Mauri yang merasa tidak rela berujar, "Besok jam 10 pagi, aku akan membawa anggota inti Black Gloves ke ibu kota provinsi. Kalau kamu ada waktu, datang ke kantor polisi untuk antar aku. Kalau ada kesempatan, kita baru berkumpul lagi."Tirta mengangguk dan menimpali, "Tenang saja, Pak Mauri. Jarak dari sini ke ibu kota provinsi juga nggak jauh. Kelak kita masih bisa sering bertemu. Besok pagi aku akan mengantarmu."Susanti memandang Mauri seraya bertanya, "Pak Mauri, Tirta bilang kamu nggak beri tahu aku kamu dipindahkan karena takut aku sedih. Apa benar begitu?"Mauri tertawa dan menyahut, "Tentu saja, sejujurnya aku selalu menganggapmu sebagai putriku. Aku juga ingin membawamu pergi. Tapi, nanti Tirta pasti akan menyalahkanku. Jadi, lebih baik aku tetap biarkan kamu temani Tirta."Susanti melirik Tirta sekilas, lalu tertawa dan menanggapi, "Tirta nggak akan menyalahkan Pak Mauri. Tapi, kalau kamu bawa aku pergi, aku juga nggak rela tinggalkan Tirta. Jadi, aku nggak bisa ikut kamu ke i
"Anak Muda, jangan bicara sembarangan," tegur Baron. Dia melihat Tirta dengan sinis, lalu melanjutkan, "Apa kamu berhak mengaturku? Kamu mau bawa aku ke kantor polisi? Coba kamu tanya wakil kepala kepolisian di sampingmu ini, apa dia berani bertindak? Hati-hati, kamu bisa tertimpa masalah!"Selesai bicara, Baron tidak memedulikan Tirta lagi. Dia tidak melihat Leonel di dalam ruangan, jadi dia hendak menelepon Leonel.Namun, sebelum Baron sempat mengeluarkan ponsel, Shinta yang datang bersama Lutfi maju dan menegur, "Lancang! Kamu itu cuma kepala Dinas Kesehatan, apa kamu berhak meremehkan adik angkat Kakek Saba?"Lutfi malas berbicara panjang lebar dengan orang yang tidak penting seperti Baron. Dia langsung mengeluarkan dokumen yang diberikan Badan Perlindungan Negara dan menunjukkannya kepada Baron."Astaga! Ternyata kamu itu anggota Badan Perlindungan Negara! Ini ...," ucap Baron. Setelah melihat jelas isi dokumen, Baron pun ketakutan dan matanya terbelalak.Baron baru teringat denga
Shinta melanjutkan, "Kalau aku lahir di keluarga biasa, takutnya aku nggak bisa mengejar pencapaian Kak Tirta seumur hidup."Tirta tertawa dan menimpali, "Sudahlah, aku nggak bercanda denganmu lagi. Maaf, merepotkanmu datang jauh-jauh ke sini. Bagaimana kalau aku traktir kamu makan?"Shinta menggeleng, lalu menyahut, "Nggak usah. Tadi aku sudah makan sebelum datang, sekarang aku nggak lapar. Hanya saja, sebelumnya kamu bilang besok bisa kumpulkan bahan obat untukku. Apa itu benar?"Tirta membalas, "Tentu saja benar. Besok kamu datang saja kalau ada waktu."Sebenarnya Tirta memang mempunyai bahan obat-obatan itu. Hanya saja, dia merasa kurang pantas mengungkitnya terlebih dahulu sebelum Shinta mencarinya.Tiba-tiba, Tirta ingat besok pagi dia harus mengantar Mauri. Jadi, dia berkata, "Oh, iya. Kamu harus tunggu sampai sore. Aku ada urusan waktu pagi, nanti aku nggak ada di rumah kalau kamu datang."Shinta yang antusias menanggapi, "Oke. Kalau begitu, aku baru cari kamu besok sore."Mend
"Kalau ada yang nggak ngerti, langsung tanyakan padaku saja," pesan Lutfi."Oke. Terima kasih banyak, Kak. Setelah aku menguasai jurus hebat, aku nggak bakal melupakan jasamu." Mata Tirta berbinar-binar saat menerima barang di tangan Lutfi."Aku nggak bisa dibilang berjasa juga. Aku cuma nggak ingin kamu menyia-nyiakan bakatmu." Lutfi terkekeh-kekeh.Setelah mengobrol sejenak, Shinta berpamitan dengan Tirta, "Kami masih punya urusan. Kami balik dulu ya. Besok sore kalau mau ke tempatmu, aku bakal telepon dulu untuk mengabari.""Oke, hati-hati di jalan. Aku juga mau balik ke klinik untuk makan." Setelah Shinta dan Lutfi naik ke mobil, Tirta mengemudikan mobilnya. Dia dan Susanti sama-sama kembali ke klinik....."Tirta, sebenarnya kasus hari ini agak merepotkan. Aku khawatir Pak Mauri nggak bisa menangani sendirian dan batal ke ibu kota provinsi besok. Sepertinya aku nggak ikut makan lagi deh. Aku harus kembali ke kantor polisi."Setelah tiba di klinik, Susanti tidak turun, melainkan be
Tirta merasa tidak puas dengan hanya memainkan payudara Ayu. Dia pun menghujani Ayu dengan ciuman."Dasar kamu ini! Kalau kamu berani menolakku, aku bakal mengebirimu!" Begitu mendengar ucapan Tirta, Ayu sontak panik. Dia sungguh tidak berdaya dan hanya bisa membiarkan Tirta menjamahnya."Dasar mesum! Siang bolong begini malah bercumbu! Kamu cuma berani menindas bibimu. Kalau berani, sini lawan aku!" Melati sedang bersih-bersih di klinik. Ketika menunduk, dia tiba-tiba melihat puting yang begitu mencolok.Saat melihat Tirta menindas Ayu, Melati pun meletakkan barang-barang di tangannya dan menepis tangan Tirta."Hehe. Kak, kamu kira aku nggak berani? Tenang saja, kamu juga bakal merasakannya. Kamu bakal minta ampun padaku nanti." Tirta tidak marah, melainkan memeluk Melati dan menciumnya. Melati hampir meleleh dibuatnya."Um ...." Melati tidak bisa menghindar. Bahkan, dia berinisiatif membalas ciuman Tirta. Kalau bukan karena ada Ayu, dia pasti sudah lebih liar dari ini."Kalian ini be
"Omong-omong, Kak Arum, kenapa Bu Yanti mencarimu lagi? Sepertinya dia mencarimu setiap hari?" tanya Tirta dengan penasaran sambil mengemudikan mobilnya."Bukan sesuatu yang penting. Dia baru pindah kemari, jadi nggak punya teman. Dia cuma ajak aku makan bersama kok." Saat menyahut, Arum diam-diam melirik kemaluan Tirta yang menggembung.Sesudah mendengar penjelasan Susanti, Arum membulatkan tekadnya untuk mencobanya dengan Tirta. Dia ingin merasakannya sendiri. Apa benar yang dikatakan Susanti?"Oh, makan saja harus ajak kamu. Sepertinya dia kurang kerjaan sekali," keluh Tirta. Dia tentu tidak tahu apa-apa tentang niat Arum."Jangan sembarangan bicara. Bu Yanti sangat baik. Dia juga nggak keberatan kamu menyemprotnya dengan pipis. Sekarang kami teman dekat. Jangan bicara buruk tentangnya. Kalau nggak, aku bakal aduin kamu ke dia supaya dia memberimu pelajaran." Arum mengerlingkan matanya."Hehe, cuma iseng. Sebenarnya Bu Yanti memang baik. Dia orang yang punya toleransi dan berhati be
Napas Arum sontak memburu. Dia terbata-bata, tidak bisa berbicara dengan baik. Wajahnya pun memerah.Pada akhirnya, Arum menggigit bibirnya karena menemukan alasan yang tepat. "Eee ... aku kurang enak badan. Aku sudah merasa lebih baik waktu kamu memijatku. Aku ingin suruh kamu pijat lagi. Boleh nggak?"Usai berbicara, Arum menunduk dan tidak berani menatap Tirta."Oh, cuma itu. Boleh saja. Pijatnya di klinik saja," sahut Tirta tanpa ragu sedikit pun."Ja ... jangan. Bukannya pijat harus buka baju?" Arum menggeleng. Wajahnya makin merah. Dia meneruskan, "Bibi Ayu dan Kak Melati di klinik. Aku malu kalau dilihat mereka. Sebaiknya di tempat yang nggak ada orang saja. Di mobil bisa kok.""Eh? Eee ...." Sebenarnya Tirta ingin menjelaskan bahwa tidak perlu melepaskan pakaian. Saat itu, Arum memang tidak mengenakan pakaian."Kenapa? Kamu nggak mau ya?" Arum mengepalkan tangannya dengan erat mengira Tirta tidak menyetujuinya."Bu ... bukan begitu. Aku tentu mau." Entah mengapa, tatapan Tirta
"Ini ... ini juga harus dilepas?" tanya Tirta yang napasnya menjadi berat. Dia hampir tidak bisa memercayai pendengarannya. Matanya sampai terbelalak."Tapi, yang kupijat adalah perutmu. Nggak dilepas juga nggak apa-apa." Apa mungkin spekulasinya benar? Arum menjadi berahi karena lingkungan di sekitarnya?"Kamu mau braku dilepas atau nggak? Kalau kamu nggak mau, ya sudah ...." Nada bicara Arum terdengar agak menyalahkan. Dia menggigit bibirnya dengan malu.Biasanya, Tirta selalu bersikap mesum. Kenapa malah tidak memahami isyaratnya ini dan hanya berpangku tangan? Apa Tirta ingin menggodanya?"Aku ... aku tentu mau. Aku mau kamu lepasin semuanya sampai nggak ada yang tersisa!" Kini, Tirta yakin 100% bahwa Arum memang sedang berahi. Makanya, dia tidak menutupi apa pun lagi.Ketika kemari, Tirta tidak sempat menyelesaikan permainannya dengan Ayu dan Melati. Dia pun memutuskan untuk melakukannya bersama Arum di hutan! Lagi pula, Arum menginginkannya. Tidak ada salahnya dia menerima semua
"Bi Ayu, aku sudah bawa Tirta kembali! Waktu aku sampai, dia sedang makan nasi kotak di vila!" Setelah kembali ke klinik, Arum melepaskan Tirta dan menepuk tangannya sambil berkata dengan tidak puas."Tirta, Arum sudah masak banyak makanan bergizi untukmu. Kenapa nggak dimakan dan malah pergi ke vila untuk makan nasi kotak?" tanya Ayu dengan bingung."Kenapa lagi?" Agatha tertawa dan menyela, "Karena dia nggak ingin makan kemaluan sapi!"Di sudut meja makan, Nia yang mendengar ini merasa agak malu."Tirta, terakhir kali kamu menghabiskan sepiring penuh kemaluan sapi dalam dua hingga tiga menit. Kenapa kali ini kamu nggak mau makan?" tanya Arum dengan kesal. "Aku kira kamu suka makan itu, jadi aku masak dua batang kali ini!""Ya, Tirta, kenapa kali ini kamu nggak mau makan?" tanya Melati dengan bingung."Aku ... hais, aku sebenarnya nggak butuh makan itu. Tubuhku sehat-sehat saja, makanan seperti itu berlebihan untukku," timpal Tirta dengan lesu."Kenapa berlebihan? Makanan itu sangat b
Farida menebak Tirta pasti menyembunyikan sesuatu. Dia mengambil nasi kotak dari mobil, lalu memberikannya kepada Tirta. Farida berkata, "Nggak ada nasi kotak yang tersisa lagi. Kalau kamu nggak keberatan, ini nasi kotakku."Farida yang membawa nasi kotak. Di atasnya terdapat gambar kartun kucing berwarna merah muda. Gambar itu juga terdapat di pakaian dalam yang sering dikenakannya. Siapa sangka, Farida yang lebih tua daripada Ayu menyukai barang lucu seperti ini."Kak Farida, kalau kamu berikan nasi kotakmu padaku, kamu makan apa?" tanya Tirta. Dia merasa malu. Apalagi setelah melihat gambar kucing di nasi kotak itu.Farida melihat tatapan Tirta tertuju pada gambar kucing itu. Dia takut Tirta mentertawakannya. Farida menyahut dengan gugup, " Aku nggak lapar, anggap saja aku lagi diet. Kamu makan saja.""Oke. Terima kasih, Kak Farida. Oh, iya. Bagaimana perkembangan renovasi vila? Apa malam ini aku bisa tinggal di vila?" timpal Tirta.Tirta tidak sungkan lagi. Dia membuka nasi kotak,
Tiba-tiba, terdengar suara batuk Agatha. Dia bertanya, "Tirta, apa maksudmu?"Tirta terkejut. Dia segera menyimpan mata tembus pandang, lalu membuka pintu dan berkata seraya tersenyum, "Kak Agatha, maksudku Kak Nia sangat kompeten. Ke depannya pria yang bersamanya pasti bahagia."Agatha yang curiga bertanya, "Kenapa kamu tiba-tiba bicara seperti itu? Bukannya kamu lagi melakukan akupunktur pada Kak Nia? Apa yang dia lakukan?"Tirta menjawab dengan tenang, "Maksudku untuk urusan kebun buah. Tadi kami membahas masalah kebun buah waktu melakukan terapi akupunktur. Kak Nia bisa mengurus semuanya tanpa bantuanku. Dia sangat kompeten."Agatha mengangguk sambil menanggapi, "Kak Nia memang kompeten. Aku pun nggak bisa melakukannya sendiri. Aku pasti kewalahan."Agatha bertanya lagi, "Mana Kak Nia? Apa terapi akupunktur sudah selesai?"Tirta menyahut, "Sudah. Dia lagi ganti baju."Agatha berusaha menahan tawanya dan menimpali, "Makanannya sudah siap. Kamu cuci tangan dulu sebelum makan. Kak Aru
Tirta berkata sebelum memulai akupunktur, "Kak Nia, terapi akupunktur kali ini mungkin berbeda dengan sebelumnya. Aku akan menambahkan pijatan agar efeknya lebih bagus."Tirta melanjutkan, "Sebaiknya kamu persiapkan mentalmu. Tentu saja, aku nggak berniat mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kalau kamu keberatan, aku hanya melakukan akupunktur.""Pijatan?" ujar Nia. Dia menghela napas, lalu mengangguk dan menambahkan, "Itu ... nggak masalah. Lagi pula, semua itu untuk mengobati penyakitku. Aku bisa terima, yang penting bisa menyembuhkanku.""Oke, Kak Nia. Mungkin nanti akan sedikit gatal. Tahan sebentar, ya," timpal Tirta. Selesai bicara, dia langsung menusukkan jarum ke bagian dada Nia.Kali ini, Tirta melakukan terapi akupunktur pada Nia untuk menyembuhkan sesak napas yang dideritanya. Setelah Tirta mencabut jarum, Nia belum merasakan gatal.Kemudian, Tirta melakukan terapi akupunktur sesi kedua. Begitu Tirta menusukkan jarum, Nia merasa gatal hingga mengeluarkan desahan. Dia bergu
Kemudian, Ayu kembali sibuk di dapur. Agatha keluar dari klinik, lalu bertanya kepada Tirta, "Tirta, Bibi Ayu bilang apa denganmu? Kenapa kalian kelihatan misterius?"Tirta menjawab dengan tenang, "Nggak apa-apa. Bibi Ayu tanya kenapa Kak Nia tiba-tiba tinggal di klinik.""Oh. Kamu cepat lihat dulu, nanti malam Kak Nia tidur di mana?" timpal Agatha. Dia menarik Tirta masuk ke klinik, lalu melanjutkan dengan ekspresi khawatir, "Selain itu, kita bertiga ... kita tidur di mana? Nggak ada tempat lagi."Nia yang berdiri di depan pintu klinik berujar dengan canggung, "Tirta, apa aku merepotkan kalian? Kalau nggak, aku tinggal di hotel saja."Tirta menepuk dadanya sambil menjamin, "Nggak usah, Kak Nia. Aku sudah atur semuanya. Klinik ini cukup untuk ditempati kita semua.""Kalau begitu, kamu lakukan akupunktur pada Kak Nia. Aku lihat Bibi Ayu butuh bantuan atau nggak," ucap Agatha. Selesai bicara, dia masuk ke dapur.Tirta menutup pintu klinik, lalu mengambil jarum dan berkata kepada Nia, "Ka
Tirta memang kuat. Kalau tidak, dia juga tidak bisa mengancam Agatha. Melihat Agatha sudah setuju, Tirta langsung mengangguk dan berujar, "Kak Agatha, kamu tenang saja. Aku pasti akan membereskan Susanti dan nggak akan membuatmu merasa nggak nyaman."Agatha mendengus, lalu membalas sembari memelototi Tirta, "Cuma kali ini, ya. Ke depannya aku nggak mau melakukannya bersama Susanti."Agatha melepaskan dirinya dari pelukan Tirta, lalu berjalan ke mobil terlebih dahulu. Tirta yang merasa puas segera mengikuti Agatha kembali ke mobil.Nia bertanya, "Agatha, apa perutmu masih sakit?"Agatha berusaha tenang saat menjawab, "Nggak, Kak Nia. Setelah kita kembali, suruh Tirta lakukan akupunktur padamu untuk menyembuhkan sesak napasmu."Nia menyahut seraya mengangguk, "Oke."....Setengah jam kemudian, mereka kembali ke klinik. Kala ini, Ayu, Melati, dan Arum sedang sibuk di dapur. Ayu penasaran ketika melihat Nia juga turun dari mobil dan membawa banyak keperluan sehari-hari.Ayu menarik Tirta k
Tirta langsung berbicara terus terang. Sebelum dia melanjutkan perkataannya, Agatha mencebik dan berujar, "Tirta, kamu memang berengsek! Kamu nggak pernah tiduri aku di klinik. Kamu lebih suka tiduri Susanti atau aku?"Tirta menyahut, "Tentu saja aku lebih suka tiduri kamu. Dadamu lebih besar, bokongmu lebih montok, kakimu ramping, kulitmu mulus, sifatmu juga baik ...."Dalam situasi seperti ini, tentu saja Tirta tahu siapa yang lebih baik. Dia terus memuji Agatha.Agatha memutar bola matanya, tetapi dia tidak terlalu marah lagi. Agatha menyela, "Cukup, kamu itu munafik. Jelas-jelas punya Susanti hampir sama denganku, kamu terlalu berlebihan."Agatha bertanya, "Jadi, apa semua ini ada hubungannya dengan keinginanmu?"Tirta mengusap tangannya seraya menjawab, "Tentu saja ada. Bukannya malam ini Kak Agatha mau tinggal di klinik? Susanti juga pulang ke klinik, kalian ....""Tunggu!" sergah Agatha. Dia merasa ada yang tidak beres. Agatha menegaskan, "Malam ini aku nggak mau tinggal di klin
Tirta menegaskan, "Bu, sudah kubilang kamu nggak usah sungkan. Kebetulan aku ada di sini, jadi aku bisa menyelamatkan anakmu. Untuk urusan bisnis, semuanya tetap harus diperhitungkan dengan jelas. Kalau aku kurang bayar 1 miliar, takutnya kamu nggak dapat keuntungan. Kalau kamu nggak mau terima, aku nggak beli lagi."Bos toko bersikeras berkata, "Jangan begitu. Aku juga nggak marah biarpun kamu nggak beli. Aku cuma punya 1 anak, dia lebih berharga dari nyawaku. Kamu menyelamatkan anakku dan memesan begitu banyak bibit pohon buah dariku. Aku sangat berterima kasih padamu, mana mungkin aku membiarkan kamu menghabiskan begitu banyak uang?"Bos toko menambahkan, "Lagi pula, setelah kamu bayar 3 miliar, aku sudah bisa dapatkan keuntungan 1 miliar lebih. Aku nggak rugi."Tirta terpaksa menanyakan pendapat Agatha dan Nia, "Kak Agatha, Kak Nia, bagaimana menurut kalian?"Agatha bertatapan dengan Nia, lalu menyahut sembari tersenyum, "Tirta, bos mau berterima kasih padamu dan kita memang kekura
Tirta berpikir sejenak, lalu tersenyum licik dan berucap, "Kalau kamu benar-benar merasa bersalah, kamu kabulkan satu keinginanku saja. Anggap sebagai kompensasi."Agatha segera mengangguk seraya menyahut, "Apa keinginanmu? Kamu bilang saja. Asalkan aku bisa melakukannya, aku pasti kabulkan keinginanmu."Tirta mengedipkan matanya, lalu menimpali, "Nanti kita baru bicarakan di mobil. Sekarang kita bicarakan masalah bibit pohon buah dengan bos toko dulu.""Oh. Kalau begitu, nanti kita baru bicarakan di mobil," balas Agatha. Dia merasa Tirta berniat jahat, tetapi dia tidak keberatan.Anak bos toko sudah tertidur setelah minum susu. Bos toko keluar dari kamar. Dia membawa sepiring buah yang sudah dicuci.Bos toko berujar, "Kalian sudah menunggu lama. Istirahat dulu dan makan buah.""Terima kasih, Bu," sahut Tirta. Dia tidak sungkan lagi dan langsung duduk di bangku. Tirta mengambil buah pir dan memakannya.Agatha dan Nia juga mengambil buah, lalu duduk di samping Tirta sambil memakan buahn