"Anu ... sebenarnya kemarin malam aku ...." Tirta mengernyit, lalu tiba-tiba menghela napas dan berdiri dari duduknya. Dia berucap, "Sudahlah, kamu nggak akan percaya biarpun aku jelaskan padamu. Lebih baik aku pergi saja.""Tunggu ... ceritakan padaku. Aku percaya padamu. Kamu bisa pergi setelah selesai cerita," ujar Susanti sambil meraih tangan Tirta, tidak ingin pria itu pergi.Bagaimanapun, Susanti masih belum rela melepaskan Tirta. Jika tidak, dia tidak akan minum-minum hingga mabuk untuk meredakan kekesalannya, lalu membiarkan pria itu mengantarnya pulang."Oke ... kalau begitu aku akan jujur padamu," ucap Tirta. Dia duduk lagi, lalu menceritakan kejadian kemarin malam apa adanya. Tentu saja, dia melewatkan detail tentang apa yang dilakukannya bersama Aiko."Sejujurnya aku nggak tertarik pada Aiko. Dia yang salah paham kalau aku menyukainya. Aku juga nggak pandai menolak orang, jadi ...," jelas Tirta, sengaja tidak melanjutkan akhir kalimatnya.Tirta lantas melanjutkan, "Susanti,
Tirta langsung melancarkan aksinya tanpa peringatan. Susanti seketika tidak mampu melanjutkan perkataannya.Segera setelahnya, Tirta terus bergerak tanpa kenal lelah. Susanti sama sekali tidak mampu bertahan, apalagi punya kesempatan untuk bicara!Perlahan-lahan, Susanti mulai terbuai dengan sentuhan Tirta. Dia bahkan lupa apa yang hendak dikatakannya barusan.Sesuai perkiraan Tirta, dengan koneksi mendalam seperti ini, amarah Susanti perlahan reda. Bukan hanya itu, perasaan wanita itu padanya juga makin bertambah besar! Setelah merasakan manisnya sentuhan Tirta, Susanti bahkan mulai berinisiatif mengimbangi aksi pria itu.....Belasan menit kemudian, pasangan paruh baya dengan wajah yang mirip Susanti menghampiri pintu. Mereka mendengar suara-suara mencurigakan di dalam ruangan.Yuli, ibu Susanti adalah seorang wanita paruh baya yang cantik. Dia berucap dengan ekspresi rumit pada pria di sebelahnya, "Sayang, kamu dengar sesuatu, nggak?"Pria itu adalah ayah Susanti, Anton. Dia mendeng
"Apa? Orang tuamu di luar?" Hasrat Tirta sontak padam. Dia memasang ekspresi serius saat berkata, "Susanti, jangan panik. Aku berani mempertanggungjawabkan perbuatanku. Aku nggak bakal sembunyi. Aku bantu kamu pakai pakaianmu. Kamu istirahat saja di ranjang.""Aku yang bakal menemui orang tuamu dan memberi penjelasan. Nggak masalah kalau mereka memukulku. Kamu juga tahu aku kebal terhadap semua serangan. Aku nggak bakal terluka."Sambil berbicara, Tirta membantu Susanti memakai pakaian dengan lembut. Kemudian, dia juga buru-buru memakai pakaiannya.Setelah ragu-ragu sejenak, Susanti berkata dengan ekspresi rumit, "Benar juga. Tapi, gimana kamu akan menjelaskan sendiri? Lebih baik aku ikut. Terus, kamu jangan sakit hati kalau orang tuaku bicaranya agak kasar."Usai berbicara, Susanti hendak turun dari ranjang. Namun, Tirta menyiksanya di ranjang selama 4 jam. Seluruh tulangnya seolah-olah remuk. Bagaimana bisa dia turun?"Aku sudah meniduri putri kesayangan mereka. Kenapa aku harus mara
Benar juga, mungkin bocah ini punya kehebatan! Jika tidak, bagaimana mungkin putrinya tertarik?Dengan menaruh harapan besar, Yuli bertanya kepada Tirta, "Namamu Tirta, 'kan? Kamu orang mana? Apa kerjaanmu? Apa kerjaan orang tuamu?"Jika jawaban Tirta bisa memuaskannya, Yuli akan menerimanya sebagai calon menantu. Namun, jawaban Tirta malah membuatnya sangat kecewa, bahkan marah!"Bibi, aku dari Desa Persik. Sekarang aku belum punya kerjaan. Orang tuaku meninggal waktu aku masih kecil. Tapi, aku ...."Sebelum Tirta menyelesaikan ucapannya, Yuli sontak bangkit dan menunjuk Tirta. "Apa? Kamu anak yatim piatu dari desa? Kerjaan saja nggak punya?""Ya Tuhan! Gimana bisa bocah sepertimu mengejar putriku? Putriku harus menikah dengan keluarga kaya! Kamu sudah mencelakai putriku! Aku mau lapor polisi! Aku mau menuntutmu karena telah melecehkan putriku! Kamu harus mendekam di penjara!"Yuli yang tidak bisa menerima kenyataan ini pun tidak ingin melihat Tirta lagi meskipun hanya untuk sedetik.
"Paman, gimana kalau putrimu nggak bohong dan aku benaran punya aset senilai puluhan triliun? Apa kalian akan menyetujui hubunganku dengan Susanti?" tanya Tirta sambil menatap Anton.Tirta mengerti bahwa setiap orang tua ingin putrinya mendapat pasangan yang baik, tetapi sikap yang ditunjukkan oleh Yuli membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Jika tidak menghormati mereka, Tirta mungkin sudah membawa Susanti pergi sejak tadi dan tidak akan berlama-lama di sini."Jangankan punya aset puluhan triliun. Kalau kamu bisa mengeluarkan uang ratusan juga dan membeli rumah, aku juga akan merestui hubungan kalian. Tapi, dengan kondisimu, takutnya nggak bisa," sahut Anton dengan yakin sambil menggeleng."Ya! Kamu saja nggak punya kerjaan. Kamu juga anak yatim piatu dari desa. Mana mungkin kamu punya uang ratusan juta? Kamu kira uang itu daun? Cepat lepaskan putriku! Pergi dari sini!" hardik Yuli sambil menunjuk pintu."Paman, ini cek senilai 40 triliun. Lihat baik-baik. Kamu pasti tahu aku bohong a
"Apa? Ternyata yang dibilang Susanti benaran? Dia benaran punya aset puluhan triliun? Ya ampun ...." Yuli menatap Tirta dengan tatapan tidak percaya. Di tidak percaya Tirta memiliki kemampuan sehebat itu.Yuli sendiri tidak akan bisa menghasilkan uang sebesar itu sekalipun bekerja untuk seumur hidup, apalagi menghamburkannya. Siapa sangka, anak yatim piatu seperti Tirta ternyata adalah orang kaya misterius!"Susanti, Ibu minta maaf karena mendorongmu tadi. Jangan marah ya. Dasar kamu ini. Kenapa nggak bilang sejak awal kalau Tirta begitu kaya? Ibu sampai salah paham padanya!" Yuli tersenyum lebar sambil mengeluh kepada Susanti."Ibu, aku sudah bilang tadi. Memangnya kamu percaya? Kalau Tirta nggak mengeluarkan cek itu, kamu nggak bakal percaya untuk selamanya, 'kan?" sahut Susanti. Seketika, Yuli tidak bisa berkata-kata."Pak Tirta, ini salahku. Kalau aku mengenalimu sejak tadi, kesalahan seperti ini nggak bakal terjadi. Kukembalikan cekmu ini. Tolong jangan bersikap perhitungan pada k
"Oke. Beberapa hari lagi, vilaku bakal siap. Nanti, kamu boleh tinggal selama mungkin di sana." Tirta langsung menyetujuinya.Kemudian, dia melirik Susanti dengan nakal dan meneruskan, "Tapi ....""Tapi apa? Bicara jangan setengah-setengah! Apa ada yang harus kuperhatikan? Beri tahu saja aku," balas Susanti sambil mengernyit."Bukan begitu. Aku cuma takut tubuhmu yang lemah ini nggak sanggup menahan terlalu lama." Sambil berbicara, Tirta menjulurkan tangannya untuk mencubit wajah Susanti."Cih! Memangnya kamu bisa melakukannya setiap hari?" Susanti menepis tangan Tirta dengan tidak berdaya, lalu mengerlingkan matanya."Hehe. Sepertinya nggak perlu kujelaskan lagi. Kalau orang tuamu nggak datang, aku mungkin akan menyiksamu semalaman! Jangan lupa, aku cuma mengerahkan 30% tenagaku, tapi kamu sudah memohon ampun," tutur Tirta dengan percaya diri."Aku ...." Susanti seketika tidak bisa membantah. Ketika Tirta melepaskan pakaian tadi, Susanti terkejut hingga wajahnya memucat. Kedua kakinya
"Tirta sudah jelasin semuanya kepadaku. Aku nggak marah lagi. Kalau nggak, aku nggak bakal ikut dia pulang.""Oh .... Kalau begitu, ayo masuk. Kalian sudah makan belum?" Melati melirik Tirta. Saat melihat Tirta mengangguk, dia baru merasa lega dan bertanya dengan penuh perhatian, "Aku masak untuk kalian ya?""Ya. Kalau kalian belum makan, aku dan Melati bisa masak untuk kalian," ucap Ayu yang juga merasa lega."Nggak usah repot-repot. Aku sudah capek. Aku mau tidur saja. Aku juga nggak lapar kok." Ekspresi Susanti tampak kelelahan. Kemudian, dia berbalik dan bertanya kepada Tirta, "Malam ini aku tidur di mana?""Hm .... Sepertinya kamu tidur sama Kak Arum saja. Ranjangnya baru dan lebih besar. Jadi, lebih nyaman dari ranjang lama," timpal Tirta setelah berpikir sejenak dan melirik sekeliling.Susanti mengangguk dan bertanya lagi, "Gimana denganmu? Kamu tidur di mana?""Aku bisa tidur di mobil kok. Aku sering tidur begitu. Kalau nggak, besok aku ke kota beli ranjang baru," sahut Tirta d
Di sisi lain, Tirta menelepon Ayu setelah Idris dan Rasmi pergi. Setelah panggilan terhubung, Ayu yang sudah 2 hari tidak bertemu Tirta tentu merasa khawatir. Dia terus menanyakan kondisi Tirta.Tirta menjelaskan kondisinya dengan singkat, "Bi, Susanti terancam bahaya. Jadi, aku langsung naik pesawat untuk mencari Susanti. Tapi, kamu nggak usah khawatir. Sekarang semuanya sudah aman."Tirta memberi tahu Ayu pemikirannya, "Aku berencana membawa Susanti menemuimu setelah dia bangun, lalu kita dan Bi Elisa langsung kembali ke Desa Persik. Kita tinggal di sana untuk beberapa waktu."Mendengar ucapan Tirta, Ayu yang khawatir bertanya, "Ha? Tirta, kalau kamu mau kembali ke Desa Persik, tentu saja aku dan Elisa nggak keberatan. Masalahnya, gimana caranya kamu menjelaskan pada Bu Bella?"Ayu menambahkan, "Bagaimana kalau Bu Bella mau ikut kita kembali ke Desa Persik? Aku rasa berdasarkan sifat Bu Bella, dia pasti nggak terima kalau tahu kamu punya banyak kekasih.""Aku yang akan jelaskan pada
"Aku rasa otakmu bermasalah karena terlalu lama tinggal di Provinsi Naru!" bentak Rasmi. Ucapannya menunjukkan dia tidak menyukai Tirta."Rasmi, kenapa kamu bicara seperti itu? Pak Tirta itu saudara Ayah. Bukannya sudah seharusnya kita bersikap hormat padanya? Lagi pula ...," sahut Idris.Idris berniat menceritakan pada Rasmi bahwa Tirta sudah membantunya menyelesaikan masalah mereka yang tidak bisa mempunyai keturunan.Namun, sebelum Idris selesai bicara, Rasmi menyela, "Apa? Aku nggak marah kalau nggak ungkit masalah itu! Ayah sudah pikun, makanya dia mengakui pemuda itu sebagai saudaranya."Rasmi melanjutkan, "Waktu Ayah menceritakan masalah ini padaku, aku sudah sarankan dia cepat batalkan keputusannya. Ayah pikun karena tua, masa kamu juga sama? Kalau waktu itu Ayah mengakui anak 3 tahun jadi saudaranya, apa kamu juga mau memuja anak kecil itu?"Rasmi menambahkan, "Aku nggak peduli! Apa pun caranya, kamu harus usir pemuda itu dari rumah kita secepatnya! Aku nggak mau tinggal di ho
Begitu melontarkan perkataannya, Marila baru merasa kurang pantas. Dia berbisik lagi dengan wajah memerah, "Pak Tirta, bukan itu maksudku. Jangan salah paham."Tentu saja Tirta tahu Marila tidak bermaksud seperti itu. Dia tertawa, lalu menanggapi, "Oke. Aku tunggu Bu Marila pulang setelah beli bahan obat-obatan."Sesudah itu, Tirta tidak mengatakan apa pun lagi. Mendengar perkataan Tirta, Marila baru merasa tenang. Kemudian, Marila berpamitan dengan Idris.Tirta merasa bosan saat menunggu Marila. Dia kembali ke kamar untuk menemani Susanti. Tirta duduk di samping tempat tidur. Pikirannya sangat kacau.Tirta mendesah dan bergumam, "Setelah Susanti bangun, aku bawa dia cari Bi Ayu, lalu langsung kembali ke Desa Persik. Kak Nabila, Kak Melati, Kak Arum, Kak Farida, dan lainnya pasti merindukanku."Sebenarnya sebelum Susanti tertimpa masalah, Tirta berencana pergi ke ibu kota setelah meninggalkan Provinsi Dohe. Namun, masalah ini terjadi.Tirta juga memahami satu hal. Dia memang bisa menge
"Aku nggak akan pergi lagi. Jangan tiduri aku, ya?" mohon Selina. Wajahnya memerah setelah mendengar ucapan Tirta.Selina berusaha menggerakkan pinggangnya untuk menjauhi sumber masalah itu. Napas Tirta yang hangat membuat wajah Selina merah padam.Tirta menegaskan, "Aku nggak peduli, pokoknya sekarang aku harus menidurimu sampai puas. Terserah kamu mau pergi atau tetap tinggal, aku tetap akan melakukannya!"Hasrat Tirta membara karena pinggang Selina terus bergerak. Dia segera mengerahkan 2 teknik. Yang pertama adalah Teknik Menghilang untuk menyembunyikan tubuhnya dan Selina. Yang kedua adalah Teknik Senyap untuk menutupi suara yang dikeluarkan Selina selanjutnya.Kemudian, Tirta langsung bersanggama dengan Selina. Sementara itu, Selina memelas, "Tirta ... jangan ... aku benci kamu ...."Biarpun mengeluh, tubuh Selina tetap terangsang. Jelas-jelas Tirta sudah melepaskannya, tetapi Selina tidak melepaskan Tirta dan tidak bergerak sedikit pun. Dia membiarkan Tirta memberinya kompensasi
Tirta menunggu sampai Selina berjalan keluar dari taman bunga kompleks tempat Idris tinggal. Dengan begitu, mereka berdua sudah menjauh dari pandangan Anton dan Yuli.Tirta baru maju dan berkata seraya memeluk Selina, "Bu Selina, aku tahu kamu pasti pergi bukan karena dipanggil atasan. Apa kamu punya masalah? Kamu bisa ceritakan padaku.""Aku nggak punya masalah. Pak Tirta, aku cuma ingin pulang untuk mengurus kasus. Selain itu, aku sudah merasa sangat bangga bisa mengenal tokoh hebat sepertimu. Aku nggak mau terus tinggal di sini dan mengganggu Pak Tirta," sahut Selina.Selina memohon, "Pak Tirta, tolong lepaskan aku. Kita berdua nggak punya hubungan apa pun. Kita lupakan masalah yang sudah berlalu."Mata Selina memerah. Dia berbicara sambil terisak dan ingin melepaskan Tirta.Sementara itu, Tirta yang merasa tidak berdaya mendesah dan menimpali, "Bu Selina, aku sudah paham. Kamu pasti merasa aku cuma berpura-pura dan mempermainkan perasaanmu setelah kamu tahu latar belakangku. Jadi,
Selain itu, perasaan Selina campur aduk saat melihat Tirta. Melihat ekspresi mereka yang terkejut, Idris tertawa dan bertanya, "Apa Pak Tirta nggak pernah beri tahu kalian?"Idris membatin, 'Pak Tirta sangat hebat. Biarpun nggak ada Pak Saba, Pak Tirta bisa mendekati petinggi negara yang lain asalkan dia mau.'Sayangnya, Idris sudah berjanji kepada Tirta tidak akan mengungkapkan kehebatannya. Kalau tidak, Idris akan menjadi pelindung Tirta dan memamerkan kehebatannya.Yuli masih merasa antusias. Bahkan, dia sangat bangga hingga memandangi Tirta seraya tersenyum lebar dan menjawab, "Nggak. Pak Tirta, kenapa kamu nggak beri tahu kami hal sepenting ini?"Sekarang Tirta terpaksa harus mengakuinya. Dia berdeham, lalu menanggapi dengan ekspresi tenang, "Karena aku merasa hal seperti ini nggak perlu diumbar. Aku juga nggak ingin memanfaatkan status Pak Saba untuk bertindak semena-mena."Kenyataannya memang seperti itu. Tirta tidak pernah berinisiatif mengatakan dirinya adalah saudara Saba.Yu
Tirta tertawa licik, lalu membalas, 'Oke. Kak, aku akan pergi. Nanti malam jangan berpikiran untuk menghabisiku lagi.'Kemudian, Tirta keluar dengan perasaan gembira. Dia melihat Idris yang antusias sedang duduk tegak sambil mengobrol dengan Marila, Yuli, dan Selina.Begitu Tirta keluar, Idris langsung berhenti bicara. Dia berdiri, lalu menyambut Tirta, "Pak Tirta ...."Yuli juga menghampiri Tirta dan menimpali sembari tersenyum, "Pak Tirta, apa kita bisa bicara sebentar? Ada yang ingin kutanyakan padamu.""Ada apa? Tentu saja boleh," sahut Tirta.Yuli sangat senang melihat Tirta menyetujui permintaannya. Dia segera menarik Tirta kembali ke kamar. Namun, sebelum Yuli membawa Tirta masuk ke kamar, Anton yang keberatan menghentikan Yuli, "Aduh, berhenti! Yuli, kamu gila, ya? Kenapa kamu nggak langsung bertanya pada Pak Tirta di sini saja? Untuk apa kamu bawa dia ke kamar? Kamu kira ini rumahmu?"Anton berucap pada Tirta dengan ekspresi canggung, "Pak Tirta, begini. Ibunya Susanti ingin
Namun, bagian tubuh yang telah dipijat oleh Tirta terasa hangat dan nyaman, membuat Idris sangat rileks."Sudah beres. Pak Idris, masalahmu berasal dari kelelahan berkepanjangan ditambah dengan faktor bawaan, menyebabkan kondisi tubuhmu lebih lemah dari orang lain, makanya sulit menghasilkan sperma.""Dengan metode kedokteran barat, masalah seperti ini sangat sulit ditangani, bahkan sering kali tak terdeteksi.""Tapi di tanganku, ini bukan masalah besar. Kalau kondisi tubuh istrimu juga memungkinkan, aku jamin malam ini kamu bisa langsung tepat sasaran."Saat mengatakan itu, alis Tirta tiba-tiba berkerut. Dia baru teringat satu hal. Dia sudah berhubungan intim dengan begitu banyak wanita, tetapi sejauh ini belum ada satu pun yang hamil."Wah, terima kasih banyak, Pak Tirta! Kalau aku dan istriku benar-benar bisa punya anak, aku pasti akan undang kamu ke acara syukuran!"Idris yang tenggelam dalam euforia itu sama sekali tidak menyadari ekspresi aneh di wajah Tirta. Dia sangat bersyukur
"Pak Idris, kalau memang ada sesuatu, lebih baik berdiri dan bicarakan saja. Selama bukan hal yang melanggar nurani dan hukum, aku pasti akan bantu." Melihat keadaan itu, Tirta hanya bisa menghela napas dengan pasrah."Benarkah? Kamu benaran bersedia membantuku, tanpa mengungkit kesalahan masa lalu? Tapi, permintaanku ini .... Aku ingin kamu membantuku dan istriku agar bisa punya seorang anak.""Kami sudah menikah 20 tahun, sampai sekarang belum juga punya keturunan. Aku dan istriku sudah pergi ke rumah sakit di seluruh negeri, tapi nggak ada yang bisa menemukan penyebab pastinya ...."Idris akhirnya berdiri dari lantai, tetapi suaranya masih penuh emosi dan sedikit tidak percaya. Dia merasa Tirta yang seperti dewa hidup pasti sulit didekati dan tak mudah diajak bicara. Itu sebabnya, sikapnya terhadap Tirta sangat sungkan."Kenapa nggak? Pak Idris, kamu dan Bu Marila sudah susah payah membantuku mencari Susanti. Aku tentu harus membantumu semaksimal mungkin.""Lagi pula, sekalipun buka