Tuan Noh tertawa kecil, kali ini terdengar lebih bangga daripada sebelumnya. "Aku suka semangatmu, Hana," katanya dengan tatapan penuh apresiasi.
"Jika kau membutuhkan bantuan, jangan ragu untuk menghubungiku ... atau Rey," lanjutnya, melirik ke arah cucunya yang masih duduk di samping Hana. Hana menatap pria tua itu dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Tuan," jawabnya tulus. "Bantuanmu ini lebih dari apapun yang pernah kuduga. Rasanya tidak cukup hanya mengucapkan terima kasih." Tuan Noh mengangguk pelan, menyadari betapa seriusnya ucapan Hana. Namun, sorot matanya kemudian berubah lebih ringan, seolah ada hal lain yang ingin ia sampaikan. "Oh iya, bulan depan adalah ulang tahun perusahaan First Food," ujarnya tiba-tiba, "Apa kau akan hadir?" Hana termenung sejenak, namun kemudian bibirnya melengkungkan senyum tipis yang penuh arti.Hana beranjak dari kursinya, langkahnya perlahan tapi pasti menuju ujung balkon. Punggungnya terlihat tegar, tetapi Rey tahu ada badai yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia hanya menyesap kopi tanpa niat mengejarnya, membiarkan Hana menghadapi emosinya sendiri.Kakinya masih perih akibat kejadian sebelumnya, namun kini rasa sakit itu tak ada artinya dibandingkan dengan perih di hatinya. Ucapan Rey barusan, dingin dan tajam, seolah menyiram luka itu dengan air garam, memperburuk keadaan.Hana terpaku menatap malam yang indah di kafe itu. Pemandangan bukit yang membentang di hadapannya dihiasi gemerlap lampu-lampu kecil dari kejauhan.Angin malam yang lembut menyentuh kulitnya, seakan berusaha menghiburnya, namun gagal. Kehangatan dari pemandangan itu tak mampu mencairkan hatinya yang kini membeku.Tangannya menggenggam railing balkon. Semakin lama, genggamannya berubah menjadi remasan yang kuat, meluapkan amarah yang tak bisa ia ungkapkan dengan kat
Hari libur terasa berlalu secepat desiran angin. Pagi ini, Hana terbangun dengan enggan, suara alarm ponselnya memecah keheningan dan menyeruak di antara kantuk yang masih berat menggantung di kelopak matanya.Dengan gerakan malas, tangannya meraba-raba nakas di samping tempat tidur, mencari ponsel yang terus berbunyi. Ketika layar ponsel menyala, cahaya birunya langsung menusuk mata yang masih setengah terbuka. Waktu dan sebuah catatan kecil terpampang jelas di sana."Table Reading - 08:00 AM"Hana terjaga seketika. Mata yang tadi sayu kini membelalak penuh kesadaran. “Ya ampun! Aku hampir lupa!” serunya panik. Ia melompat dari tempat tidur, rambutnya kusut seperti habis ditiup badai, tapi otaknya sudah bekerja lebih cepat daripada tubuhnya.Bayangan pekerjaan yang menumpuk sejak kemarin mulai memenuhi pikirannya. Laporan hasil casting sudah dibagikan ke grup semalam, dan pagi ini, seluruh pemain yang terpilih bersama tim produksi akan berkumpul
Table reading pun dimulai. Suasana ruang meeting yang semula diwarnai obrolan ringan seketika berubah serius. Para aktor dan tim produksi telah membuka naskah mereka, menyiapkan diri untuk menghidupkan drama yang selama ini hanya ada di atas kertas. Pada babak pembuka, konflik langsung menghantam keras. Dialog pertama menyuguhkan adegan seorang wanita memergoki pasangannya berselingkuh di apartemen mewah, persis seperti yang Hana alami di masa lalu dengan Juna. Hana duduk tegap di kursinya, mengamati para aktor yang memerankan adegan itu dengan penuh konsentrasi. Sebuah senyum tipis terbit di bibirnya, seolah merasa puas melihat perasaannya kala itu diterjemahkan ke dalam adegan yang begitu nyata. Para pemain benar-benar bertalenta. Setiap ucapan, setiap intonasi, setiap ekspresi mereka seakan membawa semua orang di ruangan itu masuk ke dalam dunia drama. Bahkan beberapa kru di ujung ruangan tampak saling berbisik, terpukau deng
Setelah table reading selesai, para kru dan pemain beranjak menuju kantin kantor untuk makan siang. Suasana perlahan mencair, dipenuhi obrolan ringan dan tawa di antara mereka. Hana berjalan di belakang rombongan timnya, melangkah tenang sambil memegang naskahnya. Di kantin, semua orang berbaris untuk mengambil makanan dari meja prasmanan yang telah disiapkan. Hana mengikuti antrean dengan sabar, pandangannya sesekali melirik pilihan makanan di depannya. Namun, suasana hening itu berubah saat Juna muncul dan dengan sengaja menyela antrean orang lain untuk berdiri tepat di sebelah Hana. “Aku rasa naskah tadi cukup ... menarik,” ujar Juna dengan nada lembut, namun ada nada sindiran yang jelas terasa di dalamnya. “Khususnya bagian tentang perselingkuhan. Kau sungguh pandai memilih tema yang bisa menghina seseorang secara halus.” Hana tidak langsung menjawab. Tangannya dengan tenang mengambil sendok nasi dari piring prasmanan,
Di sudut matanya, Rey menangkap sosok Juna yang duduk di meja lain, memperhatikan ke arah mereka dengan tatapan tajam. Rey membiarkan dirinya tersenyum kecil, penuh arti, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke meja. Ia tahu apa yang sedang terjadi di kepala Juna, dan itu membuatnya semakin tertarik untuk melanjutkan permainan ini.Dengan sengaja, Rey memanggil Hana. "Hana," ucapnya, suaranya rendah namun cukup terdengar di antara keramaian obrolan di meja.Hana mendongak dari makanannya, memandang Rey dengan alis yang sedikit terangkat. Yang lain masih sibuk dengan perbincangan mereka, sesekali tertawa keras, hingga interaksi Rey dan Hana luput dari perhatian."Ya, Tuan?" jawab Hana, nada suaranya formal, tapi kini terasa lebih santai daripada sebelumnya.Rey tersenyum tipis, pandangannya tetap terarah pada Hana. Ada sesuatu di matanya yang sulit dibaca, campuran ketenangan dan sesuatu yang lebih dalam. "Apa kau senggang malam ini?" tanyanya, su
"Kau bilang ingin lebih santai," ujar Rey sambil merapikan dasinya yang sebelumnya longgar. Gerakannya tenang, tapi ada ketegasan di balik setiap kata yang diucapkannya. "Di luar pekerjaan, panggil saja aku Rey."Hana terdiam sejenak, memproses permintaan itu. "Oh ...," ia bergumam pelan, sedikit kikuk dengan perubahan suasana. "Iya, tentu ... Rey." Suaranya agak ragu saat menyebut nama itu.Ia menyesap kopinya, mencoba menyingkirkan rasa canggung yang mendadak menyerang. "Orang-orang akan percaya kita punya hubungan kalau aku memanggilmu seperti itu."Rey memandang Hana dengan tatapan yang sulit ditebak. Tanpa menjawab langsung, ia berdiri dari posisinya. Jas hitamnya yang tadi tergeletak di sandaran kursi ia raih, lalu dikenakan kembali dengan gerakan santai namun penuh wibawa."Memang itu tujuannya," katanya akhirnya, dengan nada datar yang membuat Hana terkejut. Ia tidak memberikan kesempatan untuk bertanya lebih jauh, hanya melangkah pergi me
Setelah table reading dan diskusi lainnya selesai, Hana dan timnya kembali ke kantor agensi. Kali ini, ia memilih ikut mobil timnya. Perjalanan mereka berlangsung tanpa banyak percakapan, semua tampak sibuk dengan pikiran masing-masing.Namun, begitu mereka tiba di kantor, suasana terasa berbeda.Hana segera menyadari ada yang aneh. Tatapan orang-orang di lobi seperti melucuti dirinya. Mereka memandangnya dengan mata penuh tanya, bisikan-bisikan halus terdengar, dan beberapa bahkan menunduk untuk melihat layar ponsel mereka setelah menatap Hana."Kenapa mereka menatapku seperti itu?" pikir Hana sambil mempercepat langkahnya. Tapi ia berusaha meyakinkan diri bahwa mungkin itu hanya perasaannya saja.Begitu sampai di meja timnya, keanehan itu semakin terasa. Dina baru saja duduk ketika notifikasi grup obrolan di ponselnya berbunyi bertubi-tubi. Ekspresi Dina berubah serius saat membaca isi pesan-pesan itu."Ada apa?" tanya Rocky, penasaran.
Malam tiba dengan udara dingin yang membelai kulit. Hana bersiap meninggalkan kantor, tetapi timnya tampak ragu melepaskannya begitu saja.“Kau benar-benar akan datang, 'kan?” tanya Dina dengan nada setengah mengancam.“Tentu saja aku akan datang!” jawab Hana sambil tersenyum, meski dalam hatinya ia dilanda kegelisahan.“Jangan cuma janji.” tambah Rocky, melipat tangannya di dada.“Bener kok aku akan datang,” kata Hana meyakinkan. “Tunggu saja aku di sana.”Dengan langkah cepat, ia bergegas menuju parkiran basement. Di sana, Rey sudah menunggu di mobilnya, duduk di kursi pengemudi dengan sikap tenang namun berwibawa. Hana setengah berlari dan masuk ke mobil, mengatur napasnya yang terengah-engah.“Kau membiarkan atasanmu menunggu,” kata Rey, suaranya datar tapi tajam menusuk telinga Hana.“Maaf, Tuan,” jawab Hana cepat. “Aku benar-benar ada urusan sedikit dengan tim kita.”Rey tidak membalas. Ia hanya mengarahka
Hana duduk di bangku taman rumah sakit, bahunya bergetar halus menahan isakan. Ia menggigit bibir, mencoba menahan tangisnya, tapi air mata tetap jatuh tanpa bisa dihentikan.Seharusnya ia tidak merasa sesakit ini. Seharusnya ia kuat.Tapi nyatanya, dadanya terasa sesak.Ia sudah berusaha mempercayai Rey. Berusaha membuka hatinya untuk pria itu, meski bekas luka yang Juna tinggalkan belum sepenuhnya sembuh. Namun, baru saja ia mulai melangkah maju, dunia seolah mengingatkannya bahwa ia bisa dikecewakan lagi.'Kenapa sih, aku harus selalu merasa seperti ini?'Ia menarik napas panjang, tapi justru semakin terasa berat. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, gemetar. Ia trauma. Ia takut.Dan yang lebih menyakitkan, justru Juna yang sekarang duduk di sampingnya.Bukan Rey.Juna menatap Hana dengan perasaan campur aduk. Ada rasa bersalah, ada kepedihan, ada keinginan besar untuk menarik gadis itu ke dalam pelukannya, tapi ia tahu ia tidak berhak.Pelan-pelan, ia berlutut di hadapan Hana,
Pagi itu, suara notifikasi ponsel membangunkan Hana dari tidurnya. Dengan mata masih setengah terpejam, ia meraih ponselnya di meja samping tempat tidur dan melihat pesan yang masuk.[Pagi, Hana. Kamu udah ke rumah sakit? Kalau belum, aku bisa antar. Jangan sungkan. Sungguh, biarkan aku menebus kesalahanku di masa lalu.]Hana menatap layar ponselnya beberapa detik, jari-jarinya ragu untuk mengetik balasan. Ia menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya ke kepala tempat tidur, mengusap rambutnya ke belakang sambil merenungkan kata-kata dari Juna.Juna kini terlihat benar-benar berusaha berubah. Sejak kemarin, sikapnya terasa berbeda. Lebih tulus, lebih dewasa. Tapi… apakah itu cukup untuk menghapus semua yang telah terjadi di antara mereka?"Huft, ya sudah… apa boleh buat," gumam Hana pelan.Akhirnya, ia mengetik balasan. [Baiklah, terima kasih. Aku setuju.]Tak butuh waktu lama, Juna membalas. [Aku akan menjemputmu dalam 30 menit.]Hana meletakkan ponselnya, lalu bangkit dar
Rey melangkah cepat mendekati Veronica, napasnya sedikit memburu karena ia hampir setengah berlari sejak keluar dari mobil. Ruang tunggu rumah sakit terasa dingin dan sunyi, hanya sesekali terdengar suara langkah perawat yang berlalu-lalang serta desahan napas cemas dari para keluarga pasien lainnya."Veronica!" panggilnya dengan nada mendesak.Wanita itu menoleh, wajahnya sedikit pucat, entah karena cemas atau kelelahan. Ia segera berdiri dari kursinya, menatap Rey dengan sorot mata yang sulit ditebak, ada kecemasan, ada rasa bersalah, dan mungkin sedikit kelegaan karena Rey akhirnya datang."Apa yang terjadi?" tanya Rey tanpa basa-basi.Veronica menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku hendak berkunjung ke rumah kakek, hanya ingin mengobrol santai sambil menikmati kue kesukaannya. Kami berbicara cukup lama, lalu kakekmu pamit ke toilet," jelasnya, suaranya sedikit bergetar. "Tapi setelah hampir tiga puluh menit, dia tak juga kembali. Aku mulai merasa ada yang tidak beres, jadi
"Oh iya, Bu," ucap Rey dengan nada ringan, tapi matanya sekilas melirik ke arah Juna dengan sorot penuh kemenangan. "Desainerku akan datang kemari untuk fitting baju tunangan dan baju pengantin juga."Lauren yang baru saja menyesap tehnya nyaris tersedak mendengar ucapan Rey. Ia terbatuk kecil, kemudian tersenyum kikuk sambil menatap Hana. "Mm, iya baiklah. Rasanya cepat sekali," komentarnya, meski ada nada terkejut dalam suaranya.Hana yang sejak tadi berusaha menahan kegelisahan kini merasa lebih salah tingkah. Ia buru-buru menyelesaikan potongan cake di piringnya dan bangkit dari tempat duduknya. "Aku sudah selesai. Ibu, aku bantu cuci piring, ya," ujarnya, menghindari percakapan lebih lanjut.Sementara itu, Rey dengan santai menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Lauren dengan senyum tipis. "Tentu saja, Bu. Jika kita sudah menemukan yang tepat, maka kita harus mengikatnya dengan janji suci. Aku akan menyesal bila kehilangan wanita seperti Hana," ucapnya dengan nada mantap, tat
Mobil Rey melambat saat tiba di depan rumah Lauren. Ia mengerutkan kening begitu melihat mobil asing terparkir di depan."Siapa itu?" tanyanya, masih memegang kemudi, matanya menyelidiki kendaraan tersebut.Di sampingnya, Hana terdiam. Ia mengenali mobil itu dalam sekejap. Plat nomornya begitu familiar, seperti bayangan dari masa lalu yang enggan pergi.‘Kenapa dia di sini?’ batinnya, dadanya terasa sedikit sesak."Semoga aku salah," gumamnya lirih sebelum membuka pintu mobil dan turun lebih dulu. Langkahnya tergesa, berusaha menahan ketidaknyamanan yang mulai merayap. Rey melangkah santai di belakangnya, sorot matanya waspada, meskipun ekspresinya tetap tenang.Begitu tiba di depan pintu rumah, Hana segera mengetuknya cepat sebelum membuka."Bu, aku pulang!" suaranya lebih tinggi dari biasanya, ada kegelisahan di balik nada panggilannya.Namun, tubuhnya menegang begitu saja saat pintu terbuka dan pemandangan di dalam rumah menyapa matanya.Juna berdiri di depan sofa, tangan terselip
Juna tahu persis kelemahan Hana. Jika ia ingin menggoyahkan hati mantan istrinya, cara terbaik adalah melalui orang yang paling berarti baginya, ibunya, Lauren.Dengan keyakinan penuh, ia segera menyalakan mesin mobilnya dan melajukannya di siang hari yang terik, menuju sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Sepanjang perjalanan, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis. Ia tidak akan datang dengan amarah atau paksaan. Tidak. Kali ini ia akan menyerang dengan cara yang lebih halus, cara yang lebih sulit ditolak.Dalam perjalanan, Juna mampir ke sebuah toko kue kecil yang terkenal dengan berbagai macam cake buatannya. Ia memilih dengan hati-hati, dan akhirnya membeli sepotong cake greentea. Bukan tanpa alasan, ia ingat betul bahwa itu adalah favorit Lauren.Setelah transaksi selesai, ia kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan.Setibanya di rumah sederhana milik Lauren, Juna turun dari mobil dengan percaya diri. Tangannya dengan santai menenteng kotak cake yang baru saja dibeliny
Rey meletakkan gelas kopinya di meja dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya. Matanya menatap Hana dengan intensitas yang sulit diartikan, bukan marah, bukan cemburu, tapi sesuatu yang lebih dalam."Jadi dia masih menganggap dirinya bagian dari hidupmu?" suaranya terdengar datar, tapi ada bahaya yang mengintai di balik ketenangan itu.Hana menghela napas, menarik kursi dan duduk. Ia memainkan sendok di hadapannya, bukan karena gugup, tapi lebih kepada memberi dirinya waktu untuk berpikir sebelum menjawab."Aku tidak peduli lagi apa yang dia pikirkan. Aku sudah membuat keputusanku, Rey," katanya akhirnya, suaranya lembut tapi tegas.Rey memperhatikan ekspresinya, mencari tanda-tanda keraguan, tapi tidak menemukannya. Itu seharusnya membuatnya lega, Hana benar-benar sudah melepaskan masa lalunya.Tapi tetap saja, sesuatu dalam dirinya tidak bisa menerima begitu saja tindakan Juna."Aku akan menangani ini," ucapnya akhirnya sambil menatap Hana intens.Hana langsung menatapnya taj
Ruangan itu terasa suram. Meja jabatannya yang sudah usang tak lagi berkilau seperti saat pertama kali ia duduki bertahun-tahun lalu. Segalanya terasa basi, seperti dirinya yang tak lagi punya taring dalam dunia bisnis ini.Juna duduk di kursinya, jemarinya dengan malas mengetuk permukaan meja, sementara matanya terpaku pada layar ponselnya.Di sana, terpampang wajah Hana.Senyumnya. Sorot matanya. Segalanya tentang perempuan itu masih sama seperti dulu, masih memikat, masih mampu menusuk ke dalam hatinya tanpa ampun.Tapi kali ini, bukan rasa cinta manis yang memenuhi dadanya.Melainkan obsesi yang merayap seperti racun.Juna tersenyum kecil, senyum yang tidak seharusnya dimiliki seseorang yang waras. "Kau menghancurkanku sampai ke palung terdalam, tapi aku terima, Hana ... aku memang pantas mendapatkannya ... Dan kini... Begini ya rasanya mencintaimu? Aku rasanya gila ... Lebih gila lagi menginginkanmu."Suara itu liri
Dalam kehangatan air di dalam bathtub ... suasana mencair.Uap tipis mengepul di sekeliling mereka, mengaburkan batas antara air dan udara, antara realitas dan keinginan yang tak terelakkan. Setiap gerakan kecil menyebabkan riak lembut di permukaan air, seakan mengiringi detak jantung mereka yang tak beraturan.Rey bersandar di sisi bathtub, tatapannya tak beranjak dari wajah Hana.Wanita itu duduk di depannya, kulitnya yang lembap berkilauan di bawah bias cahaya yang redup. Air yang hangat membungkus tubuh mereka, namun kehangatan sesungguhnya berasal dari sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih berbahaya dan sulit untuk dipadamkan."Katakan, Hana …" Suara Rey serak, seperti gumaman yang beresonansi di dalam dada. "Apa yang kau rasakan untukku?"Ia tidak terburu-buru, tidak memaksanya dengan sentuhan atau ciuman, tetapi dengan kehadiran di depan Hana, ia ingin keberadaannya terasa bukan hanya dalam pikiran Hana.Hana menatapnya.Sejenak, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kedalaman