Masih dengan handuk melilit rambut basahnya, sang gadis bergeming menatap kosong dinding pembatas unit di hadapannya. Bak pemanah salah membidik angka. Bak penghubung panggilan dengan jemari terpleset memilih nomer kontak. Bagai peracik masak salah menuang antara garam dan gula.
Begitupula degup dengan janggal bersarang di hati Azelina sedari putus dengan sang mantan. Keliru atau tepatnya saja bahkan gadis pemilik hati ini pun bingung. Dia memang pemilik hati seharusnya tahu menahu. Dia jugalah tokoh utama dari kisahnya sendiri, lantas mengapa juga dirinya menjelma bagai kompas tanpa jarum panah?Pemilik netra teduh mengalahkan keteduhan langit hujan tanpa rintik. Paras ayu dengan potongan dagu kecil dan bulu mata lentik, sangat larut dalam lamunan melalang topik hingga tak sadar suatu hal. Senyuman hangat sebenarnya hendak terlengkung secara spontan di wajah tegasnya. Tetapi kala mengingat potongan kecil, kala dia tak sengaja menguping pembicaraan sang mahasiswiWaktu menampar membawa perubahan tak lagi menit, jam, dan detik lampau, belaian suhu alam telah berubah juga ikut berusaha menyadarkan. Kedinginan malam tak lagi menggerayangi membelai tiap inci kulit. Gelapnya malam terusir setelah mentari terbit. Nyamuk-nyamuk mulai menepi juga. Burung-burung bertengger terlelap telah kembali memulai hari dengan berkicau. Hening jalanan mulai diisi dengan aneka kendaraan. Polusi udara mulai mengepul di angkasa. Polusi suara juga tak kalah memekikkan telinga sekaligus melatih emosi. Mentari telah terbit walau belum menyengat, sinarnya masih aman menyapa tak hingga menembus tulang. Dangkalnya alam mimpi terasa telah seluruhnya diselami oleh nyenyaknya tidur semalam. Mata telah terpejam selama beberapa jam mulai merasa cukup. Salah satu dari penghuni balkon terlebih dahulu menyesuaikan cahaya. Kedua telapak tangannya spontan membekap mulut sendiri. Kala hampir saja hendak menggantikan tugas ayam berkokok dengan memekik t
Bangunan sering identik dengan pintu bercat sama semua, aroma obat menyengat, infus serta temannya alias si jarum bertebaran ke sana kemari menyapa indera penciuman. Gadis ayu yang tengah menjadi bahan misteri, melanjutkan langkahnya setelah helai demi helai rambut menerpa wajah. AC (Air conditioner) menjadi si antagonis tetapi juga protagonis, yang menerpa helaian rambut Azalea.Komunikasi yang merenggang karena ketidak sepahaman, dan sekian lama tak berkomunikasi sejak dirinya pindah ke apartemen tak membuatnya lupa kewajiban. Darah masih mengalir tentulah membuat pemikiran bahwa dia wajib ke rumah sakit. Mengesampingkan ego dan emosi berkecamuk tanpa henti. Bagaimana tak berkecamuk apabila mereka sama-sama tak mengalah dan memenangkan keinginan masing-masing.Dengan wajah masam yang biasa ceria, tatapan teduh tapi kini terkesan bak singa mencari mangsa, serta hati berharap tak terjadi keributan, dia mencari dimana letak lantai rawat inap serta resepsionis. Dia yang belum ke rumah sa
Matahari tak lagi malu-malu menampakkan sinarnya. Pencahayaan masih terkesan remang-remang, lampu kamar yang dibuat gelap gulita serta pencahayaan alami belum ditampakkan seutuhnya. Tirai transparan belum tersibak agar pencahayaan memasuki ruang tidur. Panasnya sinar pagi belum terasa karena pendingin ruangan masih bekerja.Alarm tak bersuara karena keduanya masih lelah sejak kejadian di rumah sakit. Kursi seharusnya di samping meja sudut kamar masih berada di samping ranjang Arion. Selimut masih belum tersibak, guling masih rapi menjadi penghadang keduanya. Ya, keduanya sekasur tapi tenang saja pemikiran Arion bukanlah seperti lelaki hidung belang. Arion masih memiliki akal sehat walau perasaan dan sebatas dejavu berkecamuk berperang diri.Gadis itu membuka mata perlahan lalu mengedip-ngedipkan mata. Dia yang takut gelap hampir saja memekik kala berada di tempat asing dengan penerangan remang-remang. Gadis itu terduduk lemas mencari cara kabur terlebih dahulu, sebuah ingatan tiba-tib
Jalanan tak begitu macet selagi bukan di hari akhir pekan. Melainkan otaklah yang terasa macet karena terisi banyak hal untuk dipikirkan dan dipertimbangkan. Hatinya tak sepanas sang otak yang terasa sesak. Tak terlewatkan absen tiap inci tubuh yang terasa lelah.Setengah inci pun bahkan seluruh tubuhnya sangat lelah. Otak dan hatinya kompak tengah berkecamuk, antara memutar kenangan dan mengingat hal baru bersama Azelina. Dasi telah kendur, lengan kemeja telah dilepas bahkan digulung selengan, jas telah tergantung di belakang membuat penampilan lelaki tersebut terkesan seksi. Ntah terlampau fokus menyetir atau tengah menjadi remaja yang gundah gulana.Tatapan lelaki tersebut terkesan kosong, pikirannya penuh namun terasa kosong. Jemari lelaki itu tak langsung pulang. Lelah sebagai dosen sekaligus sebagai CEO, seharian penuh hingga melewatkan makan siang membuatnya spontan berbelok ke arah kemari. Tenang saja karena Arion tak merasa bila dituntun dan diikuti makhluk halus agar berbelo
Semilir pantai kemarin sore sepertinya membuahkan hasil. Kesesakan di dada seakan dihempas oleh deburan ombak hingga gelapnya malam. Otak yang terasa sempit dengan aneka hal dipikirkan meringan terbawa waktu. Ntah sementara atau selamanya tetapi Arion rasa dirinya sedikit lebih baik.Dia menatap pembatas balkon masih tertutup tirai lalu membukanya. Dia terlebih dahulu menyesap segelas kopi penyemangat hari. Pertanyaan Valko yang terputus tanpa jawaban, sekaligus menjadi kegundahan juga mulai terjawab. Perkataan sang mendiang istri kala berjuang di nafas terakhir, serta percakapan kala di mimpi pun terbesit.'Mas, aku yakin kau tidak hanya dejavu pada gadis itu. Apabila dejavu mengapa sampai kau membela dia.''Kau perlu teman hidup, Mas. Setidaknya barangkali mampu menyembuhkan kesedihan sejak kematianku.''Jangan berlarut-larut dan mulailah dengan gadis itu. Yakinlah gadis itu karena aku mendukung dan menjaga kalian dari atas.''Kau tidak lupa bukan bila aku pernah berkata madulah aku
PesanPak ari-Arion off| Kamu dimana?| Sudah sampai di apartemen?| Sepertinya belum ya.| Jangan pulang kemalaman.| Apakah baik-baik saja?| Kamu dimana? Mau dijemput?| Sebenarnya aku ada kejutan mau kuberikan langsung. Tapi kamu sibuk jadi aku taruh balkon ya? Atau aku simpan dulu nanti ketuk pintu buat ambil.Gadis itu menatap ragu layar handphone-nya tak berhenti menyala dan mati. Dia melirik layar handphone, mengintip siapakah pelaku penimbun notifikasi. Rahangnya jatuh dengan netra terbelalak terkejut, kala membaca nama kontak sang pengirim. Obrolan sang lawan bicara rasanya tak menarik lagi.Dia menatap kosong luar jendela, membaca berulang kali notifikasi. Dia memiringkan kepala lalu mengusap kepala tak gatal. Tidak, dia tidak menerka-nerka akhir dari drama, komik, atau novel dia baca, melainkan heran dengan Arion sejak pria itu mengungkapkan perasaan padanya. Ah, membahas perasaan... Dia juga mulai memiliki perasaan yang sama.Hanya saja ketidakpercayaan diri, malu diperb
"Eh dengar nggak katanya maba akan dididik dosen baru loh?""Iya nih, by the way pada tahu wajah dosennya nggak?""Yah kagak. Tapi kalau dari namanya cakep sih.""Emang siapa dah?""Umur berapa? Paling kayak dosen peyot yang lain.""Heh! Kabarnya awet muda bahkan dijuluki vampire tahu. Namanya Pak Ari kalau nggak salah.""Ya elah Ari mah pasaran. Tukang sayur, daging,bengkel juga banyak namanya Ari.""Yang gue inget itu doang tapi lupa nama lengkapnya gila sih akan keren, ganteng, kece penampilannya gue jamin."Pak Ari-- Begitulah para mahasiswa dan mahasiswi akan memanggilnya. Arion Prakasa atau akrab disapa Ari, pria berusia 43 tahun telah berstatus duda sejak 22 tahun yang lalu dikarenakan kematian sang istri. Yaps, seperti yang para mahasiswi tadi bahas, walau telah menginjak usia 40 ke atas tak membuat keriput menghampirinya. Bahkan penampilan Arion tak sekuno bayangan orang-orang. Dia berpenampilan sesuai jaman. Hal tersebut terbukti dengan dirinya yang baru turun dari mobil be
Tubuh Arion rasanya bak kayu yang digerogoti rayap. Seluruh tubuhnya lelah tanpa terlewat walau seujung kuku bayi baru lahir. Lisan dan otaknya tak berhenti bekerja sejak kerakusan menyandang Arion. Sudah menjadi CEO tetapi dengan gila masih menyetujui penawaran sang sahabat. Dimana penawaran tersebut Ari setujui, berujung pada hari pertama perasaannya dibuat kaku. Paras, postur tubuh, dan nama yang duplikat membuat Arion seketika teringat mendiang belahan hatinya. Otaknya gatal menuntut perihal kejanggalan. Tetapi waktu tak lelah-lelah menjadi konflik kehidupan. Arion menatap cahaya rembulan yang menyerupai netra sang mahasiswi. Tak begitu bersinar tetapi membius Arion. Konon kata orang bila merindukan seseorang, maka tataplah langit malam. Bisa jadi seseorang tersebut menjelma menjadi bintang. Sedangkan kala siang katanya seseorang tersebut bersembunyi di balik gumpalan awan. Arion memutar kenangan dalam benak. Badan yang dipasangi oleh aneka kabel rumah sakit, dada yang disisipk
PesanPak ari-Arion off| Kamu dimana?| Sudah sampai di apartemen?| Sepertinya belum ya.| Jangan pulang kemalaman.| Apakah baik-baik saja?| Kamu dimana? Mau dijemput?| Sebenarnya aku ada kejutan mau kuberikan langsung. Tapi kamu sibuk jadi aku taruh balkon ya? Atau aku simpan dulu nanti ketuk pintu buat ambil.Gadis itu menatap ragu layar handphone-nya tak berhenti menyala dan mati. Dia melirik layar handphone, mengintip siapakah pelaku penimbun notifikasi. Rahangnya jatuh dengan netra terbelalak terkejut, kala membaca nama kontak sang pengirim. Obrolan sang lawan bicara rasanya tak menarik lagi.Dia menatap kosong luar jendela, membaca berulang kali notifikasi. Dia memiringkan kepala lalu mengusap kepala tak gatal. Tidak, dia tidak menerka-nerka akhir dari drama, komik, atau novel dia baca, melainkan heran dengan Arion sejak pria itu mengungkapkan perasaan padanya. Ah, membahas perasaan... Dia juga mulai memiliki perasaan yang sama.Hanya saja ketidakpercayaan diri, malu diperb
Semilir pantai kemarin sore sepertinya membuahkan hasil. Kesesakan di dada seakan dihempas oleh deburan ombak hingga gelapnya malam. Otak yang terasa sempit dengan aneka hal dipikirkan meringan terbawa waktu. Ntah sementara atau selamanya tetapi Arion rasa dirinya sedikit lebih baik.Dia menatap pembatas balkon masih tertutup tirai lalu membukanya. Dia terlebih dahulu menyesap segelas kopi penyemangat hari. Pertanyaan Valko yang terputus tanpa jawaban, sekaligus menjadi kegundahan juga mulai terjawab. Perkataan sang mendiang istri kala berjuang di nafas terakhir, serta percakapan kala di mimpi pun terbesit.'Mas, aku yakin kau tidak hanya dejavu pada gadis itu. Apabila dejavu mengapa sampai kau membela dia.''Kau perlu teman hidup, Mas. Setidaknya barangkali mampu menyembuhkan kesedihan sejak kematianku.''Jangan berlarut-larut dan mulailah dengan gadis itu. Yakinlah gadis itu karena aku mendukung dan menjaga kalian dari atas.''Kau tidak lupa bukan bila aku pernah berkata madulah aku
Jalanan tak begitu macet selagi bukan di hari akhir pekan. Melainkan otaklah yang terasa macet karena terisi banyak hal untuk dipikirkan dan dipertimbangkan. Hatinya tak sepanas sang otak yang terasa sesak. Tak terlewatkan absen tiap inci tubuh yang terasa lelah.Setengah inci pun bahkan seluruh tubuhnya sangat lelah. Otak dan hatinya kompak tengah berkecamuk, antara memutar kenangan dan mengingat hal baru bersama Azelina. Dasi telah kendur, lengan kemeja telah dilepas bahkan digulung selengan, jas telah tergantung di belakang membuat penampilan lelaki tersebut terkesan seksi. Ntah terlampau fokus menyetir atau tengah menjadi remaja yang gundah gulana.Tatapan lelaki tersebut terkesan kosong, pikirannya penuh namun terasa kosong. Jemari lelaki itu tak langsung pulang. Lelah sebagai dosen sekaligus sebagai CEO, seharian penuh hingga melewatkan makan siang membuatnya spontan berbelok ke arah kemari. Tenang saja karena Arion tak merasa bila dituntun dan diikuti makhluk halus agar berbelo
Matahari tak lagi malu-malu menampakkan sinarnya. Pencahayaan masih terkesan remang-remang, lampu kamar yang dibuat gelap gulita serta pencahayaan alami belum ditampakkan seutuhnya. Tirai transparan belum tersibak agar pencahayaan memasuki ruang tidur. Panasnya sinar pagi belum terasa karena pendingin ruangan masih bekerja.Alarm tak bersuara karena keduanya masih lelah sejak kejadian di rumah sakit. Kursi seharusnya di samping meja sudut kamar masih berada di samping ranjang Arion. Selimut masih belum tersibak, guling masih rapi menjadi penghadang keduanya. Ya, keduanya sekasur tapi tenang saja pemikiran Arion bukanlah seperti lelaki hidung belang. Arion masih memiliki akal sehat walau perasaan dan sebatas dejavu berkecamuk berperang diri.Gadis itu membuka mata perlahan lalu mengedip-ngedipkan mata. Dia yang takut gelap hampir saja memekik kala berada di tempat asing dengan penerangan remang-remang. Gadis itu terduduk lemas mencari cara kabur terlebih dahulu, sebuah ingatan tiba-tib
Bangunan sering identik dengan pintu bercat sama semua, aroma obat menyengat, infus serta temannya alias si jarum bertebaran ke sana kemari menyapa indera penciuman. Gadis ayu yang tengah menjadi bahan misteri, melanjutkan langkahnya setelah helai demi helai rambut menerpa wajah. AC (Air conditioner) menjadi si antagonis tetapi juga protagonis, yang menerpa helaian rambut Azalea.Komunikasi yang merenggang karena ketidak sepahaman, dan sekian lama tak berkomunikasi sejak dirinya pindah ke apartemen tak membuatnya lupa kewajiban. Darah masih mengalir tentulah membuat pemikiran bahwa dia wajib ke rumah sakit. Mengesampingkan ego dan emosi berkecamuk tanpa henti. Bagaimana tak berkecamuk apabila mereka sama-sama tak mengalah dan memenangkan keinginan masing-masing.Dengan wajah masam yang biasa ceria, tatapan teduh tapi kini terkesan bak singa mencari mangsa, serta hati berharap tak terjadi keributan, dia mencari dimana letak lantai rawat inap serta resepsionis. Dia yang belum ke rumah sa
Waktu menampar membawa perubahan tak lagi menit, jam, dan detik lampau, belaian suhu alam telah berubah juga ikut berusaha menyadarkan. Kedinginan malam tak lagi menggerayangi membelai tiap inci kulit. Gelapnya malam terusir setelah mentari terbit. Nyamuk-nyamuk mulai menepi juga. Burung-burung bertengger terlelap telah kembali memulai hari dengan berkicau. Hening jalanan mulai diisi dengan aneka kendaraan. Polusi udara mulai mengepul di angkasa. Polusi suara juga tak kalah memekikkan telinga sekaligus melatih emosi. Mentari telah terbit walau belum menyengat, sinarnya masih aman menyapa tak hingga menembus tulang. Dangkalnya alam mimpi terasa telah seluruhnya diselami oleh nyenyaknya tidur semalam. Mata telah terpejam selama beberapa jam mulai merasa cukup. Salah satu dari penghuni balkon terlebih dahulu menyesuaikan cahaya. Kedua telapak tangannya spontan membekap mulut sendiri. Kala hampir saja hendak menggantikan tugas ayam berkokok dengan memekik t
Masih dengan handuk melilit rambut basahnya, sang gadis bergeming menatap kosong dinding pembatas unit di hadapannya. Bak pemanah salah membidik angka. Bak penghubung panggilan dengan jemari terpleset memilih nomer kontak. Bagai peracik masak salah menuang antara garam dan gula.Begitupula degup dengan janggal bersarang di hati Azelina sedari putus dengan sang mantan. Keliru atau tepatnya saja bahkan gadis pemilik hati ini pun bingung. Dia memang pemilik hati seharusnya tahu menahu. Dia jugalah tokoh utama dari kisahnya sendiri, lantas mengapa juga dirinya menjelma bagai kompas tanpa jarum panah? Pemilik netra teduh mengalahkan keteduhan langit hujan tanpa rintik. Paras ayu dengan potongan dagu kecil dan bulu mata lentik, sangat larut dalam lamunan melalang topik hingga tak sadar suatu hal. Senyuman hangat sebenarnya hendak terlengkung secara spontan di wajah tegasnya. Tetapi kala mengingat potongan kecil, kala dia tak sengaja menguping pembicaraan sang mahasiswi
Gelapnya malam mulai berubah menjadi orange berpadu langit biru. Bukan karena egois atau diculik, melainkan birunya langit belum secerah pukul delapan pagi. Terik mentari belum menyengat. Bahkan layaknya menggoreng dengan minyak panas, sang mentari masih malu-malu di sebelah timur. Dia masih mengintip kecil dan merangkak perlahan ke angkasa. Jam masih menunjukkan pukul lima dini hari. Mentari masih malu-malu menampakkan kilauan menyengatnya. Aspal jalanan masih hening tanpa bercak debu terjatuh. Heningnya kemacetan padat merayap kendaraan juga masih sangat hening.Gelungan selimut masih membungkus hangat. Alam mimpi masih terasa jauh untuk diselami ke garis finish. Liur membentuk pulau pribadi pun masih sibuk dibentuk. Tetapi berbeda dengan Azelina telah tiba di depan pagar universitas."Ini Pak, kembaliannya ambil aja buat sarapan.""Tapi Neng, ini lebih 50 ribu.""Udah Pak, buat makan, minum, rokok, dan jajan. Terima kasih, Pak."
Tegang keseharian mengalahkan tegangan listrik. Kepadatan pada suatu tempat memang mampu dengan mudah berganti tempat lalu melupakan. Tetapi ini mengenai ruang pada suatu wadah, melainkan padatnya kehidupan. Padatnya interaksi dengan dosen dan mahasiswa-mahasiswi di kampus, seakan-akan tak ingin mengalahkan jadwal padat kantor. Matahari telah kian menyembunyikan cahayanya. Kegelapan kian berselimut tebal. Angin terasa bak senjata tajam membelai indera perasa, lalu menusuk hingga ke tulang. Tak hingga mengeluarkan cairan merah ataupun tanda memang, tetapi ngilu dan nyeri membuat mulut mengadu.Sayang seribu sayang bukan aduan dibalas penenang bak candu dari yang terkasih. Melainkan angin merasa kesallah membalas aduan. Terasa bak pusaran puting beliung tak terlihat, angin kian kencang terasa hendak menerpa tubuh. Perubahan cuaca dadakan tanpa melihat perkiraan cuaca, membuat Arion bergidik setiba di unit apartemennya.Sayang seribu sayang kembali dilambungkan. Bukan dekapan dari sepa