"Kenapa? Sebentar lagi kamu akan dipenjara dan dijatuhkan hukuman mati. Masih berkhayal akan ada yang menolongmu? Jangan mimpi!" Saat berkata demikian, sudut bibir Baskoro terus meneteskan darah. Dia bahkan sudah tidak sanggup berdiri setelah dipukul, tapi masih saja tetap tersenyum mengejek Tirta."Ya, kusarankan kalian cepat lepaskan Agatha. Kalau nggak, nggak ada gunanya lagi kalian menyesal nanti!" ujar Tirta sembari mengeluarkan ponselnya."Hehe, memangnya kamu mau telepon komisaris kepolisian?" ejek Agung. Sebagai wakil komisaris kepolisian, Agung telah banyak bertemu dengan orang kaya dan tokoh berpengaruh di kota ini. Namun, jelas sekali Tirta bukan salah satunya. Inilah alasannya mengapa dia berani menerima tugas kotor ini."Bukan," jawab Tirta sambil menggeleng."Bukan? Kalau begitu, kenapa kamu senang sekali? Selain ketua, nggak ada orang yang bisa menekanku lagi!" ujar Agung sambil tertawa. Dia langsung mengulurkan tangan hendak merebut ponsel Tirta."Oh ya? Meski bukan ket
"Bocah ini sama saja dengan Agatha, orang kampungan! Bahkan wali kota saja nggak pernah lihat, apalagi menyelamatkannya? Itu palsu, telepon itu pasti bukan dari putri wali kota! Pak Agung jangan buang-buang waktu. Aku bayar 20 miliar, cepat habisi bocah ini!""Ini ...." Agung juga merasa Tirta tidak mungkin bisa menemui wali kota. Bagaimanapun, bahkan dia sendiri saja tidak semudah itu bisa menemui wali kota. Ditambah lagi dengan hasutan Baskoro, Agung akhirnya mengangguk. "Baik, Pak Baskoro tenang saja. Aku akan habisi bocah ini!""Agung, kalau kamu berani menyentuh Pak Tirta sedikit saja, aku akan suruh ayahku untuk menghabisimu!" ancam Naura di ujung telepon setelah mendengar pembicaraan mereka."Pak Agung, nggak usah pedulikan jalang itu! Dia pasti cuma pura-pura!" sahut Baskoro sambil merebut ponsel itu dan membantingnya hingga hancur."Tapi, Pak Baskoro .... Kudengar suaranya sepertinya benar-benar Bu Naura." Agung menjadi bingung sekarang.Kring kring! Ponsel Agung berdering. Ha
"Pak Agung, kamu tenang dulu. Orang itu belum tentu Pak Saad yang asli ...." Baskoro sama sekali tidak bisa melawan saat dipukul Agung. Namun, dia masih tetap berharap. Sampai sekarang, dia masih belum percaya bahwa Tirta bisa kenal dengan orang hebat seperti Saad."Sialan, Pak Saad sudah telepon langsung, memangnya masih mungkin itu palsu? Kalau bukan karena percaya dengan omonganmu, mana mungkin aku menyinggung penyelamat wali kota! Kamu benar-benar membuatku celaka!" Begitu memikirkan bahwa dia akan dihabisi wali kota, Agung benar-benar ingin sekali membunuh Baskoro saat itu juga.Namun, Agung tahu bahwa hal terpenting saat ini adalah mendapat pengampunan dari Tirta. Setelah menendang Baskoro beberapa kali, dia langsung menghadap Tirta dan membungkuk untuk minta maaf."Maaf, Pak Tirta. Aku benar-benar nggak tahu kamu ini penyelamat Pak Saad! Kalau nggak, nggak mungkin aku berani menerima kasus ini. Kumohon jangan perhitungan denganku. Bantu aku beri penjelasan di depan Pak Saad dan
"Kumohon beri aku kesempatan!" Setelah tertegun sejenak, Baskoro juga ikut meminta maaf pada Tirta."Kenapa aku harus beri kalian kesempatan? Aku cuma anak miskin dari kampung yang bisa ditindas siapa pun! Kalau aku nggak kenal Pak Saad, kalian pasti sudah menghancurkanku, 'kan? Apa masih akan minta maaf padaku? Memaafkan kalian? Aku nggak semulia itu!" balas Tirta dengan dingin."Nak, jangan keterlaluan! Kami sudah sadar dengan kesalahan kami dan minta maaf padamu. Kenapa kamu masih begitu keras kepala!" Baskoro telah pasrah dan tidak banyak berkomentar lagi, tetapi direktur rumah sakit masih bergidik ngeri. Dia merasa Tirta benar-benar tidak manusiawi!"Nggak usah banyak bicara samaku. Kamu bicara saja sama orang yang menurutmu nggak keterlaluan! Sifatku memang begitu, lalu kamu mau apa?" tanya Tirta sambil memeluk Agatha."Ya, siapa suruh kalian menindas Tirta? Rasakan!" Melihat mereka meminta maaf, Agatha juga melampiaskan kekesalannya.Direktur rumah sakit dan beberapa dokter lain
"Pembunuh? Coba ceritakan kejadiannya!" Wajah Agung langsung menjadi serius."Agatha, kali ini kamu bisa ceritakan dengan tenang. Pak Saad akan menegakkan keadilan untukmu." Tirta menggenggam erat tangan Agatha dan menyuruhnya untuk menceritakan kejadian sebenarnya."Aku ...." Saat teringat dengan kejadian yang menyedihkan, air mata Agatha berderai. Dia menceritakan kejadiannya dengan runut, bagaimana Baskoro dan bawahannya melakukan kejahatan."Cantik sekali wanita ini ...." Pada saat ini, Naura baru memperhatikan Agatha yang berdiri di samping Tirta. Entah mengapa, hatinya terasa agak aneh. Namun, dia juga tidak berpikir terlalu jauh. Bagaimanapun, dia tidak ada hubungan apa pun dengan Tirta."Jangan-jangan wanita ini pacarnya? Lalu, siapa wanita sebelumnya itu?" Susanti melirik ke arah Tirta dengan tatapan aneh. Tirta telah melihat seluruh tubuhnya dan melakukan banyak hal memalukan, tetapi karena Tirta juga, Susanti dipromosikan menjadi wakil komisaris. Bisa dibilang, sulit baginya
"Kalian bertobat di penjara saja! Jangan sampai aku bawa orang untuk menangkap kalian, kalian yang serahkan diri langsung saja!" ujar Saad dengan nada dingin.Pada akhirnya, direktur rumah sakit dan beberapa bawahannya pergi ke kantor polisi untuk ditahan."Pak Tirta, maafkan aku ...," ujar Saad setelah menangani sekelompok orang itu."Pak Saad terlalu sungkan, kamu telah banyak membantuku," balas Tirta sambil melambaikan tangannya. Sejujurnya saja, jika bukan karena Saad, Tirta benar-benar tidak bisa menghadapi Baskoro, Agung, dan semua orang itu."Kalau Pak Tirta punya waktu, bisa akupunktur aku lagi nggak? Aku merasa baikan setelah diterapi waktu itu," ujar Saad sambil menepuk pundak Tirta."Boleh saja, aku nggak ada urusan lain lagi sekarang," ujar Tirta mengangguk. Tirta akhirnya memahami pentingnya memperluas koneksi. Jika ada kesempatan untuk mendekati Saad, tentu saja dia tidak akan melewatkannya. Mungkin akan berguna suatu hari nanti."Kalau begitu, ayo ikut ke rumahku, biar s
"Hehe, obat yang kubutuhkan adalah ...."Tirta merasa puas mendengar ucapan Agatha. Bagaimanapun, tidak semua orang bisa menaklukkan putri seorang presdir dan membuatnya suka rela menjadi simpanannya. Apalagi, Agatha masih sangat muda dan cantik."Bahan-bahan obat ini memang langka. Tapi setelah kukumpulkan semuanya nanti, akan kuantarkan langsung padamu. Besok aku mau rapat dewan direksi untuk pengukuhan jabatanku." Agatha telah mengingat semua permintaannya.Setelah Baskoro meninggal, masih ada Hadi yang terbaring di rumah sakit. Namun, pria itu tidak akan bisa berbuat apa pun. Posisi presdir Perusahaan Farmasi Santika sudah pasti akan menjadi milik Agatha."Kalau begitu, maaf sudah merepotkanmu. Oh ya, masih ada satu benda lagi yang mau kuberikan padamu." Tirta mencari sebuah tempat yang lebih hening, lalu mengeluarkan sebuah kalung giok dari sakunya. Kalung giok ini adalah salah satu dari empat kalung yang diberikan Irene sebelumnya. Kini, dia akhirnya punya kesempatan untuk member
Bahkan rem mobil sampai terinjak beberapa kali, sehingga mesinnya sering bergetar hebat dan mati. Alhasil, Agatha akhirnya tidak bisa bertahan lagi dan akhirnya menyerah."Sayang, kamu tinggal di mana? Biar kuantarkan kamu, setelah itu aku juga sudah harus pulang." Setelah saling berpelukan sejenak, kedua orang itu pun merapikan pakaian masing-masing."Daerah kompleks di Sungai Barat, kamu antarkan aku ke depan gerbang kompleks saja. Aku beli rumah secara pribadi di sana .... Ini adalah kunci rumahku. Kalau kamu nggak punya tempat pelampiasan, langsung ke rumahku untuk cari aku saja," kata Agatha yang kelelahan dengan malu-malu. Ini bukan lagi membei kode, melainkan mengatakannya dengan terang-terangan."Hehe, asyik!" Tirta menerima kunci itu dan meletakkannya ke saku. Setelah itu, dia mengemudikan mobilnya sesuai dengan petunjuk Agatha ke sebuah kompleks perumahan. Kemudian, Tirta pun kembali bergegas ke Desa Persik.Sejam kemudian, Tirta telah tiba di desa. Dia menyempatkan diri untu
Marila takut Tirta kehabisan kesabaran, jadi dia menunjuk ke arah sebuah gedung tinggi di pusat kota."Maaf sudah merepotkanmu. Oh ya, sebelumnya kamu sempat bilang ingin minta bantuanku, 'kan? Nanti setelah aku selesai menenangkan Susanti, aku pasti bantu kamu ...."Tirta melirik Susanti yang sedang tertidur di pelukannya, lalu mengangguk pelan. Dia seperti teringat sesuatu dan menoleh ke arah Marila. Namun, sebelum Tirta selesai bicara, Marila segera menyela dengan ekspresi agak canggung."Pak Tirta, urusanku nggak mendesak! Kamu bisa fokus dulu merawat Bu Susanti. Kalau nanti benar-benar sudah ada waktu luang, baru cari aku."Saat mengatakan itu, Marila tanpa sadar menunduk. Wajahnya pun terlihat agak malu dan pipinya sedikit memerah."Ya sudah kalau begitu." Melihat reaksi Marila, Tirta pun tak memperpanjang pembicaraan. Dia berkata ingin beristirahat sebentar, padahal sebenarnya dia masuk dalam kondisi meditasi untuk berbicara dengan Genta.'Kak Genta, lihat deh, pemandangan di Pr
Namun, tentu saja semua pertanyaan itu tidak diucapkan oleh Selina. Yang dia ingin tahu hanyalah keberadaan Tirta."Bu Selina, jangan khawatir! Pak Tirta baik-baik saja. Tapi, sepertinya Bu Susanti syok berat. Tadi Pak Tirta sudah membawa Bu Susanti naik helikopter untuk kembali ke kota dan istirahat dulu.""Sebelum pergi, beliau secara khusus memintaku untuk menunggumu di sini. Tunggu sebentar ya. Setelah menjemput orang tua Bu Susanti, aku akan mengajak kalian semua menemui Pak Tirta!"Idris yang jeli dalam mengamati bisa menangkap nada penuh kekhawatiran dari suara Selina. Dia pun bisa menebak bahwa hubungan antara Selina dan Tirta pasti tidak sederhana, makanya dia bersikap semakin sopan dan ramah.Tak lama kemudian, dia memerintahkan Vendi dan Sutomo untuk pergi ke Desa Benad, menjemput Anton dan Yuli."Baiklah, aku akan menunggu di sini." Mendengar ucapan Idris, Selina pun merasa lebih lega dan mengangguk setuju.Dalam hati, Selina berpikir, 'Ternyata Tirta masih pikirin aku, sam
Dia bersikeras ingin bertemu dengan Tirta, bahkan tidak peduli pada Idris. Tidak peduli bagaimana Sutomo dan Vendi mencoba menghentikannya, dia tetap bersikeras ingin masuk ke Desa Benad."Apa sih yang dia omongin? Dewa? Mana ada dewa di dunia ini ...." Idris melihat si sopir paruh baya melantur, jadi langsung tidak menggubrisnya dan merasa muak.Dia ingin menyuruh Sutomo dan Vendi untuk mengusir si sopir secara paksa, tetapi tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. Bukankah barusan Sutomo dan Vendi juga bilang Tirta itu seperti dewa?Menyadari hal itu, Idris langsung melupakan perbedaan status dan melangkah cepat ke arah sopir taksi itu, mencoba memastikan."Tunggu sebentar, Pak. Apa dewa yang kamu sebut itu adalah seorang pemuda? Rambutnya lurus ke atas, bajunya compang-camping?""Ini Pak Gubernur ya? Ya, benar, orang yang kumaksud memang masih muda. Tapi, bajunya sama sekali nggak sobek, rambutnya juga nggak berdiri seperti yang kamu bilang. Sepertinya kita nggak ngomongin orang yang s
"Ini ... ini nggak mungkin!"Ketika Idris sampai di gerbang Desa Benad dengan perasaan cemas dan gelisah, dia melihat pemandangan mengerikan. Puluhan tubuh bersimbah darah, bagian tubuh berserakan di mana-mana. Jantungnya seakan-akan berhenti sejenak karena terkejut!Dia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana cara Tirta menjatuhkan puluhan bawahan Hafiz dengan tangan kosong! Padahal, mereka semua memiliki senjata api!Yang lebih gila lagi, Tirta bahkan masih memeluk seseorang di dalam pelukannya saat itu! Jadi, apakah artinya dia menghabisi semua orang ini hanya dengan satu tangan? Itu benar-benar mustahil!"To ... tolong bunuh aku .... Kumohon, bunuh saja aku ...." Di tengah genangan darah, Bayu yang masih hidup melihat kedatangan Idris dan para bawahannya. Dia langsung menyeret tubuhnya yang penuh luka, berusaha merangkak mendekat. Rasa sakit yang luar biasa membuatnya hanya ingin mati demi bebas."Cepat! Kalian berdua hentikan pendarahannya! Aku harus tanya sendiri, apa yang
Tentu saja, Tirta tidak lupa menjelaskan asal mula kejadian tersebut, mengapa semua itu bisa terjadi. Dia juga sengaja memberi kesan bahwa dirinya hanya membela diri, meskipun sedikit berlebihan."Oh, jadi memang begitu ya? Vendi, Sutomo, cepat pergi periksa, lihat apa masih ada yang selamat!"Mendengar penjelasan dari Tirta, Idris sebenarnya tidak terlalu percaya bahwa Tirta bisa mengalahkan mereka seorang diri, bahkan membunuh puluhan anak buah Hafiz yang semuanya adalah preman berbahaya.Namun, karena mempertimbangkan Keluarga Dinata, Idris tidak memperlihatkan keraguannya secara langsung, melainkan segera memberi instruksi kepada dua pemuda yang bersamanya."Bu Marila, yang perlu kukatakan sudah kukatakan semua. Tolong bawa aku ke tempat yang tenang. Aku harus menenangkan kondisi Susanti.""Tentu saja, kalau nanti ada yang perlu kubantu atau butuh klarifikasi lebih lanjut, Pak Idris bisa langsung mencariku." Tirta bisa melihat dengan jelas bahwa Idris tidak sepenuhnya percaya padan
Duar!Mendengar itu, Hafiz langsung merasa jantungnya seperti ditusuk, seakan-akan petir menyambar di siang bolong, menggema dalam benaknya. Bahkan, napasnya pun tertahan sejenak!'Petinggi ibu kota .... Aku bersusah payah selama seluruh hidupku, tapi hanya bisa menjadi bawahan kelas menengah di Provinsi Naru!''Apa aku punya kemampuan untuk menarik dukungan dari orang sehebat itu di ibu kota? Jangan-jangan bocah ini keturunan dari salah satu bos besar di sana?'Begitu pikiran itu muncul, wajah Hafiz menjadi semakin pucat, seolah-olah dadanya ditimpa sesuatu. Ketakutan dalam hatinya bahkan lebih dahsyat daripada rasa sakit dari jarinya yang remuk."Pak Tirta, Bu Susanti baik-baik saja, 'kan?" Saat itu, Marila bergegas menghampiri Tirta. Melihat Tirta tidak mengalami cedera, dia pun merasa lebih lega. Namun, begitu melihat ekspresi Susanti yang kacau, wajahnya menegang."Susanti nggak mengalami luka serius, tapi dia sangat syok. Tolong bantu aku carikan tempat yang tenang dan tak tergan
Ternyata Marila dan Idris membawa anggota kemari. Orang yang ikut Idris turun memegang senapan. Sebelum helikopter mendarat, orang itu sudah membidik Hafiz. Jadi, Hafiz tidak bisa kabur lagi.Hafiz terpaksa maju dan menyambut Idris sambil tersenyum, "Pak Idris ... kenapa kamu naik helikopter datang ke sini?"Hafiz tahu identitas dan latar belakang Idris. Bahkan, bisa dibilang alasan utama Hafiz ingin kabur belakangan ini adalah tindakan Idris untuk membasmi kejahatan sangat mengerikan.Sekarang Hafiz langsung menghadapi Idris. Dia hanya bisa berbohong untuk melewati pemeriksaan Idris.Idris merasa geram saat melihat Hafiz yang sangat jahat. Ekspresinya sangat muram. Dia mencibir, lalu menyahut, "Hafiz, menurutmu apa alasannya? Tentu saja aku datang karena kamu, orang jahat yang tersisa di Provinsi Naru!"Tentu saja Hafiz tidak ingin mengakui perbuatannya. Dia malah berlutut di tanah dan berpura-pura menangis sambil bicara, "Pak Idris, jangan bilang begitu. Itu cuma rumor, aku nggak per
Melihat Hafiz kabur, para bawahan yang panik ingin membuang senjata mereka dan mengejar Hafiz. Mereka berkomentar."Bos ... kabur! Sialan!""Sialan! Biarkan saja. Setelah mendapatkan uang, kita juga bisa bersenang-senang di luar negeri!"Kemudian, seorang pria paruh baya yang cukup berpengaruh maju. Tampak bekas goresan pisau di wajahnya dan dia hanya mempunyai satu mata.Pria itu berteriak, "Teman-teman, nggak ada gunanya kalau cuma beberapa orang yang menembak! Kita tembak dia sama-sama! Nggak masalah kalau mati! Kalau masih hidup, kita lanjut minta uang!"Begitu pria tersebut bersuara, semua orang pun setuju. Mereka membidik Tirta. Terdengar suara tembakan beruntun bak suara petasan."Mantra Perisai Cahaya Emas!" seru Tirta. Dia sedikit gugup saat menghadapi situasi seperti ini.Tirta bukan takut pada peluru, tetapi dia takut Susanti terluka. Tirta segera membentuk segel tangan, lalu lapisan cahaya yang tak terlihat secara kasatmata melindungi Tirta dan Susanti. Semua peluru diadang
"Nggak usah buru-buru, aku sudah pertimbangkan. Aku nggak akan memberi kalian uang, begitu pula ... nyawaku!" tegas Tirta.Tirta tertawa kepada Arkan, lalu menamparnya. Arkan memaki, "Sialan! Bocah berengsek! Beraninya kamu mempermainkanku!"Tentu saja Arkan marah menghadapi situasi seperti ini. Arkan hendak menarik pengaman pistol, lalu mematahkan kedua tangan dan kaki Tirta terlebih dahulu untuk menakutinya.Namun, tamparan Tirta langsung membuat kepala Arkan terpental dalam sekejap. Sementara itu, tubuh Arkan yang sudah kehilangan kepala masih mempertahankan posisi mengangkat pistol untuk mematahkan kaki dan tangan Tirta.Perubahan yang mendadak ini membuat semua orang di tempat kaget dan juga takut. Setelah tersadar, mereka berkata pada Hafiz dengan ekspresi marah."Kak Arkan! Sialan! Ternyata pemuda ini seorang ahli bela diri!""Bos, pemuda ini sudah membunuh Kak Arkan! Kalau nggak, kita langsung bunuh dia saja!"Hafiz menegur, "Sialan, bukannya orang mati itu hal yang biasa? Dulu