dan Madysen sudah sangat merindukanmu,” ucap Milly hangat.“Ya, Daddy! Kami merindukanmu.” Zio dan Madysen terus menciumi rahang ayah mereka.Zayn tersenyum. “Daddy juga merindukan kalian. Tapi, apa kalian saja yang merindukan Daddy? Mommy kalian tidak merindukan Daddy?”“Tentu saja Mommy juga rindu. Mommy selalu bi
Sudah satu bulan berlalu dari pernikahan Milly dan Zayn. Pagi ini mereka bertandang ke Alpha Hospital untuk melakukan pemeriksaan rutin di dokter kandungan. Milly memasuki ruang praktek dengan dada berdebar karena pertama kalinya mereka akan melakukan pemeriksaan USG setelah pemeriksaan awal selepas dirinya pingsan dulu.Perlahan Milly berbaring di ranjang pemeriksaan. Tangannya terus menggenggam pada Zayn yang mendampingi di sisinya. Sementara Dokter mulai mengoleskan gel dingin dan menekan kepala alat USG di perut bagian bawah Milly, mereka berdua serentak menahan napas sambil menatap ke layar di depan untuk menunjukkan hasil rekaman USG. Jujur, meskipun hasil secara aktual tertampil di layar, tapi Milly tidak mengerti sama sekali. Terlebih saat dokter terus menerus mengucapkan kata luar biasa.“Nyonya Ducan, Tuan Ducan, Anda perhatikan di anak panah yang saya arahkan di layar. Terlihat ada dua bulatan dengan titik kecil di dalamnya,” ucap dokter setelah selesai mengidentifikasi pem
Berkali-kali Milly menghela napasnya dalam-dalam. Setiap gerakan yang dilakukan beberapa orang yang mondar-mandir di ruangan putih dipenuhi rangkaian bunga itu berhasil membuatnya berjingkat pelan. Dadanya terus-terusan berdesir dan detak jantungnya tiba-tiba tenang, tiba-tiba tak beraturan. Dia bahkan mulai merasa mengeluarkan keringat dingin. Di sebelahnya, Vintari memperhatikan sambil terkekeh pelan.“Apakah kau merasa mual, Milly?” tanya Vintari cemas karena melihat raut wajah Milly yang tidak tenang.Milly hanya menggeleng. Dia bahkan tidak bisa mengeluarkan kata-kata karena terlalu tegang.“Kau pasti sangat gugup di hari pernikahanmu.” Vintari menyodorkan hand bouquet kepada Milly.Milly menerimanya dengan meringis. Vintari benar, Milly saat ini merasa sangat gugup karena harus menunggu di ruang mempelai sementara yang lain sedang menyambut tamu di aula utama pernikahan.“Kau benar, aku gugup sekali! Aku sampai takut tidak bisa berjalan ke altar karena terlalu gugup,” ucap Milly
Suara dering ponsel berbunyi. Zayn melihat nomor Andre menghubunginya. Pria tampan itu langsung menggeser tombol hijau, untuk menjawab panggilan telepon dari junior kuliahnya dulu.“Ada apa?” sapa Zayn dingin kala panggilan terhubung.“Bagus sekali kau menjawabku dengan nada dingin! Ck! Kau sombong sekali menikah tidak bilang padaku,” seru Andre dari seberang sana. “Kau tahu kabar itu dari mana? Zeus?” tanya Zayn mengerutkan keningnya.“Tentu saja! Cepat ke Blue Corner. Aku dan Jace menungu penjelasanmu di sini!” Zayn melirik ke arah Milly. Dia tidak mau meninggalkan Milly sendirian, tapi dia juga harus pergi untuk memberikan kabar baik ini. Namun, tidak mungkin dia mengajak Milly ke club milik Jace. Hari biasa mungkin baik-baik saja, tapi Milly saat ini sedang hamil.“Kenapa?” tanya Milly penasaran.“Tunggu sebentar,” ucap Zayn pada Andre sebelum dia menggantung ponselnya dan berbisik pada Milly. “Andre dan Jace mengajakku bertemu.”“Jace yang pemilik bar itu?”Zayn mengangguk. “B
Milly kembali memikirkan kembali ucapan Zeus begitu mereka masuk ke dalam penthouse. Sedikit ragu dia melirik ke arah Zayn yang sedang menerima telepon dari Rey, tampaknya mereka membicarakan tentang kasus baru yang baru saja masuk ke tim mereka. Setelah menunggu beberapa lama sampai Zayn selesai dengan obrolannya bersama Rey, Milly mendekat dan duduk di sebelah Zayn.“Ada masalah?” tanya Milly.Zayn menggeleng. “Tidak ada. Rey hanya bertanya tentang persetujuan dari jaksa untuk penyelidikan di tempat kejadian perkara.”Milly mengangguk-angguk pelan. “Zayn, ada hal yang ingin kubicarakan denganmu.”Zayn menatap Milly lembut. “Katakan, Milly. Apa yang ingin kau bicarakan?”Milly tersenyum, tangannya meraih tangan Zayn dan mengarahkannya ke perutnya. “Aku tadi berbicara dengan Vintari, dia telah banyak membuka pikiranku tentang kehamilan Aku ingin mengatakan padamu kalau aku akan menerima kehamilan ini dengan bahagia, dan berusaha menjadi ibu yang baik untuk anak kita nanti.”Senyum Zay