Mona keluar dari sekolah saat langit sudah gelap. Malam pukul sembilan setelah selesai mengikuti kelas tambahan.Dijemput Martin yang sudah menunggu di depan sekolah. Mau tak mau Mona masuk ke dalam mobil dan membisu.Lambat laun gadis itu ketiduran saat dalam perjalanan pulang. Tidak mendengar suara yang diucapkan Martin yang sedang fokus mengemudi."Mona, apa kau sudah makan? Papah dan mama sedang ke luar kota hari ini. Di rumah tidak ada makanan, bagaimana kalau kita mampir." Lalu Martin menyadari kalau gadis itu sudah terlelap.Setibanya di rumah, Mona terbangun tanpa sempat dibangunkan. Dia membuka sabuk pengaman, dan tanpa mengatakan apapun pada Martin lantas masuk ke dalam rumah."Mona, jangan lupa mandi dan makan malam dulu!" Suara Martin di belakang, diabaikan Mona yang menaiki tangga.Dengan inisiatif tinggi, Martin menyiapkan makan malam sederhana di dapur. Kemudian dia membawanya ke kamar Mona.Ketukan pintu tidak dijawab oleh Mona di dalam sana, membuat Martin membuka pin
"Mona, kakakmu menjemputmu." Tom melihat dari jendela lantai dua di perpustakaan."Aku tidak mau pulang dulu. Tom, bisakah kamu membantuku? Please.""Membantu bagaimana? Kamu ingin kabur dari kakakmu? Tapi ini sudah malam loh. Apa tidak dicariin orang tua di rumah? Pikirkan lagi." Tom bingung.Mona menunduk murung. "Pulanglah duluan, Tom. Jika dia bertanya keberadaanku, katakan saja aku sudah pulang naik bus.""Aku tidak tahu ada permasalahan apa di antara kalian. Baiklah, aku pulang duluan." Tom tanpa rasa curiga pada Mona, pamit pergi dari sekolah. Saat itu waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Kelas tambahan sudah bubar setengah jam lalu. Masih banyak anak murid di dalam sekolah walau tidak seramai saat siang hari. Rata-rata mereka menghabiskan waktu untuk belajar di kelas tambahan demi mendapat nilai memuaskan.Mona mengintip dari jendela. Memperhatikan Tom yang berjalan mendekat ke arah Martin menunggu di pos.Sesuai dengan dugaan, Martin menghentikan Tom. Mereka tampak berbic
"Tandatangani kerjasama denganku kalau kau ingin adikmu baik-baik saja.""Siapa yang sudi bekerja sama dengan pecandu sepertimu! Yang ada bisnisku merugi!""Oh? Tidak mau? Kalau begitu biar adikmu saja yang bekerja sama denganku." Pria baya itu langsung mendorong jatuh Mona ke tanah.Kemudian dia mendudukinya dengan membelakangi Martin. "Kau begitu cantik. Aku ingin memeriksamu apakah tubuhmu mulus atau rusak.""Tidak! Jangan!" Mona memberontak. Namun kedua tangannya diikat di belakang membuat dia tidak berdaya. Akhirnya kancing seragamnya berhasil dibuka oleh pria baya itu."Tidak ada kecacatan di tubuhmu yang mulus," komentar Sellon setelah melihat tubuh bagian atas Mona yang hanya mengenakan bra.Mona merasa sangat malu. Lebih malu daripada di hadapan Martin. Oh sial. Perasaan macam apa ini!"Hentikan! Jauhkan tangan kotormu dari Mona!" teriak Martin. Giginya menggeram. Sementara diam-diam dia memotong tali di pergelangan tangannya menggunakan pisau lipat yang dia siapkan sejak tad
"Jangan, kak!"Teriakan Mona tidak didengarkan. Perlawanan Mona tidak berarti apa-apa di bawah tenaga Martin, saat lelaki itu menahan kedua tangannya lalu menyingkap tabir yang membatasi pandangan, sehingga kini terpampang kepolosan Mona di bawah cahaya lampu kamar.Mona sudah berteriak sekeras yang dia bisa untuk meminta tolong. Dia berusaha menyadarkan Martin dari pengaruh alkohol yang tercium bau kuat dari mulutnya. Namun hari ini sedang sial ketika tahu tidak ada orang di rumah selain hanya mereka berdua. Ditambah suara gemuruh hujan di luar jendela, semakin meredamkan suara Mona yang panik.Mona tak pernah membayangkan, kakak tirinya akan bertindak sejauh ini padanya. Bahkan mereka belum lama kenal setelah orang tua mereka menikah satu bulan lalu. Entah apa yang terjadi pada Martin sebelum pulang, sampai dia mabuk dan tak menyadari tindakannya sekarang.Perlawanan demi perlawanan diupayakan sekuat tenaga oleh Mona untuk memberontak dari kekangan kuat Martin. Dia ingin mencegah ha
"Papah?"Pria baya memergoki puterinya terlihat tidak baik. "Wajahmu pucat. Apa kau baik-baik saja?" tanyanya mencemaskan."Aku baik-baik saja, pah. Aku lapar dan ingin makan." Mona memaksakan senyum. Dia sembunyikan pengalaman memilukan itu dari ayah tirinya alias ayah Martin."Kebetulan sekali, semua sudah berkumpul untuk makan malam. Ayo ke meja makan." Papah mengajaknya, tanpa memiliki rasa curiga.Tiba di ruang makan, Mona melihat sudah ada mama dan Martin duduk. Karena meja itu berbentuk persegi dengan empat kursi, dan kebetulan hanya kursi di sebelah Martin yang kosong, membuat Mona enggan duduk di samping pelaku pemerkosaan itu."Mona, duduklah." Papahnya menegur karena melihat Mona hanya diam berdiri.Akhirnya, dengan berat hati, Mona duduk di samping Martin. Tangan di bawah mejanya gemetaran akibat syok yang belum hilang.Mendadak napsu makannya lenyap, meskipun ada makanan kesukaannya di atas meja. Mona menatap dalam diam pada makanan di piringnya."Mona, kenapa tidak dimak
Saat Martin sedang membekap mulut Mona, mama kembali ke kamar Mona dan berhenti sejenak di pintu, memperhatikan dua anaknya. Namun karena tubuh besar Martin memunggungi posisi Mama berdiri, jadi mama tidak mengetahui apa yang sedang dilakukan Martin pada Mona sekarang. "Martin." Barulah saat mama memanggil namanya, tangan Martin lepas dari bibir Mona. Dengan cepat ekspresi wajahnya berubah ramah."Ya, ma? Kudengar Mona sakit sampai memanggil dokter ke rumah. Jadi aku ke sini untuk melihat kondisinya." Martin memberi alasan dengan senyum malaikat. Mama sama sekali tidak curiga."Di ruang tamu ada kekasihmu datang." Mama memberitahu."Hana? Dia kemari?" Gumam Martin, lalu beranjak pergi menuju ruang tamu di lantai satu.Sudah setengah jam sejak saat itu.Mona tak penasaran siapa yang bertamu di rumah mereka, tetapi rasa haus tenggorokannya memaksa Mona turun ke dapur saat itu juga.Di sanalah Mona dapat melihat seorang tamu itu, adalah wanita cantik dengan rambut panjang dan tampak ang
Terlihat Martin berdiri menunggu dengan mengabaikan tatapan kagum para murid perempuan yang melewatinya. Sampai akhirnya Mona lewat dari gerbang sekolah lalu Martin menghampirinya. "Mona, ayo pulang denganku," ajak Martin."Aku tidak mau!" ketus Mona. Melihat Martin lagi dan lagi membuat psikisnya terguncang. Tetapi Mona tetap bersikap tegar. Tembok kekuatannya begitu kokoh menjaga kewarasan Mona dari trauma."Mona, tidak ada penolakan. Ikut denganku!" Ditariknya tangan Mona. Menyeretnya paksa masuk ke dalam mobil. Lalu Martin duduk di kursi kemudi. Dia melihat Mona diam saja seperti patung. Lantas secara tiba-tiba lelaki itu mendekat, membuat napas Mona tertahan dan dia tegang ketika Martin ternyata bermaksud menarik sabuk pengaman lalu memakaikannya sebelum tancap gas."Papa memintaku untuk menjemput kamu. Karena kamu sepertinya belum pulih benar dari sakit. Takut kamu pingsan lagi," ucap Martin. "Kita mampir dulu ke suatu tempat." Dia belokkan stir kemudinya menjauhi arah jalan pul
"Dari mana saja kamu?" Martin marah. "Pergi tanpa pamit, telepon tidak diangkat. Kamu tahu tidak betapa aku pusing mencarimu kemana-mana tadi. Ternyata di rumah pun tidak ada. Kenapa kamu bersikap begitu, Mona?" Martin berkacak pinggang, sudah seperti bapak yang memarahi anak gadisnya ketika pulang larut malam. Namun sekarang baru jam enam sore.Tiap kali melihat wajah Martin selalu membuat Mona muak. Alhasil dia menyelonong dan mengabaikan amarah Martin."Mona!" teriak Martin. Mona tetap berjalan acuh menuju kamar.Gadis itu segera mengunci pintu kamarnya. Lalu merosot ke lantai dengan tangisnya yang pecah. Mona menangis sambil berusaha menahan suaranya. Karena dia tak mau ada yang mendengarnya sesegukan."Mona! Buka pintunya!" Suara Martin terdengar tepat di depan pintu kamar Mona.Sambil berderai air mata, Mona menutup telinganya dan menunduk dalam. Suara Martin adalah suara yang tidak mau dia dengar. Pertahanan tegar Mona sedang runtuh di sini."Martin, kenapa kamu marah-marah?" T