Callista sontak terkejut dengan tawaran yang barusan diajukan oleh Alaric. Ia melepas sarung tangannya dan segera menarik pria itu menjauh dari sana. “Hei, kau serius?”Alaric memiringkan kepala bingung. “Kenapa? Kau masih tidak percaya denganku?”“Bukan. Maksudku, kau serius ingin membantuku memecahkan kasus ini?”“Ya, tentu saja. Kalau kau mengizinkanku, aku bisa membantumu. Kita dapat menyelidiki kasus ini bersama-sama.”Gadis itu menyipitkan mata skeptis. “Tapi apa alasanmu tiba-tiba ingin membantuku? Kau tidak sedang bermaksud untuk menutupi sesuatu dariku, bukan?”“Justru aku ingin memperjelas keadaan yang ada, Nona Cale. Kau tidak bisa menyelesaikan ini sendirian,” balas Alaric. “Kalaupun suatu saat kau berhasil tahu siapa pelakunya, menginterogasi seperti yang pernah kau lakukan padaku itu sama sekali tidak berguna. Kau pasti masih ingat waktu membawaku ke kantor polisi, ‘kan? Aku bisa membuka borgol di tanganku sendiri dengan mudah.”“Lantas apa yang harus kulakukan?”“Biarka
Setelah berhasil mendapatkan izin, jasad akhirnya bisa dimasukkan ke dalam ruang autopsi. Tubuh wanita itu dimasukkan ke pendingin terlebih dahulu sebentar selagi Alaric mempersiapkan diri untuk melakukan prosedur pemeriksaan. Ia segera mengganti bajunya dengan baju medis berwarna hijau lantas memakai berbagai macam perlengkapan lain seperti, penutup rambut, masker, dan sarung tangan.Pria itu lalu mengajak Callista masuk ke dalam ruang autopsi. Aroma khas disinfektan langsung menyeruak ke seluruh penjuru ruangan. Meski terlihat bersih, bau pembusukan jasad tetap saja masih tercium.Callista mengedarkan pandang ke sekeliling. Selain meja autopsi, di dalam ruangan itu juga ada cairan kimia, alat-alat kedokteran, lampu sorot seperti yang ada di meja operasi, serta beberapa pendingin untuk menyimpan organ tubuh. Kemudian, di bagian sisi lainnya, ada pendingin yang digunakan untuk menyimpan jasad korban dalam kantong-kantong jenazah dengan suhu simpan hingga -14°C.“Kau baru pertama kali
Satu minggu setelahnya ...Malam ini, suasana Rumah Sakit Caldwell tampak begitu lengang. Para tenaga medis yang memiliki jadwal shift malam lebih fokus melakukan pengawasan keadaan darurat di gedung satu. Tak ada yang berlalu-lalang sembarangan. Kebanyakan tim peneliti yang tidak mempunyai kepentingan khusus juga sudah pulang sejak tadi sore.Ini adalah kesempatan yang bagus bagi Alaric. Ia telah menyusun rencana sedemikian rupa hanya untuk mengetahui hasil autopsi dari jasad korban pembunuhan yang ditemukannya minggu kemarin.Sebetulnya, hasil autopsi itu sudah keluar sejak dua hari hang lalu. Namun, entah mengapa laporannya tidak langsung diberikan dan malah ditahan sementara oleh pihak rumah sakit. Pria itu tentu menjadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi sampai hasilnya pun harus dirahasiakan dulu?Setelah mematikan beberapa CCTV di antar lorong rumah sakit, Alaric segera pergi menuju laboratorium pusat yang ada ada di gedung dua. Ia tidak tahu di mana berkas hasil autop
BRUKKK!Callista menaruh setumpukan arsip yang dibawanya ke hadapan Malvin. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, mereka kini akhirnya sepakat untuk saling bekerjasama satu sama lain.“Ini semua adalah rekapitulasi data dan salinan hasil autopsi jasad dari korban kasus pembunuhan berantai yang sedang kupecahkan,” kata gadis itu seraya bertolak pinggang.Malvin ternganga. “Sebanyak ini?!”“Yeah, kurang lebih ada lima belas arsip. Kenapa?”Ia menatap tumpukan arsip tersebut dengan wajah penat. “Sepertinya aku membutuhkan waktu untuk mempelajari semua dokumen ini.”“Oke, tidak masalah. Aku juga sebenarnya malas membaca ulang semua ini. Isinya terlalu rumit untuk orang awam yang kurang mengerti tentang hal-hal medis sepertiku,” ujarnya. “Well, di mana si pria narsis?”“Pria narsis?” Malvin mengangkat satu alisnya. “Alaric maksudmu?”“Ya, apa dia sedang jogging?”“Tidak, dia—nah, itu dia baru pulang.”Callista menoleh ke belakang dan tepat saat itu pintu sekonyong-konyong terbuka. Te
“Kandungannya memiliki kesamaan hingga sebesar 96,7% ...?” Alaric menyangga pipi sembari memutar-mutar pena yang sedang dipegangnya. Pria itu sejak tadi hanya duduk melamun, tenggelam dalam pikirannya sendiri ketimbang memperhatikan apa yang sedang dijelaskan oleh dr. Herbert—salah satu dokter ahli bedah Rumah Sakit Caldwell—di depan podium.Pagi ini para dokter yang tergabung dalam tim penelitian satu wajib mengikuti rapat koordinasi dalam rangka persiapan untuk pelaksanaan program kesehatan baru. Rumah Sakit Caldwell memang terkenal memiliki banyak program yang bagus, baik dari segi inovasi maupun pelayanan pada pasien dan masyarakat.“dr. Theodore?” panggil dr. Herbert, membuat Alaric tersadar dari lamunannya.“Ya?” Ia terkesiap dan spontan beralih menatap lawan bicaranya.“Apa ada hal yang ingin kau tanyakan mengenai materi ini?” tanya pria berkacamata kotak itu sambil memperlihatkan slide presentasi yang ada di layar proyektor.Alaric segera membenarkan posisi duduknya menghadap
Sore harinya, setelah semua tugas hari ini selesai Alaric langsung pergi ke depan ruang radiologi. Jam kini sudah menunjukkan pukul empat kurang lima menit. Ini adalah waktu pergantian antar shift pagi dan sore.Setibanya di sana, Olive terlihat sudah menunggu. Wanita itu tampak gelisah karena jika sampai ketahuan, profesi dokternya lah yang menjadi taruhan. Ia bisa dipecat jika Profesor Ignatius sampai tahu kalau ada pihak tak bersangkutan lain yang mengetahui tentang penelitian rahasia ini.“Bagaimana? Apa kondisinya sudah memungkinkan?” tanya Alaric.“Ya, kita harus cepat. Jangan sampai ada yang mencurigai kita.”Mereka berdua pun lantas segera pergi menuju gedung tiga. Alaric sendiri belum pernah pergi ke sana karena memang tak boleh ada siapa pun yang keluar-masuk sembarangan tanpa memiliki kepentingan khusus. Aksesnya juga tidak semudah di gedung-gedung lain. Tatkala hampir sampai, Olive meminta Alaric untuk bersembunyi dulu selagi ia mengalihkan perhatian dua orang petugas keam
“Iya, Ayah. Kau tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja di sini. Kemarin Bibi Alwen sudah memberikan kunci rumah yang kau titipkan untukku.” Callista menjepit ponselnya di pundak sembari memasukkan semua barang-barang bawaannya ke dalam tas.Baru saja berangkat ke London tiga hari yang lalu, Robert sudah menelepon Callista lebih dari sepuluh kali hanya untuk menanyakan apakah putrinya ini sudah pulang belum? Sudah makan belum? Atau sudah tidur belum? Ia tak henti-hentinya mengingatkan gadis itu untuk jangan berkeliaran di luar rumah, apalagi sampai larut malam.Samantha yang sudah selesai merapikan meja kerjanya pun mencolek lengan Callista dan memberi kode. “Cale, aku pulang duluan.”Callista mengangguk lalu kembali menjawab pertanyaan ayahnya di telepon. “Baiklah, aku akan selalu ingat pesanmu, Ayah. Sampai nanti. I love you!”Selesai menelepon, Callista pun lekas meraih kunci mobilnya untuk pulang. Ia mematikan lampu ruang kerja timnya kemudian berjalan menuju tempat parkir. Tingg
Sekembalinya di kantor polisi untuk perlindungan sementara, Callista pun memberikan teh hangat dan selimut agar anak itu bisa lebih tenang sebelum diajukan berbagai macam pertanyaan krusial. Ia lantas menghubungi Alaric selagi menunggu. “Halo?” panggil Callista cepat saat pria itu mengangkat panggilannya.“Ya, halo, Nona Cale. Ada apa kau tiba-tiba menghubungiku malam-malam begini?” sahut Alaric. Suaranya terdengar penasaran.“Well, maaf kalau aku mengganggumu. Tapi apakah kau bisa datang ke kantor polisi sekarang?”“Ke kantor polisi? Kenapa?”“Barusan ada percobaan pembunuhan pada anak remaja berumur 14 tahun. Aku sempat melihat wajah pelakunya sekilas. Dan ternyata, dia bukanlah manusia. Dia adalah seorang vampir sepertimu.”“Sungguh?!”“Ya. Aku yakin aku tidak salah lihat,” balasnya dengan intonasi yakin.“Oke, kau tunggu di sana. Aku ke kantor polisi sekarang,” ujar Alaric lalu mengakhiri panggilannya.Selang lima belas menit, pria itu pun betul-betul datang. Ia langsung turun da
Orang itu membuka tudung jubahnya sembari menyeringai. “Apa kabar, dr. Huggins? Kau masih ingat denganku? Sudah lama kita tidak bertemu sejak prosedur autopsi terakhir kali.”dr. Huggins berpegangan pada nakas di belakangnya. Mata merah dan kulit putih pucat kedua makhluk tersebut membuat tungkainya seketika lemas seolah tak bersendi. Salah satu vampir berambut pirang yang bernama Draco itu pun membuka buku kecil—bertuliskan BRITISH PASSPORT—yang sedang dipegangnya tadi. Ia mengambil tiket pesawat yang terselip di sana.ECONOMY CLASSFrom: Edinburgh – ScotlandTo : Bukares – Romania“Wah-wah, coba lihat! Sepertinya kau memiliki rencana liburan ke luar negeri hari ini. Apa kau tidak berniat mengajak kami?”dr. Huggins menggeleng cepat. “T-tidak. Kembalikan ... kembalikan benda itu padaku!”“Seharusnya kalau kau ingin pergi berlibur, kau tinggal katakan saja pada tuanku, dr. Huggins. Dia bisa membelikanmu tiket pesawat business class yang paling mahal dan kami juga akan dengan sangat s
128 Calton Road, Block 4A.Leon menatap secarik kertas yang dipegangnya dengan cermat. Laki-laki itu kemudian berjalan mendekati sebuah rumah bangunan kuno berlantai dua yang berjarak selang beberapa meter di hadapannya. Ia baru saja mendapatkan alamat tempat tinggal dr. Huggins dari Andrew dan memutuskan untuk segera menemui dokter forensik itu. Setelah menganalisis semua arsip yang diberikan oleh Samantha kemarin, Leon semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres, terutama dengan seluruh laporan hasil autopsi yang ada.Menurutnya, laporan itu terkesan cukup tidak masuk akal serta patut dipertanyakan kembali keabsahannya. Semua orang yang bersangkutan harus diperiksa tanpa terkecuali. Dan karena sekarang kasus ini juga sudah menjadi tanggung jawabnya, ia tentu memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.RUMAH INI DIJUAL. SILAKAN HUBUNGI NOMOR PERANTARA DI BAWAH UNTUK MENDAPATKAN INFORMASI LEBIH LANJUT.Leon mengerutkan kening ketika melihat plang bertuliskan FOR SALE
Callista pun menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran kotornya yang berkecamuk.“Nona Cale?” ujar Alaric membuat dirinya terkesiap.“Ugh, ya? Ada apa?”“Kau mau minum wine juga?”“Tidak.”“Lalu kenapa kau terus menatapku seperti itu?”“Aku ... aku tidak menatapmu,” sangkalnya panik. Ia mengerjap beberapa kali sambil mencari alasan. “Tadi aku cuma sedang ... eh ... anu ... gelas wine-mu bagus. Kau beli di mana?”Alaric memiringkan kepala dan menoleh ke gelas yang sedang dipegangnya. “Oh, ini aku memesannya secara khusus. Gelas ini terbuat dari kristal yang diproduksi oleh ahli profesional di Slovakia. Waktu itu aku beli satu buah gelas ini dengan harga sekitar £280 karena termasuk edisi spesial.”“Satu gelas ini harganya £280?!”“Yeah, kau mau beli?”Callista menggeleng cepat. “Sorry, aku tidak ingin menghabiskan uang gajianku hanya untuk sebuah gelas. Lagi pula, memangnya kau tidak mabuk minum wine terus-terusan?”Malvin tiba-tiba malah terbahak. “Tidak ada zamannya Alaric mabu
RINGGG!Suara alarm dari ponsel di atas nakas membuat Callista tersentak kaget mendengarnya. Gadis itu pun mengucek-ngucek mata dan mengerjap beberapa kali. Ia tertegun bingung sewaktu mendapati dirinya sekarang malah berada di atas kasur dengan balutan selimut hangat.“Loh, kenapa aku di sini?” gumamnya keheranan; teringat kalau terakhir kali ia tertidur di kursi meja kerja. Callista celingukan ke sana-kemari dan menemukan ada seseorang yang sedang berdiri di area balkon. Gadis itu cepat-cepat menyibak selimutnya lantas berjalan mendekat.“Alaric …?”Ia pun menoleh ke arah Callista dan tersenyum. “Kau sudah bangun?”“Ya, aku barusan terbangun. Kau sendiri sudah sembuh?” tanyanya seraya kembali memegang kening pria itu—terasa dingin seperti es. “Wow, kelihatannya obatnya bekerja dengan baik.”“Yeah, aku baik-baik saja sekarang. Terima kasih kau tadi sudah mau menolongku, Nona Cale.”Callista mengangguk, tetapi masih ada sedikit kekhawatiran yang terpancar dari matanya. “Kau sedang ap
“Bajingan kikir! Dia pikir nyawa orang bisa dibeli pakai uang?!” Callista menggulung lengan blazernya sembari mengumpat secara terang-terangan. Ia baru saja selesai memaki-maki seorang pria kaya sombong yang ditangkap karena mengendarai mobil ugal-ugalan di jalan. Sebenarnya menegur pelanggar lalu lintas bukanlah tugasnya, tapi gadis itu sudah terlanjur emosi duluan melihat kelakukan tengik pria itu.“Awas saja kalau aku sampai bertemu dia di jalan! Akan kuhajar wajah dungunya itu sampai babak belur!” makinya lagi. Ia menghembuskan napas kasar lalu melirik jam tangannya, sudah pukul lima sore sekarang. Callista pun memutuskan kembali ke ruang kerja timnya lagi untuk beberes. Marah-marah membuatnya jadi malas melanjutkan pekerjaan. Lebih baik sekarang ia pulang, mandi, dan tidur.Tapi sewaktu baru berjalan sekian langkah dari tempat berdiri tadi, ponselnya tahu-tahu berdering. Callista meraba saku celana belakangnya dan sontak menaikkan satu alis begitu melihat siapa yang menelepon.“V
“Maaf, Honey. Saat ini masih belum ada perkembangan yang signifikan lagi. Setelah disuntikan virus yang genetiknya sudah kami rekayasa, orang-orang itu seperti kehilangan kendali atas diri mereka sendiri,” kata Olive ketika Alaric menanyakan tentang keadaan manusia yang digunakan untuk objek eksperimen pada siang hari di rumah sakit.Alaric menghela napas resah. “Aku tidak habis pikir. Sebetulnya apa tujuan Profesor Ignatius melakukan eksperimen ini, dr. Rodriguez? Kau tahu bukan, apa yang kalian lakukan itu sangat tidak manusiawi?”“Ya, aku tahu. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua anggota tim penelitian ini sudah terlanjur menandatangani perjanjian kontrak. Kalau kami melanggar, kami bisa dipecat atau bahkan dipenjara.” Olive menundukkan kepala, sedangkan Alaric menyentuh pelipisnya berpikir.“Apa kalian juga membuat obat untuk menyembuhkan orang-orang yang sudah terinfeksi itu?”“Sudah, tetapi tidak ada yang berhasil. Setiap kami merekayasa genetik virus itu, kami juga
“Malvinnn! Apa kau lihat di mana sepatuku?” Alaric berteriak dari ruang tengah dengan suara lantang. Sejak tadi ia terus sibuk mondar-mandir hanya untuk mencari sepatunya yang hilang. Ini adalah kebiasaan buruknya—menaruh barang sembarangan dan ketika hilang, Malvin lah yang terkena imbasnya.Pagi ini pria itu sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Ia sudah memakai kemeja, dasi, celana panjang, bahkan sampai kaos kaki. Akan tetapi, tinggal satu hal yang kurang, yaitu sepatu. Ia sudah mencari ke mana-mana, namun anehnya tetap tidak ketemu.Di area dapur Malvin yang baru saja ingin menuang teh spontan menyahut, “Tidak tahu! Waktu pulang kerja kemarin kau taruh di mana?”“Aku taruh di sini, tapi kenapa sekarang malah tidak ada?”“Ck! Cari dulu yang benar,” balasnya. “Coba lihat juga di kamar! Barangkali ada di sana.”“Tidak ada …!”“Ya Tuhan!” Malvin pun menutup toples gulanya dan pergi menghampiri Alaric. “Kau ini kebiasaan. Hampir setiap pagi selalu ribut masalah sepatu.”“Ya maa
“Ini kuncinya, Miss. Mobilmu sudah selesai diperbaiki. Kau bisa langsung menggunakannya lagi setelah ini,” kata seorang montir dari bengkel setempat seraya mengembalikan kunci mobil milik Callista.Gadis itu segera meraihnya dan mengucapkan terima kasih. “Thank you, Sir!” imbuhnya, sedangkan montir tersebut membalas dengan murah senyum.Setelah memastikan kendaraannya selesai diperbaiki, Callista dan Leon pun pergi menuju kasir untuk membayar biaya service. Mereka mengantre sebentar sebelum giliran membayar. “Total semuanya jadi £250, Miss. Sudah termasuk potongan 10% karena kau adalah salah satu pelanggan tetap kami.”“Oh, okey. Thank’s a lot.” Ia membuka tasnya dan mengeluarkan dompet. Namun, Leon yang sedang berdiri di sampingnya dengan gerakan cepat berhasil menempelkan kartunya di mesin kasir duluan. Callista sontak melongo, menatap lelaki itu dengan ekspresi terkejut bercampur bingung. “Sersan, aku baru saja ingin membayarnya ....”“Tidak apa-apa. Tagihannya sudah kubayar.”Ia
Drrt ... Drrt ...Langkah kaki Malvin sontak terhenti ketika ia tak sengaja mendengar ada suara ponsel yang bergetar. Pemuda itu refleks merogoh saku celananya dan melihat menu kotak pesan masuk. Ternyata bukan ponsel miliknya yang bergetar. Ia pun memasukkan telepon genggamnya kembali kemudian lanjut berjalan ke arah kulkas, mencari bahan-bahan untuk membuat Hotpot sebagai sarapan pagi.Hotpot merupakan hidangan yang terdiri dari daging, bawang merah, serta irisan kentang yang dipanggang dengan api kecil. Ia sering membuat makanan itu karena mudah dibuat dan juga praktis.Drrt ... Drrt ...Suara ponsel itu terdengar kembali. Malvin pun menutup pintu kulkas dan memutuskan untuk mencari dari mana sumber suara itu berasal. Di atas meja marmer seberang kabinet dapur, terlihat ada sebuah ponsel yang tergeletak begitu saja. Layar ponsel tersebut berkedip-kedip menyala setiap ada pesan yang masuk.—Sersan Leon: “Callista, aku sudah ada di depan rumahmu.”“Callista?” gumam Malvin yang membac