:-0
"Bisa bicara bentar, Lin?" Tanya Lewis. Dia menunggu Ralin dengan menyandarkan punggungnya di tembok luar kamar Levi. Ralin yang baru menidurkan Levi pun mengangguk lalu menutup pintu kamar. Sebenarnya, dia sedikit canggung berhadapan dengan Lewis pasca dengan nyenyaknya dia tidur dalam dekapan pria itu. Ralin takut Lewis menganggapnya mengambil kesempatan dalam kesempitan. Atau yang lebih parah perasaannya pada Lewis terbongkar. Tidak! Tidak! Ralin tidak mau itu terjadi. Ralin berjalan dengan mengikuti langkah Lewis menuju ruang kerja. "Duduk, Lin." Lewis terlihat tenang dan santai pasca kejadian itu. Tapi tidak dengan Ralin yang takut ketahuan mencintai sang pewaris itu secara diam-diam. Kemudian Ralin duduk di salah satu single sofa empuk ruang kerja Lewis. Sedang sang tuan rumah duduk di seberangnya. "Bunda udah pulang," ucap Lewis mengawali pembicaraan. Ralin menatap Lewis sekilas lalu mengangguk. "Iya, Den Mas." "Jadi ... kamu bisa balik ke kamar
"Gimana, Vid?" Tanya Lewis. Ketika David datang, dia sudah selesai dengan ponselnya. "Nyonya sudah di kamarnya dengan Den Mas Levi, Pak.""Oke. Kita ke kantor sekarang."Baru saja Lewis akan berbalik badan, David menginterupsi. "Pak?""Ya?""Nyonya Besar pasti bertanya-tanya jika Nyonya Ralin tidak ada di rumah besok lusa. Dan Bu Tatik tidak mungkin bisa berbohong di depan Nyonya Besar.""Kita pikirkan hal itu nanti. Sekarang, urusan pabrik lebih penting."Baru mendapat dua langkah, David kembali bersuara. "Pak, bagaimana kalau Den Mas Levi tidak betah di kamar hotel dan ingin keluar?""Ada Ralin yang akan menjaganya," ucap Lewis dengan terus berjalan. David mengikutinya dengan setia di belakang. "Maaf, Pak. Bagaimana kalau Nyonya tidak bisa mengatasinya?"Lewis menghentikan langkah ketika mereka berdua mencapai lobby hotel. "Ralin pasti punya cara. Kamu nggak usah bingung."Seakan urusan pabrik terlalu penting, Lewis kemudian meninggalkan Ralin dan Levi di hotel. Tanpa penjagaa
"Bisa kita ketemu sebentar, Lin?" Tanya Emran dengan nada sedikit memohon. Ralin ingat sekali bagaimana Emran melukai hati dan raganya beberapa bulan silam. Bahkan cinta tulus yang pernah ia persembahkan untuk mantan suaminya itu, kini benar-benar telah ... sirna!"Sorry! Aku udah nggak mau ketemu kamu atau membahas apapun!" Tegasnya. Hening sejenak lalu Emran kembali berucap. "Tolong, Lin. Bentar aja." Mohonnya dengan nada teramat sangat. "Em, kita udah selesai. Segala sesuatu yang berhubungan sama kamu, udah aku lupain. Persis kayak apa yang kamu minta waktu menceraikan aku.""Aku --- ""Segala hal yang berkaitan sama kamu, nggak lebih cuma tentang kenangan buruk, pengkhianatan, dan trauma. Aku udah berdamai sama semua itu dan mau menata masa depan."Terdengar helaan panjang Emran lalu pria itu kembali berucap. "Maaf, Lin. Maafin semua kesalahanku. Maaf.""Aku udah maafin. Selamat malam.""Lin! Tunggu!"Ralin urung mematikan sambungan telfon. "Apa lagi?!""Aku benar-benar penge
Ini seperti menghadiri sidang tindak pidana kriminal!Bagaimana tidak, di ruang tengah sudah menunggu Ibunda dan Ayah Lewis layaknya hakim sidang. Beserta Luzia, adik perempuan Lewis, layaknya jaksa penuntut umum. Ralin memiliki firasat jika ini tidak akan baik-baik saja. Pasalnya ketika ia datang, mereka bertiga tidak menunjukkan senyum sama sekali. Kemudian Luzia menunjukkan sebuah kotak mainan besar bergambar susunan lego ke hadapan Levi. "Levi, Tante punya apa ini ya?" Tanya Luzia.Kemudian Levi merosot turun dari gendongan Lewis dan menghampiri Luzia. Dia memperhatikan kotak mainan itu dengan seksama. "Kamu mau main?" Levi mengangguk dengan menatap takjub kotak mainan itu. Lalu Luzia membawanya pergi dari ruang tengah. Ini seperti sudah direncanakan.Bahwa kedua orang tua Lewis ingin menginterogasi Ralin dan Lewis tanpa melibatkan Levi dan Luzia. Ralin yang menyadari hal itu makin menundukkan pandangan. Ia ingin bersembunyi di belakang tubuh Lewis namun tangannya tetap di
"Akhirnya aku bisa ketemu kamu, Lin."Ralin langsung menyentak tangan Emran namun mantan suaminya itu justru menggunakan satu tangannya lagi untuk menggenggam tangan Ralin. "Lepas, Em!""Please, Lin. Aku pengen bicara sama kamu."Kepala Ralin menggeleng tegas."Kita udah nggak ada urusan dan nggak ada yang perlu diomongin!""Aku mohon kasih satu kesempatan lagi buat memperbaiki segalanya, Lin. Aku mohon."Ralin tetap berusaha melepaskan tangan Emran tapi tidak bisa. "Nggak! Aku nggak mau balikan sama kamu!""Maafin salahku, Lin. Gara-gara aku, kamu dipecat dari sekolah ini lalu kamu sekarang jadi baby sitter. Maafin aku yang udah bikin hidupmu jadi berantakan kayak gini.""Lepas!"Ralin terus berusaha melepaskan tangannya tapi gagal. "Maafin aku yang udah ambil pekerjaanmu yang terhormat sebagai seorang guru. Malah sekarnag kamu jadi baby sitter.""Lepasin, Emran!!!"Emran saja yang tidak tahu jika Ralin saat ini bukanlah seorang baby sitter rendahan. Baby sitter hanyalah topeng ag
Ralin bergegas memanggil Bu Tatik lalu menitipkan Levi padanya. "Titip levi bentar ya, Bu Tatik. Ada tamuku di depan gerbang. Bentar aja kok."Tanpa menunggu persetujuan, Ralin langsung berlari meninggalkan levi bersama Bu Tatik. Dia menuruni tangga teras rumah Lewis dengan begitu tergesa-gesa. Kemudian berlari sekencang mungkin menuju gerbang. Ralin tidak memiliki banyak waktu untuk menyelesaikan masalah kedatangan Emran ke rumah ini. Lewis sedang mandi dan pria itu pasti tidak akan membuang banyak waktu untuk segera berangkat menyenangkan Levi. Dengan nafas naik turun, Ralin tiba di pos satpam. "Buka ... gerbangnya. Tolong."Begitu gerbang terbuka sebagian, sosok Emran terlihat berdiri di samping mobilnya. Sedang Ralin masih menetralkan deru nafasnya. Ralin tidak tahu apa yang Emran pikirkan tentang dirinya yang kini tinggal di rumah ini. Atau satpam sudah menjelaskan statusnya. "Mau apa kamu kemari?" Tanya Ralin. "Jadi kamu tinggal disini?""Kalau kedatanganmu nggak ada alas
Kedua mata Ralin melebar melihat kedua foto itu. Foto yang menunjukkan dirinya sedang dipeluk oleh Emran. Kejadian beberapa hari yang lalu saat Ralin menemuinya di gerbang rumah. "Dan ada sebuah kartu ucapan. Isinya ... " Lewis sedikit menyipitkan mata karena tidak memakai kacamata, "I still love you, Lin. Emran."Usai membacanya Lewis mengangsurkan kartu ucapan itu ke meja. Berdekatan dengan kedua foto tersebut. Jantung Ralin berdetak tidak karuan ketika Lewis telah mengerti segalanya. Ralin pun diam-diam mengutuk perbuatan Emran karena telah mengirimkan satu buket bunga sialan beserta foto itu ke rumah ini. Otaknya pun berpikir cepat, jika apa yang Emran lakukan beberapa hari yang lalu memang sengaja telah direncanakan!Karena, mana mungkin Emran bisa mengirimkan foto mereka saat berpelukan jika bukan menyuruh orang lain untuk memotretnya.Benar-benar licik!Ralin pun bisa menyimpulkan jika Emran sedang berusaha mengacaukan hubungannya dengan Lewis. "Kenapa kalian berpelukan di
"Halo, Lew.""Halo, Bun. Bunda lagi apa?""Baru selesai bikin kue. Tumben kamu telfon jam segini? Kerjaan udah rampung?"Bukan sudah rampung. Melainkan Lewis meninggalkannya begitu saja demi Ralin. "Bun, Ralin kecelakaan."Hari belum terlalu sore dan Lewis memberi kabar sangat buruk. Membuat sore hari itu terasa kelabu. "Apa?! Kecelakaan gimana, Lew?""Penyebabnya masih diselidiki sama tim yang aku bawa, Bun.""Ralin gimana keadaannya sekarang?""Nggak baik, Bun. Dia harus operasi.""Ya Tuhan, Lew.""Satu jam lagi kita akan berangkat ke Jakarta. Aku mau Ralin dirujuk ke rumah sakit dan dokter paling bagus.""Levi gimana, Lew?""Levi cuma terpental dan trauma, Bun. Bunda bisa kan kemari buat jagain Levi?""Iya. Di rumah sakit mana?"Setelah menunggu setengah jam lamanya, Ibunda dan Ayah Lewis tiba di rumah sakit dengan wajah cemas dan khawatir. Ayahnya pun masih mengenakan kemeja kerja. Levi pun langsung mengulurkan tangan untuk digendong Ayah Lewis. Sedang David selalu setia berada
Satu bulan yang lalu ..."Sekian rapat hari ini. Semangat inovatif, komitmen, dan kerja keras. Terima kasih."Lewis menutup rapat umum pemegang saham dengan senyum kelegaan karena kerja kerasnya terbayar dengan naiknya laba perusahaan. Hal itu sekaligus membuktikan pada kembarannya, Luis, keluarga, dan orang-orang yang memandang remeh dirinya jika ia juga bisa unggul seperti Luis. Bahwa Lewis juga bisa menjalankan roda bisnis keluarga.Bukan hanya berkutat dengan dunia seni yang dipandang tidak memiliki nilai besar dalam menopang kehidupan. Kemudian David berjalan mendekat dan berbisik. "Pak, ada tamu.""Siapa?""Nyonya."Lewis kemudian menoleh setelah menutup laptopnya. "Ralin?" Tanyanya dengan menautkan kedua alis. Lewis setengah tidak percaya jika Ralin tiba-tiba datang ke pabrik. Padahal Lewis tidak pernah menunjukkan dimana pabrik berada pada istri sandiwaranya itu."Bukan, Pak.""Lalu? Siapa?"Rasa penasaran Lewis terkulik karena David biasanya memanggil Ralin dengan sebuta
Wanita itu sangat cantik dengan penampilan rapi dan elegan khas perempuan karir. Kulit putih wajahnya membuat make up tipis yang dikenakan terasa pas. Dan rambut panjangnya yang sedikit bergelombang itu terurai indah.Sadar jika sang nyonya yang sesungguhnya telah kembali, kemudian Ralin turun dari ranjang dan berdiri sambil menundukkan pandangan. Meski dirinya adalah istri sah Lewis, tapi pada kenyataan statusnya tetaplah baby sitter Levi. "Ini Ralin. Dia yang biasa merawat Levi. Kamu bisa belajar dan tanya banyak hal ke dia."Jika dilihat dari dekat, Lewis memang sangat cocok berdampingan dengan Zaylin. Mereka setara dan saling melengkapi. Pantas jika Levi terlahir dengan paras yang tampan pula. Tidak ada jabat tangan diantara Ralin dan Zaylin karena wanita itu hanya tersenyum tipis ke arah Ralin lalu menghampiri Levi seraya membawa mainan kesukaan Levi. Puzzle. "Levi udah makan?" Tanya Zaylin.Kepala Levi mengangguk dan tangannya bergerak membuka pembungkus puzzle. Lalu ia menci
Lewis seperti enggan untuk bercerita namun Ralin tetap setia menatap pria itu. Menunggunya menjelaskan asal muasal perceraian mereka di masa lalu. Hingga menimbulkan pertentangan keras dari Ibunda dan Ayahnya Lewis. Karena setahu Ralin, kedua orang tua Lewis itu sangat baik, hangat, dan mengayomi anak-anaknya. Dan rasanya tidak mungkin mereka tiba-tiba membenci Zaylin tanpa ada sebab yang kuat. Kemudian Lewis mengulurkan kelingking kanannya lalu Ralin balas menautkan kelingkingnya."Janji. Jangan obral rahasia ini ke orang lain.""Iya."Lewis melepas tautan kelingking mereka dan menatap Ralin di keremangan lampu. "Aku dan Mas Luis bersahabat baik sama Zaylin. Bahkan waktu menempuh pendidikan ke Inggris, kami selalu bareng-bareng, Lin."Ralin memasang pendengarannya baik-baik. Jangan sampai satu kata pun tak terdengar jelas olehnya. "Pelan tapi pasti, aku jatuh hati padanya. Tapi Zaylin justru jatuh hati sama Mas Luis. Aku nggak bisa bilang apa-apa, kecuali merelakan mereka bersatu
Ralin menurut kemudian duduk di ujung sofa tanpa mau menatap Lewis. Menurutnya corak lantai jauh lebih menarik dari pada menatap wajah Lewis. Di malam yang benar-benar hening itu ditemani lampu kamar yang temaram, Ralin menunggu Lewis membuka suara. Namun selama beberapa menit berlalu, pria itu masih tetap diam. Dan Ralin benci dengan suasana seperti ini. "Lin?"Akhirnya pria itu bersuara. "Ya?" ucapnya tanpa mau menatap Lewis. "Maaf."Kepala Ralin mengangguk pelan sembari menatap lantai.Satu hal yang membuat Ralin salut pada Lewis. Pria itu mau meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Tak peduli setinggi apapun status sosialnya. "Aku ... aku tahu aku salah. Maaf.""Iya."Memangnya apa yang bisa Ralin katakan selain memberi Lewis maaf?Lagi pula jika ia tidak memberi maaf, masalah ini akan terus berlaru-larut dan Ralin sendiri yang akan stres. "Aku kelewat batas, Lin. Aku nyesel udah maki-maki kamu kayak tadi."Ralin mengangguk dan kembali berkata ... "Iya, Den Mas."Mendengar j
“Beliau sudah pulang, Nyonya.”“Jangan panggil aku Nyonya, Vid! Yang pantas kamu panggil Nyonya itu Zaylin! Bukan aku!”Secara tidak sadar Ralin menunjukkan kekesalannya sekaligus ... kecemburuannya.“Maaf, Lin.”“Iya.”Kemudian David melirik tas yang Ralin bawa.“Kamu bawa apa?”“Pakaian ganti Den Mas sama Levi. Apa kamu malam juga ikut nginep disini?”“Nggak. Pak Lewis bilang kalau kamu udah datang, aku bisa pulang.”Ralin kemudian mendesah panjang nan lelah sambil bersedekap dan menyandarkan punggungnya di kursi.“Kenapa?”“Males aja.”“Lin?”“Apa?”“Kalau kamu nggak ada rasa ke Pak Lewis, kenapa mesti males ketemu beliau?”Deg!Ralin merutuki kebodohannya yang kentara sekali jika dirinya menyukai Lewis. Kecemburuannya yang tidak disembunyikan secara rapi akhirnya terbaca juga oleh David.Kemudian Ralin tertawa hambar untuk menutupi kebodohannya.“Ya ampun, Vid. Aku ini cukup sadar diri sama posisiku yang cuma jadi baby sitternya Levi. Nggak lebih. Kamu aja yang mikirnya kepanjangan
David sudah pergi dari kamar rawat Levi sejak tiga jam yang lalu.Namun air mata Ralin masih merembes perlahan sembari memangku Levi. Tidak ada isakan yang keluar dari bibirnya meski hatinya hancur berkeping. Bagaimana tidak, benih cinta yang sempat tumbuh di hatinya untuk Lewis, kini harus dimusnahkan. Lewis telah menemukan wanita yang ia cintai dan sebentar lagi mungkin akan menjadi ibu untuk Levi. Ralin tidak mungkin terus menerus mempertahankan cinta yang tidak seharusnya. Dan disisa statusnya sebagai ibu tiri Levi, dia akan memenuhi hati putra tirinya itu dengan cinta dan kasih yang membuatnya ingat bahwa Ralin pernah ada menemani hari-harinya. Kemudian Levi yang tadi tertidur di atas pangkuan Ralin, bergerak pelan dengan mata mengantuk. Ralin buru-buru menghapus air matanya. "Hai jagoan, Ibu. Haus?"Kepala Levi mengangguk dengan menatap Ralin. Kemudian tangan Ralin mengambil air putih yang ada di nakas kamar rawat inap Levi dan meminumkannya. Dengan kondisi sakit seperti in
Seperti biasanya, Lewis berangkat sangat pagi sekali.Padahal dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Kalaupun ada meeting, dia hanya akan berangkat sangat pagi sesekali saja. Bukan berurutan terus menerus seperti ini. Lalu ia mengirim pesan untuk membawakan Levi baju ganti dan akan menjemputnya usai sekolah. Perilaku Levi tetap sama seperti hari kemarin.Berlarian kesana kemari dengan membawa sesuatu di tangannya tanpa kenal lelah. Menggumam tanpa arti bahkan sulit tidur jika tidak diberi obat. Jika Ralin berusaha memperbaiki keadaan Levi tapi tidak dengan Lewis yang membebaskan segalanya, ia bisa apa?Lewis juga sulit sekali ketika Ralin hendak mengajaknya berbicara tentang Levi. Hingga tiba pada satu malam, Levi pulang bersama Lewis. Bocah itu terlihat tidak bersemangat dan tidak aktif. Ketika Ralin akan mengajarinya kembali melahap menu sehat, bocah itu tertidur di lantai dengan mata sayu. Saat tangannnya meraih Levi, ada sesuatu yang tidak beres."Lev, kamu demam?"Tangannya
"Nyonya, tolong. Lebih baik anda pulang dulu. Nanti setelah Pak Lewis sudah di rumah, anda bisa membicarakan hal ini dengan beliau.""Den Mas selalu pulang malam, Vid. Aku mau bicara dia udah ngantuk.""Saya akan memberitahu beliau tentang hal ini, Nyonya. Agar nanti malam beliau bisa meluangkan waktunya untuk berbicara dengan Nyonya."David tetap pada posisinya dengan menghalangi jalan Ralin. Kemudian Ralin menatap kembali kaca mobil Lewis yang benar-benar gelap. Hingga ia tidak bisa melihat secuil pun keberadaannya di dalam mobil. "Kalau aku nggak kamu bolehin nemui Den Mas, tolong suruh Den Mas keluar dari mobilnya biar kami bisa bicara." Ralin berusaha bernegosiasi karena tidak tenang melihat perilaku Levi yang terlalu aktif. "Baik, akan saya sampaikan. Tolong Nyonya tetap disini.""Oke."Tetap disini?Sebegitu privasinya hingga Ralin tidak diizinkan menemui Lewis.David berbalik menuju pintu mobil yang berada di sisi kanan. Ketika jendela pintu itu dibuka, Ralin yang berada di
"Den Mas nggak bilang apa-apa, Bu Tatik.""Den Mas berangkat pagi sekali karena ada urusan kantor. Mungkin belum bilang Den Ayu karena masih tidur."Kepala Ralin mengangguk. "Den Ayu?""Ya?""Maaf kalau saya lancang.""Kenapa, Bu Tatik?""Kenapa Den Mas kembali tidur di kamarnya sendiri? Bukannya kemarin anda berdua sudah berbaikan?"Ralin tidak menyangka jika Bu Tatik selalu memperhatikan apa yang terjadi diantara dia dan Lewis. Kemudian Ralin tersenyum dan berkata ... "Kalau tengah malam aku pergi ke kamarnya Den Mas, Bu Tatik. Pagi-pagi udah balik ke kamarku sendiri. Bu Tatik nggak usah khawatir sama hubungan kami." Bohongnya.Bu Tatik mengangguk paham. "Syukurlah kalau Den mas dan Den Ayu tidak ada masalah. Saya cuma berharap pernikahan kedua Den Mas kali ini menjadi yang terakhir. Karena tidak semua wanita yang ada di samping Den Mas bisa menjaga dan merawat Den Levi. Kasihan kalau Den Levi jatuh di tangan yang salah, Den Ayu.""Jadi Bu Tatik nganggapnya aku ini ibu yang baik