Sudah hampir 30 menit Anya menunggu kedatangan orang tua Jesi. Namun mama gadis cilik itu tak kunjung menjemput putrinya ke bagian penyiaran. Sepertinya ada yang aneh dari menghilangnya wanita itu. Perginya seakan disengaja.Untunglah gadis itu tak lagi menangis. Anak-anaknya bisa menghiburnya, terutama Josephin. Pada situasi seperti ini, pikiran buruk Anya tentang Josephin yang akan menjadi playboy ulung pun sirna. Sisi kemanusiannya lebih mendominasi dibandingkan pikirannya.“Anak itu nggak mungkin sengaja dibuang Mamanya kan, Sur?” tanya Anya, berhati-hati. Tempat mereka duduk dan ketiga anak-anak bermain tak terlalu jauh, jadi jangan sampai Jesi mendengarnya.“Masa setega itu, Mbak?!”Anya mengedikkan bahunya— itu hanya pemikiran terburuknya saja.Zaman sekarang, tak ada yang tidak mungkin. Ada banyak ibu yang dengan teganya melenyapkan darah daging sendiri. Entah itu disebabkan oleh desakan ekonomi, atau memang karena sosoknya saja yang tidak bertanggung jawab.Miris memang, pa
“Ssstt!” Anya mendesis rendah dengan telunjuk yang dirinya letakkan pada bibirnya. Wanita itu bergerak dengan sangat hati-hati untuk menuruni ranjang. Berharap anak-anak tidak terjaga, terutama Jesika yang semalaman ini terus saja menangis karena merindukan mama terkutuknya.“Ada Ibu sama Bapak,” bisik Kamarudin usai mencium kening sang istri. Tidak hanya kedua orang tuanya, pihak kepolisian pun telah datang, membawakan informasi pencarian mama Jesika.Anya pun mengangguk dan keduanya lalu melangkahkan kaki beriringan.“Sayang, sebenernya ada apa? Kenapa polisi dateng ke rumah malem-malem begini?”Miranti yakin sebab kedatangan pihak berwajib tak berkenaan dengan putra pertamanya. Masalah yang menyangkut Kalingga telah terselesaikan.“Kamu nggak kenapa-napa kan, Anya?”“Anya baik-baik aja, Bu. Nggak ada apa-apa kok. Ibu nggak usah khawatir.” Jawab Anya dengan senyuman dibibirnya.Anya sungguh berterima kasih karena dirinya mempunyai ibu mertua yang baik dan perhatian. Ia selalu saja d
“Babe, anak-anak.”Anya menerima ponsel Kamarudin. Sebisa mungkin dirinya menarik garis senyum bibirnya. “Hai, sayang-sayangnya Mama. Kalian ada dimana sekarang?”‘Yumah.’“Rumah Oma ya?”Sebelum bertolak ke pemakaman, Anya menitipkan Josephin dan Kamasea pada ketiga orang tuanya. Ia memperbolehkan sang mama jika wanita itu berniat membawa anak-anaknya pulang ke rumah mereka. Si kembar mungkin bisa melupakan keterkejutan yang terjadi di kediamanan mereka pagi ini dengan bermain bersama Tasya.‘Utan. Yumah endiyi. Mama apan uyang?’ tanya Josephin. Anak itu bergerak maju, mendekatkan wajahnya pada layar ponsel.“Eum, Mama belum tau.. Jo sama Sea kalau bosen, boleh kok main ke rumah Tasya. Kalau urusan Mama udah selesai, nanti Mama jemput.”Anya melihat Josephin menggelengkan kepalanya.‘Jo ma Ceya ungguyin Eci. Anti Eci angis agi lo dak da emennya.’‘Iya, Mama! Ceya uga! Mama epet uyang awa Eci ya!’Ah, anak-anaknya telah mengenal apa itu yang dinamakan simpati. Betapa terpujinya sikap
“Berkas apa ini?” tanya Kalingga ketika Miranti meletakkan beberapa lembar kertas ke pangkuannya.“Tagihan renovasi rumah yang kamu hancurin.”“Pff!” Anya membekap mulutnya. Hampir saja ibu si kembar itu keceplosan tertawa karena melihat wajah shock kakak iparnya. “Reflek, Mas. Maaf.”“Mas baru nyampe belom ada satu jam loh, Bu.”“Ya kan Ibu nggak minta ganti sekarang, Mas. Ibu cuman ngasih datanya aja. Takut kelupaan.” Balas Miranti, berdalih. Nyatanya ia memang sengaja memberikan invoice untuk menyambut kepulangan anak pertamanya.“Ibu milih tukang yang sat-set-sat-set biar pas kamu pulang, kamu nggak keinget sama kebodohan kamu, Mas.”“Masyok, Bu Hasan!” Pekik Anya, semakin memeriahkan sindiran ibu mertuanya.Flora pun terkikik. Wanita itu sama sekali tak tersinggung dan menganggap perilaku Miranti sebagai tindakan yang tidak menyenangkan. Ibu mertuanya terkadang memang suka usil.“Hon, kamu bukannya bantuin, Mas.”“Ya kan maksud Ibu, baik, Mas. Siapa tau aja Mas ada trauma.” Ucap
“Hallo, Kesayangannya Papa. Papa bawa sesuatu loh..” Kamarudin menggoyangkan paper bag ditangannya. “Papaaa!!” dan seperti biasa, Kamasea menjadi sosok pertama yang berlarian untuk menghamburkan dirinya dipelukan Kamarudin. “Papa eyi pa yoh?” tanya Kamasea, penasaran dengan apa yang papanya beli. “Papa coklat.” “Yeeee, okyat!! Bwang Papa eyi okyat!” “Acih, Papa.” Ucap Josephin, berterima kasih. Melihat Jesika tak menghampirinya, Kamarudin pun melambaikan tangannya. “Jesi, sini, Sayang! Om juga beliin buat Jesi loh.” tuturnya, lembut. Baik Anya mau pun Kamarudin, mereka tak membeda-bedakan perlakuan terhadap Jesika. Mereka sepakat untuk merawat Jesika selayaknya anak kandung. Keduanya-lah yang membawa Jesika masuk ke dalam keluarga, jadi mereka akan bertanggung jawab penuh, membuat Jesika juga merasa menjadi bagian dari keluarga Hasan yang sesungguhnya. “Peluk Omnya gih, biar dapet coklatnya banyak.” Anya mendorong pelan tubuh Jesika, menyalurkan keberanian agar Jesika berperilak
Kamarudin menutup matanya saat sebatang coklat melayang mengenai perutnya. Ia terlalu bersemangat dalam mengkritisi ucapan sang istri, sampai melupakan keberadaan Kamasea didekatnya. “Sea, Sayang..” “Ceya enciy, Papa! Papa dak tayang Ceya agi!” “Sayang, Nak, maksud Papa bukan begitu.” Josephin merentangkan tangannya, begitu juga dengan Jesika. Kedua anak itu terlihat menghalangi Kamarudin yang hendak mendekati adik mereka. “Auh-auh aliy Ceya!” Sentak Josephin. Tatapannya tajam seolah tengah memberitahukan jika dirinya sangat marah saat ini. “Sea, kita ke kamar yuk. Sea main aja sama Jesi ya..” Jesika menggandeng tangan kecil Kamasea. “Jo, ayo!” Ajaknya pada Josephin. “Papa, hahat!” Tekan Josephin sebelum angkat kaki, meninggalkan Kamarudin yang terpaku ditempatnya. “Hayoloh, Din! Kamu sih ngomongnya sembarangan, nggak liat-liat dulu. Jadi dibenci sama anak-anak kan, kamu.” Kamarudin mengacak rambutnya. “Babe, this happened because of you! ” Ucap Kamarudin, lirih. Jika bukan ka
“Mati gue!”Anya terus menggigit jari telunjuknya. Wanita itu berjalan mondar-mandir, persis seperti sebuah setrika yang sedang digunakan.“Uang bulanan, bonus tahunan..” Anya mencoba menebak-nebak hukuman apa yang akan Kamarudin berikan kepadanya. Biasanya ketika Anya membuat masalah, Kamarudin akan memotong anggaran dan bonus-bonusnya. Lebih ekstrimnya…Anya membekap mulutnya. “Jangan-jangan gue diceraiin gara-gara ini!” Ucapnya dengan bola mata membulat.“Gosh! Gue kan cuman pengen seru-seruan biar rame..”“BABEE!!”Teriakan Kamarudin membuat tubuh Anya tersentak. Sudah dimulai. Sebentar lagi Kamarudin akan memburunya.Brak! Brak!Gedoran pada pintu kamar membuat Anya semakin dilanda kepanikan.“Argh! Gue harus kabur, tapi gimana caranya?”Tidak ada jalan keluar selain melewati pintu yang dirinya kunci dari dalam. Jika ia membukanya, itu berarti seperti menyerahkan diri tanpa perlawanan.“Open the door, Babe!”“No way!” balas Anya meski tahu Kamarudin tidak akan bisa mendengar suar
“Salim ke Nenek, Kakek sama Tante Shafa dulu.”Ketiga anak Kamarudin melaksanakan perintah sang papa. Diawali oleh Jesika yang paling tua, ketiganya mencium tangan kakek, nenek dan tantenya.“Kamu ngancurin angan-angannya Ibu, Kam. Dasar pemberi harapan palsu!” Sergah Miranti yang tidak digubris oleh Kamarudin. Putra ke-2 Miranti itu meraih pundak anak-anaknya, lalu mengajak mereka pulang. Keempatnya pun berjalan bergandengan.“Papa, Ceya dak adi abul?”Kamarudin menghentikan langkah kakinya. Tindakan itu kontak membuat ketiga anaknya ikut berhenti.“Sea kan punya rumah, jadi nggak usah kabur ya? Nanti kalau rumahnya Sea diambil sama orang gimana?”“Alow Ceya abul, yumah di-mbil oyang?”Kamarudin mengangguk, mengiyakan. “Nggak cuman rumahnya aja, tapi Papa, Mama, Mbak Surti..”“Bok Atcih?” Seloroh Kamasea menyebutkan nama terakhir yang akan Kamarudin sebut. Mbok Asih merupakan orang yang sama pentingnya dengan Surti. Keduanya bukan sekedar pekerja, lebih dari itu, mereka sudah seperti
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik