Saat Martin sedang membekap mulut Mona, mama kembali ke kamar Mona dan berhenti sejenak di pintu, memperhatikan dua anaknya. Namun karena tubuh besar Martin memunggungi posisi Mama berdiri, jadi mama tidak mengetahui apa yang sedang dilakukan Martin pada Mona sekarang.
"Martin." Barulah saat mama memanggil namanya, tangan Martin lepas dari bibir Mona. Dengan cepat ekspresi wajahnya berubah ramah.
"Ya, ma? Kudengar Mona sakit sampai memanggil dokter ke rumah. Jadi aku ke sini untuk melihat kondisinya." Martin memberi alasan dengan senyum malaikat. Mama sama sekali tidak curiga.
"Di ruang tamu ada kekasihmu datang." Mama memberitahu.
"Hana? Dia kemari?" Gumam Martin, lalu beranjak pergi menuju ruang tamu di lantai satu.
Sudah setengah jam sejak saat itu.
Mona tak penasaran siapa yang bertamu di rumah mereka, tetapi rasa haus tenggorokannya memaksa Mona turun ke dapur saat itu juga.
Di sanalah Mona dapat melihat seorang tamu itu, adalah wanita cantik dengan rambut panjang dan tampak anggun di sofa. Mona tak kenal wanita itu, tapi melihat mereka sangat akrab, maka dipastikan wanita itu adalah tunangan Martin. Lalu terdengar papah dan mama pamit pergi sebentar untuk membeli sesuatu. Mona hanya diam di dalam dapur.
Suasana menjadi hening. Seharusnya di ruang tamu sana hanya ada Martin dan wanita cantik itu. Tetapi Mona tak mendengar suara obrolan mereka lagi dari sini. Apa yang sedang mereka lakukan?
Mona lantas keluar dari dapur sambil membawa segelas air dingin. Mendadak langkahnya membeku diam di pintu dapur, ketika tak sengaja melihat pemandangan intim yang dilakukan Martin bersama wanita itu, bahwa mereka terlihat sedang berciuman mesra di sofa.
Ciuman Martin begitu bersemangat meraup bibir wanita itu alias tunangannya. Kedua tangan Martin tampak berada di pinggang tunangannya, sedangkan wanita itu merangkul pundak Martin sehingga mereka lebih dekat satu sama lain.
Mona jadi gugup. Jantungnya berdegup lebih cepat. Tangannya yang memegang gelas pun gemetaran. Entah mengapa dia seperti ini. Mona sendiri tidak mengerti.
Tanpa sadar gelas di tangannya merosot jatuh sampai menimbulkan suara pecah yang sangat nyaring. Seketika membuat ciuman mereka terhenti dengan terkejut. Martin pergi memeriksa sumber suara, lantas menemukan Mona yang sedang jongkok membereskan kepingan kaca yang berserakan di lantai.
"Mona! Astaga~" Martin menghela napas kasar. Tidak dipungkiri bahwa dia jengkel dengan kecerobohan Mona. Kalau saja tidak ada interupsi suara, mungkin dirinya dan tunangan tercinta masih asik berciuman mesra sekarang.
"Kamu ini hati-hati dong!" Wajahnya mengerut kesal sambil berkacak pinggang. Mona lagi-lagi tak mengabaikan seolah-olah Martin di depannya makhluk tak kasat mata.
"Aw!" pekik Mona, saat jarinya tertusuk pecahan gelas yang tajam. Tampak darah mengalir keluar dari ujung jari gadis itu.
"Kamu jadi terluka kan?" Martin menghela napas lelah. Lelah karena Mona. Dia kemudian berjongkok dan menarik tangan Mona yang terluka. Dilihatnya darah kental itu terus keluar. Lalu secara tak terduga Martin mengemut jari telunjuk itu.
Sontak Mona kaget. Hampir saja membuat jantungnya melompat. Seluruh wajahnya kini merona merah. Karena dapat dia rasakan dengan jelas basah di jarinya di dalam mulut Martin. Namun, kenyataan pahit menampar Mona saat teringat bibir Martin ini bekas berciuman panas dengan wanita lain.
Mona langsung menarik tangannya cepat. Dia bangkit berdiri. "Aku ke apotek dulu untuk beli plester," ucapnya terburu-buru. Namun saat hendak pergi, lengannya ditahan Martin. Lelaki itu mengatakan kalau mereka punya stok plester di kotak obat.
"Ayo duduk." Martin menggiringnya ke sofa ruang tamu, di mana ada Hana yang memperhatikan. Lalu dengan telaten Martin menempelkan plester ke jari Mona yang terluka.
"Kamu beruntung sekali punya kakak yang perhatian, Mona." Hana menyapa dengan senyuman ramah. Wajahnya cantik dan terlihat sangat dewasa. Ini pertama kalinya mereka bertatap muka secara langsung. Karena Hana dan Martin sudah berhubungan sebelum orang tua mereka menikah satu bulan lalu.
"Apa kak Hana sangat mencintai kak Martin?" Mona membalas dengan pertanyaan.
"Tentu saja kami saling mencintai. Kalau tidak, mana mungkin kami berhubungan sebagai kekasih. Terlebih kami akan menikah dalam waktu dekat." Hana bicara disertai rona bahagia di wajahnya, lalu dia mengangkat tangan kirinya. "Lihat, ini cincin pertunangan kami. Minggu lalu Martin melamarku dengan sangat romantis."
Mona menunduk. Hatinya bagai ditusuk ribuan jarum. Ingin rasanya dia mengungkapkan perlakuan bejat Martin pada kekasihnya. Tetapi nuraninya justru menahan keinginan itu. "Aku ikut senang mendengarnya." Senyum palsu terbit di bibir pucat Mona.
"Mona, apa kau sudah makan dan minum obat?" Ucapan Martin menenangi percakapan dua perempuan itu. Isyarat mengusir Mona secara halus. Mona paham itu.
"Ah aku lupa. Aku ke dapur untuk mengambil air minum." Mona bergegas meninggalkan pasangan itu ke dapur. Mona pikir belum ada waktu tepat untuk mengungkapkan kebusukan sikap Martin yang sebenarnya. Dia perlu menyusun rencana matang demi membalaskan perbuatan Martin.
***
"Mona, bagaimana kondismu sekarang? Kamu sudah baik-baik saja kan?" Tom menghampiri Mona yang sedang duduk di bangku kelas saat jam istirahat sekolah.
"Aku merasa lebih baik."
"Kemarin ada tugas. Hari ini harus dikumpulkan tugasnya. Kamu boleh menyalin jawabanku sekarang, Mona," ujar Tom menawarkan sukarela hanya pada Mona seorang. Kalau itu orang lain, Tom takkan mau memberikan contekan, pasti.
"Benarkah Tom?"
Tom mengambil buku tugasnya. Dia berikan pada Mona. Segera gadis itu menyalin semuanya di buku tulis. "Ah iya..." Mona teringat. "Ini tidak boleh punya jawaban yang sama kan? Nanti guru tahu kalau aku atau kamu mencontek..." kata Mona.
"Tidak apa, Mona. Kamu kan bisa merangkai kata-kata dalam tulisan, ubah sedikit saja kata-kata dari jawabanku menjadi versimu." Tom memberikan saran.
Mona mengangguk lantas kembali menulis dengan pulpen. Pada saat itu, sesuatu yang aneh di tangan Mona membuat mata Tom mengerucut penasaran. Tom pun menarik tangan Mona untuk melihat lebih jelas garis luka di sana.
"Luka apa ini? Kemarin tidak ada." Tom bertanya. Dia terkejut mengetahui adanya bekas luka cakar hingga sayatan di sekitar pergelangan tangan, bahkan ada plester di jarinya.
Andai saja Tom tahu bahwa luka itu berasal dari Mona sendiri saat frustasi merasa jijik dengan tubuhnya sendiri. Dia mencakar-cakar badannya di kamar mandi, terkadang menyayat lengannya dengan silet meski tak sampai melukai urat nadinya karena Mona tak berani.
Mona menarik tangan dan menyembunyikannya di bawah meja. Wajahnya tersenyum lemah sambil mengatakan. "Ini hanya luka dari kucing jalanan yang aku temui," ucap Mona. Dia mulai pintar berbohong.
"Oalah..." Tom tampak lega mendengarnya.
Waktu berlalu cepat, kehidupan sekolah Mona berjalan normal hingga bel pulang sekolah berbunyi. Semua murid bersemangat keluar dari gedung sekolah sambil menggendong tas ransel. Tetapi Mona tidak lagi punya semangat untuk pulang ke rumah sejak kejadian malam itu. Karena baginya jika pulang, pasti akan bertemu lagi dengan Martin.
Oleh karena itu Mona berencana keluyuran lagi dengan alasan ada kegiatan ekstrakurikuler di sekolah jika dia pulang terlambat, hal ini sudah dia lakukan sejak kecelakaan malam itu, akan tetapi melihat sosok di depan gerbang sana membuat langkah Mona berhenti.
***
Terlihat Martin berdiri menunggu dengan mengabaikan tatapan kagum para murid perempuan yang melewatinya. Sampai akhirnya Mona lewat dari gerbang sekolah lalu Martin menghampirinya. "Mona, ayo pulang denganku," ajak Martin."Aku tidak mau!" ketus Mona. Melihat Martin lagi dan lagi membuat psikisnya terguncang. Tetapi Mona tetap bersikap tegar. Tembok kekuatannya begitu kokoh menjaga kewarasan Mona dari trauma."Mona, tidak ada penolakan. Ikut denganku!" Ditariknya tangan Mona. Menyeretnya paksa masuk ke dalam mobil. Lalu Martin duduk di kursi kemudi. Dia melihat Mona diam saja seperti patung. Lantas secara tiba-tiba lelaki itu mendekat, membuat napas Mona tertahan dan dia tegang ketika Martin ternyata bermaksud menarik sabuk pengaman lalu memakaikannya sebelum tancap gas."Papa memintaku untuk menjemput kamu. Karena kamu sepertinya belum pulih benar dari sakit. Takut kamu pingsan lagi," ucap Martin. "Kita mampir dulu ke suatu tempat." Dia belokkan stir kemudinya menjauhi arah jalan pul
"Dari mana saja kamu?" Martin marah. "Pergi tanpa pamit, telepon tidak diangkat. Kamu tahu tidak betapa aku pusing mencarimu kemana-mana tadi. Ternyata di rumah pun tidak ada. Kenapa kamu bersikap begitu, Mona?" Martin berkacak pinggang, sudah seperti bapak yang memarahi anak gadisnya ketika pulang larut malam. Namun sekarang baru jam enam sore.Tiap kali melihat wajah Martin selalu membuat Mona muak. Alhasil dia menyelonong dan mengabaikan amarah Martin."Mona!" teriak Martin. Mona tetap berjalan acuh menuju kamar.Gadis itu segera mengunci pintu kamarnya. Lalu merosot ke lantai dengan tangisnya yang pecah. Mona menangis sambil berusaha menahan suaranya. Karena dia tak mau ada yang mendengarnya sesegukan."Mona! Buka pintunya!" Suara Martin terdengar tepat di depan pintu kamar Mona.Sambil berderai air mata, Mona menutup telinganya dan menunduk dalam. Suara Martin adalah suara yang tidak mau dia dengar. Pertahanan tegar Mona sedang runtuh di sini."Martin, kenapa kamu marah-marah?" T
"Mona..." Martin tidak berani mendekati gadis itu. Mona sedang kalap. Lebih baik bagi dirinya untuk menuruti perkataan Mona, pikir Martin. Maka lelaki itu meninggalkan Mona di kamar."Aaaaaa!!!!" Mona teriak frustasi. Dia lepas kendali. Semua barang di sekitarnya diacak-acak. Teriakannya berhasil membuat mama dan papah memeriksa kamar Mona."Mona!" Mereka kaget. Baru pertama kali mereka melihat Mona sehisteris ini. Dia bahkan masih punya tenaga untuk mengamuk setelah seharian tak makan."Mona, tenanglah. Mona!" Papah berusaha menenangkannya. Lalu mama berhasil menghentikan amukan Mona dengan memeluknya."Mona... Kamu kenapa?"Ada banyak perkataan yang ingin diucapkan Mona. Namun lidahnya terasa sangat kelu. Hanya air mata yang berbicara. Mona menangis di pelukan mamanya.***Jam istirahat di sekolah, Mona tertidur lemas di mejanya. Dia merasa sangat lelah meski tidak melakukan aktivitas apapun."Mona, kamu mau susu?" Tom selalu datang menawarkan sesuatu.Mona bangun. Dia melihat ada k
Sementara Martin terus memperhatikan Mona terlelap. Dia masih di sini untuk beberapa saat lama. Tidak tahu mengapa, rasanya ingin menatap Mona tidur. Martin heran karena ini tidak biasa dia lakukan pada siapapun. Sampai-sampai nalurinya mendorong dirinya mencium kening Mona. Martin terkejut tapi tetap dia lakukan. Tidak bohong, jika ada rasa sayang Martin pada Mona sebagai saudara. "Martin, kamu habis ngapain dari kamar Mona?" Martin keluar menutup pintu berpapasan dengan mamanya. "Aku hanya bicara dengannya. Sekarang dia sudah tidur," jawab Martin memang jujur dan tenang. Mama hanya mengangguk berlalu. Dalam hati Martin merasa lega. Kemudian dia mendapat panggilan telepon dari Hana. Martin langsung pergi dari rumah untuk menemui kekasih tercinta meski sudah malam begini. Dalam tidur Mona, dia bermimpi hal yang sama. Malam di saat Martin datang ke kamarnya lalu kejadian menyeramkan itu terjadi. Kening Mona mengeryit saat tidur, dan dia tampak gelisah dengan keringat dingin mengucu
"Apa kamu sibuk, Tom?""Kebetulan sedang bermain game di rumah. Kenapa?" Satu tangan Tom memegang ponsel, tangannya yang lain menggerakkan kursor komputer. Dia berada di kamarnya."Bisakah kamu menjemputku sekarang di rumah?" pinta Mona."Huh? Kenapa?" Tom tidak bisa fokus mendengar Mona."Aku bosan di rumah. Ajak aku main game denganmu," bujuk Mona lagi. Dia ingin segera keluar dari rumah ini. Rasanya tidak suka berada satu atap bersama orang yang sedang pacaran di kamar. Mona takut menjadi saksi bisu hal-hal yang mungkin bisa dilakukan Martin dan Hana di sana. Mona tak mau membayangkan hal itu. Dia harus menyegarkan pikirannya."Kalau begitu aku akan ke rumahmu sekarang." Tidak ada tanggapan pasti dari Tom, Mona memutuskan untuk pergi sendirian daripada menunggu dijemput. Mona mengambil kardigan lalu keluar rumah.***"Mona, bangun, Mona." Tom mengguncang tubuh Mona. Gadis itu tertidur di kursi setelah berjam-jam m
"Mama." Mona mendekati mamanya yang sedang duduk di sofa menonton televisi."Ya, sayang?" sahut mamanya.Mona ragu sejenak untuk mengungkapkan perasaan kalut ini pada mama. Dia ingin melaporkan perbuatan bejat Martin. "Bagaimana pendapat mama tentang Martin?" tanya Mona."Dia anak kebanggaan mama selain dirimu. Berhubung karena mama tidak memiliki anak laki-laki. Martin anak yang sangat sopan dan baik. Dia juga punya kemampuan yang bagus dalam bekerja. Sehingga papah memercayainya untuk mengisi posisi direktur di kantor.""Apa mama sangat mencintai papah?" Mona bertanya lagi."Tentu saja. Dia itu laki-laki yang sempurna bagi mama. Sejak bertemu dengannya, hidup mama jauh lebih bahagia. Mama sampai merasa kalau tanpa dirinya, maka mama pasti akan terpuruk dalam penderitaan. Dia seperti pangeran yang sudah ditakdirkan untuk hidup mama walau datang terlambat." Wanita baya itu bicara dengan wajah berseri-seri, terlihat bahag
Suasana sekolah yang awalnya biasa-biasa saja, hingga tiba-tiba terguncang oleh desas-desus mencurigakan. Di tengah kehebohan tersebut, Mona penasaran dan mencari tahu dari sekelompok teman yang sedang bergosip. Saat Mona melirik ke luar jendela kelas, dia melihat Martin, berjalan di halaman menuju gedung sekolah, sementara diperhatikan oleh teman-teman kelas yang terpesona dari jendela kelas.Penampilan dan ketampanan Martin langsung menyihir pandangan para murid perempuan yang terpesona. Mereka mengagumi setiap detail tentangnya, mulai dari cara berjalan hingga penampilannya yang menawan."Dia seperti model!""Apa dia aktor?""Aku harap aku punya kekasih seperti dia."Namun, di tengah gemuruh pujian dari para gadis, Mona merasa terdampar dalam rahasia yang tidak diketahui oleh mereka: Martin adalah kakak tirinya. Saat itu, Mona menyadari bahwa di balik pesonanya, Martin menyimpan rahasia dengan dirinya yang dapat mengubah segalanya.Kendat
Mona tidak dapat menolak ajakan Hana untuk ikut bersamanya fitting gaun pengantin. Tentu saja ada Martin yang juga mengukur baju pengantin sendiri di butik mahal.Kini Hana sedang berada di dalam bilik tirai. Mona dan Martin menunggu wanita itu selesai mencoba gaun pengantin. Hingga tirai dibuka, lantas memperlihatkan sosok cantik Hana berbalut gaun pengantin putih yang mewah berkilauan.Mona ternganga melihat kecantikannya. Hana bagaikan tokoh utama yang akan menikahi pangeran. Terlintas rasa iri di benak Mona sebagai perempuan. Mona merasa hidup Hana sangat beruntung dicintai pria yang akan menikahinya.Sedangkan Mona sendiri berbanding terbalik. Hidup Mona sudah hancur sejak Martin memerkosanya dengan ganas. Membuat Mona seakan tidak bisa melihat masa depan cerah bersama dengan pria lain.Masalahnya, memangnya ada pria yang akan menerima dirinya yang sudah kebobolan? Lebih parah lagi Mona mewanti-wanti dengan takut jika dirinya akan hamil atau mungkin
"Tandatangani kerjasama denganku kalau kau ingin adikmu baik-baik saja.""Siapa yang sudi bekerja sama dengan pecandu sepertimu! Yang ada bisnisku merugi!""Oh? Tidak mau? Kalau begitu biar adikmu saja yang bekerja sama denganku." Pria baya itu langsung mendorong jatuh Mona ke tanah.Kemudian dia mendudukinya dengan membelakangi Martin. "Kau begitu cantik. Aku ingin memeriksamu apakah tubuhmu mulus atau rusak.""Tidak! Jangan!" Mona memberontak. Namun kedua tangannya diikat di belakang membuat dia tidak berdaya. Akhirnya kancing seragamnya berhasil dibuka oleh pria baya itu."Tidak ada kecacatan di tubuhmu yang mulus," komentar Sellon setelah melihat tubuh bagian atas Mona yang hanya mengenakan bra.Mona merasa sangat malu. Lebih malu daripada di hadapan Martin. Oh sial. Perasaan macam apa ini!"Hentikan! Jauhkan tangan kotormu dari Mona!" teriak Martin. Giginya menggeram. Sementara diam-diam dia memotong tali di pergelangan tangannya menggunakan pisau lipat yang dia siapkan sejak tad
"Mona, kakakmu menjemputmu." Tom melihat dari jendela lantai dua di perpustakaan."Aku tidak mau pulang dulu. Tom, bisakah kamu membantuku? Please.""Membantu bagaimana? Kamu ingin kabur dari kakakmu? Tapi ini sudah malam loh. Apa tidak dicariin orang tua di rumah? Pikirkan lagi." Tom bingung.Mona menunduk murung. "Pulanglah duluan, Tom. Jika dia bertanya keberadaanku, katakan saja aku sudah pulang naik bus.""Aku tidak tahu ada permasalahan apa di antara kalian. Baiklah, aku pulang duluan." Tom tanpa rasa curiga pada Mona, pamit pergi dari sekolah. Saat itu waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Kelas tambahan sudah bubar setengah jam lalu. Masih banyak anak murid di dalam sekolah walau tidak seramai saat siang hari. Rata-rata mereka menghabiskan waktu untuk belajar di kelas tambahan demi mendapat nilai memuaskan.Mona mengintip dari jendela. Memperhatikan Tom yang berjalan mendekat ke arah Martin menunggu di pos.Sesuai dengan dugaan, Martin menghentikan Tom. Mereka tampak berbic
Mona keluar dari sekolah saat langit sudah gelap. Malam pukul sembilan setelah selesai mengikuti kelas tambahan.Dijemput Martin yang sudah menunggu di depan sekolah. Mau tak mau Mona masuk ke dalam mobil dan membisu.Lambat laun gadis itu ketiduran saat dalam perjalanan pulang. Tidak mendengar suara yang diucapkan Martin yang sedang fokus mengemudi."Mona, apa kau sudah makan? Papah dan mama sedang ke luar kota hari ini. Di rumah tidak ada makanan, bagaimana kalau kita mampir." Lalu Martin menyadari kalau gadis itu sudah terlelap.Setibanya di rumah, Mona terbangun tanpa sempat dibangunkan. Dia membuka sabuk pengaman, dan tanpa mengatakan apapun pada Martin lantas masuk ke dalam rumah."Mona, jangan lupa mandi dan makan malam dulu!" Suara Martin di belakang, diabaikan Mona yang menaiki tangga.Dengan inisiatif tinggi, Martin menyiapkan makan malam sederhana di dapur. Kemudian dia membawanya ke kamar Mona.Ketukan pintu tidak dijawab oleh Mona di dalam sana, membuat Martin membuka pin
"Kak Martin! Mau kemana!" Mona panik ketika ditinggalkan pria itu."Tetap di sini, aku mau menyapa tamu lain." Martin pergi begitu saja. Ini menyebalkan bagi Mona. Seakan dirinya dicampakkan."Hai cantik. Kenapa ada anak sekolah di sini?" Seseorang menyapanya dengan senyum genit."Siapa kamu?" Mona mendelik tajam. Menjaga jarak."Aku salah satu tamu di sini. Di mana orang tuamu?"Mona kesal dengan orang yang sok akrab. Terlebih wajah pria baya itu melihatnya dengan tatapan mencurigakan.Lantas Mona pergi lewat pintu masuk tadi. Tiba-tiba tangannya dicekal pria baya itu dari belakang."Jangan dingin begitu dong, cantik. Katakan, di mana orang tuamu? Atau kamu datang sendirian?" Pria baya itu memaksa saat Mona berusaha melepaskan diri."Apa yang kau lakukan padanya?" Suara Martin akhirnya datang. Menyelamatkan Mona sesaat dari pria baya yang mesum itu."Aku hanya mengobrol dengannya. Apakah kalian pasangan?" tanya pria baya itu melihat Martin dan Mona bersama."Kami bersaudara," tegas
"Mona, karena nilaimu bagus, maukah kau mengikuti kompetisi olimpiade eksak?" Wali kelasnya bicara empat mata dengan Mona di ruang guru.Mona terkejut mendapat tawaran tersebut. "Bagaimana dengan pelajaran sehari-hariku kalau aku fokus belajar untuk olimpiade?" balas Mona membutuhkan kejelasan."Setiap peserta akan dapat kompensasi pelajaran. Nilaimu tidak akan dikurangi meski tidak hadir dalam kelas karena harus mengikuti kelas intensif nanti," jelas wali kelas itu."Aku bersedia," pungkas Mona tanpa keraguan.Sejak saat itu, jika murid lain sudah pulang sejak sore hari, Mona bersama peserta olimpiade lain masih berkutat di dalam sekolah. Mona jadi lebih sering pulang larut malam, sekitar jam sepuluh baru keluar dari sekolah.Untungnya hal tersebut diperbolehkan orang tuanya karena alasan yang dimaklumi. Padahal alasan Mona yang sebenarnya mengikuti kelas intensif ini hanya ingin menghindari Martin. Juga, dia tidak suka berada di rumah. Meskipun rumah yang ditempatinya mewah, namun k
MonamasihterkurungolehtubuhbesarMartin yang shirtless. Mona dan Martinsalingberhadapandengantatapanpenuhemosiyangtakterungkap.Suasanadisekitarmerekabegituhening,hanyaterdengarhembusanburungberkicauyangberasaldaritamanrumahyangdamai. Diamerasakandenyutanjantungnyaberdetaktidakkaruan,sepertimembenamkandirinyadalamsamudraemosiyangtakterduga."Apa yangkamurencanakan?"desisMonadengannadageram.Matanyamemancarkanapiyangmenggelora,menunjukkantekadnyauntuktidakterperangkapdalampermainanyangtak
Hari minggu itu semua orang berada di dalam rumah. Orang tua istirahat di kamar, sedangkan Mona rebahan sambil main hp.Temannya, Tom, menanyakan kabar liburan, dan mereka saling bertukar cerita. Mona merasa haus, dia perlu turun ke dapur untuk mengambil minuman dingin.Ketika keluar kamar, suasana rumah tampak sepi. Mona membuka kulkas dan membungkuk memilih botol minuman yang tersedia."Kamu sedang apa?"Mona terkejut mendengar suara Martin dari belakang. Lantas Mona berbalik dan melihat Martin masuk ke dapur."Buatkan aku susu dingin, dan antarkan ke ruang olahraga," perintah Martin dingin. Dia pergi begitu saja.&nb
Martin selalu penasaran pada Mona setelah malam terlarang itu. Sebenarnya dia melakukan semua itu tanpa sadar dan bukan keinginan akal. Terjadi begitu sajaTapi sekarang, dia mempunyai keinginan terhadap tubuh Mona. Mona memiliki bentuk tubuh yang ideal, tidak kurus dan tidak gemuk. Lebih bagus lagi, Mona hanya gemuk di bagian aset kembarnya serta pinggul yang lebar dengan perut kecil. Peris seperti gitar spanyol.Martin tergoda. Mungkin karena dirinya tidak pernah diizinkan untuk menyentuh Hana selama mereka pacaran. Alhasil pelarian hasrtnya selalu sendirian, terkadang menyewa wanita malam. Hal itu biasa dia lakukan sebelum papahnya menikah dan bertemu dengan Mona sebagai adiknya.Pikiran Martin mulai sakit, saat akal sehat dikesampingkan oleh npsu. Karena saat ini, bisikan setan mendorongnya untuk melakukan sesuatu pada Mona; Mona adikmu Martin, adik tiri yang tidak apa-apa jika disentuh, toh kalian
Martin, Mona dan Hana jogging di sekitaran pantai. Mereka mengenakan pakaian santai, berlarian kecil menyusuri tapi pantai. Tapi Mona hanya menjadi penonton pasangan itu.Dia hanya memperhatikan di belakang Martin dan Hana. Melihat betapa manisnya mereka sebagai pasangan kekasih. Sampai-sampai membuat Mona mual karena melihat sikap manis Martin. Kesal dan muak, Mona memutuskan untuk meninggalkan mereka tanpa mereka sadari. Dia pergi ke suatu tempat yang sepi, sekedar untuk menikmati liburan ini sendiri.Mona berlarian di pasir pantai yang lembut. Dia terlihat ceria. Angin pantai menerbangkan rambutnya menjadi berantakan."Nona, kamu cantik sekali. Izinkan aku melukismu." Suara seseorang mengalihkan perhatian Mona. Mona dapat melihat peralatan melukis milik pria baya itu."Tapi aku tidak membawa uang sekarang," kata Mona."