'Ternyata nggak ada pintu kehidupan. Wanita ini memang cantik dan postur tubuhnya bagus, tapi dia terlalu licik,' batin Tirta. Selain merasa kecewa, dia makin berwaspada terhadap Alicia.Susanti yang merasa tidak puas mencubit Tirta dan berkomentar, "Mereka itu pelaku kriminal. Kamu masih berharap dia bisa bicara jujur? Jangan tertipu oleh paras wanita yang cantik."Meskipun sudah melihat Alicia membunuh orang, Susanti juga tidak langsung bertindak. Semua orang yang dibunuh Alicia berasal dari Negara Martim. Mereka juga merupakan pelaku kriminal.Menurut Susanti, orang-orang ini pantas dibunuh. Namun, jika tadi Alicia membunuh orang dari Negara Darsia, Susanti pasti tidak akan terus bersembunyi di sini. Susanti akan menangkap Alicia.Melihat 2 wanita dari Negara Martim tampak putus asa, Alicia menghibur, "Nggak apa-apa. Setelah mendapatkan detektor yang hilang dan menemukan makam, kita pasti bisa keluar.""Tapi, Nona ...," ujar kedua wanita itu dengan ekspresi panik. Salah satu dari me
"Nona, ini hanya mitos. Nggak mungkin benar-benar ada," komentar salah satu wanita dari Negara Darsia. Mereka tidak setuju dengan pemikiran Alicia.Alicia menyanggah, "Sebelumnya kalian juga lihat monster itu, 'kan? Itu duyung dari mitos Negara Darsia. Monster itu pun bisa hidup, jadi cerita wanita bertanduk naga itu pasti bukan mitos.""Hanya saja, aku nggak menyangka makam kuno ini begitu besar. Bahkan juga dijaga duyung dan ular raksasa. Takutnya kita nggak bisa menemukan wanita bertanduk naga," lanjut Alicia.Alicia menambahkan, "Sekarang kita cari cara untuk keluar dulu. Kelak kita baru pikirkan cara untuk mencari wanita bertanduk naga."Kedua wanita dari Negara Martim juga tidak terlalu antusias sesudah mengetahui kebenarannya. Saat ini, mereka hanya memikirkan bagaimana caranya menemukan detektor dan keluar dari tempat ini dengan selamat.Hanya saja, mereka sangat kelelahan karena dikejar monster di makam terlalu lama. Mereka yang baru saja duduk untuk beristirahat mulai mengant
"Baik, Nona!"Kedua wanita Negara Martim itu segera mengacungkan pistol, lalu melangkah menuju tempat persembunyian Tirta dengan raut waspada. Alicia mengikuti langkah keduanya dengan ekspresi yang tak kalah serius."Kalau dibiarkan, cepat atau lambat mereka akan menemukan kita. Sebelum mereka membunuh kita, gimana kalau kita serang dan bunuh mereka duluan?" ujar Tirta dengan dingin.Wanita itu membunuh orang tanpa belas kasihan. Tirta tidak berani membiarkannya hidup."Nggak bisa, hanya mereka penjahat yang tersisa. Mereka harus ditangkap hidup-hidup," ujar Susanti dengan keras kepala."Tangkap hidup-hidup? Gimana kalau dalam keadaan separuh mati? Aku bisa patahkan dua tangan dan dua kakinya dulu, gimana? Mengasihani penjahat sama saja dengan menzalimi diri sendiri! Kamu ini polisi, bukan malaikat!" balas Tirta tanpa daya."Oke, deh. Tapi, jangan sampai bahayakan nyawa mereka," kata Susanti sambil mengernyit.Ketika Tirta dan Susanti sedang bicara, kedua wanita Negara Martim di depan
Dor, dor, dor! Tirta melepaskan tiga tembakan ke udara. Salah satunya menembus bahu kurus Alicia. Satu peluru lagi mengenai paha Alicia, sementara yang terakhir memeleset.Meski hanya dua peluru yang mengenai tubuhnya, Alicia tetap kehilangan kemampuannya bergerak. Ngerinya, wanita itu sama sekali tidak menjerit setelah ditembak."Awasi kedua orang ini, aku mau mencari wanita Negara Martim yang satunya lagi," ujar Tirta pada Susanti. Kemudian, dia segera berlari menghampiri lokasi Alicia."Sialan! Gimana pria itu bisa menemukanku," gumam Alicia.Wajah Alicia terlihat kaget sekaligus dipenuhi dendam. Berhubung pahanya tertembak, pada dasarnya dia sudah tidak mampu kabur.Setelah menemukan Alicia dengan mudah, Tirta lalu berseru, "Serahkan pistolmu padaku!"Alicia makin terkejut sewaktu melihat jelas wajah Tirta. Ternyata dia hanya pemuda berusia sekitar 18 tahun!"Aku dikalahkan seorang anak kecil?" gumam Alicia tak percaya."Pertama, aku bukan anak kecil. Kedua, aku menyuruhmu menyerah
"Cari aku kalau ada masalah." Kata-kata ini seperti panah cinta yang dilepaskan berulang kali ke hati Susanti.Di makam kuno bawah air ini, keduanya menghadapi mara bahaya bersama. Susanti juga mulai bergantung pada Tirta."Oke, aku mengerti," ujar Susanti dengan wajah merona.Di saat keduanya bermesraan, Alicia masih menatap Tirta dengan heran. Dia bertanya, "Katakan padaku, kenapa kamu baik-baik saja setelah kutembak? Apa kamu mengenakan rompi anti peluru terbaru yang dikembangkan Negara Darsia?""Apa hubungannya denganmu? Nggak usah banyak tanya!" hardik Tirta tanpa ampun. Dia sama sekali tidak menyukai wanita itu."Kamu ... tolong haluskan nada bicaramu dan jawab aku dengan serius!" kata Alicia dengan ekspresi muram. Dia tidak menyangka Tirta akan bicara sekasar itu padanya.Plak! Tirta langsung menampar Alicia. Dia berkata padanya, "Aku sudah menjawabmu. Kalau kamu banyak omong lagi, aku akan menamparmu lagi!""Kamu ...."Alicia naik darah. Mata birunya menatap Tirta lekat-lekat,
"Kalau bertemu monster, kalian mungkin akan mati sebelum kami.""Sekalipun berhasil menemukan detektor itu, kalian tetap nggak akan bisa menggunakannya tanpa kata sandi!"Dua wanita Martim lainnya membalas seraya tersenyum dingin. Mereka sangat sadar bahwa Black Gloves selama ini telah mencuri banyak harta karun dari makam-makam bangsawan dan menyelundupkannya ke luar negeri.Kejahatan mereka sudah cukup untuk dijatuhi hukuman mati. Baik keluar maupun tetap di sini, hasilnya tetap sama yaitu kehilangan nyawa. Bagi mereka, mati di sini mungkin adalah pilihan yang lebih baik. Selain itu, mereka juga bisa menyeret Tirta dan Susanti."Apa yang harus kita lakukan sekarang ...," tanya Susanti. Ekspresinya menjadi pucat saat menyadari situasi ini."Nggak apa-apa. Meski nggak takut mati, mereka pasti takut disiksa," ucap Tirta. Dia berpikir sejenak, lalu tiba-tiba mendapatkan ide."Kamu punya ide apa?" tanya Susanti yang penasaran."Kita lepaskan pakaian mereka, lalu buang ke tempat ular raksa
"Bocah Terkutuk ... sikap apa lagi yang kamu harapkan? Aku bahkan ingin sekali menghajarmu sampai hancur lebur," marah Alicia.Wanita itu sudah ditendang oleh Tirta sebanyak empat atau lima kali. Rasa sakit yang membakar dan rasa malu yang mendalam membuatnya sangat marah.Alicia yang hampir gila dengan penghinaan ini pun melihat Tirta dengan penuh kebencian. Jika bukan karena sudah tertembak empat kali, mungkin dia sudah menyerang Tirta."Dasar wanita kejam! Sudahlah, aku malas berurusan denganmu. Cepat tunjukkan di mana detektor itu berada," ucap Tirta. Dia hampir menendang Alicia lagi, tetapi dihentikan oleh tatapan Susanti."Oke, aku akan tunjukkan tempatnya," ujar Alicia. Dia berdiri dengan susah payah sembari menahan amarah dan rasa sakit. Wanita itu mulai berjalan pincang untuk mengarahkan jalan."Nona, kamu terluka. Biar kami bantu ...." Dua wanita Martim bergegas membantunya, meski mereka juga terluka. Akan tetapi, tatapan mereka yang mengarah pada Tirta masih penuh kebencian.
"Kalian menjauhlah. Jangan mengganggu aku mengeluarkan peluru," ucap Tirta dengan tenang."Judith, kita mundur saja. Kalau luka Nona nggak diobati, dia bakal kehabisan darah dan mati," ucap salah satu wanita Martim yang lebih pendek sambil mundur beberapa langkah."Ini belati, bukan pisau bedah. Gimana kamu bisa menggunakannya untuk mengeluarkan peluru? Kamu yakin nggak akan membahayakan nyawa nona kami?" tanya Judith. Dia sepertinya tidak mau mundur dan sangat tidak percaya pada Tirta."Hmph, aku bisa mengeluarkan peluru dengan pisau dapur sekalipun. Jangan banyak bicara atau aku akan membuatmu seperti nona kalian," jawab Tirta dengan tegas. Dia tidak lagi peduli pada Judith dan fokus pada luka Alicia.Tirta menekan beberapa titik di sekitar bahu wanita itu. Dengan cekatan, dia menggunakan belati untuk membuka luka di bahu Alicia. Anehnya, darah tidak mengalir lagi. Pria itu segera menjepit peluru dari dalam daging Alicia dan membuangnya ke tanah."Ih, tanganku jadi kotor. Lap dulu de
Marila takut Tirta kehabisan kesabaran, jadi dia menunjuk ke arah sebuah gedung tinggi di pusat kota."Maaf sudah merepotkanmu. Oh ya, sebelumnya kamu sempat bilang ingin minta bantuanku, 'kan? Nanti setelah aku selesai menenangkan Susanti, aku pasti bantu kamu ...."Tirta melirik Susanti yang sedang tertidur di pelukannya, lalu mengangguk pelan. Dia seperti teringat sesuatu dan menoleh ke arah Marila. Namun, sebelum Tirta selesai bicara, Marila segera menyela dengan ekspresi agak canggung."Pak Tirta, urusanku nggak mendesak! Kamu bisa fokus dulu merawat Bu Susanti. Kalau nanti benar-benar sudah ada waktu luang, baru cari aku."Saat mengatakan itu, Marila tanpa sadar menunduk. Wajahnya pun terlihat agak malu dan pipinya sedikit memerah."Ya sudah kalau begitu." Melihat reaksi Marila, Tirta pun tak memperpanjang pembicaraan. Dia berkata ingin beristirahat sebentar, padahal sebenarnya dia masuk dalam kondisi meditasi untuk berbicara dengan Genta.'Kak Genta, lihat deh, pemandangan di Pr
Namun, tentu saja semua pertanyaan itu tidak diucapkan oleh Selina. Yang dia ingin tahu hanyalah keberadaan Tirta."Bu Selina, jangan khawatir! Pak Tirta baik-baik saja. Tapi, sepertinya Bu Susanti syok berat. Tadi Pak Tirta sudah membawa Bu Susanti naik helikopter untuk kembali ke kota dan istirahat dulu.""Sebelum pergi, beliau secara khusus memintaku untuk menunggumu di sini. Tunggu sebentar ya. Setelah menjemput orang tua Bu Susanti, aku akan mengajak kalian semua menemui Pak Tirta!"Idris yang jeli dalam mengamati bisa menangkap nada penuh kekhawatiran dari suara Selina. Dia pun bisa menebak bahwa hubungan antara Selina dan Tirta pasti tidak sederhana, makanya dia bersikap semakin sopan dan ramah.Tak lama kemudian, dia memerintahkan Vendi dan Sutomo untuk pergi ke Desa Benad, menjemput Anton dan Yuli."Baiklah, aku akan menunggu di sini." Mendengar ucapan Idris, Selina pun merasa lebih lega dan mengangguk setuju.Dalam hati, Selina berpikir, 'Ternyata Tirta masih pikirin aku, sam
Dia bersikeras ingin bertemu dengan Tirta, bahkan tidak peduli pada Idris. Tidak peduli bagaimana Sutomo dan Vendi mencoba menghentikannya, dia tetap bersikeras ingin masuk ke Desa Benad."Apa sih yang dia omongin? Dewa? Mana ada dewa di dunia ini ...." Idris melihat si sopir paruh baya melantur, jadi langsung tidak menggubrisnya dan merasa muak.Dia ingin menyuruh Sutomo dan Vendi untuk mengusir si sopir secara paksa, tetapi tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. Bukankah barusan Sutomo dan Vendi juga bilang Tirta itu seperti dewa?Menyadari hal itu, Idris langsung melupakan perbedaan status dan melangkah cepat ke arah sopir taksi itu, mencoba memastikan."Tunggu sebentar, Pak. Apa dewa yang kamu sebut itu adalah seorang pemuda? Rambutnya lurus ke atas, bajunya compang-camping?""Ini Pak Gubernur ya? Ya, benar, orang yang kumaksud memang masih muda. Tapi, bajunya sama sekali nggak sobek, rambutnya juga nggak berdiri seperti yang kamu bilang. Sepertinya kita nggak ngomongin orang yang s
"Ini ... ini nggak mungkin!"Ketika Idris sampai di gerbang Desa Benad dengan perasaan cemas dan gelisah, dia melihat pemandangan mengerikan. Puluhan tubuh bersimbah darah, bagian tubuh berserakan di mana-mana. Jantungnya seakan-akan berhenti sejenak karena terkejut!Dia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana cara Tirta menjatuhkan puluhan bawahan Hafiz dengan tangan kosong! Padahal, mereka semua memiliki senjata api!Yang lebih gila lagi, Tirta bahkan masih memeluk seseorang di dalam pelukannya saat itu! Jadi, apakah artinya dia menghabisi semua orang ini hanya dengan satu tangan? Itu benar-benar mustahil!"To ... tolong bunuh aku .... Kumohon, bunuh saja aku ...." Di tengah genangan darah, Bayu yang masih hidup melihat kedatangan Idris dan para bawahannya. Dia langsung menyeret tubuhnya yang penuh luka, berusaha merangkak mendekat. Rasa sakit yang luar biasa membuatnya hanya ingin mati demi bebas."Cepat! Kalian berdua hentikan pendarahannya! Aku harus tanya sendiri, apa yang
Tentu saja, Tirta tidak lupa menjelaskan asal mula kejadian tersebut, mengapa semua itu bisa terjadi. Dia juga sengaja memberi kesan bahwa dirinya hanya membela diri, meskipun sedikit berlebihan."Oh, jadi memang begitu ya? Vendi, Sutomo, cepat pergi periksa, lihat apa masih ada yang selamat!"Mendengar penjelasan dari Tirta, Idris sebenarnya tidak terlalu percaya bahwa Tirta bisa mengalahkan mereka seorang diri, bahkan membunuh puluhan anak buah Hafiz yang semuanya adalah preman berbahaya.Namun, karena mempertimbangkan Keluarga Dinata, Idris tidak memperlihatkan keraguannya secara langsung, melainkan segera memberi instruksi kepada dua pemuda yang bersamanya."Bu Marila, yang perlu kukatakan sudah kukatakan semua. Tolong bawa aku ke tempat yang tenang. Aku harus menenangkan kondisi Susanti.""Tentu saja, kalau nanti ada yang perlu kubantu atau butuh klarifikasi lebih lanjut, Pak Idris bisa langsung mencariku." Tirta bisa melihat dengan jelas bahwa Idris tidak sepenuhnya percaya padan
Duar!Mendengar itu, Hafiz langsung merasa jantungnya seperti ditusuk, seakan-akan petir menyambar di siang bolong, menggema dalam benaknya. Bahkan, napasnya pun tertahan sejenak!'Petinggi ibu kota .... Aku bersusah payah selama seluruh hidupku, tapi hanya bisa menjadi bawahan kelas menengah di Provinsi Naru!''Apa aku punya kemampuan untuk menarik dukungan dari orang sehebat itu di ibu kota? Jangan-jangan bocah ini keturunan dari salah satu bos besar di sana?'Begitu pikiran itu muncul, wajah Hafiz menjadi semakin pucat, seolah-olah dadanya ditimpa sesuatu. Ketakutan dalam hatinya bahkan lebih dahsyat daripada rasa sakit dari jarinya yang remuk."Pak Tirta, Bu Susanti baik-baik saja, 'kan?" Saat itu, Marila bergegas menghampiri Tirta. Melihat Tirta tidak mengalami cedera, dia pun merasa lebih lega. Namun, begitu melihat ekspresi Susanti yang kacau, wajahnya menegang."Susanti nggak mengalami luka serius, tapi dia sangat syok. Tolong bantu aku carikan tempat yang tenang dan tak tergan
Ternyata Marila dan Idris membawa anggota kemari. Orang yang ikut Idris turun memegang senapan. Sebelum helikopter mendarat, orang itu sudah membidik Hafiz. Jadi, Hafiz tidak bisa kabur lagi.Hafiz terpaksa maju dan menyambut Idris sambil tersenyum, "Pak Idris ... kenapa kamu naik helikopter datang ke sini?"Hafiz tahu identitas dan latar belakang Idris. Bahkan, bisa dibilang alasan utama Hafiz ingin kabur belakangan ini adalah tindakan Idris untuk membasmi kejahatan sangat mengerikan.Sekarang Hafiz langsung menghadapi Idris. Dia hanya bisa berbohong untuk melewati pemeriksaan Idris.Idris merasa geram saat melihat Hafiz yang sangat jahat. Ekspresinya sangat muram. Dia mencibir, lalu menyahut, "Hafiz, menurutmu apa alasannya? Tentu saja aku datang karena kamu, orang jahat yang tersisa di Provinsi Naru!"Tentu saja Hafiz tidak ingin mengakui perbuatannya. Dia malah berlutut di tanah dan berpura-pura menangis sambil bicara, "Pak Idris, jangan bilang begitu. Itu cuma rumor, aku nggak per
Melihat Hafiz kabur, para bawahan yang panik ingin membuang senjata mereka dan mengejar Hafiz. Mereka berkomentar."Bos ... kabur! Sialan!""Sialan! Biarkan saja. Setelah mendapatkan uang, kita juga bisa bersenang-senang di luar negeri!"Kemudian, seorang pria paruh baya yang cukup berpengaruh maju. Tampak bekas goresan pisau di wajahnya dan dia hanya mempunyai satu mata.Pria itu berteriak, "Teman-teman, nggak ada gunanya kalau cuma beberapa orang yang menembak! Kita tembak dia sama-sama! Nggak masalah kalau mati! Kalau masih hidup, kita lanjut minta uang!"Begitu pria tersebut bersuara, semua orang pun setuju. Mereka membidik Tirta. Terdengar suara tembakan beruntun bak suara petasan."Mantra Perisai Cahaya Emas!" seru Tirta. Dia sedikit gugup saat menghadapi situasi seperti ini.Tirta bukan takut pada peluru, tetapi dia takut Susanti terluka. Tirta segera membentuk segel tangan, lalu lapisan cahaya yang tak terlihat secara kasatmata melindungi Tirta dan Susanti. Semua peluru diadang
"Nggak usah buru-buru, aku sudah pertimbangkan. Aku nggak akan memberi kalian uang, begitu pula ... nyawaku!" tegas Tirta.Tirta tertawa kepada Arkan, lalu menamparnya. Arkan memaki, "Sialan! Bocah berengsek! Beraninya kamu mempermainkanku!"Tentu saja Arkan marah menghadapi situasi seperti ini. Arkan hendak menarik pengaman pistol, lalu mematahkan kedua tangan dan kaki Tirta terlebih dahulu untuk menakutinya.Namun, tamparan Tirta langsung membuat kepala Arkan terpental dalam sekejap. Sementara itu, tubuh Arkan yang sudah kehilangan kepala masih mempertahankan posisi mengangkat pistol untuk mematahkan kaki dan tangan Tirta.Perubahan yang mendadak ini membuat semua orang di tempat kaget dan juga takut. Setelah tersadar, mereka berkata pada Hafiz dengan ekspresi marah."Kak Arkan! Sialan! Ternyata pemuda ini seorang ahli bela diri!""Bos, pemuda ini sudah membunuh Kak Arkan! Kalau nggak, kita langsung bunuh dia saja!"Hafiz menegur, "Sialan, bukannya orang mati itu hal yang biasa? Dulu