"Ish ... Mas! Ini sakit banget," rengek seorang wanita yang menggeliat tak nyaman di atas ranjang big size dengan seorang pria memeluk perutnya dari belakang.
"Iya, makanya hari ini kamu di rumah aja, ya? Temani Mas ke suatu tempat, hem?" balas suara serak khas bangun tidur seorang pria yang bergulung dengan satu selimut dengan wanita itu."Tinggal ujian terakhir hari ini, Mas. Masa harus bolos? Kan sayang banget kalo harus ngulang minggu depan?" Wanita itu berbalik menghadap pada pria yang dengan cepat mengecup kening istri kecilnya.Shifra Zweeta seorang mahasiswi cerdas dan cantik juga sholehah mampu membuat seorang Elzien Kagendra menjadi budak cintanya. Pria tiga puluh tahun yang sudah matang secara materi itu, harus menahan gejolak has-ratnya sebagai seorang laki-laki selama dua tahun menikah dengan Shifra.Sebuah perjanjian pra nikah yang dibuat agar menunda malam pertama karena Shifra masih kuliah. Tak mau mengganggu aktivitas menempuh pendidikannya hingga sarjana, wanita itu masih terjaga kehormatannya. Meski sudah dua tahun menikah, Elzien tetap berusaha menepati janjinya itu.Beberapa hari ini entah ada angin apa, Elzien meminta haknya sebagai seorang suami. Dengan alasan sudah terlalu lama menunggu dan Shifra sudah semester akhir kuliahnya. Tinggal ujian akhir hari ini dan akan mengajukan judul skripsinya awal bulan nanti."Kamu pasti nggak nyaman karena semalam, Sayaaang ...." Elzien mencium pipi istrinya hingga merona."Iya, sakit. Insya Allah masih bisa ditahan, kok. Mas ih! Aku jadi nggak pede nih ke kampus!" omel Shifra cemberut dan mencubit perut suaminya yang langsung mengaduh.Wanita yang baru pertama kali merasakan romansa panjang dengan kehalalannya itu beringsut turun dari ranjang. Menahan sedikit nyeri di panggul dan bagian inti bawah tubuhnya. Dia meringis dan menarik selimut tebal menutupi tubuhnya. Menyeret kain berwarna putih itu dengan tertatih menuju kamar mandi."Yakin bisa sendiri, Sayang?""Mas ih! Jangan diledekin! Aku kapok! Sekali aja ini!" gerutu Shifra memanyunkan bibirnya sambil terus melangkah perlahan.---"Mas El nggak ngantor?"Sapaan adik Elzien menyambut langkah sepasang suami istri itu menuju meja makan keluarga Haribawa."Mas mau jalan-jalan, bulan madu! Nggak usah bawel! Tugas kantor aku serahin ke kamu, Javas!" Elzien menjawab pertanyaan adik perempuan sekaligus memerintah adik laki-lakinya menggantikan pekerjaan di kantor."Lah??? Kalian mau ninggalin ujian terakhir Shifra, demi bulan madu?" Zora yang satu kampus beda jurusan dengan kakak iparnya itu keheranan."Kita berangkat abis aku selese nanti, Kok. Iya kan, Mas?" sahut Shifra menatap suaminya mencari kejelasan."Emang mau kemana, El? Nggak bisa besok saja?""Enggak, Pa. Besok kan hari Jumat? Hari pendek buat jalan-jalan. Jadi hari ini nanti, aku anter Shifra ke kampus dulu trus ketemu klien sebentar dan langsung berangkat. Cuma ke puncak, malam paling udah sampai rumah lagi, kok." jawab Elzien menatap Papanya yang mengangguk."Gue ikut Lo ya, Mas? Biasa ... masuk bengkel lagi si Sexy Blacky. Nanti pulangnya anterin sekalian jemput dia!" Javaz mengerlingkan matanya pada sang kakak menyebutkan julukan untuk motor sport kesayangannya."Yeee ... makanya punya pacar atau cari istri gitu dong, Mas! Gangguin Mas El dan Shifra berduaan aja, sih?" ledek Zora, bungsu keluarga Haribawa.'Calon istri gue udah nikah sama kakak gue!' Batin Javas mengepalkan tangan di bawah meja.___Pukul sebelas siang, sebuah mobil mewah sudah terparkir di salah satu halaman fakultas di Universitas tempat Shifra menimba ilmu. Seorang pria berjambang tipis sudah berkali-kali melirik jam tangan seharga ratusan juta di tangannya dengan decakan pelan. Berganti menatap ke salah satu lorong menuju kelas istrinya, entah sudah yang keberapa kalinya. Dia tak sabar menantikan kemunculan sosok gadis manis yang mampu meluluhkan hatinya itu.Senyumnya merekah saat langkah kaki sedikit berlari dari sebuah pintu kelas tertangkap indera penglihatannya. Kakinya tak sabar menyongsong tubuh kecil yang tingginya hanya sebatas dada itu. Pelukan hangat dengan sedikit memutar tubuh istrinya menjadi sambutan yang berhasil menggemuruhkan seluruh lorong. Teman-teman Shifra menyoraki pasangan yang terlampau bucin di depan kebanyakan mahasiswa jomlo di sana."Mas El! Apa-apaan, sih? Malu-maluin aja!" Shifra melepaskan diri dan berjalan cepat menundukkan kepala menutup dengan buku.Wajahnya sudah merah padam menahan malu karena tingkah suaminya."Kita nggak pulang dulu aja, Mas? Paling nggak aku ganti baju dulu, kan?" tanya wanita berhijab lebar itu menoleh pada sang suami yang tampak mengarahkan mobilnya bukan ke arah rumah.Setelah sebelumnya Javaz, adik laki-laki Elzien memberi pesan agar tak menunggunya. Dia sudah bersama temannya menuju bengkel tempat nongkrong geng motor."Mau ganti dulu? Atau ... kita sekalian mandi bareng lagi di hotel?" bisikan manja Elzien mendekat ke wajah Shifra yang langsung merona."Mas! Nggak usah aneh-aneh, deh! Nyetir yang bener!" Shifra memukul lengan suaminya yang berada di bahunya."Iya ... Sayaaang!" balasnya mengelus pipi Shifra lembut sambil terkekeh.Perjalanan mereka selama lima belas menit terasa sangat cepat disela obrolan kecil diselipi gombalan Elzien pada Shifra. Menikah tanpa pacaran karena Shifra terus menghindari lamaran pria itu. Hingga akhirnya Elzien menyodorkan sebuah surat perjanjian untuk tidak akan pernah menuntut haknya sebagai suami sampai Shifra lulus kuliah. Kesepakatan dibuat dan hari ini tepat dua tahun usia pernikahan pasangan beda usia sembilan tahun itu."Gimana kalo aku langsung hamil, Mas? Aku belum siap lho ...," rengek Shifra saat suaminya menuntut lagi setelah sampai di sebuah villa pribadi Haribawa."Bagus, dong ... apa yang kamu takutkan, hem? Suamimu ini kaya tujuh turunan bahkan mungkin hingga seratus keturunan." Elzien tertawa lebar dan kembali memeluk wanita yang memunggunginya."Mas janji nggak akan pernah ninggalin Shifra, kan? Aku takut--""Ssstttt ... apa yang kamu katakan? Jangan pernah berpikiran buruk, Sayaaang. Meski aku pergi ke ujung dunia sekali pun, aku pasti akan kembali ke tujuan hidupku. Kamu, Shifra Zwetta, istriku ...," balasnya membalikkan tubuh Shifra menghadapnya.Sebulir air mata membasahi pipi wanita berparas ayu itu. Tatapan matanya sendu dengan banyak pertanyaan di benaknya."Apa yang kamu pikirkan, Sayaaang?""Kenapa Mas berikan seluruh aset keluarga Kagendra padaku? Mas benar-benar ingin pergi meninggalkanku?" isaknya tak mampu lagi menahan sesak di dada.Tangan kekar Elzien merengkuh tubuh mungil istrinya yang terisak semakin dalam. Pria itu memejamkan mata dan mengembuskan napas panjang. Dia tak menjawab pertanyaan Shifra yang semakin larut dalam isakan."Aku nggak menginginkan semua itu, Mas! Aku hanya ingin selamanya bersama kamu, Mas ...." Shifra menggeleng kuat di dalam pelukan Elzien yang terus mengusap kepala hingga punggung istrinya."Iya ... aku nggak akan ke mana-mana, Sayaaang. Memangnya mau ke mana, sih? Kenapa tiba-tiba kamu jadi gini? Ada yang mengganggumu di kampus? Atau ... ada yang mengatakan sesuatu padamu? Menjelekkanmu? Menghinamu lagi?"Wanita itu hanya menggeleng dan tangisnya mulai reda. Sedikit memberi jarak untuk menatap wajah tampan Elzien yang tersenyum."Entah kenapa ... aku ...." Shifra menggeleng dan menarik napas dalam, "sebaiknya kita--""Sebentar, Baron telpon!" Elzien hafal betul dengan nada dering sang asisten di ponselnya yang memang dibuat khusus."Oke! Baiklah, tahan mereka di sana sampai aku tiba!" ucap Elzien beranjak dari ranjang dan meraih kemejanya yang berserak di lantai."Mas mau pergi? Aku ikut, ya?" Gegas Shifra menghadang langkah suaminya yang sudah memegang gagang pintu."Hanya sebentar, di pos penjagaan bawah. Kamu bisa memasak makanan untukku, hem?" balasnya mengecup kening Shifra yang kembali berembun matanya."Hati-hati, Mas! Mas mau makan apa?" Shifra membuang napas kasar dan berusaha menahan air mata agar tak jatuh dengan mendongak lalu berjinjit mencium pipi suaminya."Jangan lupa kunci pintunya, hem? Tunggu aku shalat berjama'ah Isya, ya? I Love You, My Shifra!"Sepeninggal suaminya dari halaman villa, Shifra menuju dapur dan mulai melihat isi lemari es. Hatinya sedikit waswas sedari tadi pagi. Dia tak mau menceritakan sebuah prasangka buruk dalam kepala juga hatinya. Hanya bisa berdoa di setiap hembus napasnya agar sang suami kembali padanya.Tiga puluh menit yang dijanjikan sudah terlewat, belum ada kabar sama sekali. Ponselnya juga lupa dibawa, bingung harus menghubungi siapa. Sebuah ketukan di pintu utama membuat ia berlarian menyambutnya."Apakah dengan Saudari Shifra Zwetta? Istri Saudara Elzien Kagendra?" Sosok berbadan tinggi tegap berdiri di depan pintu, sigap memberi hormat pada wanita yang sudah gemetaran menahan pintu yang terbuka setengah.***Bersambung ...."Apakah dengan Saudari Shifra Zwetta? Istri Saudara Elzien Kagendra?" Sosok berbadan tinggi tegap berdiri di depan pintu, sigap memberi hormat pada wanita yang sudah gemetaran menahan pintu yang terbuka setengah."Ya Pak, saya sendiri," jawabnya gugup.Jantung berpacu cepat, air sudah menggenang di pelupuk matanya."Kami diperintahkan untuk memastikan keadaan suami Anda di bawah sana-""Apa yang terjadi dengan Mas Elzien, Pak?" sahut Shifra tak sabar."Mohon tenang dulu! Mari silakan!" Petugas dari patroli kepolisian malam itu membawa Shifra ke mobil dinasnya.Jari jemari lentik itu saling meremas tak tenang di pangkuan Shifra. Matanya telah basah dan isakan demi isakan mulai terdengar saat menatap keluar jendela. Suasana perkebunan teh dan kopi sangat gelap, semakin membuat hatinya ketakutan. Tak ada keterangan lagi dari dua orang polisi itu selain hanya akan memastikan sebuah kecelakaan.Mobil dinas polisi patroli itu mulai melambatkan laju saat memasuki sebuah rumah sederhana di te
"Pak Elzien!!!" teriak Baron menepuk pundak polisi yang memboncengnya.Dia langsung turun dengan panik, berlari kembali ke tempat ATV terperosok. Melongok ke dasar jurang yang tertutup semak belukar."Ya Tuhan!!! Bagaimana ini? Pak El!!!" teriaknya mondar-mandir dalam ketakutan.Polisi dan pilot memberi laporan pada rekan lain di kantor pusat daerah terdekat menggunakan alat komunikasi khusus. Tak lama beberapa helikopter melintas di atas mereka. Pilot telah memberi sinyal bahaya dari tempat itu. Tak ada tempat pendaratan, terpaksa tim penyelamat yang terbentuk beberapa regu turun dari heli dengan tali yang diikat di tubuh mereka.Tiga pengusaha yang selamat dievakuasi kembali ke pemukiman penduduk terdekat. Tak ada yang terluka, tapi sepertinya Baron sangat terpukul atas kejadian yang menimpa atasannya. Bagaimana dia akan menceritakan kejadian ini pada keluarga sang CEO itu.Ponsel Elzien yang tadi dititipkan pada asistennya itu benar-benar berbunyi. Terpampang jelas nama istri boss-
"Non ... Non Shifra! Bangun Non!" panggilan salah seorang pelayan di rumah kediaman Haribawa menyadarkan Shifra yang masih dalam posisi bersujud di samping ranjang kamarnya."Apa Mas El sudah pulang, Mbok?" tanya Shifra sambil meluruskan tubuhnya. Menggeliat dan mengucek matanya yang tampak bengkak dan sembab."Apa yang kamu katakan, Shifra? Kamu sudah gila? Elzien sudah meninggal seminggu lalu! Kenapa kamu masih saja meratapinya? Bukankah meratapi seseorang yang sudah meninggal itu haram hukumnya, hah?" sahut Haribawa tiba-tiba masuk ke kamar putra pertamanya.Shifra tertunduk lesu dan terisak lagi. Dia mengangguk membenarkan kalimat sang ayah mertua."Maaf, Pa ... Shifra masih merasakan bahwa Mas El masih hidup. Dia baik-baik saja dan masih berusaha untuk pulang dengan jalannya sendiri suatu saat nanti. Jadi-""Baiklah kalau itu maumu! Sekarang, keluar dari kamar ini dan pindahlah ke pavilium belakang bersama para pelayan rumah ini! Kamu tak selayaknya tinggal di kamar ini lagi!" se
"Gimana sih Lo? Jalan pake mata dong!!!" teriak Zora menabrak Shifra yang sedang mengepel lantai."Maaf, Ra! Ha--""Aaarrrgh .... Aaauuuw! Shifra!!!"Belum sempat mengatakan agar Zora berhati-hati melangkah, perempuan yang memakai heels dengan dress super ketat itu sudah jatuh terduduk di lantai. Meringis kesakitan memegang pinggang dan kakinya.Shifra memang sengaja melakukan pekerjaan rumah pada malam hari. Dia tak mau Javaz membawanya pergi dari rumah ini. Haribawa dan Zora tak pernah bersikap manis lagi semenjak tahu bahwa seluruh aset milik Elzien jatuh ke tangannya. Tak lagi menyuruh tinggal di pavilium belakang, tapi seluruh pelayan diberhentikan bahkan hanya meninggalkan satu security. Mau tak mau semua pekerjaan rumah harus dilakukan Shifra sendirian.Seperti malam-malam sebelumnya, Zora yang sekarang menjadi tak terkendali lagi. Sering pulang malam dalam keadaan tak sadar karena minuman keras. Jika dulu aturan Elzien mengharuskan penghuni rumah sudah harus pulang saat makan
Keesokan harinya setelah Shifra mengatakan kelakuan Zora pada Javaz. Wanita yang berstatus sebagai janda atas kepergian Elzien Kagendra itu dilabrak oleh adik iparnya sendiri. Berbagai kekerasan hingga kata-kata kasar dilontarkan padanya. Perdebatan panjang antara Javaz dan Papa Haribawa pun menjadi pemandangan yang setiap hari terpampang di depan mata Shifra. "Kamu pucet banget, Shif?" sapa Javaz pagi hari setelah percekcokan dengan Haribawa dan diakhiri dengan kepergian pria paruh baya itu masuk kembali ke kamarnya, tak jadi sarapan."Sedikit pusing dengan semua ini, Jav. Maaf ... kalian jadi harus bertengkar setiap hari karena belain aku," katanya menunduk menyembunyikan sudut matanya yang basah.Belum sempat mendapatkan jawaban dari Javaz, wanita itu sudah terhuyung saat akan menarik kursi di ruang makan. Dengan sigap pria yang dua tahun lebih tua darinya itu menahan pinggang Shifra yang hampir roboh."Shif ... bangun! Shifra!" Javaz mengangk
Teriakan Shifra dan suara benda dilemparkan asal dari dalam kamar terdengar sampai ke ruang makan di mana Javaz masih membereskan sisa makanannya. Pria itu mendongak dan tersenyum tipis lalu melangkah sambil memasukan sapu tangan di saku celananya."Shif? Shifra? Buka pintunya! Kamu kenapa? Buka pintunya, Shif! SHIFRA!!!" Teriakan kepanikan serta ketukan berulang kali di pintu kamar Shifra terdengar panik, mengkhawatirkan wanita di dalamnya.Tak lama suara kunci diputar dari dalam, tubuh lesu dengan dua mata sembab muncul di ambang pintu. "Kamu kenapa?" tanya Javas sedikit membungkuk menelisik wajah Shifra yang tertunduk.Kepala tertutup hijab itu hanya menggeleng tanpa terangkat sedikit pun."Apa aku sudah gila, Jav? Di mana-mana selalu ada bayangan Mas Elzien ... katakan Jav ... apa aku benar-benar tak bermimpi? Apa ini nyata? Aku tak memiliki siapa-siapa lagi sekarang?" tangisnya pecah, berjongkok memeluk lutut dan menyembunyikan waja
"Kamu sudah bangun?" katanya bersikap seolah dia adalah Elzien, suami Shifra. 'Apa reaksimu, Sayang? Itu yang akan menentukan nasibmu ke depan,' rencana busuknya tersusun rapi di benak Javaz saat itu juga."Aaarrrgh!!! Sedang apa kamu di kamarku, Jav???" teriak Shifra spontan menutup tubuh polosnya dengan selimut.Tubuhnya gemetaran di dalam kain putih tebal dan lebar itu. Suara langkah kaki Javaz terdengar mendekat."Lima hari lagi, aku akan menikahimu, Shif, aku janji!" Kalimat terucap dari suara yang tak asing lagi bagi Shifra.Terasa sebuah tangan mengusap bagian kepala wanita yang tak terlihat sama sekali tertutup penuh oleh selimut tebal.Rasa sakit dari area pinggang ke bawah hingga rasa kebas di seluruh rongga mulutnya, membuat Shifra semakin tergugu dalam tangis. Tenggorokan tercekat membayangkan apa yang baru saja terjadi padanya.'Mas El ... kenapa aroma tubuhmu berbeda? Tapi aku suka ... Ssshhhh Mas ... El ... Kamu na-kal ...,'Racauan dirinya terngiang kembali, Shifra men
"Masa iddahku habis? Aku memintamu menikahiku? Ap-" Shifra tak bisa melanjutkan kalimat lagi.Tubuhnya tumbang ke belakang dan masih bisa ditangkap oleh Javaz. Direbahkan perlahan di atas bantal dan diselimuti oleh pria yang tersenyum puas menyeringai.Haribawa masuk ke dalam kamar yang dulunya adalah kamar Elzien bersama Shifra dengan tawa terbahak-bahak."Hebat kamu, Jav! Luar biasa! Setelah ini apa rencanamu?" tanya pria berusia 50 tahun itu besemangat menepuk pundak putranya."Kita lihat saja pengaruh obatnya gimana, Pa? Takutnya dia gila beneran dan kita dalam masalah besar." balas Javaz ragu.Hatinya mulai tak tenang dan ragu melakukan sebuah rencana buruk untuk mendapatkan hak miliknya. Hasutan dan iming-iming mendapatkan cinta Shifra mengganggu kewarasannya malam itu."Bro! Cobain laaah satu cewek aja! Gue jamin pasti Lo nggak bakal pusing lagi. Malah ketagihan, hahaha!" Bising suara musik yang berdentum keras dalam ruangan luas berkelap-kelip lampu sorot sehari sebelum Javaz m
"Laa Haula ... wa laa quwwata illa billah ...." gumamnya hampir tak terdengar dengan memandang ke atas mendongakkan kepalanya. Tenggorokannya tercekat dengan mata yang melebar melirik ke atas.Shifra terhuyung dan beruntung ada seorang santri melewatinya dan menahan tubuh yang sudah lemah itu."Bu? Bu Shifra kenapa?" Kepanikan santri itu mencuri perhatian santri di sekitarnya. Beberapa datang berlarian dan sebagian memanggil istri ustadz dan pengurus pondok.Shifra sudah berbaring di lantai dengan lemah. Satu tangannya memegang dada dan mata melirik ke atas. Napasnya terengah dan terus melemah. Lengannya terkulai di samping tubuh saat satu tarikan napas panjangnya membuat mata terpejam sempurna. Bibirnya seperti bergerak membentuk dzikir tapi tak keluar suara."Bu?! Bu Shifra!" teriak santri yang memangku kepala Shifra dengan linangan air mata.Satu dari ustadzah memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Shifra. Dia menggeleng lemah dan menunduk dengan embusan napas panjang."Innal
"Terima kasih Bunda! Yang terpenting bagi Ezra di dunia ini hanya satu. Yaitu restu dan doa dari Bunda saja! Mau seluruh dunia menghujat dan tak percaya dengan Ezra, asalkan Bunda di sisi Ezra, Ezra akan bisa berdiri tegak meghadapi semuanya." ungkapnya kembali memeluk sekilas dan mencium punggung tangan Sang Bunda.Keduanya berpelukan sekali lagi, menyalurkan segala rasa di hati masing-masing. Sudah diselimuti kerinduan meski belum berjarak. Tak terasa air mata Shifra sudah membasahi pangkal cadar di bagian bawah matanya."Bunda jangan nangis ... Ezra hanya satu bulan di sana. Nggak akan lama kok. Ezra akan menjadi pribadi yang lebih baik setelah kembali. Bunda harus janji sama Ezra untuk nggak nangis lagi setelah hari ini, hem? Tunggu Ezra dan doakan Ezra selalu, ya?" Remaja berbaju koko dilapisi dengan outer seperti jaket berbentuk jas casual itu mengusap basah di mata ibunya.Shifra mengangguk dan menyentuh pipi putranya dengan sedikit terisak."Bunda pasti akan selalu berdoa untuk
"Lo jebak gue dengan cara murahan seperti ini? Apa maksud dan tujuan Lo sebenarnya, heuh?!" ancam Ezra mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah santri bernama Azura itu dengan tatapan nyalang."Kamu juga ikut ke kantor dan Ibu Shifra harus tahu tentang kelakuan putranya." ucap Pak Salim tegas.Ezra mengeratkan gigi gerahamnya dengan tangan terkepal kuat di siai tubuhnya."Pak Salim! Mohon bicara sebentar!" Ezra menahan langkah kaki Pak Salim dengan berdiri menunduk tepat di depannya."Jelaskan saja di Kantor!" tolak Pak Salim bergeser hendak melangkah dari sisi tubuh Ezra."Ini harus dijauhkan dari Bunda, jangan sampai Bunda tau tentang ini.""Apa alasannya? Semuanya harus terbuka dan jelas, kamu baru dua hari di sini dan sudah melanggar dan iti sangat fatal. Memasukkan seorang santri putri bukan mahram ke dalam kamar kamu, hanya berdua saja!" tegas Pak Salam tetap ingin melangkah. Dia terus dihalangi Ezra agar tak pergi lebih dulu sebelum mendengar penjelasannya."Bunda per
"Oh ... namanya Ezra? Oke! Mainan baru!" gumam seorang santri putri yang baru saja mengintip dari jendela luar. Dia berpura-pura menyiram tanaman di depan kamar tamu."Sampeyan ngapain, Mbak?" tanya seseorang mengagetkan santri perempuan yang sedang mencuri dengar di dekat jendela kamar tamu yang Ezra tempati.Bukan hanya santri itu yang terkejut, tapi juga Shifra dan juga Ezra yang sedang di dalam. Pasalnya bunyi tempat sampah yang seperti terlempar keras terdengar."Eh, eh? Niki, Pak kecanthol kudunge," balas suara santri itu sedikit terkekeh sambil menunjukkan sisi kerudungnya yang tersangkut di ujung jendela."Aneh-aneh arek iki! Yok opo isoh kecanthol aa?" tanya laki-laki paruh baya geleng kepala, keheranan kenapa bisa tersangkut di ujung jendela pada santri itu. Tapi tak perlu mendengar jawabannya dia tersenyum kecil dan melangkah pergi.Ezra keluar dan berdiri di ambang pintu sambil menyimak obrolan keduanya yang tak dimengerti. Si Santri menyadari keberadaannya sedari tadi. Ga
Mereka menempuh jarak Jakarta-Surabaya selama 10 jam di kereta kelas Ekonomi. Ibu dan anak itu saling menyandar bergantian tertidur di bahunya. Sirine tanda Stasiun berikutnya berbunyi, Shifra yang sudah sedari tadi terjaga mngguncang kepala Ezra."Ezra ... Bangun, Nak! Waktunya kita turun!" katanya menepuk pipi yang bisa dijangkau dengan tangan."Stasiun Gubeng, Bun?" Ezra menggeliat meluruskan dua tangannya ke atas dan meliuk ke kanan dan kiri.Remaja lelaki yang tampak sudah sangat dewasa baik postur tubuh juga sikapnya itu, menenteng dua tas kain di satu tangan. Sedangkan tangan lainnya merangkul pundak sang Bunda, bahkan sedikit mengangkatnya ketika turun dari gerbong."Ke mana lagi sekarang, Bun?" tanya Ezra menoleh ke sekitar tempatnya mendudukkan Shifra di ruang tunggu peron kedatangan."Tanyalah petugas harus naik apa ke Pondok Pesantren Al-Hidayah? Bunda sudah lama tak kemari, mungkin transportasi juga berubah." balas Shifra meraba tas di samping dan mendekatkan ke tubuhnya.
"Ezra akan coba bicarakan ini nanti setelah kondisi Bunda sudah benar-benar stabil seperti kemarin, Pa. Terima kasih saran Papa!" Ezra menghambur memeluk ayahnya dari samping dan dibalas dengan tepukan di bahu oleh Elzien.Dua pasang mata ayah dan anak itu berada pandang seolah bisa menyalurkan pikiran masing-masing."Pa ... apa ini ada hubungannya dengan orang tua Daffin yang seorang pejabat?" tanya Ezra serius.Elzien mengedikkan bahunya dan menggeleng."Fokuslah untuk pindah ke Pesantren. Tanyakan pada Bunda, apakah mau kembali ke tempatnya dulu? Ustadz yang merawat dan memberi perlindungan pada Bundamu sejak bayi?" katanya sambil menepuk dua pundak Ezra yang mengangguk."Papa dan Ayah Javaz janji akan sejauh mungkin berjarak dengan kalian. Kita dekat dalam doa saja itu cukup, kan?" lanjutnya tersenyum mengusap kepala Ezra kemudian berdiri."Maaf dan terima kasih Papa ...." Ezra kembali memeluk tubuh yang sama tingginya dan ternyata sangat membuat hati nyaman dalam dekapan itu."Pa
"Lebih baik aku tiada dari dulu ...." gumamnya menunduk tak sanggup lagi melihat kondisi Shifra yang mulai menyakiti dirinya sendiri dengan memaksa melepaskan jarum infus dan mencakari wajahnya sendiri.Elzien tak pernah melihat keadaan perempuan di depannya seburuk sekarang. Hati pun ikut hancur lebur dan mulai berembun sudut matanya.Bagaimana tidak, saat Javaz masih bisa bangkit dan memeluk Shifra erat. Mantan istrinya itu melemah dan mulai tenang dalam dekapan sang adik. Sekuat itulah cinta keduanya.Dahulu, di sisinya Shifra akan bersikap seperti ibu. Begitu dewasa dan seolah membimbingnya seperti anak. Elzien nyaman dan merasa terlena, hingga lupa bahwa seorang istri butuh perhatian dan keluh kesah tersampaikan. Mungkin saat itulah semua maaalah berakar. Hingga sekarang menjadi bom waktu yang meledakkan semuanya. Shifra tak mampu lagi menahan diri dalam kewarasan yang selam ini berusaha ditampakkannya."Shif ... tenanglah! Dia Ezra, putramu, bayi kecilmu, kekuatanmu, penglebur d
"Sial! Cari tahu tentang dia juga, Brengsek!? Siapa yang berani melawanku?!" geram seseorang melemparkan botol minuman keras di atas meja ke dinding."Nggak ada yang boleh lebih unggul dari putraku!" lanjutnya mengepalkan tangan sambil memukul meja di depannya.Pihak berwajib melakukan penyelidikan terhadap kebakaran yang terjadi di rumah Shifra. Banyak hal janggal ditemukan dan semua mengarah pada satu nama ART paruh waktu yang datang pagi pulang sore hari.Dia diduga mematikan saluran air dari PDAM yang mengalir ke tandon besar rumah. Kemudian tabung gas dibiarkan dalam keadaan menancap setengah regulatornya, jadi seolah terjadi kebocoran. Ada beberapa botol kecap dan saos yang diisi minyak tersebar di sekitar pekarangan. Siapa lagi yang sengaja bisa leluasa melakukannya kecuali orang yang bebas keluar masuk dari rumah itu.ART bernama Linda itu tengah dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Dia hanya menangis dan terus menggeleng pasrah mengikuti arahan petugas membawanya
"Ezra? Ezra ... kenapa panas sekali? Ezra! Rumah kita terbakar! Ezra!? EZRAAAA!" teriakan Shifra di tengah kobaran api di seluruh kamar dan rumahnya tak membuat sosok yang baru saja tertidur di sampingnya bergerak sedikit pun.Tangan Shifra terus mengguncang tubuh pulas itu sambil memanggil namanya. Karena kebutaannya dia tak tahu bahwa di telinga Ezra tersumpal head phone. Sekuat apa pun memanggil namanya tetap tak terdengar. Apalagi sebelum tidur remaja itu baru saja meminum obat pereda rasa sakit untuk lukanya sekaligus obat tidur yang diresepkan bersamaan.Saking geramnya ibu tiga puluh tujuh tahun itu menggigit lengan Ezra."Aaarrrgh!?" teriaknya terjingkat kaget kemudian diikuti istighfar berkali-kali melihat dirinya sudah dikelilingi api.Dia memeluk ibunya yang sudah berlinangan air mata dan hampir sesak napasnya."Bunda naik punggung Ezra dan pegangan yang erat, ya? Bismillah!" titahnya menarik bed cover sekaligus sang Bunda ke punggung.Berlari mencari celah menuju kamar man