Matahari merangkak naik. Setelah kunci pintu kamar berhasil terbuka aku bergegas ke sana. Akila kubiarkan menunggu di kamar sedangkan aku bersiap untuk melakukan pekerjaan di kantor. Hari kemarin aku tergolong izin karena tidak kembali selepas jam istirahat.Pakaian formal berupa kemeja panjang dan celana berbahan semi jins kukenakan. Kali ini kutinggalkan kacamata karena tidak perlu lagi menyamarkan tangis. "Sarapan dulu, ya, Akila. Habis itu Akila nemenin ibu kerja." Nasi goreng beserta teh hangat sengaja kupesankan dari restoran Bos Teo dan meminta untuk diantar langsung ke kamar. Akila mengangguk."Ibu enggak?" "Udah. Tadi ibu udah nyicipin waktu Akila masih mandi." "Baiklah." Doa sebelum makan Akila panjatkan lalu tanganku sigap menyendok menu itu. "Aaaaaa.""Yummi." Kami kompak tersenyum.Jarum jam sudah sampai di angka tujuh. Harusnya aku sudah membuka pintu kantor dan segera bekerja. Namun, aku meminta toleransi pada Bos Teo untuk sedikit terlambat. Aku tidak mau kehil
Informasi yang diberikan Bos Teo sangat valid. Tepat dua minggu berikutnya acara itu terjadi. Anehnya aku dan Arga tidak diizinkan Bos Teo bergabung dengan para karyawan."Pakai ini!" Dua buah paper bag Bos Teo serahkan pada Arga. Wajah kami tentu mempertanyakan itu apa."Pakaian kalian.""Maksud, Bos?""Ganti dengan itu. Yang satunya lagi buat Amira.""Kenapa harus ganti, Bos?" tanyaku merasa aneh. Baju yang kukenakan juga tidak jelek-jelek amat."Nurut saja. Untuk urusan makanan sudah ada yang handel. Kalian datang menemaniku sebagai tamu undangan."Bagaimana bisa? Kita lagi mau kerja lho, Bos. Kok gini sih?"Wah ini jas mahal, Bos." Arga sudah heboh membuka paper bag itu. Ia langsung mencobanya."Cepet gak pakai lama. Kamu juga, Amira!"Terpaksa aku menurut lagi melihat tatapannya yang cukup mengerikan. Kusempatkan untuk mengganti pakaian di toilet dan mematut diri pada cermin.Hmmmm ... Lumayan. Senyum ketegaran coba kuguratkan. Sapuan lipstik berwarna nude membuat kesan simpel
Acara makan malam yang berlangsung seketika membuatku kenyang tanpa perlu menyantap hidangan. Bagaimana tidak sedari tadi Mas Baja terus-terusan menatap sinis ke arahku dengan wajah tak sukanya. Sekadar memegang sendok dan garpu saja membuatku kesulitan. "Cuekin aja. Natap ke aku biar dia gak berani lirik kamu."Aku menoleh. Bos Teo yang dari tadi pun hanya diam rupanya memperhatikan."Nah, gitu lebih baik.""Dih, pede amat, Bos. Lagian mana bisa orang dia di depan gitu.""Ya, kamu gak usah liat depan, lah.""Terus lihat mana? Belakang?" ujarku kesal. Ingin melempar garpu kecil ini rasanya."Udah dibilang ke samping aja, kok. Kaya gini.""Ntar leher saya terkilir, Bos, kalau ke samping terus gini.""Hmmm. Banyak protes." Bos Teo pun berdiri. Menggeser piringnya, lalu mengangkat kursi dan meletakkannya tepat berhadapan denganku. Tubuhnya membelakangi pelaminan."Kalau gini gak kelihatan lagi, 'kan?" selorohnya dengan senyum yang dibuat sedemikian rupa hingga tak kuasa membuatku ikut t
"Sejak kapan jadian sama Teo? Waktu masih di pabrik?" cibirnya yang terdengar jelas dengan tawa sumbang setelah intonasi tanda tanya.Jadian? What the meaning of Jadian? Ingin kuberteriak rasanya kalau ini hanya sandiwara. Tetapi jelas tidak mungkin."Oh, hanya pura-pura? Settingan?" kekeh Raline yang entah kenapa terdengar jelas kalau dia sedang mengejek. Beruntung aku sedang tidak melihat wajahnya."Teo itu adik angkatku. Hanya selisih satu tahun. Aku tahu betul gimana seleranya. Kamu? Jelas gak masuk sama sekali. Pasti ini hanya akal-akalan buat ngelabuhi Mama, Papa, 'kan?" Adik angkat. Tidak ada hubungan darah. Boleh memiliki rasa suka dan tidak masalah jika menjalin hubungan. Mungkin, Bos Teo memang menyukai Raline tapi terhalang dengan hubungan keluarga itu."Tidak perlu meladeni kemauannya, Amira. Tidak berpengaruh sama sekali dengan hubunganku dan Mas Baja. Terlalu buang-buang waktu untuk sekadar cemburu sama kalian."See? Membuat mereka cemburu? Nol besar itu. Tidak ada niat
Pagi hari aku sudah siap dengan outfit semi formal. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja. Aku berniat akan melakukan yang terbaik untuk hari ini. Esoknya baru aku akan pulang ke rumah ibu. Pintu utama kamar kos kubuka dengan hati riang gembira. Bersiap menyambut hari bahagia."Bwaaaaaa!" sebuah kejutan mengagetkanku."Astaghfirulloh, Bos. Ngapain?!" Bos Teo terbahak melihatku yang nyaris saja mati mendadak karena ulahnya."Hahahaha! Kena juga.""Mau bikin saya mati, Bos?" ucapku sembari mengurut dada."Lama amat kamu. Ini sudah jam tujuh lewat." Bos Teo dengan pakaian formal orang kantoran melihat jam di pergelangan tangan kanannya."Baru jam tujuh pas, Bos. Belum lebih walau satu detik. Saya gak akan telat buat masuk kantor.""Tetap saja lama. Saya nunggu dari jam enam tiga puluh.""Nunggu? Ngapain nunggu, Bos?" "Kamu gak jadi ambil berkas?" tanyanya dengan kening mengernyit. Seperti sengaja menampakan ekpresi bahwa berkas itu terkesan tidak penting."Maksud, Bos?""Berkas ijaza
"Sudah lama, Mir?""Lumayan, Pak. Ada dua jam lebih.""Ya sudah ayo pindah ke ruangan saya." Pak Ginanjar membawa sejumlah berkas sembari mengedikan dagu. "Baik, Pak."Ruangan Pak Ginanjar berada tak jauh dari ruangan Bos Teo. Ada di tengah-tengah. Dengan pelan aku berjalan untuk sampai ke sana."Beneran mau ngalamar kerja lagi kamu? Gak tahu malu banget, sih!" seru Mbak Ripka yang baru keluar dari ruangannya. Dia bisa dengan jelas melihatku.Aku hanya tersenyum seraya mengangguk. Menanggapi omongannya sangat tidak perlu."Heh! Gak punya telinga, ya?!""Amira, cepat masuk!" seru Pak Ginanjar dari dalam. Aku semakin tersenyum sembari mengangguk dalam pada Mbak Ripka. Pembalasan yang terasa sempurna.Tok! Tok! Tok!"Langsung duduk aja, Mir.""Ya, Pak." Pak Ginanjar membuka lemari berkas di dekat meja kerjanya lalu mengambil satu buah map berwarna coklat dan berjalan ke arah kursi kerjanya. Di ruangan Pak Ginanjar tidak ada satu set kursi tamu seperti ruangan Bos Teo."Gimana kabar kam
"Stop Tante? Bagaimana bisa?" tanyaku tak tahu menahu soal hal itu."Ayo kita bicarakan di luar." Tante Mutia melihat wajah Bu Nunik sebentar.Aku mengangguk. Namun, sebelum itu aku menatap neneknya Akila sebentar. Satu tembok paling kuat sudah runtuh. Beliau orang yang selalu menentangku untuk membawa Akila. Beliau yang paling gencar membuat penolakan atas niat baikku, sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau tubuhnya seringkih itu harusnya semua jauh lebih mudah. Sudah kuniatkan dalam hati untuk melawan mereka. Membalas perbuatan semua orang yang pernah melukaiku. Sekarang rencana itu menguap begitu saja. Bahkan anehnya ada sedikit keprihatinan yang ikut datang bersamaan saat aku menatapnya. Bagaimanapun juga perempuan ini sayang dengan darah dagingku sendiri. "Akila sini aja, Bu. Mau jagain Nenek." Aku mengulas senyum lalu mengusap rambutnya. Akila sejak awal memang dekat dengan neneknya. Saat aku bekerja setiap hari Mas Baja menitipkan Akila pada neneknya. Mungkin waktu yang dih
Pov Teo***Namanya Amira tanpa kepanjangan apa-apa. Perempuan berusia sekitar 26 tahun dengan rambut sebahu dan perawakan kecil. Tingginya paling sekitar 152 cm. Kulitnya kuning langsat dengan bibir tipis serta hidung pesek. Dari standar kecantikan wanita pada umumnya, jelas dia biasa saja.Aku mengenalnya tak sengaja saat dia kebetulan terhubung dengan kisah Raline dan Baja. Dia adalah istri sah dari kekasih orang yang kucintai. Hubungan rumit yang menyebabkan mereka mengakhiri biduk rumah tangga. Awalnya aku biasa saja. Tidak berminat membantunya sama sekali. Namun, sikap bodoh serta polosnya cukup mengusikku.Saat dengan yakin ia memilih pergi dari pabrik karena permintaan Raline. Meski dia bisa menghindari pemecatan itu kalau saja mau bicara denganku. Dia justru kabur entah ke mana selama beberapa minggu. Aku mencaritahu lewat Pak Ginanjar dan rupanya ia bertahan di desa tempatnya tinggal.Rasa-rasanya semua yang berkaitan dengan Amira berputar di sekelilingku. Mulai dari pabrik