POV Devano
Ya Tuhan, ada-ada saja dengan mahasiswiku satu itu. Sudah sore begini dia memintaku untuk ke kampus lagi, hanya untuk membawakan pembalutnya yang tanpa sengaja ada di dalam tas Arjun.Memang jarak dari kampus dan rumahku tidaklah jauh. Aku juga biasa bersepeda ke sana. Namun sangat aneh rasanya ke kampus untuk urusan tidak penting seperti itu. Lebih baik aku abaikan saja. Urusanku di rumah ini masih banyak. Mengoreksi, membuat soal, membuat kisi-kisi ujian, memasukkan nilai. Semua itu membuat kepalaku hampir saja pecah. Ditambah lagi Arjun yang sudah semakin aktif berkeliling di dalam rumah. Pasti aku harus lebih memperhatikannya lagi.PRAK! Aku terlonjak kaget saat mulai memasukkan satu suap nasi ke dalam mulutku. Suara benda jatuh dari dalam kamar membuatku langsung berlari menuju kamar. Aku takut sekali Arjun jatuh dari tempat tidur. Telepon yang kembali berdering pun kuabaikan. Fokusku kini melihat keadaan balita itu yang ternyata baik-baik saja. Ia hanya melemparkan botol susu yang masih ada isinya dari ranjang, hingga jatuh, lalu membasahi lantai kamar. “Inspektur, diam di situ! Papa mau ambil lap. Oke!” ya ampun, betapa geli hati ini mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulutku. Arjun yang biasa aku panggil jagoan, kenapa tiba-tiba menjadi kupanggil Arjun? Semua gara-gara mahasiswi yang sangat mengesalkan itu. Kain butut yang biasa digunakan bibik untuk mengeringkan lantai yang basah, ternyata sedang dijemur di belakang. Dengan berlari terbirit-birit aku mengambilnya, lalu membawannya kembali ke kamar. Kuangkat Arjun, lalu menaruhnya di atas karpet. Kukeringkan lantai basah sampai benar-benar kering. Kubersihkan lagi dengan kain pel yang diberi cairan pembersih, agar lantai kamar tidak lengket dan berbau anyir tumpahan susu. Kini, setelah semua rapi, aku pun melanjutkan makan soreku yang sempat tertunda karena Arjun.Dering ponsel yang pelan kembali mengusik waktu makanku. Dengan malas kupastikan siapa penelepon itu, ternyata masih dari mahasiswiku yang bertingkah sangat konyol. Kenapa dia tidak minta tolong pada teman di kelasnya saja? Kenapa harus padaku? Langit pun akhirnya gelap. Arjun menemaniku menonton televisi. Tepatnya acara komedi yang menampilkan lawakan khas Indonesia. Walau aku rasa terkadang mereka tidak real lucu, tetapi memaksakan lucu. Biarlah, tak apa. Aku harus banyak menonton acara hiburan seperti ini, kata teman-temam di selku waktu itu. Hidupku dulu terlalu kaku dan monoton. Tak pernah senyum ataupun tertawa. Sehingga aku harus banyak menonton acara hiburan seperti ini. Ingin sekali aku mematikan ponsel, tetapi aku sedang menunggu pesan dari anak gadis cantikku yang saat ini tengah hamil muda. Aku merindukan Amira. Lagi-lagi dering itu memanggil. Benda pipih berwarna hitam itu kuambil dari atas meja untuk melihat siapa peneleponnya. Mataku terbelalak sempurna, saat nama ‘cewek rusuh’ muncul di sana. Mau apa dia menelponku sudah malam seperti ini? [“Halo, ada apa?”] [“Pak, hiks … saya Andini, buka Refa.”] aku mengepalkan tangan, sambil berharap darah tinggiku tidak kambuh. [“Iya, Andini. Ada apa?!”] aku sengaja berteriak di depan ponsel. [“Pak, gelap.”] [“Iya, gelap. Namanya juga sudah malam.”] [“Oh, Bapak lagi makan ayam.”] [“Saya pengennya makan beling aja kalau bisa.”] kataku lagi sambil menggertakkan gigi. Ingin sekali kulemparkan ponsel ini gara-gara Andini. [“Enak Bapak mah, saya masih di WC kampus, Pak. Gak bisa keluar.”] [“Hah? Apa?!”] Semua orang tahu, bahwa Devano bukanlah orang yang rendah hati, tetapi aku tak tega juga dengan mahasiswi yang seharian ini sudah membuatku migren, sekaligus naik darah. Bagaimana bisa sudah jam delapan malam dan dia masih di WC kampus? Ya Tuhan, ada-ada saja. Sambil menggendong Arjun di depan dada. Aku mengendarai sepeda dengan kecepatan penuh. Jangan sampai gadis itu pingsan masuk angin kelamaan di dalam kamar mandi, ataupun diganggu oleh jin kampus. Sungguh sial, ponselnya sudah tidak aktif. Katanya lowbatt dan bodohnya aku lagi, tidak bertanya dulu dia ada di WC kampus apa? B, C, atau D. Alhasil, semua toilet kamar mandi di kampus aku masuki dan tak menemukan siapapun di sana. Lalu-lalang mahasiswa juga sudah nampak lengang. Apakah karena ini malam jum’at? Bulu tanganku merinding. Jujur aku sedikit takut, tetapi sepertinya Arjun baik-baik saja. Ia akan tertawa cekikikan saat aku berlari kencang ke sana-kemari. Keringatku sudah bercucuran. Bajuku basah, napasku juga sesak karena kelelahan. Namanya juga sudah tua. Usia empat puluh lima dan jarang berolah raga, pada saat diajak berlari, pastilah napasnya sesak. Tinggal satu toilet lagi yang belum aku masuki. Ini harapan terakhirku. Jika gadis itu tak ada di dalam sana, maka aku mau pulang saja. Masa bodoh dia mau tidur di dalam sana. Tunggu! Dia tidak sedang mengerjaiku’kan? “Andini! Andini!” seruku memanggil namanya dengan suara keras. “Bapak, saya di sini,” jawabnya dari bilik toilet yang paling ujung. Bahuku melemah, diikuti hembusan napas kelegaan. Aku bersukur dia ada di sana dan aku sedang tidak dikerjai olehnya. “Bapak, ya ampun saya kirain Bapak gak mau nolongin saya. Terima kasih, Pak. Mana pembalut saya, Pak? Lewat sini aja kasiinnya!” Tangan gadis itu muncul dari kolong pintu kamar mandi. “Eh, pembalut? Ya ampun, kenapa saya lupa bawanya?” “Apa? Lupa? Trus Bapak ke sini mau ngapain, kalau gak bawa pembalut? Pokoknya Bapak harus tanggung jawab. Belikan saya pembalut di depan kampus!” “I-iya, tunggu ya.” Aku kembali berlari keluar dari toilet itu dengan mata berkaca-kaca. Besok, aku mau mengundurkan diri saja jadi dosen. Sungguh takkan sanggup jiwa ragaku memiliki mahasiswi seperti Andini.BersambungPOV DevanoKukayuh sepeda dengan kecepatan kilat. Untunglah keadaan kampus sudah sepi, sehingga saat aku mengebut seperti ini tak ada mahasiswa yang memperhatikan. Hanya ada satpam kampus yang menyapaku karena melihatku terlalu tergesa. Sapaan itu hanya kujawab dengan anggukan dan senyuman tipis. Arjun yang masih setia berada di dalam gendonganku tentu saja sangat senang dengan kelakuan konyolku mala mini. Ditambah lagi angina malam yang hari ini tidak terlalu kencang, tetapi tetap menyejukkan, membuat Arjun tertawa-tawa senang.Mataku melihat aneka barang dagangan yang ada di warung besar depan kampus. Ada beberapa mahasiswa juga yang nampak duduk di meja panjang yang disediakan oleh pemilik warung. Sepertinya mereka sedang menumpang wifi untuk mengerjakan tugas.“Mau beli apa, Pak?” tanya penjaga warung—wanita bertubuh kurus tinggi.“Beli apa ya? Duh, kok saya lupa,” gumamku sambnil menggaruk kepala. Otakku benar-benar tak bisa diajak kerja sama disaat genting seperti ini.“Pa
POV Devano"Rumah kamu di mana?" tanyaku pada Andini, saat kami sedang menunggu taksi online di depan gerbang kampus. Wanita itu yang memesannya langsung dari ponselnya. Aku tak tahu menahu dan dia juga tidak memberitahu apapun."Di rumah ibu saya, Pak. Saya kan single, jadi belum ada rumah," jawabnya sambil tersenyum tak sedap. Ya, tak sedap menurutku karena aku bertanya apa, dia menjawab layaknya anak TK. Malah, anak TK bisa menjawab dengan benar."Iya, saya tahu kamu tinggal di rumah Ibu kamu. Gak mungkin kamu tinggal di rumah saya'kan? Maksud ....""Emang boleh tinggal sama, Bapak?" tanyanya balik memotong ucapanku dengan polosnya. Sudahlah, lebih baik aku tidak perlu bertanya apapun lagi, jika ingin usiaku lebih panjang. Buat para pembaca yang ingin segera mengakhiri hidup, aku sarankan banyaklah berbincang dengan Andini. Tak lama kemudian, taksi tiba untuk menjemput kami. Aku duduk di depan bersama Arjun yang berada dalam gendonganku, lalu Andini duduk di belakang. Tak ada perc
POV DevanoHari yang sungguh melelahkan. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan aku baru bisa berbaring di ranjang kuno empuk, tempat biasa aku melepaskan lelah. Arjun sudah terlelap setelah menyusu satu botol dan bermain sebentar denganku.Jika kupikirkan lagi, betapa hari ini aku berlakon bukan seperti diriku. Ke sana-kemari hanya untuk mahasiswi yang membuatku kesal setiap masuk ke dalam kelasnya. Sepanjang usia, baru malam inilah aku pergi ke warung untuk membeli pembalut untuk seorang wanita yang bukan siapa-siapa. Seandainya aku adalah pemilik kampus, pasti mahasiswi seperti Andini tidak akan aku loloskan masuk kampus, karena pasti akan mengakibatkan gagal jantung para dosen dan teman-temannya.Kembali kuteringat akan parasnya. Gadis itu benar-benar seperti pernah kulihat, tapi di mana? Tak mungkin dia anak mantanku, atau anak saudara. Berkali-kali aku coba mengingat di mana pernah melihatnya, tetapi tak juga ketemu. Mungkin aku memang benar-benar tak pernah bertemu denga
POV DevanoAku merasa sangat beruntung bisa mengajar di fakultas ekonomi milik Opa Wijaya ini. Selain aku mengenal banyak staf yang tadinya pernah bekerja denganku, aku juga merasa nyaman dan diberi sedikit kelonggaran perihal Arjun yang ikut ke kampus bersamaku.Walau bayarannya tidak banyak, tetapi cukup bagiku yang saat ini masih sendiri, serta lingkungan yang cukup nyaman bagiku.Hari ini sungguh padat. Sedari pagi punggungku belum benar-benar bisa bersandar di kursi dan selera makanku menjadi buruk. Pagi tadi, aku hanya memasukkan sepotong roti bakar ke dalam mulut, dan minum segelas teh jahe. Sekarang, disaat jam sudah menunjukkan pukul sebelas, cacing di dalam perutku pun meronta minta diisi kembali.Aku masih berada di kelas D anak semester dua. Tersisa dua puluh menit lagi jam baru akan usai. Mau tidak mau, sabar tidak sabar, aku harus bersabar menunggu, sambil terus mengajak Arjun bermain. Balita itu duduk nyaman di atas meja dosen sambil memainkan mainan bunyi-bunyian.Tok
POV AndiniAku sudah bersiap sejak sore hari. Kebetulan sekali, pukul satu siang jam perkuliahanku selesai, sehingga aku bisa lebih awal pulang ke rumah. Sempat berpapasan dengan Pak Dev saat di gerbang kampus, tetapi sepertinya beliau tidak menyadari senyum yang aku lemparkan padanya. Menunggu jemputan dari Dimas sungguh membuatku berdebar. Lelaki itu adalah kakak kelasku saat SMA. Sering mengirimkan pesan dan juga salam, tetapi kami tidak juga jadian. Karena saat itu Kak Dimas sudah memiliki pacar yang satu kelas dengannya. Pertemuan kembali seminggu yang lalu, saat acara sekolah, membuat Kak Dimas kembali mengirimiku pesan. Dari yang aku tahu, dia sedang skripsi dan malah sudah bekerja. Paling tidak, jika nanti kami jadian, aku pasti merasa bangga padanya, karena pacarku mempunyai pekerjaan yang layak, walau usianya masih muda dan pastinya berbeda dengan Aleta dan Andrea yang memiliki pacar tajir karena harta orang tuanya. Aku terus saja tersenyum sambil memandang keluar rumah da
POV Devano"Jadi, itu pacar kamu?" tanyaku pada Andini yang masih saja meringis meraba kepalanya."Bukan, Pak. Baru diajak makan doang. Saya berharap dia menyatakan perasaannya, tapi malah sudah punya pacar," omelnya dengan wajah sebal. Aku tak ingin menanggapi terlalu berlebihan, tetapi jujur anak jaman sekarang pada nekat dan berani, bahkan di tempat umum. "Untung Bapak jadi Spiderman saya hari ini, kalau tidak, bisa botak saya dijambak wanita itu," tambahnya lagi sambil melirik keluar restoran. Jelas sekali wajahnya kecewa dan sedih, tetapi ia menutupinya. Ada satu yang cukup membuatku heran, kenapa malam Minggu seperti ini, dia dapat berkomunikasi dengan baik? Biasanya, kepalaku pasti berasap saat berbincang dengannya."Sini, saya pangku Arjun!" pintanya sembari memberikan kedua tangannya. Aku pun berdiri untuk memberikan bayi gemas ini untuk dipangku oleh Andini."Eh ... Saya bukan mau pangku Bapak. Itu loh, Inspektur," ujarnya lagi dengan gugup. Seketika perasaanku mulai tidak
POV Devano["Ish, cuma mahasiswa biasa, Sayang."]["Ayah kok gitu? Siapa tahu dari mahasiswa biasa jadi luar biasa. Ayolah, Ayah pokoknya harus punya istri!"]Perbincangan kami selalu seru dan memakan waktu yang panjang. Aku bahkan tak menyadari Arjun tertidur di pundakku dan Andini sudah kembali dari toilet dan bersabar menungguku di meja. Setelah mengucapkan salam, Amira pun menutup teleponnya. Aku kembali berjalan mendekati meja yang sudah tersedia aneka makanan di atasnya. "Kamu gak pesan makanan? Pesan saja, nanti saya yang bayar," kataku pada Andini. Wanita itu mengangkat wajah, lalu kulihat ada air mata yang menganak sungai membasahi kedua pipinya."Loh, kamu kenapa?" tanyaku sedikit panik. Aki menarik kursi untuk duduk di sebelahnya. "Lihatlah, Pak. Ini foto yang dibagikan dua saudara kembar saya. Ada yang dikasih hadiah boneka besar sama pacarnya. Ada yang diajak dinner romantis di sebuah restoran mewah. Ya Allah, saya malah malam minggunya dijambak Mak Lampir. Sungguh beru
Aku sangat terkejut dengan info orang hilang yang dibagikan salah satu saudara Andini. Ada rasa khawatir menggelayut, saat tahu bahwa gadis itu tidak pulang ke rumah sejak semalam. Apalagi aku orang yang terakhir bertemu dengannya. Apa ini ada kaitannya dengan lelaki semalam yang kami temui di restoran? Karena setelah dengannya, wajah Andini muram dan buru-buru mengajakku untuk keluar dari restoran. Sekarang apa yang harus aku lakukan, aku tidak tahu. Dengan jari gemetar, aku mengetik pesan inbox untuk saudara Andini lewat pesan f******k. Tidak, sepertinya aku harus segera ke rumah mahasiswiku itu untuk memberi penjelasan pada keluarganya. Bubur ayam yang tadinya sudah ada dalam tenggorokanku mendadak tidak bisa kutelan. Rasa khawatir pada gadis itu lebih besar mengalahkan rasa laparku saat ini. Semoga tidak ada kejadian buruk yang menimpanya saat ini. “Mang, berapa?” tanyaku pada penjual bubur. Lelaki itu memandangku aneh, lalu menoleh pada mangkukku yang masih penuh. “Buburnya t
Seorang Devano ternyata menunaikan janjinya untuk memberikan pesta pernikahan terbaik untuk Andini. Berlangsung di sebuah ballroom hotel mewah, pesta meriah itu diadakan. Semua setting tempat dan acara, diserahkan Devano pada salah satu teman yang dia percaya, yaitu Emir dan Aminarsih. Dua orang itulah yang membantunya mewujudkan mimpi Andini yang menginginkan pesta pernikahan seperti Tuan Putri di Negeri Dongeng.Pakaian pengantin super mewah dengan pernah pernik mengkilap menempel pada kain tile renda premium yang dibuat oleh perancang kenamaan. Semua disesuaikan dengan perut Andini yang semakin membesar di usia kehamilan menginjak delapan bulan. Tidak ada akad sebelumnya, karena memang mereka sudah menikah secara agama. Pesta langsung semarak dengan mengundang para tamu yang juga berkelas. Jangan lupakan Devano dahulu siapa? Semua relasi bisnis dia hubungi. Bukan karena ingin mengambil keuntungan dari pestanya, tetapi lebih karena semua relasi yang ia undang mengetahui bahwa dia s
Andini duduk di samping Devano. Kondisi suaminya sudah jauh lebih baik. Walau masih belum membuka mata, tetapi sudah ada pergerakan dari anggota jari tangan. Sesekali pria itu juga bergumam dan mengigau tidak jelas. Andini meminta ijin pada dokter untuk mendampingi suaminya. Anton dan Parmi juga membantu meyakinkan dokter, bahwa Devano pasti bisa sadar, dengan kehadiran sang istri di sampingnya.Andini menggenggam jemari suaminya yang sedari tadi bergerak, tetapi hanya sebatas itu saja. Air matanya sudah beranak sungai, berharap ada keajaiban untuk suaminya membuka mata. Pelan tangannya mengusap lengan palsu Devano. Dipijatnya lembut dari atas ke bawah. Lalu bergantian dengan tangan kanannya. Andini dengan sabar mendampingi suaminya, sambil membisikkan kalimat penyemangat."Pa, mau pegang anaknya tidak? Ini, Dedek di perut main akrobat terus. Keren loh, tendangannya. Seperti Bang Bokir. Tahu Bang Bokir'kan? Artis China yang jago silat itu loh." Andini terus saja mengajak Devano berbi
POV AndiniAku tidak tahu harus berkata apa, ketika tahu kabar bahwa suamiku mengalami kecelakaan bersama dengan wanita yang bernama Ayu. Ketika kutanya Tuti dan teman-teman di kampus, mereka mengatakan suamiku marah pada wanita itu dan memaksanya masuk ke dalam mobil dengan kasar. Jelas sekali suamiku marah dengan kelakuannya. Apakah sebenarnya memang suamiku tidak bersalah? Aku terlalu egois yang tidak mau mendengar penjelasannya. Sekian lama aku mendiamkan dan mengabaikannya. Tidak mengurus pakaian juga makannya. Dia terbaring begitu lemah dengan berbagai alat menempel di tubuhnya. Wajahnya brewokan dan lusuh. Aku pingsan sebanyak dua kali begitu mendengar suamiku kecelakaan dan koma di rumah sakit. Keadaanku yang juga tidak sehat, membuat tubuhku semakin lemah, tetapi aku tidak mau kalah, aku harus menemani suamiku, ayah anakku. Dia di sana karena aku."Hiks ...." mau menghabiskan tisu berapa banyak lagi, aku pun tidak tahu. Air mata ini masih terus mengalir dengan derasnya."Su
POV AuthorSuasana hati Andini sejak pagi, sudah tidak nyaman. Bayi di dalam perutnya pun sepertinya ikut merasakan hal yang sama. Entah ada apa? Yang jelas seharian ini Andini uring-uringan di kamar. Nasi pun tidak mampu dia telan seperti biasanya. Mual muntah yang seharusnya terjadi di trisemester kehamilan, malah didapatinya menjelang kehamilan lima bulan. Tubuhnya lemas dan tidak bertenaga. Susu hamil dengan rasa vanila pun ia muntahkan. Tidak ada yang masuk dengan benar ke dalam perutnya sejak tiga hari ini.Parmi menghela napas panjang, saat mengoleskan minyak kayu putih di perut, tengkuk, leher, dan juga punggung Andini. Dengan pijatan amat lembut, dia mencoba membuat Andini nyaman, serta tidak mual muntah lagi."Masih mual?" tanya Parmi pada putrinya."Masih, Bu. Gak enak banget rasanya," keluh Andini dengan mata berkaca-kaca. Parmi terus saja memijat lembut tengkuk Andini, hingga pundak. "Mungkin bayi kamu rindu dengan ayahnya," bisik Parmi dengan senyuman hangat. Andini men
POV DevanoAndini masih marah padaku. Dia menutup mulut sepanjang hari, tidak menanyakan apapun, bahkan ketika aku dan papa pulang dari menguburkan salah satu bayi kembar kami. Ya, usia janin itu ternyata lebih dari empat bulan dan sudah nampak berwujud juga sudah ditiupkan ruh oleh Sang Pencipta. Aku dan papa memakamkannya layaknya manusia yang wafat pada umumnya.Untunglah ada papa mendampingiku, sehingga aku yang tidak terlalu paham urusan seperti ini, menjadi paham dan mengikuti sesuai dengan arahannya. Jangan bilang hati ini tidak patah. Jangan bilang hati ini tidak terluka. Kehilangan salah satu dari bayi kembar yang dikandung Andini tentu saja membuatku sangat syok. Apalagi aku yang sama sekali tidak pernah mengalami mendampingi istri saat hamil sampai melahirkan.Apakah ini bagian dari penebus dosaku di masa lalu? Tak banyak yang bisa kulakukan saat ini. Bersujud memohon pada Sang Pencipta agar mengampuni dosa-dosaku terdahulu. Saat Amira ada di dalam kandungan ibunya, aku mal
Selama empat bulan hamil, sama sekali tidak pernah kurasakan mual, muntah, atau ngidam yang terlalu berlebihan. Hanya saja, setiap harinya wajib ada jambu air di atas meja makan. Demi menuruti keinginan bayi kami, suamiku rela membeli pohon jambu air cangkokan. Menanamnya di pekarangan rumah dan merawatnya setiap hari. Ada dua jenis pohon jambu air yang dia beli. Pertama yang berbuah hijau pucat dan satu lagi berbuah merah dan berukuran besar. Sengaja suamiku membeli yang sudah berbuah, agar kami tidak susah minta ke tetangga saat ingin mencicipinya. Pagi ini, Pak Dev sudah berangkat lebih dahulu ke kampus, sedangkan aku berangkat siang, karena jam kuliah pertama dimulai pukul sepuluh. Bibik memasak di dapur, sesuai dengan menu yang aku pesan. Sayur asem, ikan asin balado, dan goreng bakwan. Aku berencana makan terlebih dahulu, baru berangkat ke kampus."Non, sayurnya udah mateng," seru Bibik dari balik pintu. Aku meletakkan ponsel di atas nakas, lalu segera turun dari ranjang untu
POV AndiniJika kamu berulang kali gagal dalam sebuah usaha atau kesempatan, yakinlah ada kesempatan dan peluang lain yang tengah menunggumu. Banyak orang bilang, kegagalan hanya sebuah keberhasilan yang tertunda. Jika gagal hari ini, bisa saja besok kamu berhasil.Jika besok masih gagal, maka akan ada lusa yang memiliki banyak kesempatan. Baik untuk urusan rejeki ataupun jodoh. Bisa saja gagal dengan Hendri, James, Adam, Noah, Haikal, Jono, Pardi, Tama, Juna, Faikar, dan aku tak sanggup mengingat lagi, nama lelaki yang sekian banyak sudah menjalin hubungan denganku.Mereka tidak cukup baik untukku, sejak dahulu. Mereka hanya memanfaatkan kepolosan otak dan juga kebaikan hati ini, untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Berbeda dengan lelaki yang tengah memanjat pohon jambu air tetangga pagi ini. Siapa lagi kalau bukan Devano Wijaya. Lelaki tua renta, (dosaa wooy ... he he ...) yang telah menjadi suamiku karena keterpaksaan.Hanya menggunakan sarung dan kaus dalam saja, dia rela m
POV DevanoMata ini masih basah menatap layar monitor USG. Mereka benar-benar ada di dalam perut istriku. Dua janin yang insyaAllah akan tumbuh sehat dalam rahim ibunya. Aku tak sanggup mengatakan apapun, semua ini terlalu luar biasa untuk lelaki penuh dosa sepertiku. Tidak, sebaik-baik rejeki adalah yang saat ini Tuhan berikan untuk ummatnya. Jadi, aku pasti seorang lelaki pilihan, yang tepat untuk diberi tanggung jawab seorang istri istimewa dan juga anak-anak yang luar biasa. Tuhan benar-benar Maha Baik dan Sempurna. Tidak ada nikmat terindah dalam hidupku, selain memiliki anak dari wanita yang aku cintai dengan sepenuh hati.Andini mengusap tangan palsuku. Dia pun sama terisaknya denganku. Kebahagiaan yang tidak terduga begitu cepat Tuhan berikan pada kami."Papa jangan nangis terus, nanti saya sedih. Nanti kalau bayi kita ikut sedih, terus mukanya memble bagaimana?" kelakar itu membuatku tertawa di sela isakan."Amit-amit. Saya hanya terlalu bahagia akan menjadi seorang ayah da
Andini merangkul erat lengan Devano dengan gemetar. Gadis itu sama sekali tidak mau mengangkat wajahnya, karena ada Adam yang kini duduk persis di depannya dengan wajah marah dan nampak tidak terima. Dia menyembunyikan sebagian wajah di balik punggung Devano. Keadaan yang seharusnya hangat, menjadi kaku dan menegangkan. Aminarsih tidak paham dengan yang terjadi, wanita setengah baya itu dan suaminya memandangi tamu dan juga anak angkat mereka secara bergantian.“Pak, pulang yuk!” bisik Andini takut-takut. Devano menoleh ke samping, lalu mengusap lembut tangan istrinya. “Kenapa? Baru juga sampai. Gak usah takut sama Adam. Kamu dan Adam sudah tidak punya hubungan lagi’kan?” ujar Devano dengan suara cukup jelas untuk di dengar oleh semua orang yang ada dalam ruang tamu.“Adam, sekarang Andini sudah menjadi istri saya dan insyAllah sedang mengandung. Jadi ….” “Apa?” semua orang di sana, termasuk Aminarsih membelalakkan mata tidak percaya dengan pengakuan Devano.“Wah, hebat sekali.