Hai hai hai ...Temen temen readers .... 🤗💌💌 Ditinggal Suami, Dinikahi Adik Ipar 💌💌Author mau kasih inpoh niiih ya?Sebelumnya minta ma ... af ... banget 🙏🙏🙏🙏🙏Di Aplikasi GN dan KBM ada kesalahan Bab 8, Bab 9 dan Bab 10 yang sudah terlanjur kalian baca 😫🙏🙏🙏Selanjutnya bisa diulang baca lagi setelah revisi, ya? 😬🙏Sekali lagi maaf atas ketidak nyamanan pembaca yang budiman🙏😍Semoga berkenan melanjutkan mambaca bab berikutnya dan bab revisian yang pasti lebih seru👍Sekian in phoh dari Author Iftiati Maisyaroh 😇Selamat membaca dan Semoga semua yang telah readers berikan untuk membaca Shifra-Elzien-Javaz diganti dengan rezeki yang berlimpah dan sukses lancar segala urusan readers semua 🤲😇 Terima kasih 🙏
"Mas El masih hi-dup???" ulang Shifra menatap kosong.Ingatannya kembali pada masa sebelum kehilangan suaminya itu."Semoga dengan ini, kamu bisa memberikanku keturunan, Sayaaang. Aku ingin jika nanti aku harus pergi ke luar kota atu ke Luar Negeri untuk bisnis, ada anak-anak kita yang menjagamu, menemanimu, Kamu nggak kesepian, hem?" ujar Elzien menyelipkan anak rambut Shifra ke belakang telinga.Wanita dalam pelukan suaminya itu menggeleng kuat semakin erat mengaitkan lengannya di pinggang Elzien di atas ranjang."Mas jangan ngomong gitu, Ich! Aku nggak suka!" katanya dengan cemberut dan mencubit perut kotak Elzien dengan susah payah. "Iya ... maaf!" balasnya menangkap tangan sang istri di perutnya dan mengecup penuh kelembutan sambil memejamkan mata."Aku nggak mau ditinggal tinggal setelah ini! Kalopun harus ke luar kota atau ke Luar Negeri sekalipun, aku ikut Mas! Titik!" protes Shifra masih dengan menekuk wajahnya hingga bibirnya mengerucut."Iya ... Sayang ... Mas akan selalu p
"Mas ... El-" bisikannya terhenti saat menyadari Javaz yang sedang di peluknya. Mendorong dada bidang itu kuat-kuat dan berbalik badan masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu."Shif!" Tangan Javaz sudah menggantung hendak menahan wanita yang pergi dari hadapannya."Kalian selalu seperti ini? Gimana bisa dia lebih milih Kak Javaz nggak dipenjara dan malah tinggal bersama sebagai suami istri?" Zora mengutarakan rasa penasarannya sedari kemarin saat dijelaskan Baron di Rumah Sakit tentang hubungan Shifra dan Javaz."Tau ah! Gue ke Surau dulu! Kunci pintunya dan jangan macem macem di sini!" tegas Javaz memberi peringatan pada adiknya dengan sorot mata tajam."Iya ... bawel!" balasnya mengikuti langkah Javaz keluar rumah kemudian melakukan apa yang diperintahkan padanya.Hari berganti hari Javaz semakin disibukkan dengan pekerjaan. Semenjak tangan Shifra terluka karena tersiram air panas waktu itu, semua pekerjaan rumah tangga pria itu yang mengerjakannya. Mulai dari mencuci pakaian
"Allahu Akbar!" pekiknya membaca takbir mengangkat kepala dari sujud dan duduk tasyahud akhir dengan terisak kecil.Dalam hatinya berharap suara itu benar-benar suaminya yang memanggil dari jauh sana. Tapi mungkinkah terjadi?Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri, mengakhiri dua rekaatnya, Shifra mengedarkan pandang. Hening dan tak ada sesiapa di kamar bercat dinding kuning langsat itu. Suara Elzien hanyalah sebuah angin yang berembus. Halusinasi dan buah dari rasa rindu yang membuncah, bukanlah nyata adanya.Dua tangan di balik mukena itu kembali terangkat menunduk tajam merapalkan doa kebaikan pada Tuhannya. Sesekali bahunya naik turun menahan tangis. Mengusap pipinya yang basah dan kadang terdengar isakan kecil. Satu tahun yang dijalani tanpa Elzien adalah hal terberat dalam hidupnya."Maafkan aku, Mas ... sekarang belum ada cinta di hatiku untukmu. Mungkin suatu saat, aku bahkan mungkin tak akan mampu kehilangan kamu saking cintanya," kekeh Shifra saat pertama kali memasuki istana k
"Ada apa dengan Mas Javaz, Bu?" Shifra menguatkan dirinya keluar menggendong Ezra yang masih menangis sambil mengayunkan tubuhnya ke kanan ke kiri."Mas Javaz! Mas Javaz!" Bu Joko tak bisa melanjutkan kalimatnya dan malah meliruh ke lantai.Seluruh tubuhnya berguncang hebat meraung merapalkan nama Tuhannya dengan mengelus dada berkali-kali. "Ada apa, Bu? Mas Javaz kenapa?!" sentak Zora ikut berjongkok mengguncang lengan wanita paruh baya yang menggelengkan kepala."Pak-- Joko ... jatuh di- kamar mandi! Tolong- Mas Javaz- antarkan ... ke klinik! Mas Javaz belum ... berangkat-- 'kan?" ucapnya putus-putus sambil mengatur napasnya yang tersengal.Wanita yang menggendong bayinya itu ikut meluruh ke lantai. Zora pun sama, jatuh terduduk mendengar kalimat penjelasan dari Bu Joko.Tak dipungkiri ketakukutan akan kabar buruk terus saja menghantui kedua wanita itu. Kehilangan seseorang yang sudah ada dalam hati kita itu butuh keiklasan yang tak setiap orang bisa lakukan. Di luar tampak tegr da
Zora sontak menoleh cepat dengan mempertajam pendengarannya.'Apakah itu Mas El?' batinnya.Wanita itu tak sempat mencuri dengar lagi, gilirannya mengantre sudah tiba. Dia maju ke depan meja kasir dengan tergesa. Ingin segera menyelesaikannya lalu menghubungi Baron. Tapi apalah daya jika mengurus administrasi Rumah Sakit Daerah lebih rumit dibanding Rumah Sakit Swasta. Dia bahkan tak ingat nomer pria berkaca mata itu, hanya ingat nomor kantor saja."Berapa nomer ponsel Baron? Aaarrrgh ... kenapa Shifra harus depresai sama barang penting gini, sih?" kesalnya karena tanpa alat komunikasi canggih itu, dia jadi harus susah menyelesaikan hal mudah seperti ini."Bagaimana, Mbak?" tanya si resepsionis."Boleh saya pinjam telepon umum saja? Saya akan coba hubungi saudara yang bekerja di perusahaan--," Zora tak mungkin menyebutkannya, "saya hanya ingat nomer kantor itu!" ralatnya dengan wajah memohon."Iya, Silakan!" kata petugas administrasi RSUD menyerahkan gagang telepon kabel pada Zora.Se
"Kita coba! Bismillah!" Shifra menarik lengan Javaz dan masih tetap menggendong Ezra.Sekuat tenaga dia berusaha membangunkan suaminya itu, tapi Javaz justru terguling dan kembali tersungkur di tanahbtak berdaya. "Kak Javaz? Shifra? Ada apa?" Tergopoh-gopoh Zora berlari dari teras rumah Bu Manisah saat sedang mengeluarkan plastik sampah ke tong di depan."Bantu Gue dulu, Ra! Ambilkan stroller Ezra dan letakkan dia di sana dulu! Baru papah gue ke dalam. Gue lemes banget!" kata Javaz terbata dan sedikit cedal."Ya Allah ... Kakak salah makan atau gimana, sih? Habis jatuh?" cecar adik perempuan satu-satunya itu masih belum percaya dengan apa yang dilihat.Javaz hanya menggeleng lemah dan mengulurkan tangan dengan susah payah. Rasanya seluruh tulang tak merespon perintah otak untuk bergerak. Gerakan refleks-nya pun seperti sudah tak berfungsi lagi.Setelah Zora melakukan perintah kakaknya, dia dan Shifra bahu membahu mengangkat tubuh kekar Javaz. Sedikit menyeret kakinya, pria itu tak bi
"Jadi ... Mas Javaz akan lumpuh?" gumam Shifra berdiri di ambang pintu ruangan dokter yang tak tertutup sempurna, tubuhnya terhuyung ke belakang.Hanya mendengar setengah saja deri penjelasan Dokter, Shifra terkejut hingga hampir pingsan."Anda tidak apa-apa, Nyonya?" Baron yang baru datang sigap menahan tubuh wanita bercadar itu."Saya baru saja ke kamar Pak Javaz, tapi Nona Zora dan Anda tidak ada di kamar tunggu. Saya kasihan pada Ezra yang ditinggal sendirian. Jadi saya mencari Anda, Nyonya!" terangnya panjang lebar sambil melepaskan rangkulan lengannya di tubuh Shifra. "Apa jika aku kembali pada semua kemewahan yang diberi oleh Kagendra. Saya berarti melanggar janji saya, Mas Baron?" tanya Shifra menunduk tajam."Tidak Nyonya ... hanya saja kemungkinan besar Anda tidak bisa memimpin perusahaan manapun nantinya. Harus dilimpahkan kuasanya pada orang lain. Anda hanya menjalankan kontrol dari rumah. Karena publik dan kolega bisnis tahunya Anda dan seluruh keluarga pindah ke Negera