Jayme bergegas memutar haluan. Ia sadar bahwa Marion penting, tetapi ia telah mengerahkan bantuan untuk mengatasinya sementara, tetapi Clara ... ia tengah dalam bahaya besar dan mungkin bisa saja mati.
Jayme tak pedulikan apa pun masalah antara mereka sebelumnya. Ia hanya ingin menolong sahabatnya. Tak ada sangkut pautnya dengan perasaannya terhadap Zanara.Setidaknya ia harus memastikan Clara selamat, maka ia bisa dengan tenang menjalani hari.“Kita mau ke mana, Jayme? Hati-hati mengemudinya,” ucap Zanara yang sejak tadi heran dengan sikap dan gelagat Jayme.“Maafkan aku, Zee. Kita ke suatu tempat dulu, karena ini sangat gawat.”Zanara hanya mengangguk, patuh saja pada apa yang dikatakan pria itu. Dan satu hal lagi, berpegangan erat karena Jayme mengemudikan mobil nyaris seperti orang kesetanan.Mungkin benar, apa yang akan dilakukan Jayme adalah hal yang penting, maka Zanara tak akan menginterupsinya. Meski ia berharap Jayme meZanara melangkah keluar dari ruangan Clara membawa rasa nyeri yang berdenyut. Ia merasakan dadanya sesak, hingga meremasnya kuat-kuat seolah dengan begitu rasa sakit itu akan hilang. Namun, rasanya makin nyeri.Ia merasa sangat kecewa. Bukan karena dirinya yang merasa tersakiti—saat ia mulai memutuskan untuk membukan hati dan memilih, tetapi yang terjadi Jayme justru memberinya kejutan semacam itu—melainkan karena hal ini pasti akan sangat menghancurkan hati Marion.Apa yang harus ia katakan jika Marion menanyakan Jayme?Meski Zanara sudah berulang kali mengatakan pada gadis itu bahwa Jayme bukan ayahnya, tetapi gadis kecil itu nyatanya tak peduli. Lalu sekarang, haruskah ia tahu bahwa pria yang dianggap ayah olehnya justru menyakitinya?“Zanara!” Sebuah suara yang sangat ia kenali lalu membuatnya tersadar dari lamunan sesaatnya. Demi mengusir Jayme dari kehidupan Marion, ia mungkin harus abaikan suara itu dan mempercepat langkah.Namun,
“Tapi ... sebelumnya aku ingin meminta bantuanmu, Gabe. Bisakah kau menemaniku untuk mencari tempat tinggal?” tanya Zanara kemudian.Ia tak mungkin tetap berada di rumah ini, sementara Jayme mungkin saja akan membawa Clara untuk tinggal bersamanya. Meski ia memiliki apartemen yang mungkin bisa menjadi tempat tinggalnya bersama Clara, dan mengizinkan Zanara untuk tetap berada di rumah itu, tetap saja tak akan baik baginya.Ia tak ingin Marion berurusan lagi dengan Jayme, selamanya. Karena jika Marion dewasa dan mengetahui bahwa yang selama ini ia anggap ayah bukanlah ayahnya—terlebih Jayme menjalin hubungan dengan Clara—akan sangat berpengaruh pada mental Marion.“Malam ini?” tanya Gabriel. “Apakah tidak sebaiknya besok saja, Zee? Kau harus beristirahat karena sejak tadi kau sudah mencari Marion, kan?”Zanara hanya menunduk, berusaha menyembunyikan kekalutan yang ia yakini pasti sudah tergambar jelas di wajahnya. Ia hanya mengangguk samar menjawab
Shienna mendekap erat tubuh Zanara yang bergetar. Ia yakin saudarinya itu sudah menangis berjam-jam, hingga tubuhnya lemah, gemetar, serta wajah dan matanya tampak sembab. Wajah cantiknya yang segar, kini tampak layu dan sendu. Tak ada lagi keceriaan yang tampak di sana.Shienna tak bisa ungkapkan bagaimana sedihnya ketika menyaksikan semua itu.Zanara wanita yang kuat. Ia bahkan tak akan mau terlihat menangis atau tampak telah menghabiskan malam dengan penuh air mata, meski padanya sekali pun.Itu sebabnya, Shienna selalu menyebutnya berhati es, karena seolah tak pernah merasakan kesedihan, padahal yang sebenarnya terjadi adalah Zanara tak ingin orang lain melihat kesedihannya. Ia selalu menanggungnya sendiri.Zanara bahkan tak pernah menyuarakan protes pada ayah dan ibu mereka, mengenai perbedaan perlakuan yang ia alami.Ia ceritakan semua pada Shienna saja, dan pernah sekali Shienna tak mempercayai penuturan Zanara, hingga ia melihat s
“Gabriel? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Shienna, sengit, kala melihat pria itu datang dan masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu.“Shie, aku sudah katakan padamu kalau aku menginap di hotel bersama dengannya.”Shienna menatap Zanara, tak percaya. “Maksudmu kau dan dia—““Tidak, bodoh!” jawab Zanara, ketus.“Aku berada di kamar lain, dan datang kemari untuk memastikan kalau Zanara sudah bangun. Aku ingin mengajaknya sarapan. Namun, aku malah mendengar keributan dari luar, kupikir telah terjadi sesuatu. Apa yang sedang kalian lakukan?” tanya Gabriel, penuh selidik.Ia menilik penampilan kedua wanita itu. Tampak berantakan dan kacau.“Kami? Tidak ... kami hanya ....” Shienna berusaha membenarkan rambutnya yang tak beraturan bahkan nyaris botak akibat jambakan Zanara.“Apakah kalian bertengkar?” tanya Gabriel, lagi. Ia menatap ke arah Zanara, lalu Shienna, bergantian. Namun tak ada seorang pun yang mau menjelaskan apa
Bernadette tampak mondar-mandir di ruangan yang dipenuhi dengan rak-rak berisi buku, sebuah meja kayu berpelitur dengan aksen mewah juga ada di sana. Ia memandangi lembaran kertas yang ada di tangannya. Tampak tersenyum puas dan penuh kemenangan.Ia tak menyangka, perjuangan selama ini akhirnya berhasil dan mungkin akan berguna juga untuk pihak lain, secara tidak langsung.“Mungkin kau tak akan meminta ini secara langsung, Zanara. But you’ll thank me later,” ucapnya, bermonolog.Bernadette kemudian duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja tersebut, membuka sebuah lemari kecil dan menekan beberapa digit kode pada benda berbahan besi yang ada dalam lemari kecil tersebut. Ia meletakkan kertas yang merupakan berkas perceraian itu di dalamnya. Bersama dengan barang berharga lain yang ia miliki.Sebuah jerit riang memanggil namanya dari kejauhan kemudian makin dekat dan seorang anak lelaki berusia empat setengah tahun telah berdiri di hadapanny
“Bernadette? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Jayme yang kebetulan mampir ke rumahnya untuk menemui Zanara. Ia kemudian menoleh pada gadis kecil yang berada dalam gendongan wanita itu, Marion, yang mereka cari selama ini.Gadis itu turun dari gendongan Bernadette kemudian berlari ke arah Jayme dan langsung masuk ke dalam dekapan pria itu.“Marion ... sayang, ke mana saja kau selama ini? Apakah kau baik-baik saja?” tanya Jayme setelah puas mengecupi kepala dan pipi Marion. Ia menjauhkan gadis itu dari dekapannya, kemudian menilik keadaan Marion. “Apakah kau baik-baik saja?” ulangnya.Marion mengangguk, kemudian menoleh ke arah Bernadette yang tampak cemas. Namun, bagaimana pun ia memang bersalah. Mungkin sekalian saja ia akui bahwa dirinyalah yang melakukan penculikan terhadap Marion.Bukankah sekarang Marion dalam keadaan aman, maka Jayme tak mungkin melakukan sesuatu terhadapnya?“Aku ikut di rumah bibi Laura—““Aku menculik
“Marion!” Zanara memekik, kemudian menghambur ke arah Marion yang tengah berada dalam dekapan Jayme, yang menyadari kehadiran Zanara kala itu. Ia mundur beberapa langkah untuk memberi akses pada Zanara agar bisa melepaskan kerinduan terhadap putrinya.Zanara mendekap dan menciumi kepala dan wajah Marion yang ikut menangis merasakan haru. Shienna dan Gabriel turut bergabung di sana.“Mama ... aku rindu mama ...,” isak Marion, dalam dekapan sang ibu. Zanara mengangguk cepat, melerai pelukannya, memandangi wajah Marion yang sembab.“Mama juga merindukanmu, sayang. Kau ke mana saja? Apakah kau baik-baik saja?” tanya Zanara, sembari menilik putrinya mulai kepala hingga kaki. “Kau baik-baik saja, kan, sayang?”Zanara tak kuasa menahan diri. Ia kembali mendekap Marion dan melampiaskan kerinduannya. Hingga kemudian matanya menangkap kehadiran Jayme yang sejak tadi tak ia pedulikan karena saking bahagianya bertemu kembali dengan putrinya.“Apa yang kau lakukan dengan Marion?” desis Zanara, sem
Ditodong pertanyaan semacam itu, nyali Zanara mengkeret seketika. Ia sendiri saja tak tahu bagaimana dan apa yang dirasakannya, bagaimana mungkin bisa menjawab semua itu? Bagaimana jika jawabannya nanti justru jadi bumerang untuknya?Setelah dikhianati dan batal menikah, lalu gagal dalam pernikahan, rasanya cukup bagi Zanara untuk tidak mengizinkan siapa pun menyakiti hatinya lagi. Jika seorang pria datang hanya untuk menyakiti, maka ia tak akan pernah menerima siapa pun untuk masuk."Kau tidak bisa menjawab? Atau ... bingung bagaimana cara membohongiku, seperti kau membohongi hatimu?" desak Jayme, sembari terus mengikis jarak antara mereka, sementara Zanara justru melangkah menjauh, seolah tak hanya menjauhkan hatinya dari pria itu, tetapi juga tak ingin Jayme mendekati raganya."Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Jayme. Jangan memulai pertikaian denganku, karena kau akan menyesalinya seumur hidup.""Aku tidak memulai pertikaian, Zanara. Aku hanya menanyakan perasaanmu, terlebih
Satu tahun kemudian.“Jayme, apakah balon yang kemarin sudah dipasang semuanya?” tanya Zanara sembari membawa beberapa kotak besar berwarna biru. Ia tampak mondar-mandir mengatur semua yang akan mereka gunakan untuk pesta hari ini.Marion tampak bersemangat membantu sang ibu dengan memasang beberapa ornamen di sekitar meja yang di atasnya telah tertata makanan kecil dan kue tart.Sesekali ia mengedar pandangan di seluruh penjuru ruangan. Sudah cantik dengan banyak hiasan, balon, serta pernah-pernik berwarna biru dan putih. Bahkan kue yang tertata di meja pun berwarna biru. Ia sudah mengintipnya tadi dan sekarang kue itu tertutup hiasan dengan warna putih.Hari ini bukanlah hari ulang tahun Marion, atau pun Jayme dan Zanara. Bukan pula perayaan pernikahan keduanya, melainkan pesta baby shower yang terlambat mereka laksanakan dengan terpaksa—karena sempat terjadi perdebatan antara Jayme dan Zanara mengenai apakah mereka akan mengadakan pesta itu atau tidak.Di saat Jayme menginginkannya
Hari-harinya bahkan terasa kosong tanpa kehadiran Marion. Ia dan Jayme seharian hanya menghabiskan waktu di hotel, sekadar piknik di balkon atau bercinta yang akhir-akhir ini menjadi hal yang Zanara hindari.Tragedi pengaman yang terlupakan menimbulkan kecemasan di hati Zanara, bagaimana kalau itu lantas menimbulkan bibit di dalam rahimnya? Apakah ia sudah siap dengan itu?Kini Shienna dan lainnya sudah pergi dan meninggalkan Jayme dan Zanara berdua kembali. Keduanya tengah berbaring di lantai balkon dengan memandangi langit yang cerah. Semuanya sudah selesai dan ia, juga Jayme tak perlu lagi berurusan dengan masalah yang mungkin akan membuat kehidupan keduanya begitu rumit.Urusan yang harus diselesaikan oleh Zanara saat ini adalah perbincangan mengenai bayi yang kembali diulang-ulang oleh Jayme.“Berarti ini kesempatan untuk kita membuat bayi?” godanya di sela percakapan mereka sembari melakukan piknik di balkon seperti yang biasa dilakukan oleh keduanya selama tak ada Marion.“Tida
Zanara menghubungi Shienna, memintanya agar menjaga Marion sehari lagi, karena dirinya dan Jayme masih ada keperluan yang harus mereka selesaikan. Meski rindu, setidaknya ia yakin akan bertemu dengan Marion.Sementara dengan Kenneth, tak ada hari esok. Detik ini juga pria itu harus menjelaskan segalanya.Kenneth memaksa untuk pulang, saat Zanara dan Jayme tiba di rumah sakit. Dengan lengan yang patah dan beberapa luka di tubuhnya, Kenneth tak bisa pergi ke mana pun.Jayme menyeret pria itu kembali ke kamarnya, diikuti Zanara, lalu mengunci pintu ruangan tempat dirinya dirawat.“A-apa yang kalian mau? Jayme ... mengapa kau tampak aneh, kawan?”“Jangan berpura-pura lagi, Ken. Atau ... aku harus memanggilmu Brandon?”Kenneth terhenyak kala mendengar todongan Jayme terhadapnya. Ia kemudian menoleh ke arah Zanara, lalu Jayme, secara bergantian.“Apa yang kau katakan?”“Sudahlah, penipu, kau tidak bisa lari lagi. Sekarang katakan, apa tujuanmu menyamar sebagai Kenneth si detektif swasta ini
Zanara menyeret langkah keluar dari bangunan itu. Ia menguap beberapa kali, rasa kantuk sepertinya mulai menyerang. Ia masuk ke dalam pelukan Jayme dan menyandarkan kepala di dada pria yang memilih untuk menunggunya di luar.“Bagaimana?” tanya Jayme, seolah ingin tahu akan hasil yang didapat sang istri mengenai Kenneth, yang ia yakini memang adalah Kenneth yang asli.“Aku harus datang menemui Kenneth. Namun, sepertinya tidak malam ini. Kita kembali ke hotel saja, Jayme ... aku mengantuk.”Jayme mengangguk, kemudian menuntun Zanara masuk ke dalam taksi dan membiarkan wanita itu tidur sepanjang perjalanan.Tiba di hotel, giliran Jayme yang tak bisa terlelap. Ia memikirkan kecurigaan Zanara mengenai Kenneth, tetapi dirinya tak percaya. Kini, rasa ingin tahu yang sebelumnya hanya dirasakan Zanara pada akhirnya juga menggelitik perasaan Jayme.Ia mengambil ponsel Zanara yang sejak tadi berdering. Nama Mark tertera di layarnya. Apa yang dilakukan pria itu menghubungi istrinya selarut ini? A
“Gabriel? Apa yang kau lakukan di sini? Apa yang kau cari? Dan bagaimana—“ Zanara tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia teringat perkataan Kenneth mengenai seseorang yang mengikuti mereka.Lalu ingatan Zanara tertuju pada kertas yang berisi pelaku sabotase mobilnya, bahkan penculikan Marion pun melibatkan Gabriel di dalamnya.Ia selama ini tak percaya itu, tetapi tak ingin memulai pertengkaran dengan mengatakan bahwa Kenneth mungkin saja berdusta entah dengan tujuan apa.Kini, setelah melihat sendiri buktinya, masihkah Zanata meragukan hasil analisa dan investigasi Kenneth?Mungkin tidak, tetapi Zanara masih yakin bahwa Kenneth adalah Brandon yang menyamar. Namun, apa motif Brandon menyamar dan terus mengikuti Zanara? Dan mungkinkah dirinya akan mengakui setelah semua masalah ini menemui titik terang?Zanara mendekat pada Gabriel yang hanya menunduk, menghindari tatapan tak percaya dari wanita yang sungguh ia cintai itu. Ia tak bisa ... tak bisa jika Zanara lantas membencinya. Namun, e
Zanara berteriak, tetapi yang keluar hanya suara tak beraturan. Ia berusaha menghalangi apa pun yang akan dilakukan oleh pria misterius itu. Entah bagaimana keamanan hotel itu hingga pria asing ini bisa masuk dan melakukan ... entah apa, di kamarnya.Berbagai kemungkinan terus mengganggu pikiran Zanara.Jayme masih terlelap, bagaimana jika penyusup itu lantas ... ah! Sungguh Zanara ingin melakukan sesuatu, tetapi tangan dan kakinya sudah terikat dan tali yang mengikatnya terhubung pada trail yang ada di kamar mandi.Zanara berusaha melepaskan ikatan itu, tetapi tak bisa. Ia masih berusaha memanggil nama Jayme, dan suaranya hanya terasa seolah tenggelam dan tak terdengar.Sementara itu, si penyusup melanjutkan apa yang ia lakukan sebelumnya, mencari sesuatu entah apa. Bahkan Zanara yang sejak tadi berusaha untuk mengira-ngira pun tak menemukan jawaban hingga penyusup itu terlanjur mengikatnya seperti sekarang.“Sial!” umpatnya dengan suara yang nyaris tak terdengar, hanya tersangkut di
Jayme baru saja keluar dari kamar mandi setelah menyelesaikan ‘tritmen’ spesial bersama Zanara. Tak lama berselang, terdengar suara ketukan di pintu, yang tentu saja tak perlu lama menunggu, Jayme sudah menyambut siapa pun tamu yang datang mengunjungi mereka.Tak mungkin sebotol sampanye, karena ia tak memesan apa pun. Namun, yang ia pikirkan mustahil, justru terjadi. Seorang pegawai hotel datang dengan troli berisi makanan dan sebotol wine.“Maaf, apakah benar ini kamar Tuan Demir?” tanya pegawai hotel tersebut dengan bahasa Inggris yang fasih.“Ya, benar.”“Ini ada pesanan sajian makan malam dan sebotol wine untuk Tuan dan Nyonya Demir.”Jayme terdiam sejenak, bertanya pada pegawai tersebut, siapa yang memesan makan malam spesial untuk mereka. Namun, pria itu mengatakan bahwa tak disebutkan siapa pengirimnya.Jayme hendak menolak, tetapi bersamaan dengan Zanara yang keluar dari kamar mandi dan mengetahui sang suami yang tengah berbincang dengan seseorang di luar.Zanara menghampiri
“Ada satu hal yang kubingungkan darimu, Zee. Mengapa kau begitu ingin tahu mengenai pria, yang dari namanya saja sudah jelas kalau ia adalah orang lain? Tidakkah itu akan membuang waktumu?” tanya pria yang tengah bicara dengannya di seberang. “Nikmati saja bulan madumu dengan Jayme, Zee.”Zanara menghela napas, menoleh sebentar ke arah kamar Kenneth, sejenak, kemudian kembali memutar tubuhnya kembali ke posisi semula.“Bagaimana lagi? Kau tahu, kan bagaimana jahatnya ia? Kau sudah pernah merasakan juga, dia adalah psikopat,” ucap Zanara, setengah berbisik. “Dan kita tak pernah tahu apa tujuan pria itu mendekati Jayme dan aku.”Pria di seberang mengangguk, kemudian kembali memusatkan perhatiannya pada Zanara yang tengah didera kegundahan.Wajar saja, karena dulu Brandon-lah yang menyekapnya dan menghajar Mark hingga babak belur hanya demi sebuah obsesi. Jika memang semua yang ia lakukan adalah demi memiliki Zanara, mengapa ia memutuskan pertunangan begitu saja, dulu?“Sudahlah, Mark ...
Jayme dan Zanara tengah menikmati semilir angin di pantai Lido, keduanya berjemur sebagaimana layaknya turis asing lain yang melakukan hal sama.Suasana di tempat mereka berada tidak terlalu ramai, karena musim gugur baru saja tiba. Langit tidak terlalu cerah, bahkan justru tampak mendung. Namun, baik Jayme maupun Zanara tak terganggu akan cuaca apa pun. Mereka duduk dan berbincang seolah tak akan pernah habis pembahasan mereka mengenai banyak hal.Wajar saja, meski mereka telah bersama selama lebih dari tiga tahun, tetapi itu hanya kebersamaan tanpa status yang tak mungkin bagi Jayme untuk mengorek banyak hal tentang wanita itu, pun sebaliknya.Zanara bahkan tidak tertarik akan kehidupan Jayme sebelumnya. Mengenai kehidupan pribadinya, keluarganya, terlebih kehidupan asmara pria itu.Untuk bagian itu, Jayme memilih untuk tidak membahasnya dengan Zanara. Tak ada yang menarik bagi pria itu mengenai kehidupan cintanya selain dengan wanita yang kini telah menjadi istrinya itu.Sementara