“Cel.”“Iya, Pak.”Tumben Pak Dosen agak slow. Pikir Celine mendengar suara dari seberang sana. Tidak kasar seperti biasanya.“Kamu bilang mau mendaki.”“Iya, Bapak. Gimana? Boleh?”“Memang kamu pernah mendaki?”“Enggak.”“Astaga!” Sepertinya di seberang sana Yash menepuk jidat.“Kamu kira mendaki gunung seperti jalan-jalan di mall.”“Memang kenapa? Bapak pikir fisikku lemah? Aku manggung dari pagi sampai malam, nyanyi, joget, berdiri loh, Pak.”“Beda, Celine. Sudah begini saja. Kamu latihan fisik. Berlari, olah raga. Saya tidak mau repot gendong anak orang.”“Segitunya, Bapak. Tapi oke deh, siap. Celine latihan dulu.”“Bagus begitu.”Pak Yash kemudian diam. Tapi tidak menutup telepon. Lengang. Celine menunggu saja.“Celine,” panggil Pak Yash setelah beberapa detik.“Bagaimana kuliah tambahan dari saya. Ada efeknya ke kehidupan kamu?”“Susah, Bapak.” Celine langsung mengeluh. Kemudian dia bercerita kalau apa yang dibilang Pak Yash tidak lah mudah.Saat Celine mencoba tampilan baru mi
Tini membuatkan bekal untuk Celine mendaki. Sekotak gepuk daging beserta nasi yang banyak. Wanita itu memasukkan kotak bekal ke dalam tas hingga aman.Tini kembali mengulang pesannya semalam. Harus lihat jalan yang diinjak. Jangan merasa paling bisa. Jangan takabur. Jangan bicara sembarangan. Kalau lelah istirahat jangan memaksakan diri. Wanita itu terus mengulang-ulang.“Iya, Mamih Sayang. Siap laksanakan.”Pagi itu, Celine meninggalkan Tini dengan pelukan hangat.Jam 7 pagi, Celine sudah berada di daerah Maja. Sebuah kecamatan yang berada di kaki gunung Ciremai. Suhunya dingin. Jalan menanjak ditambah tikungan tajam khas pegunungan. Di pinggir jalan raya itu banyak pedagang jagung bakar yang masih tutup di jam sepagi ini. Celine dan Yash ketemuan di salah satu warung. Rencananya, mereka akan naik melalui jalur Apuy.Pak Dosen memakai kaus hitam yang dilapisi jaket, celana cargo, dan sepatu boot. Motor trail yang dia bawa melengkapi penampilannya. Yash semakin terlihat muda. Usianya
“Bapak kok gak bilang kalau mau mendaki bareng yang lain?” Celine komplain.“Kamu tidak berpikir kita akan mendaki berdua kan?”Tanya yang dibalas tanya. Skakmat Celine dibuatnya. Gadis itu tidak berani bicara kembali. Sepertinya begitu menggelikan apa yang dia pikirkan kemarin.‘Oh, Tuhan. Otak ini sepertinya sudah bermasalah.’.Celine dan Yash tiba di pos registrasi. Menunggu enam pendaki lain yang tiba beberapa menit kemudian. Setelah semua lengkap, Yash menggiring mahasiswanya untuk tes kesehatan. Kemudian registrasi ulang dengan membayar sejumlah uang.Di pos registrasi itu memiliki banyak warung. Dilengkapi dengan fasilitas mushola dan kamar mandi. Enam orang pendaki beserta Yash dan Celine mematangkan diri di sana. Makan, buang air, dan sebagainya.Di sana Celine mengakrabkan diri dengan pendaki lain. Mereka ternyata mahasiswa di kampus yang sama namun berbeda jurusan.“Teh Celine belum pernah mendaki?” tanya wanita berkerudung itu. Badannya berisi. Gadis itu dipanggil Maya.“
Mulanya Yash berdiri cukup jauh dari Celine. Cuek saja dengan berdiri melihat pemandangan dataran rendah sana yang sebenarnya tertutup dedaunan. Tampaknya dia memang tidak tertarik mendekati Celine.Kasihan juga enam pendaki itu melihat Celine sendiri. Lukman inisiatif mendekati. Menyerahkan sebungkus wafer ke hadapan Celine. “Ini, Teh.”Celine mendongak menatap pria yang berdiri di hadapannya. Dia nyaris menerima wafer itu sebelum tangan lain mendahuluinya.“Terima kasih.” Yash mengambil wafer itu dengan tak tahu diri namun tetap berlaga cool. Lantas duduk di dekat Celine.Lukman tersenyum melihat kegengsian dosennya. Pemuda kurus itu kembali pada perkumpulan teman-temannya.“Turun saja kalau kamu tidak kuat.” Yash memakan wafer.“Jangan remehkan aku, Bapak. Aku masih kuat.”“Bagus lah.” Yash memberikan sisa wafer yang sebenarnya hanya dimakan satu itu.“Masih jauh ya pak?”“Ini pos 2. Tempat camp kita
“Lagi, Teh. Lagi ....”“Cape nyaho (cape tahu)!” Dengan sangat lucu Celine menyemprot Maya yang berjalan tepat di belakang. Maya dan lima pendaki lainnya pun tertawa.Tengah hari, mereka sampai di pos 3. Celine kebelet. Mencari kamar mandi. Jelas saja tak ada. Maya mengajarinya bersembunyi di semak-semak. Membasahi tisu dengan air untuk membasuh bagian yang kotor. Setelahnya tisu kotor itu harus dikemas. Dimasukkan pada kantung sampah untuk dibawa turun kembali.Menjejaki jengkal demi jengkal keindahan alam ciptaan Tuhan jangan lupakan pemiliknya. Di pos tiga Yash dan para muridnya mengambil wudhu dengan air kemasan yang diberi lubang kecil. Lalu shalat bergantian di bawah pohon.Setelahnya mereka tak membuang waktu. Kembali melanjutkan langkah menuju pos selanjutnya.Medan masih sama. Tanjakan yang tidak terlalu terjal. Kaki Celine mulai kebas dibawa berjam-jam melangkah."Ayo teh!" Maya menarik tangan Celine yang sulit melangkahka
Jam 03:00 WIB, Yash membangunkan Yadi dan pendaki lain. Termasuk Maya dan Celine. Sebelum menuju puncak, mereka sarapan dulu. Setelahnya baru mendaki kembali.Berbekalkan senter, para pendaki itu meniti setiap jengkal jalanan curam. Mulanya jalur yang dilewati berupa jalur terbuka dengan kemiringan yang amat vertikal. Kontur pijakan merupakan tahan berdebu yang ditaburi banyak bebatuan. Beberapa saat kemudian, kontur pijakan berubah secara perlahan. Tanah berdebu itu sepenuhnya ditutupi bebatuan. Semakin jalan ke atas, maka pijakannya semakin terjal dan curam.Setelah mendaki sekitar 30 menit. Yash dan para muridnya memutuskan istirahat sejenak. Mereka duduk di atas batu sambil melihat kabupaten Majalengka dari ketinggian. Di bawah sana lampu-lampu gemerlapan serupa bintang. Amat cantik dan menawan.Yash memberi aba-aba untuk kembali melanjutkan pendakian. Kontur pijakannya sudah pasti semakin tajam dan curam.“Hati-hati. Lihat pijakan!” Yash mengingatkan
Celine menjauhi bibir kawah sambil bicara pelan. “Aku bisa dapetin cowok dari keluarga yang lebih baik dari pada kamu.”“Seperti siapa, Teh?”“Seperti ....” Dia melirik dosennya. Semakin to the poin saja memberi kode-kode.Yash membuang muka. Membetulkan posisi kaca matanya lalu menatap lautan awan.Tak perlu terburu-buru untuk turun. Ini momen langka seumur hidup. Jam enam, Celine dan Yash duduk di batu. Memandangi langit.“Bagaimana perasaanmu?” tanya pria yang duduk dengan lutut tertekuk itu.“Sangat senang, Pak. Ternyata sangat indah.”“Tak pernah kamu bayangkan, bukan?”“Hu’um. Aku pernah lihat di internet, Pak. Tapi enggak nyangka sebagus ini. Aku gak percaya bisa sampai di sini.”Yash tersenyum. “Ini yang saya bilang. Kamu tak akan bisa membayangkan sebagus apa puncak yang bisa kamu raih. Karena poinnya bukan hanya ada pada apa yang bisa kamu lihat di sini, tapi juga apa yang sudah kamu lalui.
Celine dan teman-teman berkemas. Membongkar tenda dan memasukkan benda itu kembali ke dalam ransel. Para pendaki membersihkan area camp yang digunakan semalam.Yudi menemukan sebuah dompet di tanah. Dia membukanya untuk mencari tahu siapa pemiliknya. Barang kali ada identitas diri.“Dompet siapa ini?” gumam pria yang mengenakan topi rimba itu.Celine mendengar suara Yudi karena posisi mereka cukup dekat. “Nemu dompet, Yud?” Dia ikut mengintip siapa pemiliknya.Di dalam dompet itu terlihat sebuah foto. Dua orang remaja usia belia. Memakai baju SMA. Laki-laki dan perempuan. Perempuannya tidak tahu siapa. Tapi yang laki-laki mereka cukup mengenali.“Pak, Yash?” Kata Celine dan Yudi bersamaan.Pemilik nama itu segera menengok. Dan secepat kilat merebut dompet di tangan Yudi.“Yud! Main buka-buka saja!”“Nyari KTP, Pak. BTW itu siapa, Pak? Cantik.”Yash mena
Seiring dengan menyelesaikan kontrak yang sudah terlanjut ditanda tangan, Celine membangun rumah sebagaimana yang dijanjikan. Gubuk yang catnya mengelupas itu berubah jadi istana. Hunian paling mewah di desa Jatitilu.Tiga bulan setelah lamaran itu, Celine dan Yash melangkah ke jenjang pernikahan. Foto-foto prewedding mereka dibagikan di laman medsos. Mengisi akun-akun gosip. Tag line yang menjadi trending adalah ‘gadis yang dulu ditolak keluarga polisi kini dinikahi keluarga gubernur.’Lingkup penggemar kontes dangdut biasanya ada di orang itu-itu saja. Tidak menjangkau masyarakat seluruh lapisan. Namun, ketika tag line itu naik. Semua pemberitaan di layar kaca dan seluruh media sosial adalah Celine. Perjalanan hidupnya mulai diulik. Maka pernikahan itu membuat Celine lebih terkenal lagi.Hari pernikahan tiba. Dilakukan dengan mengikuti adat sunda yang hikmat. Siraman, seserahan, lalu akad yang dilaksanakan di masjid agung Bandung. Semua proses itu
Di bawah langit Bandung, cincin cantik itu masuk ke jari manis Celine. Membuat hati menjadi kembang kempis. Setelah tersemat, Yash kembali berdiri. Menatap Celine dengan kelegaan.Kalimat Yash tadi cukup membuat Celine mengerti untuk tidak memandang Yash dari latar belakang keluarganya. Yash dengan pilihan hidupnya terlihat amat keren di mata Celine.“Memangnya Bapak yakin kalau orang tua bapak bisa menerima aku?”“Kamu tidak dengar apa yang mereka katakan tadi? Sebenarnya, selain butuh istri, saya juga butuh guru vokal untuk Ibu karena suaranya yang...” Yash meringis. “Fals di semua bagian.”Celine tersenyum menunjukkan gigi-giginya. “Terus yang minta ketemuan di Belle Vue siapa?”“Ada yang ngajak ketemuan di sana?” Pria itu berekspresi seakan tak mengerti.“Bapak ternyata nyebelin.”Yash tersenyum kecil. Lalu menggenggam tangan Celine. Menuntun gadis itu ke tempat lain.“Katanya gak bisa romantis. Ini bisa.”“Iya. Hasi
“Huh, cape sekali.” Celine duduk di samping Yash. Mengatur napas.Yash membuka mata. Memperbaiki duduknya. Kaget mendapati gadis yang dia inginkan sudah ada di sebelahnya.“Kenapa mendadak ngajak ketemuan, Pak? Kenapa bilang tidak akan ketemu lagi?”Yash tersenyum bahagia sekaligus bangga. Rasanya ingin memeluk dan menciumi gadisnya. Di kening, di hidung, di bibir, dan di semua tempat. Sayangnya belum halal. Jadi hanya bisa menatap Celine dengan haru. Yash pikir Celine wanita yang bisa dibeli oleh uang dan jabatan, nyatanya bukan. Gadis jelita itu lebih memilih menghampiri dia yang seorang dosen dari pada anak gubernur.“Kenapa kamu mau ke sini?”“Dih. Kan bapak yang ngajak. Pake ngancem tidak akan ketemu lagi.” Celine lirik kana-kiri. Beberapa orang di sana sedang mengamati wajahnya. Sepertinya mulai menyadari kalau dia adalah artis KD.“Bapak... di sini banyak orang.” Gadis itu merengek. Takut dikerumuni masa atau direkam diam-diam, lalu d
“Yash... Yash... kemari!”Suara langkah kaki terdengar dari lorong. Lalu muncul lah pria berkaki jenjang. Memakai baju hitam-hitam. Rambut plontos. Mukanya garang.Celine pikir Pak Yashona Panca Sila yang dipanggil. Ternyata bukan.Buat apa cowok itu dipanggil? Aduh, jangan-jangan anak Pak Gubernur naksir. Terus mau dijodohkan. Jangan sampai!Selama pria itu mendekat, Celine bergumam terus dalam hati.Pria itu menghampiri Pak Gubernur. Lalu membisikan sesuatu.“His! Ada-ada saja anak itu.” Reaksi Pak Gubernur begitu menerima bisikkan.Pak Gubernur kembali melihat Celine. “Celine, putra saya menunggu kamu di Belle Vue.” Pria itu menyebutkan nama restoran mewah yang terletak di salah satu hotel bintang lima.“Untuk apa ya, Pak?”“Dia ingin berbicara secara private denganmu.”“Em... tapi...”Belum sempat Celine menyetujui, Pak Gub
Seperti rencana. Hari itu Celine manggung di kecamatan Cijati. Disaksikan ribuan warga. Lapangan dekat kantor kecamatan itu dipenuhi penonton. Maman, Lusi, Diana dan semua kru D’Star mengungkapkan kebanggaannya. Celine kembali mengambil motornya dari Lusi. Menambahkan uangnya sebagai ganti rugi. Lalu dia berikan motor itu pada anaknya Rina.“Aku salut sama kamu Celine. Kamu bisa lebih kaya dari sugar baby.” Lusi menutup pipi sendiri. Yang dimaksud sugar baby itu dirinya sendiri maksudnya.Di atas panggung itu, Celine dan Diana tertawa menyaksikan ekspresi Lusi.“Semua orang juga bisa. Tinggal seberapa niatnya saja.”Sorenya Celine bertolak ke Bandung untuk menghadiri undangan dari Pak Gubernur. Celine dan empat kontestan lain yang mewakili Jawa Barat diminta untuk mengisi konser di alun-alun kota.Waktu isya Celine dan Chacha sudah berada di hotel yang disediakan oleh Pak Gubernur. Mandi dan istirahat di sana. Kemudian
Celine yang sekarang bukan lagi ikan kecil di wadah yang kecil. Dia menjadi ikan besar di lautan. Masalah-masalah yang dulu terasa berat, kini ringan saja. Tak ayal serupa mendaki gunung. Mulanya kaki melangkah amat sulit. Namun setelah terbiasa, semua menjadi ringan.Perjuangan dua tahu ini membuat hatinya menjadi lapang. Mungkin sudah saatnya berbicara dengan orang tua sendiri. Bukankah hubungan yang paling utama harus diperbaiki itu dengan keluarga sendiri?Dani memasuki rumah dengan langkah tergesa. Dia celingukan. Pura-pura tidak tahu apa-apa. Terlalu sungkan menyapa dua anak gadisnya.“Ada apa?” tanyanya. Lantas duduk di karpet.Celine menatap ayahnya yang berjarak dua meter. “Hampir dua tahun aku pergi dari rumah ini. Apa Bapak tidak merindukanku?”Polos sekali yang dikatakan Celine. Layaknya seorang anak perempuan yang menginginkan dirindukan ayahnya. Dani tak menyangka kalimat itu yang keluar dari bibir Celine. Dia
“Syaratnya mudah bukan, Parman?” Pak Camat bertanya. “Kamu memang harus meminta maaf. Terus apa kamu menggunakan rumah Celine?”“Sampai saat ini kosong, Pak,” Kades Cirandu menjelaskan.“Nah, kamu juga tidak menggunakan bangunannya.”Pak kades tak berkutik. Lalu tanpa kuasa mendebat dia bilang, “Saya menyetujui syaratnya, Pak.”Celine tersenyum senang mendengarnya. Tak sia-sia perjuangan dua tahu ini. Dia kembali mendapati dirinya sebagai manusia. Manusia yang diperlakukan secara manusiawi.“Saya akan mengabari istri.” Pak Kades undur diri. Dia menjauh. Mendekatkan ponsel ke telinga. Memanggil istri dan anaknya.Sembari menunggu keluarga Pak Kades, Celine dan Pak Camat mengobrol santai. Menceritakan bagaimana perjuangan di KD.Jam sembilan malam, ketika Bu Kades dan anaknya tiba di kediaman Rina. Hari sudah sangat gelap. Sebagian besar perkampungan pun telah sepi.
“Catat sumpah saya. Saya akan kembali ke tempat ini dengan segenap martabat dan harga diri yang tidak bisa kalian injak lagi!”Begitu sumpah seorang gadis dengan penuh kemarahan sekitar dua tahun lalu. Dan sekarang sumpah itu benar terjadi. Celine duduk di kursi dengan anggun. Dikelilingi oleh para petinggi kecamatan. Penampilannya berkelas. Dia tersenyum menawan. Aura yang dia bawa membuat semua orang tak kuasa mengusiknya.Dia. Yang dulu terusir dan tercampakan. Kini bisa mengangkat dagu dengan bangga. Sementara orang yang menghinanya terus tertunduk tanpa kuasa mengangkat wajah.Hidup keluarga Pak Kades tak mulus setelah tayangan lima besar itu. Shifa dan Bu Kades semakin tidak berani ke luar rumah saking banyaknya suara sumbang warga. Dukungan untuk dua periode pun menipis tajam.Meski Celine tidak menjelaskan secara detail tujuan pertemuan ini, Pak Kades tentu sudah tahu ke mana arahnya. Apa lagi kalau bukan untuk membuktikan sum
Celine beserta keluarga Rina kembali ke Majalengka. Menggunakan mobil khusus dari Daffa TV yang akan meliputnya.Panggung besar sudah berdiri di lapangan GGM. Para penonton memenuhi lapangan. Jalanan macet di mana-mana. Dipenuhi kendaraan dan pedagang. Trotoar diisi pejalan kaki yang tidak sedikit juga.Lapangan GGM berada tepat di samping kampus Celine. Yash, Pak Bagus, dan beberapa dosen melihat keramaian penyambutan Celine dari gedung universitas. Para mahasiswa berkumpul di depan gerbang. Ada pula yang naik ke pagar demi melihat Celine melewati tempat itu.Fitri dan beberapa temannya ikut berdiri di depan kampus. Berjinjit demi melihat temannya yang mendadak pergi tanpa kabar itu.Mendekati kampus. Celine membuka atap mobil. Sontak itu membuat para pendukungnya teriak histeris. Pihak keamanan berjalan mengamankan laju mobil. Celine melambaikan tangan menyapa semua penggemarnya.“Hai...”“Terima kasih, ya, terima kasih.&