"Pak ... aku ... terima kasih! Terima kasih! Setelah aku menolong adikku nanti, aku akan balas budi pada kalian, bagaimana pun caranya!" Hanya dengan sepatah kalimat dari Tirta, benteng pertahanan dalam hati Arum langsung hancur. Dia menangis sejadi-jadinya dan bersujud di hadapan Tirta."Bos, berdirilah. Jangan sampai kepalamu luka ...." Nabila buru-buru memapah Arum. Meski menyayangkan uang Tirta, Nabila tidak berkomentar apa pun karena merasa kasihan pada Arum."Nggak perlu begitu berlebihan. Masakanmu memang enak, bagaimana kalau kamu jadi kokiku saja?" ujar Tirta mengusulkan setelah mencicipi beberapa lauk yang dihidangkan. Selain itu, tubuh dan wajah Arum lumayan cantik. Penampilannya sangat menarik saat memakai celemek di dapur. Kalau ada pemandangan bagus seperti ini di dapurnya kelak, pasti akan sangat menggoda."Jadi koki? Boleh! Nggak masalah!" jawab Arum."Masakanku juga enak, kenapa kamu suruh Kak Arum yang jadi koki?" Nabila mulai cemburu. Entah apa yang terjadi padanya b
Tirta langsung memapah Arum yang hendak berlutut. Dalam sekejap, dia kembali mentransfer dua miliar lagi kepada Arum. "Huhuhu ...." Arum benar-benar terharu hingga tidak bisa berkata-kata. Setelah mendengar bunyi notifikasinya, Ehsan dan bawahannya langsung terkejut."Daud, siapa orang ini? Kenapa bisa langsung transfer dua miliar untuk kakakmu?" tanya Ehsan sambil menarik rambut Daud."Kak Ehsan, aku juga nggak kenal orang ini .... Kalau nggak, aku pasti sudah memohon padanya untuk meminjamkan uang padaku!" ujar Daud sembari memohon.Mendengar ucapan itu, hati Arum langsung merasa kecewa. Dia benar-benar sudah putus asa terhadap adiknya ini. Dengan air mata yang berlinang, dia berkata, "Daud, ini adalah terakhir kalinya Kakak membantumu. Kalau kamu berutang lagi, nggak ada hubungannya lagi sama Kakak. Kakak juga nggak bisa menolongmu lagi ...."Usai melontarkan ucapan itu, Arum berkata pada Ehsan, "Kak Ehsan, aku punya dua miliar enam ratus juga. Uang ini seharusnya sudah cukup untuk
"Daud, kamu ... berani-beraninya kamu ngomong seperti itu ...." Arum hampir saja pingsan karena kesal mendengar perkataan Daud."Pecundang, wajar saja kakakmu memakimu bajingan. Kamu benar-benar bukan manusia," kata Ehsan sambil menepuk wajah Daud. "Tapi, penampilanmu bagus juga. Kamu nggak ada urusan lagi di sini. Kakakmu akan jadi pelacurku kelak, pergi sana!" Usai berkata demikian, Ehsan menyuruh bawahannya untuk melepaskan Daud."Terima kasih, Kak Ehsan! Kamu adalah orang tua angkatku, aku nggak akan lupakan jasamu ini!" Daud bahkan berterima kasih kepada Ehsan dengan antusias. Setelah itu, dia langsung berlari keluar dari restoran tanpa melihat Arum lagi sama sekali."Arum, ikut kami pergi. Kalau nggak, aku akan membuatmu tersiksa!" ancam Ehsan."Nggak, aku nggak akan ikut kalian. Dia yang berutang sama kalian, nggak ada hubungannya denganku! Cepat pergi dari sini. Kalau nggak, aku akan lapor polisi untuk menangkap kalian!" teriak Arum sambil melangkah mundur."Huh! Nggak ada guna
Seiring dengan deru angin yang kuat, tinju Tirta semakin dekat ke wajahnya. Detik berikutnya, Ehsan telah terhempas terkena tinjuan Tirta. Bahkan kepalanya juga hampir saja hancur."Bangsat, coba bilang sekali lagi siapa yang mau kamu tiduri?" Tirta mengambil sebuah bangku dan menghantamkannya ke kepala Ehsan. Seketika, bangku itu langsung hancur."Argh .... Aku ... aku salah. Aku nggak berani bicara sembarangan lagi!" Ehsan berteriak histeris dengan kepala yang berlumuran darah. Dia adalah seorang mafia, sudah banyak orang kejam yang pernah dijumpainya. Namun, Ehsan tidak pernah bertemu dengan orang sekejam Tirta. Apa dia tidak takut akan membunuh orang?"Persetan dengan semua itu! Kuberi tahu saja. Kalau bukan karena temperamenku bagus, aku sudah membunuhmu sejak awal! Bawa orang-orangmu dan pergi dari sini! Kalau berani mengincar wanitaku lagi, akan kubunuh kamu!" Tirta masih belum selesai melampiaskan amarahnya, sehingga dia menendang kepala Ehsan beberapa kali lagi."Uhuk uhuk ...
"Tirta ...." Melihat Tirta yang telah bertekad, Nabila benar-benar merasa khawatir. Pada akhirnya, dia terpaksa menyetujuinya, "Boleh saja kalau kamu mau pergi. Tapi kamu harus janji padaku, langsung berhenti kalau sudah kalah. Cepat pulang. Kalau nggak, aku akan beri tahu bibimu bahwa kamu berjudi!""Baiklah, Kak Nabila. Aku akan dengar perintahmu. Aku akan langsung pulang kalau kalah," jawab Tirta yang merasa lucu melihat kecemasan Nabila.'Huh, bocah sialan. Nggak bisa sesuka hatimu berhenti berjudi di kasino!' gumam Ehsan dalam hati. Sebagai seorang mafia, Ehsan merasa dirinya bisa memberi pelajaran keras kepada Tirta. Tidak mungkin dia akan membiarkan dirinya dipermalukan begitu saja."Tirta, kalau kamu mau judi, aku akan ikut denganmu. Kamu sudah memberiku banyak uang, aku akan kembalikan semuanya padamu," kata Arum sambil menggertakkan giginya. Meski dia baru saja mengenal Tirta, Arum tetap mengkhawatirkannya. Tirta tidak boleh pergi ke tempat yang berbahaya itu sendirian."Bole
Dengan susah payah dia berhasil membujuk Tirta untuk datang, tidak mungkin dia akan melepaskannya begitu saja."Hehe. Iya, aku sangat pintar, pasti bisa langsung ngerti. Mungkin bisa menang puluhan miliar untuk jajan," ujar Tirta sambil terkekeh-kekeh, seolah-olah tidak mengerti maksud Ehsan.'Bodoh, mau menang puluhan miliar? Aku akan buat kamu bangkrut!' maki Ehsan dalam hati."Haeh, Nabila, aku mengandalkanmu nanti. Langsung bawa Tirta pergi kalau dia sudah kalah!" ujar Arum kepada Nabila dengan tak berdaya."Nggak masalah, dia pasti akan mendengar nasihatku. Setelah kalah nanti, kita langsung pulang," ujar Nabila yang tidak merasa terlalu khawatir.Beberapa saat kemudian, mereka pun berjalan masuk. Begitu masuk ke tempat itu, Tirta melihat situasi di sekitarnya dengan penasaran. Meski pintu masuknya tidak terlalu mencolok, dekorasi di dalam sana terlihat sangat berbeda dengan penampilan luarnya. Luas tempat itu sekitar ribuan meter persegi. Ada banyak sekali permainan di dalamnya.
Tirta mengusulkan ide seperti itu tentu ada alasannya tersendiri. Meski tidak mengerti cara berjudi, tetapi dia bisa melihat kecurangan di meja judi dengan daya penglihatan dan responsnya. Jika Ehsan yang membagikan kartunya, Tirta khawatir dia akan curang."Setuju! Kita sepakat ya, taruhannya dua miliar per babak!" kata Ehsan sambil tertawa terbahak-bahak. Baginya, Tirta telah menjadi sumber hartanya saat ini! Selain itu, orang ini sangat kaya. Justru aneh jika Ehsan menolak penawarannya!"Kalau begitu, ayo kita mulai main," jawab Tirta sembari mengambil sebuah kursi untuk duduk."Oke, tapi kutegaskan dulu ya. Tempat ini adalah kasino, bukan tempat untuk bercanda. Meski kamu ini pendatang baru, tetap saja harus bayar kalau kalah!" ujar Ehsan sambil ikut duduk."Nggak masalah, kamu juga nggak akan mengelak kalau kalah, 'kan?" tanya Tirta terkekeh-kekeh."Aku? Sudah pasti nggak akan mengelak. Berapa pun kekalahanku, tinggal cari bosku saja untuk membayarmu!" kata Ehsan. Dia menganggap p
Tentu saja, Ehsan memilih kartu yang telah ditandainya."Tirta, bisa menang nggak?" tanya Nabila. Wajah Tirta terlihat tenang, tetapi Nabila dan Arum telah bermandikan keringat dingin."Sudah pasti menang! Kartuku ini pasti paling besar," kata Tirta sambil menunjukkan kartunya. Jumlahnya pas 21. Menurut perkataan Ehsan tadi, kartu ini sudah pasti menang."Mana mungkin seberuntung itu?" Hati Ehsan tersentak, dia hampir saja terjatuh dari kursinya. Kartu Ehsan hanya berjumlah 18. Dia kalah dari Tirta!"Ah, kartumu lebih kecil, kamu kalah. Lanjutkan lagi," kata Tirta sambil terkekeh-kekeh. Dia terlihat tidak peduli setelah memenangkan dua miliar."Wah, Tirta beruntung sekali! Kalaupun kalah dua babak lagi, berarti cuma kalah dua miliar!" Nabila berteriak kegirangan."Ya, keberuntungannya bagus juga!" ujar Arum sambil menghela napas."Hehe, kalau babak ini beruntung, belum tentu selanjutnya juga kamu masih bisa beruntung. Kita teruskan permainannya. Orang yang tertawa di paling akhirlah pe
Di sisi lain, di dalam kantor polisi.Wali Kota Hamza, Pinot, bersama dengan kepala kepolisian, Ladim, duduk dengan santai di aula utama. Mereka mulai bertanya kepala polisi yang berjaga di depan, Niko."Kapan atasan kalian keluar? Cuma menyerahkan penjahat, sepertinya nggak perlu terlalu lama, 'kan?" Yang berbicara adalah Ladim. Dia menerima banyak hadiah dari Karsa. Ketika ada masalah, dia tentu harus turun tangan."Huh, Bu Susanti sedang sibuk dan nggak punya waktu untuk bertemu dengan kalian. Kalian bisa kembali saja. Lagian, para penjahat itu ditangkap di wilayah kami. Tanpa izin dari Bu Susanti, aku nggak akan melepaskan mereka!"Niko jelas bisa merasakan bahwa mereka datang dengan niat buruk. Makanya, dia mendengus dan berkata dengan kesal."Hehe, memang benar kalian yang tangkap, tapi mereka semua berasal dari Kota Hamza. Jadi, sudah seharusnya diserahkan ke Kepolisian Kota Hamza untuk diproses. Kalian nggak punya hak untuk bernegosiasi denganku. Suruh atasan kalian keluar dan
"Kak Tirta, yang kamu tulis ini benar? Benaran ada efek seperti itu?" Setelah melihat resep untuk pembesaran bokong dengan teliti, ekspresi Shinta penuh kegembiraan.Dengan resep pembesaran payudara dan bokong ini, dia akan menjadi wanita sempurna di masa depan!"Tentu saja benar, untuk apa aku menipumu?" sahut Tirta mengangguk."Tirta, aku tentu percaya dengan keahlian medismu, bahkan kamu bisa dibilang setara dengan dewa. Tapi, apa benaran khasiatnya sebagus itu? Orang mati bisa dibangkitkan kembali?" tanya Saba yang semakin terkejut setelah melihat resep itu."Itu juga benar. Selama nggak ada kerusakan otak, jantung hancur, atau berusia lebih dari 100 tahun, resep ini bisa menyelamatkan mereka. Kalau kamu nggak butuh, keluarga atau temanmu juga bisa menggunakannya. Cukup ikuti resep di atas untuk membuatnya," jelas Tirta."Oke, ini baru namanya kebal dari apa pun! Kalau digunakan di kemiliteran, ini akan sangat berguna! Tirta, terima kasih!" Ini pertama kalinya Saba menunjukkan eksp
"Kak Saba, hadiah ini terlalu berharga. Aku nggak bisa menerimanya!" Mendengar itu, tangan Tirta sampai gemetaran. Dia hendak mengembalikan kotak hitam kecil itu.Meskipun belum pernah mendengar tentang Nagamas, dari namanya saja, Tirta bisa menebak bahwa yang tinggal di sana pasti orang-orang besar seperti Saba!Tirta merasa, sebagai orang biasa yang tidak memiliki jabatan atau kekuasaan, dirinya tidak layak tinggal di tempat seperti itu.Sementara itu, buku kecil biru itu seperti semacam surat pengampunan yang sangat berharga!Tirta merasa dirinya hanya mengobati penyakit orang, secara logika, dia tidak pantas menerima hadiah sebesar ini."Tirta, kenapa sungkan begitu sama aku? Vila itu sudah terdaftar atas namamu. Terima saja. Lagi pula, kalau aku mengundangmu untuk jalan-jalan ke ibu kota, kamu butuh tempat untuk tinggal, 'kan?" Saba melambaikan tangan dan tersenyum."Benar, barang-barang ini nggak ada artinya bagi kakek. Kak Tirta, terima saja. Kalau nggak, kamu nggak boleh mencar
Tirta tersenyum dan berkata, "Ya sudah, besok kamu temani aku beli sayuran."Dengan mata yang berkilat, Tirta langsung menyetujui dengan cepat. Melihat Tirta setuju, Ayu merasa senang. Dia mulai memikirkan, apa yang harus dikenakan besok.....Setelah makan, sekitar setengah jam kemudian, Ayu membawa para wanita menyiram tanaman di kebun.Tirta dengan beberapa anak harimau di pelukannya, sedang duduk santai di depan pintu menikmati sinar matahari.Tiba-tiba, beberapa mobil jeep hitam berhenti perlahan di depan klinik. Pintu mobil terbuka. Shinta adalah yang pertama keluar dari mobil.Gadis itu berkata dengan girang kepada seorang pria tua di dalam mobil, "Kakek, ini tempat tinggal Tirta. Namanya Desa Persik. Ada gunung dan ada air, pemandangannya sangat indah.""Desa Persik ... bagus, bagus. Benar-benar tempat yang bagus untuk menenangkan diri. Pantas saja orang sehebat Tirta tinggal di sini." Saba turun dari mobil dan memandang sekitar.Di depan matanya, ada pegunungan hijau dan air y
"Bi Ayu, aku sudah bawa Tirta kembali! Waktu aku sampai, dia sedang makan nasi kotak di vila!" Setelah kembali ke klinik, Arum melepaskan Tirta dan menepuk tangannya sambil berkata dengan tidak puas."Tirta, Arum sudah masak banyak makanan bergizi untukmu. Kenapa nggak dimakan dan malah pergi ke vila untuk makan nasi kotak?" tanya Ayu dengan bingung."Kenapa lagi?" Agatha tertawa dan menyela, "Karena dia nggak ingin makan kemaluan sapi!"Di sudut meja makan, Nia yang mendengar ini merasa agak malu."Tirta, terakhir kali kamu menghabiskan sepiring penuh kemaluan sapi dalam dua hingga tiga menit. Kenapa kali ini kamu nggak mau makan?" tanya Arum dengan kesal. "Aku kira kamu suka makan itu, jadi aku masak dua batang kali ini!""Ya, Tirta, kenapa kali ini kamu nggak mau makan?" tanya Melati dengan bingung."Aku ... hais, aku sebenarnya nggak butuh makan itu. Tubuhku sehat-sehat saja, makanan seperti itu berlebihan untukku," timpal Tirta dengan lesu."Kenapa berlebihan? Makanan itu sangat b
Farida menebak Tirta pasti menyembunyikan sesuatu. Dia mengambil nasi kotak dari mobil, lalu memberikannya kepada Tirta. Farida berkata, "Nggak ada nasi kotak yang tersisa lagi. Kalau kamu nggak keberatan, ini nasi kotakku."Farida yang membawa nasi kotak. Di atasnya terdapat gambar kartun kucing berwarna merah muda. Gambar itu juga terdapat di pakaian dalam yang sering dikenakannya. Siapa sangka, Farida yang lebih tua daripada Ayu menyukai barang lucu seperti ini."Kak Farida, kalau kamu berikan nasi kotakmu padaku, kamu makan apa?" tanya Tirta. Dia merasa malu. Apalagi setelah melihat gambar kucing di nasi kotak itu.Farida melihat tatapan Tirta tertuju pada gambar kucing itu. Dia takut Tirta mentertawakannya. Farida menyahut dengan gugup, " Aku nggak lapar, anggap saja aku lagi diet. Kamu makan saja.""Oke. Terima kasih, Kak Farida. Oh, iya. Bagaimana perkembangan renovasi vila? Apa malam ini aku bisa tinggal di vila?" timpal Tirta.Tirta tidak sungkan lagi. Dia membuka nasi kotak,
Tiba-tiba, terdengar suara batuk Agatha. Dia bertanya, "Tirta, apa maksudmu?"Tirta terkejut. Dia segera menyimpan mata tembus pandang, lalu membuka pintu dan berkata seraya tersenyum, "Kak Agatha, maksudku Kak Nia sangat kompeten. Ke depannya pria yang bersamanya pasti bahagia."Agatha yang curiga bertanya, "Kenapa kamu tiba-tiba bicara seperti itu? Bukannya kamu lagi melakukan akupunktur pada Kak Nia? Apa yang dia lakukan?"Tirta menjawab dengan tenang, "Maksudku untuk urusan kebun buah. Tadi kami membahas masalah kebun buah waktu melakukan terapi akupunktur. Kak Nia bisa mengurus semuanya tanpa bantuanku. Dia sangat kompeten."Agatha mengangguk sambil menanggapi, "Kak Nia memang kompeten. Aku pun nggak bisa melakukannya sendiri. Aku pasti kewalahan."Agatha bertanya lagi, "Mana Kak Nia? Apa terapi akupunktur sudah selesai?"Tirta menyahut, "Sudah. Dia lagi ganti baju."Agatha berusaha menahan tawanya dan menimpali, "Makanannya sudah siap. Kamu cuci tangan dulu sebelum makan. Kak Aru
Tirta berkata sebelum memulai akupunktur, "Kak Nia, terapi akupunktur kali ini mungkin berbeda dengan sebelumnya. Aku akan menambahkan pijatan agar efeknya lebih bagus."Tirta melanjutkan, "Sebaiknya kamu persiapkan mentalmu. Tentu saja, aku nggak berniat mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kalau kamu keberatan, aku hanya melakukan akupunktur.""Pijatan?" ujar Nia. Dia menghela napas, lalu mengangguk dan menambahkan, "Itu ... nggak masalah. Lagi pula, semua itu untuk mengobati penyakitku. Aku bisa terima, yang penting bisa menyembuhkanku.""Oke, Kak Nia. Mungkin nanti akan sedikit gatal. Tahan sebentar, ya," timpal Tirta. Selesai bicara, dia langsung menusukkan jarum ke bagian dada Nia.Kali ini, Tirta melakukan terapi akupunktur pada Nia untuk menyembuhkan sesak napas yang dideritanya. Setelah Tirta mencabut jarum, Nia belum merasakan gatal.Kemudian, Tirta melakukan terapi akupunktur sesi kedua. Begitu Tirta menusukkan jarum, Nia merasa gatal hingga mengeluarkan desahan. Dia bergu
Kemudian, Ayu kembali sibuk di dapur. Agatha keluar dari klinik, lalu bertanya kepada Tirta, "Tirta, Bibi Ayu bilang apa denganmu? Kenapa kalian kelihatan misterius?"Tirta menjawab dengan tenang, "Nggak apa-apa. Bibi Ayu tanya kenapa Kak Nia tiba-tiba tinggal di klinik.""Oh. Kamu cepat lihat dulu, nanti malam Kak Nia tidur di mana?" timpal Agatha. Dia menarik Tirta masuk ke klinik, lalu melanjutkan dengan ekspresi khawatir, "Selain itu, kita bertiga ... kita tidur di mana? Nggak ada tempat lagi."Nia yang berdiri di depan pintu klinik berujar dengan canggung, "Tirta, apa aku merepotkan kalian? Kalau nggak, aku tinggal di hotel saja."Tirta menepuk dadanya sambil menjamin, "Nggak usah, Kak Nia. Aku sudah atur semuanya. Klinik ini cukup untuk ditempati kita semua.""Kalau begitu, kamu lakukan akupunktur pada Kak Nia. Aku lihat Bibi Ayu butuh bantuan atau nggak," ucap Agatha. Selesai bicara, dia masuk ke dapur.Tirta menutup pintu klinik, lalu mengambil jarum dan berkata kepada Nia, "Ka