"Kita coba! Bismillah!" Shifra menarik lengan Javaz dan masih tetap menggendong Ezra.Sekuat tenaga dia berusaha membangunkan suaminya itu, tapi Javaz justru terguling dan kembali tersungkur di tanahbtak berdaya. "Kak Javaz? Shifra? Ada apa?" Tergopoh-gopoh Zora berlari dari teras rumah Bu Manisah saat sedang mengeluarkan plastik sampah ke tong di depan."Bantu Gue dulu, Ra! Ambilkan stroller Ezra dan letakkan dia di sana dulu! Baru papah gue ke dalam. Gue lemes banget!" kata Javaz terbata dan sedikit cedal."Ya Allah ... Kakak salah makan atau gimana, sih? Habis jatuh?" cecar adik perempuan satu-satunya itu masih belum percaya dengan apa yang dilihat.Javaz hanya menggeleng lemah dan mengulurkan tangan dengan susah payah. Rasanya seluruh tulang tak merespon perintah otak untuk bergerak. Gerakan refleks-nya pun seperti sudah tak berfungsi lagi.Setelah Zora melakukan perintah kakaknya, dia dan Shifra bahu membahu mengangkat tubuh kekar Javaz. Sedikit menyeret kakinya, pria itu tak bi
"Jadi ... Mas Javaz akan lumpuh?" gumam Shifra berdiri di ambang pintu ruangan dokter yang tak tertutup sempurna, tubuhnya terhuyung ke belakang.Hanya mendengar setengah saja deri penjelasan Dokter, Shifra terkejut hingga hampir pingsan."Anda tidak apa-apa, Nyonya?" Baron yang baru datang sigap menahan tubuh wanita bercadar itu."Saya baru saja ke kamar Pak Javaz, tapi Nona Zora dan Anda tidak ada di kamar tunggu. Saya kasihan pada Ezra yang ditinggal sendirian. Jadi saya mencari Anda, Nyonya!" terangnya panjang lebar sambil melepaskan rangkulan lengannya di tubuh Shifra. "Apa jika aku kembali pada semua kemewahan yang diberi oleh Kagendra. Saya berarti melanggar janji saya, Mas Baron?" tanya Shifra menunduk tajam."Tidak Nyonya ... hanya saja kemungkinan besar Anda tidak bisa memimpin perusahaan manapun nantinya. Harus dilimpahkan kuasanya pada orang lain. Anda hanya menjalankan kontrol dari rumah. Karena publik dan kolega bisnis tahunya Anda dan seluruh keluarga pindah ke Negera
"Tolong ... jangan seperti ini! Ayo kita hidup bersama, sembuhlah, Mas ... sembuhlah demi Ezra ... demi anak kita, Mas ... Ezra anak kita, anak Kamu, Mas ...." raungnya berdiri dengan dua lutut menenggelamkan kepala di sisi tubuh Javaz, tersedu-sedu.Ketiga orang lain di ruangan itu saling pandang dengan wajah penuh tanya. Kalimat Shifra seperti sebuah boomerang bagi dirinya sendiri. Dahulu dia tak pernah mau mengakui anaknya sebagai hasil perbuatan Javaz. Tapi sekarang apa?Air mata Javaz mengalir hingga ke telinga. Wajahnya masih sama datar seperti awal pertama jatuh sakit. Hanya detak jantungnya yang menunjukkan ekspresi, dia sedang menahan gejolak di dalam hatinya. Terdengar lebih cepat dan memburu, kemudian berangsur melemah lagi."Ja-jangan ba-wa aku ke-Si-nga-puu-ra, aku--"Belum sampai Javaz menyelesaikan ucapan terbatanya, Shifra mengangguk, menyetujui."Kali ini aku aku mematuhi suamiku, kamu Mas ... kamu sekarang suamiku! " isaknya penuh penekanan dan terus mencium punggun
"Tuh liat! Sudah bisa 'kan? Kamu duduk aja diem di sana! Nanti kalo aku butuh bantuan, baru kamu bantuin!" titahnya menunjuk dengan satu jari pada sofa tak jauh dari Shifra. "Oke ... baiklah!" katanya mundur dan duduk di tepi ranjang, bukan di tempat suaminya menunjuk.Javaz hanya bisa melirik dari ekor matanya dengan seulas senyum. Kini hatinya merasa lebih baik dan mulai nyaman berada di sisi istrinya. Jika dulu adalah karena rasa bersalah dan berniat untuk menghukum dirinya sendiri. sSetidaknya agar bisa merasakan sakit yang sama seperti yang ditorehkan pada Shifra, tapi tidak untuk sekarang. Perasaan suka dan cintanya kembali berbunga dengan warna yang berbeda. Ingin menjaga dan melindungi serta bisa memberikan senyuman di wajah Shifra-Ezra. Di atas lantai berlapis karpet bulu, pria itu memiringkan tubuhnya seperti bayi yang sedang dalam fase belajar miring. Susah payah dengan seluruh kekuatannya dia berusaha melawan lemas dan lemah di seluruh persendiannya yang kaku. Sekali dua
Berniat bergurau tapi raut wajah Javaz dan Shifra berubah datar dan tampak salah tingkah. Kedua suami istri itu saling pandang dan tertawa garing.'Mungkinkah aku bisa setelah apa yang menimpaku?'"Aah, Ibu bisa saja! Dek Ezra aja belum bisa jalan? 'Kan kasihan Shifra sudah punya dua bayi di rumah ini? Mana bayi satunya sebesar ini, pula?" celetuk Zora menunjuk Javaz dengan dagu, sukses mengundang tawa renyah di antara suasana canggung yang tengah tercipta.Banyak hal dilalui pasangan yang bisa dibilang usia pernikahannya masih sangat muda itu. Shifra mulai menunjukkan ketulusannya sebagai seorang ibu sekaligus istri. Begitu pun Javaz yang mulai menyadari setiap perbuatan pasti akan dibalas entah di dunia atau di akhirat nanti."Shif, andai aku lebih dulu berpulang meninggalkan dunia ini. Apa kamu akan kembali meratapi kepergianku?" Javaz yang tengah terapi berdiri, tiba-tiba saja mengejutkan Shifra dengan pertanyaan aneh."Jangan bertanya aneh-aneh deh, Mas! Jangan berandai-andai t
Tawa Shifra seketika menggelegar memenuhi ruangan. Tapi air matanya masih deras mengalir membasahi pipi. Dia seperti menjadi orang lain yang tak dikenali. Kadang cekikikan, kadang histeris dan sesekali menagis. Tangannya bergerak cemas meremas-remas ujung pakaian atau hijabnya. Gerak matanya pun tak fokus, ke sana kemari tak tenang."Meninggal, heu? Di mana makamnya? Apa kamu menemukan jasadnya, hah?!" kekeh Shifra berdiri berkacak pinggang dengan gaya slengekan seperti orang mabuk. Kepalanya terangkat menantang tapi manik netranya tak jelas ke arah mana? Tak berani menatap tepat di dua bola mata pria di hadapannya.Javaz hanya bisa menggeleng dan terus mendekap Ezra yang mulai tak nyaman. Bayi itu menggeliat dan meronta merasa terkungkung tak bebas bergerak."Shifra, istighfar! Istighfar, Sayaaang!" lirih pria itu melepaskan dekapan dan bayi itu merangkak mendekati kaki ibunya.Javaz pasrah dengan menunduk tajam, berusaha bangkit dan duduk berselonjor.'Allah ... mengapa semua ini E
Pekikan dua orang wanita beda usia terdengarenggema di dua ruangan yang berbeda di rumah itu. Entah sejak kapan keduanya sampai dan langsung masuk begitu saja.Ezra hampir saja terguling bersama kursi roda Javaz yang berhasil ditahan oleh Zora. Kedua tak sampai terbentur ke lantai, tangan kanan adik perempuan Javaz itu menyangga kepala bayi dan satunya menahan kursi yang sudah miring.Sementara itu di dapur, kondisi Baron sama kacaunya. Dia merebus langsung ASIP beku ke panci, padahal ada microwave di sana. Belum berpengalaman dan tak pernah melakukan pekerjaan yang didominasi kaum ibu itu pun menjadi alasannya melakukan kesalahan.Bu Manisah tertawa geli sekali dan mengganti ASIP yang baru untuk Ezra yang masih belum berhenti menangis. Baron hanya meringis dan menggaruk tengkuknya salah tingkah menatap istri dari almarhum Pak Joko dengan penuh rasa bersalah.Meski sedikit panik tapi kemudian setelah semua teratasi, Ezra sudah mendapatkan apa yang diinginkannya. Bisa didekap dan dibar
"Suami? Kamu Javaz? Suami Shifra?" dia menggeleng dan beringsut mundur.Javaz mengangguk antusias dengan senyuman merekah. Berharap Shifra kembali mengingatnya dan sembuh perlahan."Lalu, di mana Mas El? Kenapa jadi Kamu suami Shifra? Apa Kamu mengerjaiku seperti dulu?"Javaz menggeleng kuat memegang dua bahu Shifra dan menatap matanya lekat."Lihatlah! Kita-" Kalimatnya terpotong saat melihat jari manis Shifra yang diangkatnya memiliki dua cincin."Kenapa ada dua? Sejak kapan?" desis Javaz dengan pilu.Cincin yang disematkan waktu itu berjajar dengan cincin pernikahan yang diberikan Elzien untuk Shifra. Dia memakainya lagi entah sejak kapan.Pria itu membentang jarak, mundur dengan menunduk tajam. Sakit menghunjam jantungnya, Shifra menyimpan dilema dan kerumitan dalam hidupnya. Javaz benar-benar bisa gila juga jika menghadapi kenyataan siapa sebenarnya yang diingat istrinya sebagai suami. Terlalu rumit di matanya, tak menyangka takdir Shifra sungguh sangat berliku."Shifra nggak bis