Bab 26Suara Ibrahim yang cukup keras seketika membuat Arumi terdiam, hatinya mencolos mendengar sang suami membentaknya hanya karena tak rela ia berkata buruk tentang mantannya. Istri Ibrahim yang belum tersentuh itu tertunduk, antara merasa bersalah dan merasa sedih atas sikap suaminya.Detik berikutnya Ibrahim menyadari kesalahan. Ia mengusap wajah frustasi seraya beristighfar."Ya Allah ... harusnya aku tidak boleh sentimental seperti ini." dalam hati ia merutuki diri sendiri.Perlahan ia meraih kedua bahu Arumi, "Maafkan saya, Arumi ... maafkan saya. Saya terlalu sentimen jika kembali membahas masalah ini. Maaf karena sudah kasar sama kamu." Ibrahim memohon maaf dari sang istri.Arumi meraih kedua tangan suaminya, kemudian perlahan menurunkannya dari bahu. "Sudahlah, Mas ... setidaknya Arumi jadi tahu, alasan mengapa Mas Ibra tidak bisa menerima Arumi. Karena tempat di hati Mas Ibra masih dipenuhi olehnya.Sekeras apapun Arumi berusaha mendobrak pintu hati Mas Ibra, kalau ternyat
Bab 27Arumi dan Ibrahim melanjutkan perjalanan dengan suasana yang berbeda, saling menggandeng dan bercengkrama. Meskipun tetap kaku, namun Ibrahim terlihat sedikit lebih hangat dari biasanya. Setidaknya ia tidak lagi menolak bersentuhan dengan istrinyaBeberapa kali mereka berhenti, sejenak untuk mengistirahatkan kaki Arumi yang tidak sesuai dengan standar pendaki."Ya Allah, Mas ... jauh banget sih nggak sampai-sampai," keluh Arumi sembari memijat kakinya yang ia selonjorkan."Ya ... sepertinya saya memang salah ngajak kamu mendaki gunung begini. Saya nggak mikir kapasitas kamu yang hanya sekelas pejalan kaki. Harusnya saya ngajak kamu bulan madu di alun-alun kota saja," sahut Ibrahim meremehkan."Yeee ... ngeremehin kamu, Mas ... ini bukan soal kapasitas tau, Mas ... Arumi bisa aja kuat mendaki, tapi harus ada pemanasan dulu. Setidaknya Mas Ibra kasih tahu kek bakal bulan madu ke mana? Kalau tahu mau mendaki kan Arumi bisa olahraga tiap pagi, joging kek atau apa, jadi lebih berten
Bab 28Belum sempat wanita yang dimintai tolong Arumi itu menjawab, Ibrahim telah terlebih dahulu menarik Arumi menjauh."Loh, Mas ... kenapa? Kita nggak jadi foto? Dia siapa sih?" Arumi memberondong suaminya dengan pertanyaan. Sembari terus memantau wanita tersebut berlari mengejar mereka.Ibrahim tak menjawab, ia terus mempercepat langkah, pandangannya lurus ke depan, sorot matanya menandakan emosi mendalam."Ibrahim! Tunggu ...!" wanita itu masih terus mengejar, ia bahkan sampai berlari demi agar bisa menyamai posisi Ibrahim dan Arumi."Ibrahim, stop!" wanita itu tiba-tiba sudah berada di hadapan Ibrahim dan menghadangnya. Seketika Ibrahim menghentikan langkah diikuti istri di belakangnya. Namun di hadapan wanita itu, Ibrahim membuang muka."Ibrahim, kita harus bicara.""Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Sabrina!" Ibrahim menjawab dingin dan masih enggan memandang wanita bernama Sabrina di hadapannya."Oh, jadi ini wanita bernama Sabrina itu? Ya Allah ... kenapa kita harus diper
Bab 29Ibrahim mengalihkan pandangannya dari Sabrina, kemudian mengusap wajah kasar."Dan apakah kamu mengira, setelah kamu merusak kepercayaanku terhadap cinta, aku akan menerimamu kembali saat kamu datang menawarkan cinta untuk kedua kalinya?" Ibrahim bertanya sekali lagi, namun pertanyaan ke-duanya berhasil membuat Sabrina bungkam tak dapat berkata-kata."Sabrina ... apa yang telah kamu lakukan padaku beberapa tahun lalu sangat melukai hati dan jiwaku. Aku merasakan sakit teramat sangat dan bersusah payah aku untuk menyembuhkannya.Andai kamu datang dan kondisiku belum menikah, bukan tidak mungkin aku memberikan sikap yang sama. Karena sebuah kekecewaan itu menimbulkan rasa trauma, sehingga tidak mungkin aku bisa dengan mudah mempercayai cinta yang diberikan oleh seseorang yang telah menghancurkan keyakinanku akan cinta. Kamu paham, kan maksudku, Sabrina?" ucap Ibrahim dengan pandangan lepas ke depan."Iya, aku paham, dan cukup tahu diri, Ibrahim. Tapi setidaknya, aku lega karena s
Bab 30Ibrahim terus menyusuri jalan, sembari menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan Arumi.Rasa cemas dan khawatir di hatinya semakin menjadi. Pikiran buruk mulai memenuhi. Jika perjalanan menuju puncak dilaluinya dengan happy bersama Arumi, maka kali ini perjalanan turunnya terasa hampa dan gelisah tanpa Arumi di sisi."Ya Allah, Rum ... di mana kamu?" gumam Ibrahim untuk ke sekian kalinya. Beberapa kali ia menghentikan sesama pendaki untuk ditanyai, namun tak satupun dari mereka yang tahu akan keberadaan Arumi.Ia kembali melanjutkan jalan, dengan gundah di hati, berbagai doa ia panjatkan untuk keselamatan Arumi.Tiba-tiba pandangannya menangkap sebuah kerumunan orang yang tak jauh dari tempatnya berdiri, Ibrahim berjalan cepat ke arah kerumunan tersebut, untuk memastikan apa yang tengah terjadi?"Maaf, Pak, ini ada apa ya kok berkerumun?" tanya Ibrahim pada salah satu dari orang-orang yang sedang berkerumun."Ada kecelakaan, Mas," sahutnya sembari memandang ke arah juran
Bab 31Ibrahim bernafas lega, memandang Arumi yang tengah gundah gulana. Walaupun gadis itu telah banyak mengatainya, namun sedikitpun tak ada rasa sakit di hatinya. Ia memaklumi, dan ia sangat bersyukur sebab Arumi terlihat baik-baik saja.Perlahan ia berjalan mendekat ke arah Arumi, sengaja ia mengendap-endap agar istrinya itu tidak menyadari kedatangannya. Hingga saat jarak di antara mereka hanya tersisa satu meter, Ibrahim berdehem dan membuat Arumi terjingkat kaget."Astaghfirullah," desis Arumi reflek beristighfar sembari mengelus dada, masih dengan posisi memunggungi suaminya."Tenang saja, saya mendengar semua yang kamu ucapkan tentang saya, sehingga kamu terbebas dari dosa, karena saya sudah memaafkannya," sahut Ibrahim dengan nafas yang sedikit memburu. Rasa panik bercampur khawatir yang berlebihan membuat dadanya bergemuruh sepanjang perjalanan, tentu hal itu membuat tubuhnya bergetar dan nafasnya hanya sepenggal-sepenggal.Perlahan Arumi membalikkan tubuhnya, memandang Ibr
Bab 32Setelah berususah payah membawa tubuh suaminya dan membaringkannya di ranjang, Arumi segera bergerak mencari minyak kayu putih, mengoleskan di telapak kaki sang suami yang terasa dingin, juga di bawah hidungnya untuk melegakan saluran pernapasan.Tak berselang lama, Ibrahim yang merasakan dingin minyak kayu putih menelusuk ke dalam hidungnya, perlahan mulai membuka mata. Ungkap syukur menjadi yang pertama kali ia panjatkan kala pemandangan pertama yang tampak di matanya adalah istrinya."Mas ... kamu sudah sadar?" Tanya Arumi setelah mendapati sang suami telah membuka mata.Ibrahim hanya mengangguk lemah."Kamu minum dulu ya, Mas ...," tawar Arumi pada suaminya yang memandanginya lekat.Ibrahim hanya mengangguk pasrah. Arumi segera mengambil air, memberinya sedotan kemudian membantu sang suami untuk meminum dalam kondisi masih berbaring."Kamu ini kenapa sih, Mas? Kok bisa sampai pingsan begitu?" Tanya Arumi seraya meletakkan kembali botol air mineral di atas nakas, kemudian me
Bab 33"Rum ... coba jangan seperti ini." Ibrahim berusaha menjauhkan tubuh Arumi dari tubuhnya setelah beberapa saat berpelukan. Bukannya menjauh, Arumi justru memainkan tangan di dada suaminya."Arumi ...!" Ibrahim memperingati sekali lagi."Kenapa sih, Mas? Masih canggung sama istri sendiri?" tanya Arumi sembari memandang suaminya."Badan saya kotor, Arumi!" jawab Ibrahim tak sepenuhnya berbohong, walau sebenarnya bukan itu alasannya menjauhkan tubuh sang istri. Melainkan karena ia tak ingin Arumi mendengar gemuruh di dadanya yang mendadak berdisko saat tubuh wanita itu menempel menyentuh tubuhnya."Nggak apa-apa lah, Mas ... cuma kotor doang," sahut Arumi sembari meletakkan pipinya kembali di dada sang suami."Saya juga laper, kok tega sekali kamu ini malah manja-manjaan, bukannya bikinin suaminya makanan." Ibrahim kembali beralasan.Perlahan Arumi mengangkat kepala dari dada bidang sang suami. "Mas Ibra mau makan apa?" tanya Arumi terlihat tak bersemangat."Apa saja lah, asalkan